SELAMAT DATANG DI BLOG PERUBAHAN SOSIAL

"Makkah adalah realitas empiris, Madinah adalah realitas ideal, jarak keduanya adalah amanah perubahan"

Selasa, 11 Maret 2014

WILAYAH DAKWAH SELUAS WILAYAH KEHIDUPAN MANUSIA :Pengantar untuk Buku Kapita Selekta Pemikiran Dakwah

  1. Dakwah yang dipahami sebagai ikhtiar muslim untuk mewujudkan ajaran Islam dalam kenyataan hidup baik dalam lingkum individu, keluarga, kelompok sosial hingga lingkup masyarakat pada umumnya, adalah kelanjutan dari mata rantai kerisalahan para Nabi mulai dari Nabi Adam a.s. hingga Nabi Muhammad SAW. 
  2. Dengan demikian nilai pentingnya dakwah bagi kehidupan manusia adalah sama dengan nilai penting diutusnya para nabi dan rasul Allah ke muka bumi ini. Para nabi telah berperan sebagai agen transformasi kehidupan masyarakat dari kebiadaban kepada keberadaban. Dengan demikian dakwah juga memiliki peran yang sama sebagai agen transformasi kehidupan sebagaimana pernah dibawakan oleh para nabi dan rasul tersebut. Jika para nabi dan rasul dengan peran kerisalahannya mampu menghadirkan rahmat bagi alam semesta, demikian juga dengan dakwah. Dakwah mestinya kecuali berfungsi sebagai agen penyebaran ajaran Islam (fungsi kerisalahan), dakwah mestinya juga berfungsi menghadirkan rahmat bagi kehidupan. 
  3. Sebagaimana kita saksikan dalam setiap episode kehidupan seorang nabi dan rasul, mereka tidak sekedar sebagai kepanjangan lidah Tuhan yang mengajarkan agama dalam pengertian teks ajaran agama, tetapi juga berperan serbagai kepanjangan tangan Tuhan yang merubah kehidupan yang lalim dan eksploitatif, menjadi kehidupan yang bermahkotakan etika, egaliter dan sejahtera. Nabi Ibrahim, sebagai sebuah contoh episode kenabian yang tidak hanya mengajarkan nilai tauhid kepada umatnya, tetapi juga mendekonstruksi sistim social biudaya lalim yang dijalankan oleh Raja Namrud. Demikian juga Musa, dengan berlandaskan tauhid ia membebaskan Bani Israil dari perbudakan masyarakat Firaun, begitu selanjut hingga Nabi Muhamad SAW. 4. Namun demikian, tesis tentang fungsi kerisalahan dan sekaligus fungsi kerahmatan dakwah tersebut tidak sepenuhnya berjalan dalam sejarah kehidupan. Di beberapa kesempatan dakwah mampu melakukan dua perannya tersebut, dan di beberapa kesempatan yang lain dakwah gagal melakukan peran kerisalahan sekaligus kerahmatan tersebut. Terlebih di era belakangan ini, dakwah dapat dikatakan tidak sepenuhnya berhasil mengaktualisasikan jati dirinya dengan melakukan dua peran tersebut sekaligus. Dakwah lebih banyak melakukan peran kerisalahannya daripada peran kerahmatannya. Hal ini ditandai dengan masih jauhnya kesenjangan antara kehidupan nyata masyarakat muslim dunia dengan kehidupan ideal yang semestinya.
  4. Di berbagai wilayah dunia, di mana masyarakat muslim berada, wajah peradaban yang muslimin tampilkan masih identik dengan keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan, konflik internal, dan segenap bentuk patologi social lainnya. Mengapa fenomena tidak menyenangkan itu semua masih terjadi di tengah masyarakat muslim? Di sinilah, dakwah sebagai institusi Islam yang mestinya concern terhadap transformasi masyarakat muslim harus mempertanyakan eksistensinya sendiri. 
  5. Banyak dimensi terkait dalam aktualisasi dakwah dalam ranah social empiris, mulai dimensi filsafati dengan segala problemnya, dimensi transformasi dengan segala problemnya, dan juga dimensi praktis dengan segala masalahnya pula. Berbagai masalah pada dimensi filsafati antara lain mencakup hubungan Islam dengan dakwah. Banyak disalah pahami orang, bahwa seolah Islam adalah materi dakwah. Padahal yang sebenarnya Islam adalah azas dakwah. Eksistensi dakwah sangat ditentukan oleh pandangan tentang Islam. Oleh karena itu, dalam buku ini dimensi filsafati dari dakwah, mulai dari uraian tentang hubungan Islam dan Dakwah berikut turunannya seperti; Islam versus sekulerisme, pandangan tentang tauhid, aqidah terapan dan sebagainya akan mengawali bahasan buku ini. 
