SELAMAT DATANG DI BLOG PERUBAHAN SOSIAL

"Makkah adalah realitas empiris, Madinah adalah realitas ideal, jarak keduanya adalah amanah perubahan"

Senin, 12 Maret 2012

Banjir di kampungku......wuuuuh



mengapapa ini terjadi?
apa maknanya?
bagaimana selanjutnya?
apa yang mestinya aku, enkau, dan kita lakukan?

BERTOLAK DARI KEPRIHATINAN:persiapan perkuliahan smt genap 2012

1. Kualitas pendidikan bangsa Indonesia pada dekade dua-tiga dasawarsa terakhir ini termasuk sangat memprihatinkan di tingkat Asean, apalagi di tingkat dunia. Pada hal Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk terbesar diantara negara Islam di seluruh dunia. Jumlah seluruh penduduk negara-negara kawasan Timur Tengah masih kalah banyak dengan jumlah penduduk Indonesia. Karena itu, berdasarkan jumlah penduduk, harapan bahwa fajar kebangkitan Islam akan terbit dari Indonesia semestinya dapat dibenarkan. Tetapi apa yang terjadi dalam realitas bangsa Indonesia saat ini? Sekali lagi, dalm bidang pendidikan, bangsa ini menjadi sangat memprihatinkan. Menurut data UNDP tahun 2007 dalam hal pengembangan manusia, Indonesia masuk urutan 107 dari 117 negara yang diteliti. UNESCO pada tahu 2008 merilis data, dalam hal pendidikan Indonesia termasuk no urut 62 dari 130 negara di dunia, dan no 7 dari 9 negara Asean. Padahal pada tahun 70-an, Malaysia negara tetangga kita belajar ke Indonesia un tuk meningkatkan kualitas pendidikan mereka. Itulah strategi besar Malaysia untuk maju, menjadikan pendidikan sebagai lokomotif kemajuan bangsanya. Seperempat abad kemudian apa yang terjadi Malaysia jauh meninggalkan Indonesia. Sehingga ada kalimat pejoratif; dulu Indonesia ekspor pro-fe-sor sebagai TKI, tetapi apa yang terjadi saat ini. Indonesia ekspor pembantu rumbah tangga (pe-er-te) sebagai TKI (sama-sama p).

2. Pendidikan adalah investasi jangka panjang. Pemerintah sudah punya good will untk meningkatkan kualitas pendidkan kita, dengan menganggarkan 20 % minimal dari APBN dan APBD di setiap daerah untuk pendidikan. Namun masih jauh panggang dari api, masih banyak kendala untuk merealisasikan mimpi-mimpi peningkatan kualitas pendidikan. Diantara kenyataan konkrit yang menunjukkan gejala itu adalah hasil pengamatan tentang pengaruh sertifikasi bagi peningkatan kinerja guru. Bagaimana hasil nya? Ternyata, tidak signifikan pengaruh sertifikasi bagi peningkatan kinerja guru.( http://smkn1bongas-tkj.blogspot.com) Kualitas murid sebelum dan sesudah sertifikasi relatif masih sama. Bagaimana dengan sertifikasi dosen? Tentu kitalah yang paling tahu dengan jawaban sebenarnya. Pernah dirilis hasil penelitian terhadap dosen, menyatakan bahwa 80% dosen tidak berkualitas, di Solo Pos beberapa bulan lalu. Jika keadaan ini (kualitas pendidikan) tidak berubah, maka bangsa ini ke depan, walau dengan anggaran yang meningkat, masih akan tetap sama, yakni terbelakang dan miskin. Dan itulah bangsa yang merepresentasikan umat Islam Islam dunia, masih sakit belum menunjukkan gejala penyembuhan.

3. Diantara penyebab rendahnya kualitas pendidikan adalah terpisahnya pemahaman agama dan ilmu pengetahuan. IAIN idealnya adalah masa transisi menuju UIN. Jika merujuk UIN Malang, maka dengan UIN, agama dan ilmu adalah satu. Nilai-nilai agama menjadi dasar dari bangunan ilmu pengetahuan. Kita yang masih IAIN ini, sekalipun belum bermimpi menjadi UIN, setidaknya telah memiliki kesadaraan untuk tidak mengembangkan paradigma pemahaman yang dikhotomis antara agama dan ilmu. Karena sebagaimana kita ketahui, agama yang dipahami dengan paradigma dikhotomis, akan menghasilkan pemahaman agama yang melangit tidak membumi. Kehidupan ada di bumi, langit adalah simbul kematian. Karena itu agama yang tidak mendasari ilmu pengetahuan adalah agama bagi orang mati (Roger Garaudi, janji-Jani Islam). Ciri-ciri pemahaman agama yang melangit adalah pemahaman yang doktriner alias subyektif-normatif. Agama yang demikian adalah agama yang tidak mencerahkan, tidak membuat cerahnya kehidupan. Jika lembaga studi agama memproduk pemahaman normatif, bagaimana dengan masyarakat pengguna produk pemikiran keagamaan tersebut? Konflik atas nama ayat, madzhab fiqh dan pemikiran, perlu dicurigai sebagai fenomena masih sangat kuatnya pemahaman subyektif-normatif tersebut dalam masyarakat kita. Sebagai bentuk keprihatinan kita hendaknya kampus tidak mengembangkan paradigma pemahaman subyektif-normatif tersebut.

4. Berdasarkan undang-undang, dosen memang bagian dari PNS. Tetapi dosen menjadi bagian spesifik dari PNS pada umunya, karena tugas dan tanggung jawab, serta peran dan fungsinya dalam Tri Darma Perguruan Tinggi. Oleh karena itu, pemerintah melalui SK Dirjen tetang Beban Kerja Dosen (BKD), telah membuat ukuran kinerja dosen dengan BKD. BKD seharusnya dipahami sebagai turunan dari PP No 53 tahun 2010, tentang PNS yang memiliki beban kerja kuantitatif yakni 37,5 jam per minggu. Dengan BKD, ukuran kinerja dosen menjadi sangat jelas, yakni terlaksananya tugas pendidikan dan pengajaran serta penelitian sebagai tugas utama (75%), sedang pengabdian masyarakat dan penunjang memiliki bobot 25 %. Yang imlisit dari tugas tersebut adalah ukuran kinerja dosen tidak hanya kuantitatif, tetapi juga kualitatif. Oleh karena itu, dosen hendaknya tidak lagi berpikir “apakah harus masuk setiap hari atau tidak?”, yang penting laksanakan tugas sesuai standar BKD, insyaallah tujuan idealitas peran dan fungsi dosen akan menjadi kenyataan riil.

