SELAMAT DATANG DI BLOG PERUBAHAN SOSIAL

"Makkah adalah realitas empiris, Madinah adalah realitas ideal, jarak keduanya adalah amanah perubahan"

Rabu, 03 Februari 2010

KHAIR AL BARIYAH: INSAN KAMIL

Dalam bahasa Arab, pribadi yang sempurna itu disebut sebagai insan al kamil. Dalam alQur’an term yang mirip dengan insan al kamil adalah khairul bariyah (sebaik-baik manusia) (QS. 98:7). Manusia sempurna atau sebaik-baik manusia ini dapat terwujud jika iman dapat ditransformasikan menjadi prilaku saleh (amal saleh dalam semua segi kehidupan), nilai-nilai iIslam dapat ditransformasikan menjadi realitas Islam, ideal-ideal Islam dapat ditransformasikan menjadi tatanan Islam, konsep-konsep Islam dapat ditransformasikan menjadi lembaga-lembaga Islam, dan sebagainya. Hal ini karena dalam epistimogi Islam, iman dan amal saleh tidak dapat dipisah-pisahkan. Iman baru nyata bila sudah diwujudkan dalam prilaku saleh. Tidak ada prilaku saleh tanpa ada landasan atau perwujudan dari iman. Banyak ayat alqur’an menjelaskan hubungan antara iman dan amal saleh yang tidak terpisahkan tersebut.

Dalam bukunya Masjid Sebagai Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam Sidi Ghazalba menjelaskan hubungan iman dan amal saleh tersebut dengan sanagat sistimatis. Ia menganalogikan hubungan itu seperti sebuah konstruk bangunan. Iman ditempatkan pada posisi pondasi, mulai iman kepada Allah SWT, malaikat, nabi, rasul, al kitab, hari akhir, hingga taqdir baik maupun buruk. Iman kepada Allah dalam posisi paling dasar karena ia merupakan determinasi untuk iman kepada yang lain. Dalam sistim keimanan Islam, semakin kuat dan sempurna keimanannya kepada Allah semakin kuat dan sempurna imannya kepada yang lain. Karena pentinga beriman kepada Allah ini, pengingkaran terhadap eksistensi Allah adalah suatu dosa (pelanggaran) terberat, dosa terbesar yang tidak akan diampuni (QS.31:13). Untuk selanjutnya, jika sistim keimanan ini kuat dan sempurna, maka ia akan dapat menjadi pondasi atau dasar yang kuat pula untuk bangunan yang hendak didirikan di atasnya.

Setelah sistim keimanan ini tuntas, dimulailah konstruksi bangunan dengan sistim ibadah. Sistim ibadah yang paling awal adalah thaharah (bersuci). Konsep bersuci dalam Islam tidak hanya berorientasi pada kebesihan atau kesucian lahir. Kesucian lahir ini penting, harus dilakukan dengan niat, syarat, serta rukun yang benar dan lengkap, dengan tujuan kesucian batin. Ada beberapa hadits Nabi yang menjelaskan diantara keutamaan berwudlu adalah diampuninya dosa-dosa yang terjadi akibat anggota badan yang kena air wudlu. Bahkan do’a yang diajarklan Nabi ketika selesai wudlu adalah mohon untuk dijadikan orang yang bertaubat dari semua dosa dan salah dan dijadikan orang yang suci. Jadi dalam sistim thaharah, kebersihan lahiriah merupakan prasyarat kebersihan batiniyah.
Tahapan berikutnya adalah pengamalan ibadah ritual Islam yang juga dikenal dengan Rukun Islam (ar kan al Islam). Dalam Rukun Islam, konsep syahadat adalah yang pertama. Bersyahadat artinya mengikrarkan apa yang sudah menjadi ketetapan hatinya (Rukun Iman)untuk diekspresikan keluar disaksikan kepada orang lain dengan pengucapan lesan. Jika semula sistim keimanan terdapat dalam hati, tidak tampak bagi orang lain, maka melalui syahadat ini keadaan batin ini dinyatakannya ke luar.