  6. Pada bab dua, bahasan terfokus pada ranah transformasi social. Sangat mudah dipahami bahwa ilmu merupakan agen perubahan social. Demikian juga dakwah yang merupakan agen perubahan social bagi kaum muslimin. Dakwah sangat berkepentingan dengan ilmu pengetahuan. Bukan hanya ilmu pengetahuan dengan makna generiknya, tetapi ilmu pengetahuan yang memiliki persamaan orientasi, yang searah dengan orientasi dakwah, yakni terwujudnya masyarakat yang terbaik (khairu ummat). Kegagalan kaum muslimin memiliki ilmu pengetahuan akan berakibat pada mandeknya proses transformasi social di kalangan muslimin sendiri. Ilmu pengetahuan bukan sekedar jembatan antara agama dan kehidupan. Lebih dari itu, ilmu akan berfungsi sebagai media sejenis prisma, yang berfungsi memedarkan agama menjadi cahaya yang meliputi semua aspek kehidupan. Oleh karena itu tidak bisa dipahami jika ilmu pengetahuan absen dalam setting dan design dakwah. Dan juga tidak bias dipahami jika ilmu pengetahuan dimaksud memiliki orientasi yang berseberangan atau bahkan berlawanan dengan dakwah. 
  7. Pada bab tiga, bahasan terarah pada dimensi internal dari dakwah itu sendiri. Banyak hal harus dikoreksi dalam the body of dakwah itu sendiri, agar dakwah kembali berfungsi sebagai agen transformsai social kaum muslimin. mulai dari nilai signifikansi dakwah dalam kehidupan, paradigma dakwah, hingga perlunya melihat dan mencermati kembali pola dakwah Rasulullah SAW. Beberapa pertanyaan dapat disampaikan untuk mengetahuai signifikansi dakwah bagi kehidupan, antara lain; benarkah manusia masih memerlukan agama? Bukankah jika kita mengikuti pendapat August Comte, bahwa pada era positivistic seperti saat ini, semua misteri kehidupan sudah terbongkar oleeh ilmu pengetahuan? Jika masih di mana sebenarnya wilayah garap agama? Hingga akhirnya bisakah agama eksist dalam kehidupan tanpa dakwah? 
  8. Permasalahan paradigma dakwah dimulai dari pertanyaan; bagaimana watak dakwah yang sebenarnya? Menjawab perttanyaan tersebut setidaknya ada dua opsi, paradigma dakwah yang bersifat subjektif-normatif, atau paradigma dakwah yang bersifat objektif-empiris. Kaitanya dengan kegagalan dakwah untuk melakukan peran kerahmatan seperti yang terjadi pada saat-saat sekarang ini, sepertinya paradigma kedua yang diperlukan. Di lingkungan akademis, baik dalam forum-forum ilmiah hingga literature di perguruan tinggi Islam, teori dakwah berparadigma subyektif-normatif tampaknya masih mendominasi dari pada teori dakwah yang berparadigma objektif-empiris. Hal ini berakibat pada praktek dakwah pada dataran empiris yang “bisu” dalam menyikapi berbagai fenomena social. Dakwah seolah berada di dunia lain, sedang kehidupan dengan segala permasalahannya berada di dunia yang berbeda. Tidak ada hubungan antara dakwah dengan kehidupan. 
  9. Pada bab tiga pula penulis menawarkan alternative format dakwah yang menggunakan paradigma kedua tersebut, yakni dakwah yang berbasis pada pemberdayaan ummat. Dakwah dengan format pemberdayaan dimulai dari pemetaan medan dakwah, mengidentifikasi potensi, berikut tantangan dan peluangnya, dan selanjutnya design dakwah baru dibuat. Dengan dakwah pemberdayaan diharapkan dakwah menghasilkan out-put berupa solusi atas permasalahan yang dihadapi ummat Islam. Dakwah demikianlah yang ditunjukkan oleh para nabi dan rasul terdahulu. Musa memerdekakan Bani Israil, begitu juga Isla, dan akhirnya Muhammad SAW. Untuk mendapatkan legitimasi normative sekaligus historis, perlu kiranya kita mencermati kembali pola dakwah Nabiu Muhammad SAW di Madinah. Pola dakwah Nabi bukan pola dakwah di mimbar saja, melinkan dakwah yang menyatu dengan kehidupan nyata. Nabi adalah seorang pemegang kekuasaan politik dan agama sekaligus. Dengan politiknya, Nabi berhasil menjadikan agama sebagai dasar dari bengunan masyarakat Madinah yang multi-kulturalistik pada saat itu. Selama tiga belas tahun Nabi berdakwah di Madinah. Benyak sekali persoalan dakwah yang Nabi hadapi dan selesaikan selama pereode tersebut. Oleh karena itu, mencermati kembali pola dakwah Rasul di Madinah dengan segala episodenya adalah perlu guna memperkaya teori dakwah, sehingga dakwah kembali berperan sebagaimana mestinya. 