5. Berawal dari pemahaman akan BKD inilah seorang dosen hendaknya fokus melaksanakan tugasnya. Bersatunya antara tugas pendidikan dan penelitian, hendaknya dipahami bahwa pendidikan yang dilakukan dosen hendaknya berbasis pada kegiatan penelitian. Bentuk konkritnya, hendaknya dosen tidak merasa dibebani dengan tugas pembuatan Satuan Acara Perkuliahan (SAP), bahkan lebih jauh marilah kita sadari pentingnya melanjutnkan tugas membuat SAP menjadi buku ajar betatapun sederhananya. Kita ganti tradisi lisan menjadi tradisi tulis. Tradisi tulis lebih jelas dan mudah pertanggung-jawabannya dari tradisi lisan. Begitu juga tradisi penelitian sudah semestinya menjadi tugas biasa bagi dosen sehingga kita laksanakan tanpa beban, sekalipun harus dengan biaya sendiri. Jika ini sudah terbiasa kita lakukan, maka ke depan akan terbentuk secara bertahab menjadi kebiasaaan dan akirnya menjadi budaya kampus kita. Mengajak dan menyeru mahasisiwa untuk meningkatkan kualitas rasanya meaning less, jika tidak dimulai dari diri pengajak (dosen). Persoalan terbesarnya memang dana, dan kalau mau jujur tentu juga sikap malas dan sesuatu yang belum menjadi kebiasaan bagi kita. Kapan ini semua bisa didekonstruksi?

6. Konkritnya sebagai persipan kuliah semester genap tahun 2011-2012 ini kami menghimbau dan mendesak kepada semua pihak (utamanya diri sendiri) untuk tidak saja membuat indikator pembelajaran yang kuantitatif, seperti prosentase presensi (kehadiran mahasiswa), tetapi mencoba merancang perkuliahan yang meletakkan indikator keberhasilan bersifat kualitatif. Pertanyaan apakah mahasiswa sebelum dan sesudah mengikuti kuliah kita, massih berkualitas sama yakni belum mengalami ketercerahan (lightmented), atau malah bertambah konserfatif, adalah layak kiya renungkan.

7. Kami tidak sedang hanya bicara dalam hal pemahaman agama unsich. Dalam penerapan paradigma dikhotomi dalam memahami Ilmu pengetahuan (baca: umum), tidak kalah bahayanya. Ilmu yang terpisah dari agama hanya akan menurunkan martabat kemanusiaan, serta merusak alam semesta. Dalam Jurusan Dakwah, banyak ilmu umum kita ajarkan pada mahasiswa. Jika tidak hati-hati, dengan alasan profesionalisme,maka kita akan mengajarkan ilmu yang bebas pemihakan terhadap nilai dan etika Islam. Jika ini terjadi maka “alumni tukang” siap hadir dari rahim Jurusan Dakwah. Pemihakan adalah tahap pertama, profesionalisme adalah berikutnya. Inilah missi suci berdirinya lembaga akademik ke-Islaman.
Wallahu a’lam.