Inti dari ikrar syahadat adalah untuk mejadikan Allah sebagai satu-satunya Tuhan dalam kehidupannya, serta pengakuan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Sahadat ini seorang muslim mengikatkan diri dengan sistim ajaran Islam secara keseluruhan. Tidak ada artinya bersyahadat jika ia mengingkari sebagian saja dari sistim ajaran Islam. Syahadat bukan hanya sekedar pengucapan lesan, tetapi semacam ikrar perjanjian untuk mentaati Allah melalui seluruh ajaran Islam, yang pada gilirannya nanti mengikat secara hukum dalam sitim hukum Islam. Oleh karena itu konsekuensi dari syahadat adalah penyerahan diri secara totalitas untuk tundak, patuh dan taat kepada semua aturan atau syareat Islam. Islam-muslim dalam makna generiknya adalah menyerahkan diri . Belum menjadi muslim yang sebenarnya jika seseorang masih egois (mementingkan dirinya sendiri) dari pada ketentuan Allah.

Tahapan berikutnya adalah memulai melaksanakan kewajiban syariat Islam yang berupa ibadah ritual, mulai dari shalat, zakat, puasa, hingga haji. Sebagaimana dalam thaharah, semua sistim ibadah ritual dalam Islam harus dilaksanakan dengan niat yang ikhlas dan tulus guna mendapatkan ridlo Allah SWT, disamping harus sesuai dengan syarat dan rukunnya. Namun demikian hakekat ibadah ini bukan untuk Allah. Allah SWT sebagai Tuhan yang Maha Kuasa, Berdiri sendiri, Tidak tergantung pada apapun, tidak membutuhkan manfaat sedikitpun dari semua rangkaian ibadah tersebut di atas. Hakekatnya semua manfaat dan keutamaan dari pelaksanaan ibadah tersebut adalah untuk manusia itu sendiri. Barang siapa bersyukur maka ia bersyukur untuk dirinya sendiri, dan barang siapa ingkar sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia (QS. 27:40). Shalat misalnya memliki keutamaan bagi pelakunya mulai akan mendapatkan ampunan dan diangkat derajatnya oleh Allah, yang pada akhirnya si pelaku salat akan memiliki sifat-sifat mulia. Demikian juga dengan semua ibadah ritual yang lain, proses internalisasi nilai-nilai keutamaan seperti, sabar, jujur, diisiplin, rendah hati, dan sebagainya ke dalam diri seorang muslim akan berjalan dengan pasti. Hingga akhirnya, melalui pelaksanaan ibadah diri seoang muslim akan mengalami transformasi menjadi diiri yang berkualitas utama. Dalam istilah al Qur’an, diri dengan kualitas utama ini disebut dengandiri yang ber taqwa. Kadar ketaqwaan adalah sesatu yang tidak statis melainkan dinamais, dapat turun dapat juga naik, dan semakin sempurna. Pribadi yang telah mencapai derajat taqwa paling sempurna adalah Rasulullah SAW. Untuk itulah Ia dijadikan idola bagi semua umat Islam (QS. 33:21).

Perlu ditegaskan di sini, bahwa sistim ibadah adalah media untuk mentransformasikan diri hingga dapat mencapai kualitas taqwa sebagai tujuannya. Sistim ibadah bukan tujuan. Sayangnya sebagian kalangan muslim lebih mengutamakan mengapresiasi media bukan tujuannya. Perdebatan fiqh yang melelahkan antar kelompok muslim adalah salah satu bentuk kekeliruan dalam hal ini. Fiqh bukan tidak perlu, tetapi tujuan hendaknya mendapatkan porsi untuk diapresiasi. Persoalan yang dimunculkan bukan, “sudahkan cara sujud anda benar?”, tetapi hendaknya, “sudahkan sujud anda mengantarkan anda hadir bertemu Allah?”