  10. Pada bab selanjutnya akan kita temui bahasan tentang bagaimana dakwah menjadi sebuah ilmu yang dikaji dalam sebuah lembaga pendidikan. Alhamdulilah keitkqa tulisan ini dibuat sedang menduduki posisi sebagai penjaga gawang akademik di Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Surakarta. Dengan posisi tersebut penulis mencoba untuk merefleksikan pemikiran tentang bagaimana ilmu dakwah (khususnya) sebagai bidang kajian di sebuah lembaga akademik. Kecuali dakwah yang dijadikan kajian harus memiliki paradigma yang tepat, perangkat apa saja yang haruis disiapkan sehingga menghasilkan out-put beik berupa SDM dakwah yang sesuai dengan kebutuhan sejarah, kecuali itu juga akan dihasilkan dari lembaga akademik tersebut, teori-teori dakwah yang juga relefan dengan tuntutan zaman pada satu sisi tetapi juga masih konsisten dengan landasan normative Islam yakni teks Qur’an dan Sunah. Masih pada bab ini pula, terdapat satu tulisan tentang bagaimana sebuah lembaga pendidikan dari semua level harus didirikan untuk menghaslikan SDM yang memiliki kompetensi yang kompartible dengan tantangan zamannya. Diantara contohnya adalah sebuah sekolah dasar. Bagaimana semangat, visi dan missinya, berikut dinamika sebuah sekolah tertulis sekilas pada akhir bab ini. Tulisan terakhir pada bab ini adalah tentang kharakter pengelola sebuah sekolah yang memiliki visi dan missi dakwah. Jika kebanyakan para pengelola bermental karyawan maka keberadaan sekolah bukan agen transformasi social yang diidamkan dakwah tetapi hanya akan menjadi lembaga tempat bekerja untuk mendapatkan uang. Yang diinginkan adalah sikap mental pejuang dari para pengelolanya. Dengan sikap mental tersebut maka sekolah akan berfungsi sebagai agen transformasi social yang diidamkan dakwah. 
  11. Pada bab terakhir, akan ditemui satu bahasan yang bersifat eskatologis. Bukan bahasan tentang akherat tetapi bahasan tentang masa depan, baik masa depan dalam skala individu maupun social. Generasi idaman adalah generasi yang memiliki kharakter Nabi Yahya, Nabi yang menjanjikan kehidupan bagi sejarahnya. Namun demikian tidak mudah untuk melahirkan generasi Yahya tersebut. Tantangan yang menghadang sangatlah besar yakni banjir bandang informasi seperti yang saat ini terjadi. Jika tidak hati-hati dan punya sifat teguh pendirian maka generasi idaman itu tidak akan pernah lahir dalam sejarah. Dalam dimensi social, masa depan kemanusiaan juga tidak akan lahir begitu saja, tanpa rekayasa. Ajaran Islam telah memberikan inspirasi untuk umatnya dalam rangka memikirkan masa depan mereka. Terhadap ajaran Islam ini mestinya umat Islam berpedoman untuk berjuang mewujudkan masa depan. Hal-hal demikianlah yang akan pembaca temui dari buku ini. 
  12. Karena buku ini merupakan kumpulan tulisan yang dibuat berdasarkan moote penulis, bukan sengaja dibuat sebagai sebuah buku dengan thema tunggal. Dengan demikian independensi masing-masing judul bahasan akan sangat menonjol. Walaupun demikian semua tulisan masih tidak keluar jauh dari ranah dakwah, di mana penulis sementara ini menekuni bidang tersebut. Akhir kata semoga tulisan ini menjadi setets air dari sebuah samudra ilmu yang bermanbfaat bagi kehidupan. Dan kepada semua pihak yang telah memfasilitasi terbitnya buku ini kami sampaikan terima kasih. Semoga Allah SWT senantiasa membuka hati dan pikiran kita untuk menerima ilmunya.