Rabu, 18 Januari 2012

VISI AKADEMIK FUD, SEBUAH DRAFT

1. Satu Fakultas: Ushuludin dan Dakwah
Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Surakarta, yang di akhir tahun 2011 ini beralih status menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surakarta, tentu saja harus diikuti perubahan tata kelembagaan di bawahnya. Yang semula “Jurusan” di bawah Sekolah Tinggi, untuk saat ini harus berubah menjadi di bawah “Fakultas”. Pada masa STAIN Surakarta memiliki enam “jurusan”, saat menjadi IAIN harus menggabungkan setiap dua jurusan dalam satu fakultas, sesuai dengan core keilmuan masing-masing. Karena ituah, Jurusan Ushuludin harus digabung dengan Jurusan Dakwah dalam lembaga baru, “Fakultas Ushuludin dan Dakwah”.
Seperti dijelaskan di muka, kedua Jurusan tersebut disatukan kedalam satu fakultas dengan alasan kedekatan core keilmuannya. Selain sama-sama masuk dalam kelompok Studi Islam, keduanaya juga berada dalam satu kajian theologis. Jika Ushuludin mengkaji theologi Islam dari sumber aslinya (al Qur’an-Al Sunnah dan Aqidah-Filsafat), maka Dakwah mengkaji penerapan dan pengembangan theologi Islam dalam masyarakat. Jika Ushuludin mengkaji dapurnya, maka Dakwah mengkaji penyajiannya kepada manusia.
Penggabungan dua Jurusan Ushuludin dan Dakwah tidak seharusnya dipahami hanya urusan penyatuan struktural-kelembagaan, tetapi mestinya dipahami lebih dalam melalui kesatuan visi. Tanpa kesatuan visi, tidak mustahil kedua jurusan tersebut berkembang dalam arah yang berbeda, tidak singkron dan kompak, yang akhirnya ke depan tidak dapat berkembang secara efektif. Kecuali itu, dengan adanya visi yang dibangun bersama-sama dan integratif, maka arah pengembangan lembaga baru Fakultas Ushuludin dan Dakwah beserta semua bagian-bagiannya dalam struktur kefakultasan, juga semua stake holder, dan employee-nya, akan memahami ke arah mana mereka akan bersama-sama berkembang.
2. Latar Belakang Visi Fakultas : Analisa atas Masa Depan
Tidak ada yang menyangkal bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi masih akan mendominasi kehidupan manusia modern sekarang ini dan mungkin beberapa dekade ke depan. Karena itu sudah semestinya jika lembaga, selalu meletakkan dominasi ilmu-pengetahuan dan teknologi sebagai pertimbangan utama dalam merancang gambaran masa depan mereka. Beberapa pertanyaan dapat disampaikan di sini; mulai dari latar belakang dan arah perkembangan ilmu penggetahuan dan teknologi, akibat-akibat yang telah dan sedang terjadi oleh perkembangan sain dan teknologi, hingga bagaimana pemikiran-pemikiran alternatif disekitar perkembangannya, dan sebagainya pantas untuk dianalisa. Kaitanya dengan rancangan visi akademik Fakultas Agama (khususnya Ushuludin dan Dakwah), tentu pertanyaan tentang hubungan antara perkembangan sain dan teknologi dengan agama tidak bisa dinafikan.
Beberapa hal yang menonjol dalam kehidupan manusia modern saat-saat sekarang ini, yang mana ilmu pengetahuan sebagai pemandunya, diantaranya adalah; kehidupan yang semakin materialistik, gerak kehidupan yang mengarah pada lahirnya krisis multi-dimensi (spiritual-moral, sosial, hingga fisikal), dan yang tidak kalah serius adalah semakin menguatnya kecemasan massal manusia modern. Kita bisa menduga bahwa fenomena krisis multi dimensi tersebut adalah konsekuensi dari perkembanagan sain dan teknologi. Dari siini, pertanyaan-pertanyaan seperti; ada apa dengan sain dan teknologi?, bagaimana kharakternya? Akan mengemuka.
Watak atau kharakter sain dan teknologi yang kini memasuki puncak perkembangannya, tentu tidak lepas dari sejarah kelahirannya. Kelahiran sain dan teknologi diawali oleh sebuah pandangan dunia yang baru pada abad 15 di wilayah barat Benua Eropa, yakni humanaisme-anthroposentrisme. Inti dari pandangan dunia tersebut adalah kepercayaan yang berlebihan kepada manusia (human being), bukan Tuhan, sebagai penguasa tunggal alam jagad raya ini. Memang Tuhan pernah ada, tetapi hanya menciptakan alam dengan seisinya beserta hukum-hukumnya saja, kemudian ia tidak berarti apa-apa. Tuhan identik dengan aturan alam ini saja. Tidak ada tempat bagi Tuhan yang bersifat personal. Tidak ada mistisime dan metafisika. Inilah inti dari Humanisme abad 16.
Yang menonjol dari humanisme adalah penuhanan terhadap rasionalisme dan empirisme. Keduanya berpandangan bahwa pada dasarnya dunia ini memiliki arti yang dapat dipahami yakni arti matematis. Selanjutnya rasionalisme dan empirisme ini menjadi ruh (spirit) bagi lahirnya ilmu pengetahuan baru. Ilmu pengetahuan ini, baik dalam arti sebagai satu satuan pengetahuan ilmiah yang terkumpul dan tersusun maupun dalam arti sebagai suatu cara penyelesaian masalah (yaitu metode ilmiah), tidaklah berurusan dengan metafisika. Sebagai ilmu pengetahuan ilmu ini tidak memberikan suatu kosmologi atau pun ontologi. Ilmu pengetahuan sebagai ilmu pengetahuan tidak berusaha untuk menjawab –bahkan tidak mempersoalkan—masalah-masalah besar mengenai nasib manusia, dan mengenai benar dan salah, serta baik dan buruk. Jadi rasionalisme dan empirisme cenderung untuk menyingkirkan Tuhan serta keghaiban yang ada di dunia ini. Yang ada hanyalah sesuatu yang belum diketahui dan nanti suatu saat akan dapat terungkap dengan penelitian yang menggunakan metode ilmiah. Rasionalisme dan empirisme telah menggantikan agama dalam fungsinya sebagai landasan dan petunjuk kehidupan manusia.
Pandangan dunia ini selanjutnya memberikan petunjuk bagi kaum ilmuwan dan masyarakat penganut rasionalisme dan empirisme dalam menyelesaikan segala permasalahan yang mereka hadapi. Dengan semangat hidup hanya di sini dan saat ini dan hanya sekali, manusia modern menjadi manusia yang berwatak eksploitatif dan paling destruktif dalam menggauli alam sepanjang sejarah kemanuisaan. Ukuran baik dan benar bagi mereka adalah keuntungan dan kesenangan yang bersifat materiil.
Namun demikian sebagai sebuah pandangan dunia yang baru dan merupakan antitesa dari segala bentuk dan tindakan penindasan oleh Gereja Katolik abad pertengahan kepada masyarakat Eropa dan Amerika saat itu, pandangan dunia ini berhasil menjadi idiologi pemberontakan dan reformasi, yang hasilnya adalah progresifitas pada beberapa abad kemudian hingga saat ini. Hingga akhir abad 20-an hampir tidak ada ilmuan yang berpikiran kritis terhadap pandangan dunia rasionalisme dan empirisme tersebut. Hampir seluruh negara di dunia ini akhirnya menganut “agama baru” tersebut. Akibatnya adalah perkembangan dunia yang tanpa arah kecuali eksploitasi bagi pemuasan nafsu hedonisme manusia. Spirit inilah yang kemudian memunculkan berbagai krisis di hampir seluruh belahan dunia. Krisis yang meliputi seluruh dimensi hidup manusia, dari spiritual, sosial hingga lingkungan alam.
Di puncak kulminasi perkembangan dunia atas bimbingan agama rasionalisme dan empirisme, yang tidak lain adalah ruh modernisme, muncul –walaupun masih sangat bersifat sporadis pemikiran kritis teradap pendangan dunia modernisme itu. Tepatnya pada akhir abad 20 dan awal abad 21 ini, dimulai oleh para arsitektur, ahli ilmu pengetahuan, dan para intelektual lainya, bergantilah optimisme menjadi kekawatiran global. Masyarakat dunia cemas dan khawatir. Ternyata peradaban modern dengan sain dan teknologinya, disamping memberikan kemudahan bagi kehidupan manusia di satu sisi, pada sisi yang lain juga mendatangkan dampak negatif yang sangat mengkawatirkan. Berbagai krisis terjadi di mana-mana, mulai dari krisis sumber daya alam; menipisnya cadangan bahan bakar minyak dan gas, polusi darat, laut, dan udara; krisis sosial kemanusiaan, maraknya penzoliman antar manusia, minimnya keadilan, lunturnya kasih sayang dengan sesama, semua itu manifes dalam bentuk terjadinya berbagai konflik antar bangsa dan negara; hingga runtuhnya sendi-sendi moral-spiritual masyarakat dunia. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa titik teratas dari perkembangan metode ilmiah dan sekaligus pandangan dunia baru adalah krisis multi dimensi dalam kehidupan manusia.
Di samping krisis global tersebut, yang tidak kalah hebatnya adalah dampak modernisme pada skala individual. Banyak manusia modern yang merasakan beban hidupnya jauh di atas kemampuan dirinya untuk menanggung. Pada hal ia tidak lagi memiliki Tuhan sebagai tempat bersandar dan minta tolong. Dari sini mudah untuk dipahami mengapa manusia modern banyak mengalami depresi pemikiran dan mental, mudah putus asa, dan terjangkiti dis-orientasi dan kehilangan harapan pada masa depan mereka.
Manusia modern adalah manusia anthroposentrisme, yakni manusia yang terlanjur tidak percaya pada hal-hal yang berada di luar nalar dan inderanya. Makluk yang terkungkung dalam dunia yang hanya serba materi. Tidak ada Tuhan, tak ada spiritualitas, tak ada makna di luar yang terlihat dan terpikirkan. Manusia modern kehilangan dimensi transendensinya –suatu dimensi yang paling mendasar dalam diri kemanusiaannya. Akibatnya ia merasa terasing (alienated) di tengah kemegahan dan kemewahan duniawi disekitarnya. Indikasi dari semua ini adalah semakin banyaknya manusia yang menderita penyakit mental (mental disorder), manusia stress. Gejala banyaknya kasus bunuh diri, merebaknya sadisme dan anarki dalam masyarakat, adalah bukti akan hal tersebut. Pada saat seperti inilah optimisme berubah menjadi pessimisme, manusia mulai mempertanyakan keabsahan humanisme sebagai pandangan hidup. Mereka mulai mencari alternatif-alternatif.
Agama sebagai suatu entitas yang jauh lebih lama eksis dalam sejarah kemanusiaan kembali ditengok. Bisakah agama sebagai alternatif paradigma kehidupan? Beberapa ilmuwan Barat sendiri optimis bahwa agama mampu menjadi alternatif. Diantaranya adalah Scumacher dalam bukunya Gende For The Perplexted, sebagaimana dikutip oleh Komarudin Hidayat, “Mungkin bisa dibayangkan manusia hidup tanpa gereja tetapi mustahil hidup tanpa agama”.
Demikian juga predeksi futurolog John Neisbit dan istrinya Patricia Aburdance, menurutnya, spiritualisme adalah termasuk diantara 10 kecenderungan besar (mega trend) di masa depan, era globalisasi di abad 21. Predeksi tersebut sekarang ini mulai menjadi kenyataan, terbukti dengan adanya kehidupan keagamaan yang semakin marak dalam masyarakat. Kehidupan masa depan selain masih diwarnai oleh perkembangan dalam sain dan teknologi, serta industrialisasi, juga akan semakin disadarinya dimensi moral, etik dan spiritual. Terbukti dengan adanya semakin globalnya tuntutan untuk menegakkan HAM dalam masyarakat dunia.
Pada dataran ini muncul pertanyaan agama seperti apa yang dibutuhkan oleh manusia modern untuk keluar dari krisis?
Jika kita mengamati secara teliti terhadap model keberagamaan masyarakat muslim dewasa ini dapat dikategorikan menjadi beberapa kategori, yakni; Pertama, Model keberagamaan kaum revivalis. Model ini berkeyakinan bahwa Islam adalah agama yang memuat sistim hidup secara sempurna. Yang menyebabkan Islam gagal sebagai pandangan dunia alternatif adalah adanya banyak unsur tambahan, noda dan kotoran yang dilakukan oleh umat Islam sendiri. Berbagai unsur tambahan yang dimaksud adalah masuknya unsur khurafat, tahayul dan bid’ah dalam Islam. Sebagaai alternatifnya adalah harus dilakukannya pembersihan atau pemurnian (revivalisasi) keberagamaan muslim. Termasuk dalam kelompok ini adalah kelompok-kelomok muslim salafi yang ada di beberapa pesantren maupun menjamur di masyarakat dengan penampilan dan gaya hidup yang khas, sebagaimana yang ada pada zaman Nabi. Keberagamaan yang ideal menurut mereka adalah keberagamaan yang dilaksanakan oleh Nabi Muhammad SAW dan para shahabatnya serta generasi awal Islam. Bila kita bisa kembali seperti mereka menurut mereka kita akan kembali berjaya. Meniru Rasulullah secara apa adanya adalah jalan dakwah mereka baik dalam berpikir, bermasyarakat, secara sederhana sebagaimana meniru cara berpakaian dan berpenampilan Nabi dan Shahabatnya. Dalam hal ibadah mahdhoh memang demikian adanya, penambahan, pengurangan dan perubahan adalah bid’ah dan sesat, tetapi dlam hal bermuamalah apakah juga sangat sederhana seperti cara berpakaian, adalah pertanyaan mendasar untuk kelompok ini.
Hampir sama dengan kelompok pertama ini adalah kelompok kedua, yakni kelompok yang juga anti bid’ah, khurafat dan tahayul khususnya dalam hal aqidah dan ‘ibadah. Namun dalam hal bermuamalah kelompok ini justru mengidolakan Barat. Islam menurut mereka justru sangat rasional dan modern. Sehingga tidak terjadi perbedaan atau pertentangan antara Islam dan Barat dalam hal bermuamalah. Metode dakwah mereka adalah mendirikan lembaga-lembaga sosial, pendidikan, yang serupa dengan Barat. Termasuk dalam kelompok ini adalah Muhammadiyah, Al Irsyad, dan sebagainya. Kekurangan yang agak fatal dari kelompok ini adalah tidak dimilikinya paradigma kritis terhadap idiologi dan epistimologi Barat. Sebagaimana yang terjadi di lembaga pendidikan Muhammadiyah, adalah hampir sama dengan lembaga pendidikan umum hanya ditambah jam agama. Tetapi secara substansial masih sama alias plagiat dari paradigma pendidikan Barat.
Ketiga, adalah kelompok tradisional. Kelompok ini tidak menganggap unsur-unsur tertentu yang bersifat tambahan sebagai bid’ah yang disesatkan, sehingga perlu untuk diberantas. Unsur ini justru merupakan kekayaan khasanah dunia Islam, yang harus dipelihara. Unsur ini justru menjadi identitas dan peneguh keberagamaan mereka. Dan jika di-reinterpretasi dan direvitalisasi bisa jadi merupakan nilai luhur yang dapat menjadi filter dari kebudayaan asing yang tidak islami. Termasuk kelompok ini adalah ummat Islam Nahdlatul Ulama (NU). Dengan tradisi yang ada, menurut mereka tidak akan menghalangi mereka untuk maju. Dalam beberapa hal pemikiran, justru kelompok tradisional ini lebih maju dari kelompok modernis. Kekurangan fatal dari kelompok ini adalah mereka juga tidak memiliki pardigma idiologis dan epistimologi kritis terhadap Barat. Fenomena Islam Liberal (JIL) adalah bukti bahwa mereka justru bangga dengan idiologi dan metodologi pemikiran Barat. Dapat dikatakan kelompok tradisional ini masih bernostalgia dengan pemikiran klasik. Mereka kurang begitu melihat adanya permasalahan serius di masa kini dan depan.
Keempat, kelomok fundamentalis. Kelompok ini juga berkeyakinan bahwa Islam adalah jalan hidup sempurna bagi manusia. Jalan hidup non-Islam adalah jalan yang sesat sehingga harus diluruskan. Jika kelompok sesat (non-Islam) ini mengganggu atau memusuhi Islam, maka kelompok ini yang paling gigih melakukan perlawanan. Kelompok ini juga termasuk yang tidak anti terhadap kehidupan maju atau modern. Namun karena sementara ini Barat yang banyak salah paham terhadap umat Islam, seperti adanya isu terorisme maka kelompok ini menyatakan perang terhadap Barat. Namun sebenarnya mereka ini tidak memiliki epitimologi kritis terhadap modernisme. Perlawanan mereka terhadap modernisme adalah perlawanan idiologis serta praktis saja yang hanya mengandalkan semangat serta heroisme massa. Tidak ada gerakan spiritual yang sengaja dibuat dan dibangun untuk melawan pemikiran Barat.
Kelompok kelima, adalah kelompok Islam populis. Kelompok ini di luar empat kelompok di atas. Mereka lebih mengandalkan popularitas dengan media massa. Substansi keberagamaan yang ditampilkan adalah keberagamaan yang menyejukkan. Mereka tidak peduli dengan beberapa hal yang berkategori kilafiah dan permusuhan baik dengan sesama muslim maupun pemeluk agama lain dan juga terhadap Barat. Yang penting bagi mereka adalah kedamaian hati dan kesejukan jiwa. Teknologi dan sistim bisnis ala Barat seperti Al Qur’an seluler, do’a seluler dan sebagainya justru mereka manfaatkan. Begitu juga dengan beberapa aspek keberagamaan justru menjadi lahan bisnis mereka. Telaah kritis terhadap Barat yang didukung kekuatan intelektual yang adiquat dan serius tidak mereka pedulikan. Merka ini banyak sekali memiliki pengikut tetapi tidak diikat dengan ikatan idiologi yang kuat. Sesuai dengan namanya Islam populis, kelompok ini mungkin hanya akan bertahan untuk beberpa saat, sesuai dengan popularitas pimpinannya.
Prihatin dengan beragamnya paradigma keberagamaan yang ada, Komarudin Hidayat berpendapat bahwa, agama masa depan adalah agama yang memperjuangkan prinsip-prinsip antropik–spiritualisme, yaitu madzhab filsafat agama yang menempatkan manusia sebagai subyek sentral dalam jagad raya, tetapi in-hern dalam kemanusiaannya itu tumbuh kesadaran spiritual yang senantiasa berorientasi kepada Tuhannya. Kesadaran spiritual itu hendaknya ditopang oleh ilmu pengetahuan alam dan teknologi sehinga dapat memberikan peta kosmologis yang benar sehingga manusia tahu di mana dan ke mana kereta ruang dan waktunya berjalan.
Agama alternatif yang dimaksud di atas tentu harus melengkapi diri dengan perangkat epistimologis yang bersifat alternatif. Rasionalisme dan empirisme harus didekonstruksi, karena ia hanya memandang alam secara parsial, serta menafikan dimensi-dimensi dasar alam semesta, sehingga dibutuhkan epistimologi alternatif. Epistimologi yang mampu memahami kebenaran secara utuh, bukan hanya kebenaran empiris dan rasional semata. Sebagaimana dunia ini ternyata bukan dunia yang hanya dapat di pahami dengan pemahaman matematik un-sich.
Jika kita sepakat dengan Komarudin Hidayat, jelas bagi kita agama masa depan bukanlah agama yang ditampilkan secara instan karena dapat menghilangkan stess sesaat. Tentu juga bukan agama yang penuh sesak dengan ritualitas tanpa makna, tetapi agama rasional dan sekaligus spiritualistik. Namun kembali lagi kita dihadapkan pada sebuah ironi, yakni kembalinya pemahaman agama yang bersifat mitologis – pra positivisme. (meminjam istilah August Comte)—sebagaimana banyak ditayangkn dalam bentuk intertaiment di media massa saat ini, agama yang irrasional. Bukan pula agama yang membuat menangis pada satu saat dan membiarkan kembali merusak alam sesaat kemudian. Memang bisa juga dipahami bahwa, fenomena mitologisasi agama sebagaimana peredaran narkoba dan yang semakin masif dan sistimatis, adalah bentuk dari gejala ketidak sanggupan manusia untuk menanggung beban berat krisis modernisme tersebut. Namun demikian menganggapnya sebagai sebuah pilihan benar untuk alternatif kehidupan ke depan adalah suatu tindakan yang absurd.
Dengan banyaknya jenis dan corak keberagamaan di atas menunjukkana adanya problem paradigmatis dalam keberagamaan. Maksudnya, manusia pasca-modern memang mulai ingin kembali pada kehidupan yang dibimbing agama, namun sekaligus berhadapan dengan persoalan belum adanya paradigma keberagamaan yang secara aktual berkemampuan menjawab tantangan modernitas seperti yang diuraikan di depan. Upaya menemukan paradigma keberagamaan yang sesuai dengan tantangan modernitas tersebut mestinya disadari sebagai tanggung jawab lembaga akademik setingkat univesitas, seperti Universitas Islam dan atau Intitut Agama Islam Negeri (IAIN).
Di dalam IAIN terdapat Jurusan Ushuludin dengan Program Studi Tafsir-Hadits dan Aqidah-Filsafat-nya –jurusan yang concern untuk mengkaji hal-hal pokok dan radikal dari agama, sangat proporsional untuk memikul tugas ini.

Jurusan Ushuludin :
Sebelum disatukan kedalam Fakultas Ushuludin dan Dakwah, Jurusan Ushuludin, Program studi Aqidah dan Filsafat, telah memiliki visi hendak menjadi lembaga akademik yang unggul dan concern untuk mengkaji pemikiran ke-Islaman dan ke-Indonesiaan, inovatif dalam penelitian, aplikatif dan transformatif-humanistik dalam persoalan agama, sosial dan budaya.” Sedangkan program Studi Al Qur’an dan Hadits memiliki visi : “Unggul dalam studi tafsir hadis konteks Keindonesiaan, inovatif dalam penelitian tafsir hadis, aplikatif dan transformatif-humanistik dalam persoalan agama, sosial dan budaya”
Atas dasar visi di atas, mengkaji masalah-masalah pokok dalam Islam adalah bagian dari Prodi. Aqidah Filsafat. Tentu bukan kajian akademik yang tanpa arah, melainkan kajian akademik yang memiliki orientasi menghasilkan metodologi pemahaman keagamaan dalam Islam, yang memungkinkan lahirnya corak keagamaan yang memperjuangkan prinsip-prinsip antropik–spiritualisme, yaitu madzhab filsafat agama yang menempatkan manusia sebagai subyek sentral dalam jagad raya, tetapi in-hern dalam kemanusiaannya itu tumbuh kesadaran spiritual yang senantiasa berorientasi kepada Tuhannya. Dalam corak keagamaan semacam ini akan muncul wajah agama yang rasional, humanis, spiritualis, dan inklusif.
Bagaimana metode pemahaman seperti di atas digunakan untuk memahami sumber nilai dan ajaran Islam (Al Qur’an dan Al Hadits), sehingga melahirkan corak keberagamaan yang menjawab kebutuhan manusia modern, adalah tugas dari Prodi. Al qur’an dan Al Hadits.
Presentasi kehidupan keberagamaan seperti yang terjadi pada saat-saat sekarang ini yang terkesan sporadis, bahkan saling bertentangan satu dengan lainya, mestinya tidak perlu terjadi jika Jurusan Ushuludin dengan program studi yang dimiliki berhasil memproduk pemikiran metodologis yang based on problematika masyarakat modern sekarang ini.
Jika diperhatikan dengan lebih seksama visi Jurusan Ushuludin di atas, penekanan pada analisa krisis manusia modern yang begitu berhajat kepada agama (Islam) kurang begitu mendapat aksentuasi. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penekanan seperti itu seharusnya dilakukan. Jurusan Ushuludin mestinya mengarahkan kegiatan akademisnya demi terwujudnya metodologi pemahaman keagamaan yang :
1. Bercorak spiritual-profetik (spiritualitas yang merubah dan membangun).
2. Mengunguli paradigma modernisme dalam penguasaan sain dan teknologi.
3. Bercorak liberatif (pembebasan), humanistik (manausiawi) dan inklusif-pluralistik (akur dengan perbedaan).
Bagaimana aplikasi metodologi tersebut ketika digunakan dalam memahamai al Qur’an dan al Hadits adalah tugas yang tidak boleh disia-siakan. Tugas inilah yang harus diemban sekaligus menjadi visi pengembangan Program Studi Tafsir-Hadits.
Memang tidak mudah untuk bisa merealisasikan visi tersebut. Berberapa komponen yang secara langsung berkaitan dengan kegiatan akademis, mulai dari konstruksi kurikulum, silabi, hingga pola pikir tenaga pengajar dan dosen, KBM (Kegiatan Belajar-Mengajar), hingga pilihan-pilihan tema serta pendekatan penelitian, dan kegiatan-kegiatan penunjang akademik seperti perpustakaan dan laboratorium harus berjalan seiring dan searah dengan visi tersebut.

Jurusan Dakwah
Hakekat Dakwah adalah mengajak umat manusia supaya masuk kedalam jalan Allah (Sistim Islam) secara menyeluruh baik dengan lisan dan tulisan maupun perbuatan, sebagai ikhtiar muslim mewujudkan ajaran Islam dalam kehidupan syahsyiah, usroh, jama’ah dan ummat, dalam semua segi kehidupan secara berjama’ah sehingga terwujud khairul ummah.
Dari pengertian di atas dapat kita pahami bahwa upaya mengajak manusia agar masuk ke dalam sistim Islam baik dengan lisan maupun tulisan memiliki dua dimenasi yaitu dimensi Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) dan Bimbingan Konseling Islam (BKI). Sedangkan mengajak dengan perbuatan berdimensi tunggal yakni Pemberdayaan Masyarakat Islam (PMI). Ketiganya merupakan tiga prodi. generik yang semestinya ada dalam Jurusan Dakwah.
Jika dibandingkan dengan posisi Ushuludin yang bertugas mengkaji pokok-pokok agama, maka Jurusan Dakwah lebih pada tugas sosialisasi dan internalisasi. Bisa juga dibuat analogi, jika Ushuludin bekerja di bagian dapur, maka Dakwah bertugas menghidangkan masakan kepada khalayak. Ushuludin dan Dakwah sesungguhnya memiliki hubungan yang bersifat sustainable (keberlanjutan). Kenyataan ini memperkuat alasan bahwa Ushuludin dan Dakwah merupakan dua bangunan ilmu yang seharusnya bertolak dari pangkal paradigmatis yang sama. Tidak boleh ada dua paradigma yang saling bertentangan untuk bangunan keilmuan yang saling kait seperti Ushuludin dan Dakwah.
Oleh karena itu, visi pengembangan kelembagaan dari semua program studi yang ada pada Jurusan Dakwah tidak boleh keluar dari problematika modernitas seperti yang telah diuraikan di depan. Artinya, semua Prodi. Dakwah bertugas menghadirkan keberagamaan yang berkharakter: spiritual-profetik (kenabian), mengungguli paradigma modernitas dalam hal sain dan teknologi, dan bercorak liberatif (pembebasan), humanistik (manusiawi) dan inklusif-pluralistik (akur dengan perbedaan).
Dari paradigma keberagamaan di atas, maka selanjutnya dapat di break down kepada visi prodi-prodi yang ada di Jurusan Dakwah baik itu KPI, BKI, maupun PMI. KPI sebagai prodi yang mengambil bagian untuk mendidik mahasiswa menjadi insan cendekia yang memiliki keahlian dalam menyampaikan ajaran Islam baik dengan khitabah maupun melalui media massa kepada masyarakat, tidak boleh hanya menguasai atau berkemampuan untuk menggunakan perangkat teknologi modern yang berkaitan dengan media komunikasi massa, akan tetapi lebih dari itu, mereka adalah insan cendekia yang mengabdikan kemampuan dan ketrampilan yang dimilikinya untuk kepentingan penyiaran dan internalisasi Islam yang berparadigma spiritual-profetik, modern, liberatif, dan inklusif. Kemampuan dan ketrampilan yang tanpa kesadaran pemihakan terhadap paradigma tersebut, sangat mungkin menjadikan alumni-alumni Jurusaan Dakwah terkooptasi oleh idiologi sosial yang anti paradigma mereka sendiri. Jika ini yang terjadi, maka sama artinya dengan lembaga akademik yang menjadi “anak durhaka” terhadap paradigma induknya yang mestinya menjadi missi sucinya. Memang paradigma dan epistimologi keilmuan tidaklah bebas nilai. Ia mesti dibangun di atas nilai tertentu.
Demikian juga dengan Prodi. BKI maupun PMI. Prodi BKI sebagai prodi yang mengambil bagian untuk mendidik mahasiswa menjadi insan cendekia yang memiliki keahlian dalam menyampaikan ajaran Islam, serta memiliki keahlian membimbing dan memberikan konseling kepada masyarakat muslim. Perbedaan BKI dengan KPI, jika KPI melihat permasalahan ummat dari sudut pandang permasalahan publik, serta bersifat top-down, maka BKI dalam berdakwah melihat permasalahan dari sudut padang personal dan spesifik dan bersifat battom-up. Jika KPI untuk melaksanakan fungsi dan perannyaa sangat berhajat pada ilmu komunikasi, maka BKI sangat berhajat pada ilmu psikologi, karena dengan ilmu psikologi seorang penyuluh atau konselor (alumni BKI) dapat memahami permasalahan yang dialami klien, serta dapat memberikan solusi, nasehat dan saran secara tepat berdasarkan pada nilai-nilai dan ajaran Islam.
Sama dengan Prodi. KPI, Visi Prodi. BKI juga harus didasarkan kepada paradigma keberagamaan profetik, modern, liberatif, dan inklusif. Jika tidak demikian, maka out come atau alumni Prodi. BKI juga dikhawatirkan hanya menjadi ilmuwan tukang, yang tidak memihak kepada kepentingan dakwah Islamiah sejati. Demikian juga dengan Prodi. PMI, selain memiliki keahlian mentransformasikan ummat, serta melembagakan nilai-nilai Islam dalam masyarakat, juga dituntut untuk menjadi cendekiawan yang memihak pada nilai dan paradigma keberagaman profetik, modern, liberatif, dan inklusif. Intinya, visi jurusan dakwah haruslah mendasarkan dimensi pengetahuan dan ketrampilan (knoledge and skill) pada paradigma dakwah Islam sejati sebagaimana diuraikan di atas.


Perangkat Akademik yang Konsiten
Jika gagasan di atas masih berada pada dataran filosofis, maka tugas berikutnya merancang bangun perangkat akademik yang konsisten terhadaap visi ke-fakultasan. Perangkat akademik dimaksud meliputi perangkat kurikulum, silabus, rencana pembelajaran, para pengajar (dosen), perpustakaan, laboratorium, kegiatan-kegiatan penunjang akademis lainnya yang mendukung terwujudnya visi kefakultasan.
Di dalam kurikulum terdapat berbagai unsur mulai berbagai kompetensi yang akan dicapai, sampai indikator / kompetensi dasarnya harus disusun sedemikian rupa, dengan sangat memperhatikan aspek konsistensi terhadap paradigma keberagamaan yang dianut fakultas. Untuk selanjutnya disusunlah berbagai mata kuliah guna mencapai standar kompetensi tersebut. Pada tahap berikutnya mata kuliah diserahkan kepada para dosen. Dosen terlebih dahulu harus merancang SAP (Satuan Acara Perkuliahan) yang diturunkan dari silabi yang telah dibuat oleh team teaching berdasar pada kurikulum yang sudah tersedia. SAP tersebut selanjutnya menjadi acuan dosen untuk membuat buku daras, serta bahan-bahan perkuliahan yang lain.
Para pengajar/dosen menempati peran strategis dalam mengeksekusi paradigma keberagamaan yang selanjutnya mendasari bangunan epistimologis keilmuan dakwah. Mind-set seorang dosen yang mengajar di Jurusan Dakwah haruslah sejalan dengan visi kefakultasan di atas. Ditangan dosenlah bangunan konseptual keilmuan untuk terakhir kali diramu. Ditangan dosenlah proses finishing proyek rekayasa akademik di Fakultas Ushuludin dan Dakwah dilaksanakan. Demikian selanjutnya, semua perangkat akademik yang lain harus mendukung sistim yang sedang dibangun oleh Fakultas Ushuludin dan Dakwah.

Arah Pengembangan Bidang Akademik FUD

Semenjak dilantik sebagai Pembantu Dekan I fakultas Ushuludin dan Dakwah, yang tugas utamanya adalah mengkomandani pelaksanaan kegiatan akademik fakultas, langsung terlintas pertanyaan dalam benak saya bagaimana menciptakan suasana akademik yang memiliki visi. Pertanyaan yang lebih dahulu harus dijawaab adalah apa visi akademik fakultas? Rasanya otak langsung berputar membuka-buka memori masa lalu, sehingga sampai pada satu buku kecil karya Ali Syariati, seorang intelektual dan sosiolog Iran, sekaligus yang membidani lahirnya Republik Islam Iran.
Ali Syariati, membuat kategorisasi terhadap gelar “intelektual”. Pertama adalah kaum cerdik pandai yang memiliki khasanah ilmu pengetaahuan terbentang luas, tetapi ia mengambil posisi jauh dari masyarakat. Ilmu bagi kelompok ini terbatas untuk ilmu, tidak lebih dari itu. Intelektual dalam kategori ini tidak punya peran sosial bagi masyarakatnya. Ia bagaikan hidup dengan penuh kemewahan di atas menara gading. ilmu yang mestinya menyingkap cakrawala masa depan sama sekali tidak berdampak. Slogan mereka adalah Ilmu tidak memihak, ilmu bebas nilai.” Tidak jarang ilmuwan jenis ini “dibeli” oleh kelas elit masyaakat untuk memperkuat status quo mereka.
Sebaliknya adalah ilmuwan jenis kedua, yang oleh Shariati diberi istilah raushanfikr yakni kaum intelektual plus, yakni kaum cerdik pandai, yang dengan ilmunya ia berusaha mencerahkan masyarakatnya, membimbing dan mendampingi mereka untuk memiliki cita-cita hidup dan sekaligus berusaha untuk mewujudkannya.
Jika suatu PT bisa melakukan rekayasa intelektual akademiknya, mestinya pemikiran Ali Syariati seperti di atas dapat menjadi benang merah rekayasa intelektual. Hal ini penting karena seperti semua orang sudah tahu bahwa fungsi sosial suatu PT adalah sebagai agent social change. Peran dan fungsi agen perubahan sosial ini dapat terlaksana dengan cara memahami kontek linkungan sosial di mana PT itu berada. Adakah permasalahan yang di kancah sosial itu. Kemampuan memahami realitas sosial empiris itu akan membantu PT untuk menentukan arah kemana hendak berjalan PT itu didirikan. Keggalan dalam memahami realitas empiris masyarakat utamanya dengan permasalahannya akan membuat PT itu tidak mamapu merumuskan arah (rasion de etre) keberadaan dirinya. Akibat lanjutnya adalah kegagalan PT itu untuk merumuskan peran sejarahnya.
Belajar dari Eropa
Siapapun yang sedikit cermat mengamati perjalanan sejarah Eropa akan menyadari peran kaum intelektual di benua itu. Kaum intelektual mampu mencandra realitas empiris masyarakatnya pada abad pertengahan, yang berada dalam kegelapan hidup. Dengan intelktualitas yang mencerahkan mereka berhasil memahami betapa gelapnya masyarakat eropa saat itu, serta lebih jauh memahami latar belakang sosial, politik, religious, dan ekonomi, yaang kesemuanya ternyata mereka sadarari sebagai setali mata uang, yang saling kait mengkait menyebabkan hadirnya kebiadaban masyarakat Eropa.
Karena kontek dengan intelektualisme Islam sejak pada abad 11 para intelektual Eropa mengalami pencerahan, yang pada gilirannya nanti mereka juga menemukan secercah harapan sebagai alternatif jalan keluar dari abad kegelapan masyarakatnya.Dari arah tersebut kemudian mereka melakukan peran perubahan yang sangat signifikan dengan segala resiko dan konsekuensinya. Sebagai hasilnya begeraklah masyarakat Eropa setapak demi setapak untuk menuju zaman yang mereka katakan sebagai aufklarung (zaman pencerahan).
Paradigma moderniitas sebagai sebuah persoalan
Siapapun setuju bahwa peradaban modern sekarang ini telah menghadirkan kemudahan sekaligus kemajuan untuk kehidupan manusia. Tetapi pada saat yang sama semua orang juga tahu bahwa peradaban modern juga menghasilkan ekses negatif yang sangat mengerikan bagi kehidupan manusia. Bahkan ekses ini bersifat totalitas, artinya semua kemajuan dan kemudahan hidup jadi tidak kmemiliki apa-apa jika eksess negatif ini tidak segera disadari dan dicarikan alternatif jalan keluarnya.
Sebagaimana kita semua tahu, bahwa modernisme telah mengakibatkan terjadinya krisis multi dimensi yang komprehensip, mulai dari krisis spiritual, intelktual, sosial, hinggaa fisikal. Sebuah krisis terdahsyat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Menyikapi krisis akibat modernisme tersebut, orang-oranag eropa sendiri telah menyadarinya sehingga mereka melakukan auto kritik,-- seperti dilakukan oleh para tokoh Postmo-- sehingga melahirkan paradigma post-modernisme. Paradigma ini kemudian mengilhami munculnya madzhab-madzhab baru dalam dunia pemikiran. Yang intinya dari semua madzhab tersebut disatukan dalam titik yang sama yakni menjadikan modernisme untuk duduk dalam kursi tersangka yang patut berta nggung jawab atas krisis multi dimensi sekarang ini. Sekaligus masing –masing madzhab pemikiraan berfikir keras menemukan alternatif untuk solusi.
Beberapa hal yang patut kita garis bawahi dari sekelumit uraian di atas adalah :
1. Peran kaumintelektual dari kampus sebagai agent perubahan sosial bukkan hal baru untuk pence3rahan kehiduapn masyarakat nya.
2. Peran itu dimulai dari mmencaandra secara kritis atas keadaan di sekelilingnya untuk menemukan dan memahami persoalan, guna merumuskan peran strategis harus dimainkan.
3. Modernisme adalah biang permasalahan yang terjadi dewasa ini.
4. Arah rancang bangun intelektualisme kampus harus dirumuskan bertolak pada pemahaman atas akar masalah tersebut.
5. Bagamaiana dengan peran kampus IAIN SURAKARTA?????????? SEMUA HARUS MENJAWA TIDAK TERKECUALI PEDE SATU.