Taqwa adalah diri yang berkualitas utama. Jika unsur dalam diri manusia yang pokok adalah hati-spiritualitas, nalar-intelektualitas, dan jasad-fisikalitas, maka diri yang bertaqwa mengalami kematangan secara spiritual, intelektual, hingga fisikal. Seorang yang bertaqwa adalah seorang muslim yang terbiasa bermunajat kepada Allah sehingga menjadikan ia dekat bahkan “menyatu” dengan Allah. Atas dasar spiritualitasnya ia berfikir kritis serta berwawasan luas dan matang. Pada titik ini, pemikiran seorang muslim menjadi khas/unik karena berdasar atas dan berorientasi pada Allah. Dalam alQur’an seorang yang mampu menyeimbangkan antara dzikir dan pikirnya ini disebut dengan ulil albab (QS.3:190-194). Yang terkahir, ia tidak sekedar berwacana dalam hidupnya, tetapi sekligus mengambil prakarsa untuk mewujudkan pemikirannya pada dataran realitas. Ia aktif ikut serta terlibat dalam pergumulan sejarah untuk mewujudkan cita-citanya. Pada dataran inipun ia memiliki kecakapan dan ketrampilan yang memadai. Kesemuanya ini digambarkan Nabi sebagai diri yang di waktu malam menjadi seorang rahib yang waktunya dihabiskan untuk bermunajad kepada Allah, sedang pada waktu siangnya ia barat pendekar yang tidak kenal lelah berjuang di medan sejarah. Pentinya predikat taqwa ini adalah karena ia menjadi syarat untuk melaksanakan tugas berikutnya yakni berijtihad.

Ber-ijtihad adalah mengerahkan segenap daya pikir untuk merumuskan konsep-konsep baru atas segala persoalan kemanusiaan berdasarkan nilai serta semangat ajaran Islam. Pada dataran inilah “islamisasi” kehidupan yang diawali dari ranah pemikiran/konsepsionalitas dilakukan. Tugas berijtihad dapat dilakukan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki seorang / komunitas muslim. Ada diantara muslim yang lingkup ijtihadnya pada wilayah pribadinya sendiri, ada yang sampai wilayah keluarga, ada juga yang samapai wilayah kelompok komunitas (jamaah), bahkan ada juga yang lingkup ijtihadnya mencakup semua wilayah masyarakat (ummat).

Wiayah ijtihad mencakup seluruh aspek kehidupan, mulai keagamaan hingga politik, wilayah seni hingga ilmu pengetahuan, ekonomu hingga hukum, teknologi hingga kebudayaan. Prinsip ijtihad harus dilakukan oleh muslim kerena ayat-ayat alQur’an dan alHadits sudah berhenti turun, sedangkan kehidupan dalam arti luas di atas senantiasa berkembang secara dinamis. Banyak hal-hal baru yang belum ada penyelesaiannya secara letterluck dalam kedua sumber ajaran Islam di atas. Sangat berbeda dengan zaman alQur’an masih diturunkan, Nabi masih memutuskan persoalan-persoalan yang umat islam hadapi secara langsung. Untuk saat-saat di mana jauh dengan masa Nabi maka banyak sekali dengan hal-hal baru yang harus diapresiasi dan diputuskan statusnya oleh umat Islam. Dialog antara nilai/ajaran Islam dengan permasalahan baru itulah wilayah ijtihad. Ijtihad tidak boleh berhenti. Ia merupakan sumber dinamika ajaran Islam. Sehingga para ulama abad pertengahan hingga kini meletakkan ijtihad sebagai sumber ajaran Islam ke-tiga setelah alQur’an dan aSunah. Memang dibutuhkan syarat-syarat tertentu untuk dapat berijtihad dengan benar,dengan hasil yang bervaliditas tinggi. Namun syarat itu harus dibuat realistis sehingga tidak menjadi penghalang keberanian untuk berijtihad.

Jika ijtihad tidak dilakukan maka kehidupan akan berjalan liar tanpa panduan dan jawaban dari sudut pandang agama. Inilah kehidupan sekuler atau atheistic. Padahal agama adalah jalan hidup, alQur’an adalah Kitab Petunjuk bagi manusia yang bertaqwa (QS. 2:2).

Inilah gambaran tentang khairul bariyah, tujuan antara dakwah Islam sebelum akhirnya mencapi khairul usrah, dan khairul jama’ah dan akhirnya mencapai khairul ummmah.
Allahua’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar