SELAMAT DATANG DI BLOG PERUBAHAN SOSIAL

"Makkah adalah realitas empiris, Madinah adalah realitas ideal, jarak keduanya adalah amanah perubahan"

Minggu, 31 Januari 2010

AL QADIRU (ALLAH MAHA KUASA) asma’ al-husna 2

Diantara asma Alah adalah al Qadiru yang berarti Maha Berkehendak. Allah Maha Berkehendak artinya semua kehendak Allah pasti terlaksana. Al Qodiru juga berarti Maha Kuasa, Allah maha berkuasa dengan kekuasaan yang tanpa batas. Berbeda dengan manusia, ia juga erkehendak dan berkuasa tetapi kehendak dan kekuasaannya sangat terbatas. Ia bisa berkehendak dan melakukan apa saja asal sesuai dengan ukuran-ukuran Allah (sunatullah), dengan bahasa lain asal diijinkan dan sesuai dengan kehendaki Allah. Lebih dari itu tidak bisa.
Taqdir Allah atau kehendak Allah diantaranya dapat kita baca dan pahami baik dalam ayat kauniyah maupun ayat qauliyah. Ayat qauliyah Allah banyak dipahami dengan ilmu pengetahuan. Sedang kehendak Allah berupa ayat kauniyah terdapat dalam Kitab-Kitab suci-Nya. Kedua jenis ayat tersebut masing-masing sangat sempurna, lengkap, harmoni, seolah menunjukkan kemaha sempurnaan Sang pencipta serta pemiliknya, yakni Allah SWT. (Pebahasan tentang taqdir akan ada di bagian lain).
Untuk menjadi seorang hamba Allah yang kuasa melaksanakan kehendaknya, maka manusia perlu memahami dan melaksanakan serta mentaati atau menyesuaikan dengan dua kehendak Allah tersebut. Memahami serta mentaati salah satu dan meninggalkan yang lain dari dua kehendak Allah tersebut oleh manusia adalah sebuah penyimpangan atas kehendak Allah, yang berakibat merusak bagi kehidupan manusia khususnya dan kehidupan semesta umumnya.
Berbeda dengan kehendak manusia yang terbatas tersebut, kehendak Allah tidak terbatas. Ia berkuasa untuk melaakukan apa saja kalaupun sampai seolah melanggar sunatullah yang diciptakan untuk manusia. Beberapa contoh tindakan Allah yang melampaui sunatullah diantaranya adalah terdapat dalam kisah Nabi Zakariya serta Mariyam yang terdapat dapalm QS.19:1-34. Pada kisah Nabi Zakariya, diceritakan bahwa Zakariya adalah seorang yang sudah tua yang sangat kawatir terhadap masa depan generasinya. Untuk itu ia berdoa kepadaq Allah agar diberi anak untuk dapat mewarisi idealismenya. Namun keinginan itu sepertinya mustahil karena selain dirinya sendiri sudah tua, istrinya juga seorang yang mandul. Namun demikian, Allah kemudain mengabulkan doa Zakariya, memberinya anak yang bernama Yahya. Hal ini tampak adanya sebuah pelanggaran terhadap sunatullah. Suami yang tua serta istri yang mandul, mestinya tidak akan melahirkan anak. Namun Allah mengatakan bahwa yang demikian itu (seolah melanggaran sunatullah itu) mudah bagi Allah (9).
Demikian juga dengan kisah Maryam. Pada kelanjutan ayat-ayat alQur’an yang menceritakan kisah Zakariya, Allah menceritakan kisah Maryam yang tidak kalah hebat. Perhatikan QS.19:16-34, pada bagian ini Mariyam dikisahkan sebagai perawan suci yang suka munajat kepada Tuhanya di dalam mihrab. Namun demikian ia dikehendaki Allah untuk memiliki keturunan. Setelah mendengar informasi mengenai kehendak Allah tersebut dari malaikat Jibril, Mariyam terheran-heran, merasa hal itu mustahil karena ia seorang perawan yang belum pernah bersentuhan dengan laki-laki. Menjawab kesangsian Maryam ini kemudian Malaikat Jibril meyakinkan bahwa hal itu (melanggar sunatullah itu) mudah bagi Allah. Akhirnya Maryam pun dengan izin Allah mengandung dan melahirkan anak laki-laki yang bernama Isa. Bahkan keajaiban itu datang yang kedua dalam bentuk Isa yang masih bayi itu sanggup berbicara menjelaskan kepada masyarakatnya yang mempertanyakan status dirinya juga ibunya.
Banyak kisah serupa di dalam alqur’an yang menceritakan betapa kehendak Allah tidak dibatasi oleh aturan atau sunatullah. Diantaranya adalah terbelahnya lautan oleh tongkat Musa, tidak terbakarnya badan Ibrahim oleh api Namrut dan sebagainya. Ada diantara para mufasirin yang menakwilkan penafsiran terhadap beberapa ayat seperti ini sehingg semuanya bisa dipahami secara rasional. Namun bagi penulis sendiri lebih setuju untuk membeiarkan pemhaman yang agak tekstual ini karena memang demikianlah kekuasaan Allah yang tidak terbatas.
Dari semuanya dapat dipahami bahwa kehendak Allah pasti terjadi dan kekuasaan Allah Allah tidak terbatas. Di beberapa bagian alQur’an Allah menjelaskan bahwa jika Allah menghendaki sesuatu, maka Allah cukup mengatakan jadilah maka terjadilah sesuatu itu (QS.19:35 dan 36:82).
Mungkin karena pemahaman manusia akan sunatullah baik kauniyah maupun qauliyah yang terbatasi oleh akalnya, sehingga memahami tindakan Allah tersebut seolah Allah melanggar sunah-Nya sendiri. Atau ada sunatullah yang lain, yang belum dipahami manusia.
Diantara hikmah dari keeyakinan akan al qodiru ini adalah :
1. Seorang mukmin dengan keimanannya seharusnya menjadi pribadi yang sangat optimis dalam menghadapi keadaan seperti apapun. Walaupun keadaan tersebut sangat sulit dan menyesakkan dada. Karena bagi Allah SWT tidak ada hal yang sulit. Seorang mukmin senantiasa berharapan kepada pertolongan Allah dengan sabar dan shalat.
2. Yang justru harus dipersiapkan adalah kualitas kepribadian seorang mukmin agar dapat senantiasa dalam keimanan dan kataqwaan. Bukankah Allah sudah berjanji untuk memudahkankan semua persoalan yang mukmin hadapi asal ia bertaqwa. Wamanyataqillaha yaj’alahu makhraja. Waman yataqillaha yaj’alahu min amrihi yusra. Sebagaimana dua pribadi yang dicontohkan alQur’an yakni Zakaria dan Maryam, dia mendapatkan pertolongan Allah berupa keajaiban karena ia pribadi yang tulus dan murni.
Allahu a’lam

LIVING WITHOUT RELIGION

Pada dekade belakangan ini, kehidupan beragama sedang diuji terutama oleh issue agama sebagai sumber konflik. Mulai issue Palestina vs Israel, Irak-Iran vs PBB (USA), Afghanistan vs USA, Pakistan, hingga Mindanau vs Philipina. Beberapa contoh Negara-wiyaha konflik di atas sekalipun bukan konflik agama un-sich tetapi setidaknya mengkaitkan issue konflik dengan issue agama. Palestina misalnya, mungkin orang dapat mengatakan adalah issue politik pendudukan Israel atas Palestina, akan tetapi Islama vs Yahudi adalah issue yang tidak terpisah dari padanya. Belum lagi adanya issue terorisme internasional yang membawa-bawa Islam sebagai agama pem-back up. Perancis adalah salah satu negara Eropa yang kemudian paling vulgar mengambil sikap setidak-tidaknya anti simbolisasi agama dalam wilayah public.
Berbagai issue tersebut seolah-oleh menguatkan tesis 5 abad yang lalu ketika di dataran Eropa lahir renaissance (gerakan pencerahan kembali yang aslinya pencerahan pemikiran manusia dari pendudukan pemikiran keagamaan, pemikiran ketuhanan). Dari Renaisance tersebut kemudian lahirlah paradigma metode ilmiah. Dengan metode ilmiah ini lahirlah ilmu-pengetahuan modern yang berkembang hingga saat ini. Sekulerisme paham yang memisahkan kehudpan dunia dengan kehidupan keagamaan pun berkembang secara integral dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Bahkansekulerisme ini hingga saat ini menjadi arus besar yang mendominasi segala isme dalam kehidupan manusia. Akhir dari cerita sejarah di atas adalah Tuhan atau agama memang pantas disingkirkan dari kehidupan manusia. Kalaupun agama boleh hidup hanya pada wilayah privat, yakni hubungan seorang manusia dengan Tuhannya, di luar itu adalah wilayah larangan bagi Tuhan atau agama untuk campur tangan. Dipicu oleh alasan ini saya ingin mengajak kita semua kembali pada permasalahan mendasar yakni mungkinkah manusia hidup tanpa agama. Mungkinkah akal manusia hidup tanpa wahyu. Mungkinkah manusia hidup tanpa Tuhan.
Manusia memang tanpa bimbingan wahyu telah memiliki potensi untuk dapat berpikir mengenai hal-hal teknis bahkan abstrak tentang kehidupannya. Mereka dapat mengenal sesamanya, binatang, dan lingkungannya, berikut bagaimana berinteraksi dengan semua itu. Bahkan manusia dengan akalnya dapat berpikir dan berkesimpulan akan adanya Tuhan sebagai suatu keharusan dari terciptanya alam semesta. Dal am alQuran misalnya kita temukan beberapa ayat yang menyatakan bahwa ketika orang-orang kafir ditanya siapa yangb telah menciptakan alam semsta mera menjawab Allah. Diantara ayat tersebut adalah (QS.31:25). Tentu saja pemikiran manusia tersebut spekulatif. Kita bisa menyaksikan suatu pemikiran yang semula dianggap benar pada suatu masa kemudian diketahui salahnya dan digantikan dengan pemikiran yang lain. Pemikiran manusia tentang Tuhan dalam sepanjang sejarah kehidupan mungkin adalah ekspresi dari keinginan azali manusia untuk bertuhan. Bahkan menurut alQur’an, sejak beberapa waktu dalam kandungan, manusia yang masih berupa janin sudah mengikrarkan janji pengakuaan akan ketuhanan Allah (QS.7:172). Sehingga secara normative kita bisa menyimpulkan bahwa ketika manusia dalam hidupnya mengingkari adanya Tuhan berarti ia melakukan pemberontakan terhadap kata hatinya sendiri. Dengan kata lain pengingkaran terhadap Tuhan adalah suatu yang mustahil dalam hidup manusia. Jika demikian secara normative, bagaimana dalam sejarah?
Sejak zaman kuno mungkin zaman pra sejarah, manusia sudah “mencari-cari” siapa Tuhannya. Namun demikian Tuhan yang mereka temukan adalah tuhan yang sangat alamiah dalam dzat maupun sifat-sifatnya. Tuhan masih berupa kayu, batu, angin dan sebagainya. Inilah Tuhan dalam agama animism dan dinamisme. Dalam sejarah agama, animism dan dinamisme ini adalah cikal bakal dalam evolusi agama, dalam perkembangannya kemudian lahirlah agama monotheisme. AlQur’an kembali menyinggung hal ini melalui kisah Nabi Ibrahim yang dengan akalnya mencari dan menemukan Tuhan Yang Maha Pencipta (QS.
Pada beberapa abad sebelum masehi manusia-manusia cerdas zaman Yunani telah mengerahkan segala daya berfikirnya untuk menemukan siapa sebenarnya Tuhan itu, bagaimana hubungannya dengan alam dan manusia, dan issue-issue mendasar lainnya. Mereka adalah Socrates, Aristoteles, Plato. Pemikiran mereka adalah luar biasa pada zamannya. Namun demikian tentu masih bersifat spekulatif.
Dengan akalnya memang manusia dapat megenal Tuhan, namun demikian temuan tersebut tentu bersifat spekulatif, tidak memiliki tingkat kepastian yang definitive. Tuhan hasil pencarian akal ini masih terbatas dengan sifat-sifat umumnya, misalnya sang pencipta, yang maha kuasa, dan sebagainya. Siapa Dia yang sebenarnya? Bagaimana sifat-sifatnya sebagaimana dijelaskan oleh agama (baca:Islam) tidak dapat ditemukan oleh akal manusia. Dia bernama Allah SWT, Dia serba maha; pengasih, pemurah, kuasa, suci, mengetahui, mendengar, pemelihara, pemberi rizki, sabar, pengampun, adil, dan sebagainya tidak dapat ditemukan oleh akal. Akal juga tidak dapat menemukan konsep tentang akherat, alam kubur, mizanul amal, surga, neraka, pahala, siksa, malaikat, syetan dan sebagainya. Dengan kta lain, bagaimanapun hebatnya pemikiran manusia tetap saja adalah spekulatif, general, jauh dai kepastian dan tidak terperinci, dan akhirnya menghasilkan tingkat keyakinan yang keropos jauh dari kokoh.
Atas dasar keimanan spekulatif tentang Tuhan yang serba terbatas inilah bangunan tentang sistim kehidupan didirikan oleh manusia saat itu. Sebelumnya mereka juga berusaha untuk menemukan serta memahami siapa sebenarnya manusia dan juga alam. Dari pemahaman tentang Tuhan, manusia dan alam tersebut kemudian manusia (melalui para filosof) berfikir tentang kehidupan. Mereka mulai berfikir mengapa, untuk apa kehiduapan ini ada. Apa hakekatnya hidup, dari mana asal dan sampai di mana akhirnya. Bahkan pemikiran mereka berlanjut sampai pokok-pokok hal yang agak terperinci, misalnya politik, ekonomi, pertanian, hingga moralitas dan seni. Kita bisa membayangkan, atas dasar keyakinan yang spekulatif atau tidak pasti seperti ini, kemudian mereka rancang makna kehidupan. Tentu juga sekitar ketidakpastian (absurditas hidup).
Allah SWT Sang Pencipta manusia dan alam tentu lebih mengetahui sampai dimana kapasitas pemikiran makhluqnya. Demikian juga tentang keterbatasannya memahami keberadaan Tuhan, dirinya sendiri dan alam. Itulah karena itu, sejak manusia diciptakan Allah SWT dengan rahman dan rahimnya mengutus para Nabi dan Rasul untuk menyampaikan risalah-Nya guna menuntun pemikiran manusia hingga sampai pada kebenaran definitive. Nabi Adam, Ibrahim, Musa, isa, hingga Muhammad SAW. Diutus untuk manusia. Namun dasar manusia sering tidak tahu diri, sehingga seringkali mereka menolak pertolongan tuntunan Allah tersebut, mengingkari kehadiran para Nabi utusan Allah.
Bahaya hidup tanpa Tuhan
Pengingkaran manusia akan tuhan bukan tanpa akibat dan dampak terhadap kehidupan manusia itu sendiri. Tuhan adalah pusat transendensi dari kehidupan ini. Pengingkaran kepada Tuhan berarti pengingkaran terhadap semua dimensi transenden dari kehidupan. Kehidupan tanpa transendesni adalah kehidupan yang tiada makna kecuali kehidupan yang terdistorsi maknanya menjadi kehidupan yang sekali dan duniawi ini. Tidak ada makna di luar yang bersifat duniawi. Jawaban akan persoalan transenden seperti mengapa, untuk apa, apa hakekat hidup, semuanya terbatas dengan jawaban duniawi. Hidup ya sekarang dan di sini. Tidak ada akherat. Yang ada adalah the here after yang absurd. Tidak ada pahala dan siksa, yang ada adalah guna yang pragmatis. Nilai guna pun adalah guna bagi hidup sang sekali , di sini dan saat ini. Tidak ada nilai kebenaran, kebaikan dan keindahan yang lebih mulia dari pada hidup yang sekali, di sini, dan saat ini. Jika keyakinan yang merupakan sumber nilai ini rapuh maka seluruh nilai di atasnya juga rapuh dan tanpa tujuan yang jelas dan pasti.
Semangat renaissance yang kemudian melahirkan metode ilmiah dan ilmu pengathuan seperti saat ini adalah semangat untuk melanjutkan warisan pemikiran filsafat Yunani, yang juga disebut dengan helenisme. Adalah semangat untuk tidak melibatkan Tuhan dalam pemikiran tentang rancang bangun kehidupan. Kehidupan cukup dipikirkan oleh manusia. Dengan kata lain manusia adalah pusat kehidupan semesta. Aliran ini dalam istilah filsafat dikatakan dengan humanism.
Hakekat yang paling substantive dari manusia adalah indera dan akalnya. Itulah karenanya dalam epistimologi ilmu pengetahuan, empirisme(indera) dan rasionalisme (akal) adalah satu-satunya metode untuk mendapatkan kebenaran ilmiah. Di luar yang rasional dan empiris dianggap nihil oleh ilmu pengetahauan.
Pada dataran onologis, hakekat yang ada adalah kenyataan empiris. Tidak ada kenyataan di luar kenyataan empiris. Kehidupan adalah dunia empiris ini saja. Keberkahan, ketaqwaan, kesucian hati, kebersihan jiwa, halal, haram, ridlo Tuhan, dosa, akherat, surge, neraka, syetan, adalah tidak lebih dari dongeng (hasil imagenasi) manusia kuno). Yang penting adalah benar (logika), indah dan guna dalam makna duniawi semata. Bagi kalangan ilmiah perut dan di bawah perut adalah segala-galanya.
Oleh karena itu, tidak perlu kaget jika pada dataran aksiologi, di mana etika berada, tidak dikenal baik buruk menurut pertimbangan keyakinan agama. Semuanya bersifat pragmatis, untuk kepentingan sekarang dan di sini.
Akhirnya wajar pula jika kebudayaan dan peradaban yang dilahirkan adlah kebudayaan dan peradaban yang serba materialistic, egois, eksploitatif terhadap alam, dan merusak. Kerusakan yang diakibatkan oleh kebudayaan renaissance adalah kerusakan multidimensi. Dari kerusakan spiritual-moral,individual- social, dan fisikal-lingkungan. Apakah ada kerusakan yang lebih hebat dari ketiganya? Apakah ada bahaya dari bahaya kehiduapn yang dirancang tanpa agama dan tanpa Tuhan????????
Alahu a’lam.

Rabu, 27 Januari 2010

MEMAHAMI ASMAUL HUSNA 1

Allah memiliki al asmau al husna (nama-nama yang baik). Kesemuanya ada 99 nama. Kesemua nama dalam asmau al husna juga menunjukkan sifat-sifat mulia Allah SWT. Nama-nama itu mesti dipahami sebagai satu kesatuan integral, dan dengan sendirinya akan mengantarkan pada pemahaman tauhid (ke-Esaan Allah SWT).

Al-Rahman dan al-Rahim
Secara bahasa berarti maha pengasih dan maha penyayang. Maha pengasih karena melebihi sifat paling pengasihnya makhluq. Jika makhluq yang paling pengasih adalah seorang ibu, maka pengasih Allah jauh di atas pengasih ibu.Jika seorang ibu mau memberikan apa saja untuk anaknya, tentu-tentu dengan keterbatasan-keterbatasannya, misalnya; tidak semua yang diminta anak diberi ibu, ibu memeberi yang ia bisa dan mau berikan, walaupun sesuatu itu sangat dibutuhkan anaknya, bahkan bisa jadi pemberian ibu itu sesuatu yang berbahaya buat anaknya (pemberian yang salah).
Jauh diatas itu adalah pemberian Allah SWT. Ia memberikan semua kebutuhan makhluq, dengan pemberian yang pasti tepat waktu, tepat tempat, dan tepat ukuran. Hal itu karena, Allah memberikan sesuatu dilandasi ke-Maha Tahuan Allah, dan tentu dengan kehendak yang tiada berpenghalang. Pemberian Allah itu pemberian yang sempurna. Luput dari kesalahan, kekurangan dan cacat. Allah memberi jantung, paru-paru, dan oragan-oragan lain kepada semua makhluq yang membutuhkan, dengan ukuran yang sesuai, walaupun kita tidak pernah memintanya. Bagaimana dengan makhluq Allah yang terlahir dalam keadaan cacat?

Ini ada suatu contoh. Ketika kami tinggal di suatu perumahan di kota Semarang, kami bertetangga dengan orang yang buta (cacat mata). Mereka dua orang, suami dan istrinya. Alhamdulilah anak-anaknya tidak buta. Dengan satu kaca mata (perspektif) semua orang pasti iba kepada mereka. Bahkan tentu ada yang sampai bersuudzan kepad Allah SWT. Tetapi apa yang membuat penulis harus melihat dengan sudut pandang lain? Mereka tidak memanfaatkan “kekurangan” dirinya untuk meminta belas kasih kepada sesama makhluq. Mereka hidup mandiri, si bapak sebagai tukang pijat, dan si ibu membuka warung di rumahnya. Bahkan belakangan mereka juga membuka warung makan. Puncak keheranan campur keharuan dan kekaguman saya adalah ketika hampir setiap jam 03.00 dini hari, bapak yang buta tersebut sudah membangunkan kami untuk mengambil air wudlu dan melaksanakan shalat tahajud.

Subhanallah….. Bertolak dari ajakan-ajakan yang hampir tiap malam tersebut lantas timbul rasa malu kepada diri saya sendiri. Apakah saya, kita yang diberi “indera lengkap” ini memiliki rasa syukur sehebat syukur mereka itu? Jangan-jangan justru congkak dan sombong yang kita miliki dibalik “kesempurnaan” kita. Apakah kita memiliki sikap rendah hati (tawadlu') sehebat rendah hati mereka? Apakah kita memliki sikap kebergantungan kepada Allah yang sedemikian tinggi seperti yang mereka miliki karena “cacat” nya itu? Akhirnya, saya samapai pada kesimpulan; bukankah cacat mereka adalah kesempurnaan yang Allah berikan kepada mereka? Dengan demikian apakah ada yang cacat dalam penciptaan Allah. Maha suci Allah dengan prasangka-prasangka tidak pas. Allah adalah pencipta terbaik ( ahsanu al khaliqin)

Sedangkan al-Rahim adalah Maha Penyayang. Kecuali Maha pengasih, Allah juga Maha Penyayang.Rasa sayang Allah juga luar biasa. Sayang Allah kepada makhuqnya jauh di atas rasa sayang orang tua kepada anaknya.
Rasa sayang Allah diantaranya berkeitan dengan pemberian Allah akan petunjuk (hidayah) kepada semua makhluknya, terutama binatang dengan indera, akal, dan hati yang bekerja dalam bentuk instingnya, dan kepada manusia selain Allah berikan indera, akal, hingga hati, Allah juga memberikan kepada manusia petunjuk (hidayah) untuk menjalani kehidupan. Diantara isi petunjuk itu adalah hadiah berupa pahala dan ancaman berupa siksa neraka. Siksa terutama, bukan berarti Allah kejam kepada manusia. Siksa akan diberika kepada yang melanggar petunjuk. Melanggar petunjuk adalah sesuatu yang membahayakan diri yang bersangkutan, atau bahkan semua manusia. Bahkan dengan sayangnya Allah juga akan mengampuni kesalahan semua makhluqnya kecuali pelanggaran berupa syirik. Pelangagran syirik tidak diampuni karena syirik adalah pangkal kerusakan kehidupan. Dengan tidak akan diampuni, berarti agar sejahat apapun manusia tidak sampai berada pada posisi pangkal kejahatan dan kerusakan. Para ulama abad pertengahan menjelaskan al Rahman ini hanya akan diberika kepada orang yang berimana dan bertaqwa. Hal ini dapat dipahami, karena kita sering kali juga melakuklan hal demikian.

Sebagai contohnya, sepulang bepergian jauh kadang kita memberikan oleh-oleh kepada semua tetangga tanpa pilah-pilih. Tetapi dari semua tetangga itu, yang masuk di dalam hati kita tentu adalah tetangga yang baik, notabene tetangga yang bersikap dan berprilaku sesuai dengan yang kita kehendaki. Bukankah hal yang sama juga pantas dan wajar dimiliki Allah. Dan itu semua bukan untuk Allah tetapi untuk manusia itu sendiri.

Wallahu a’lam.

RASIONALIS VERSUS META RASIONALIS

Sudah agak lama kami mendengar dan memahami bahwa rasionalisme (mendewakan akal) adalah anak dari humanisme (mendewakan manusia) adalah moyangnya ilmu pengetahuan modern. Kebenaran adalah semua yang lulus uji rasional. Selebihnya adlah ketidak benaran. Karena baik humanisme maupun rasionalisme berarti juga membatasi atau mnganggap tidak ada campur tangan Tuhan dalam kehidupan manusia, demikian juga turunannya yakni ilmu pengetahuan. Jadi ilmu pengetahuan dan agama adalah dua dunia yang berbeda bahkan tidak saling kenal dan sapa. Benarkah demikian? Bukankah baik agama, yang berusia jauh lebih tua dari ilmu adalah ajaran yang berbicara tentang kebenaran? Demikian juga ilmu pengetahuan? Bukan kah semestinya keduanya bersatu? Persoalan ini mungkin juga menggelitik benak diantara kita bukan.

Beberapa waktu yang lalu, dalam suatu majlis taklim ibu-ibu Malam Sabtu-an kami membaca sekaligus mencoba untuk memahami terjemah ayat-ayat al Qur’an. Tepatnya kami bertemu dengan QS.18:60-82). Ayat-ayat alQur’an terebut berbicara tentang kisah atau dialog anatar Nabi Hidhir dengan Nabi Musa. Begini intinya; Nabi Musa mengadakan perjalanan hendak ketemu Hidhir, Allah memberi tanda pertemuan dengan Hidhir akan terjadi di tempat pertemua dua arus air lautan bersamaan dengan hilangnya ikan bekal perjalanan Musa dan pembantunya (nabi Ysha) (60-64). Pertemuan dengan Hidhir benar terjadi di tempat teresebut, hingga Musa memaksa mengikuti Hidhir karena hendak berguru, walaupun Hidhir memperingatkan bahwa Musa tidak akan kuat lama mengikutinya karena kurang sabar (65-70). Perjalanan keduanya pun dimulai. Di beberapa tempat dalam perjalanan itu, Musa terheran-heran dan bingung terhadap prilaku Hidhir yang baginya tidak sesuai dengan kaidah nalar Musa. Pertama, Hidhir melubangi perahu yang masih sangat bagus yang ditumpanginya. Tentu saja Musa heran. Saya juga sangat heran mengapa perahu bagus harus dilubangi? Hingga Musa pun protes terhadap Hidhir. Dan Hidhir merasa benar dugaannya bahwa Musa tidak kuat lama berjalan dengannya (71-73). Di tempat lainnya Musa kembali merasa aneh dan memprotes prilaku Hidhir yang tiba-tiba membunuh anak laki-laki yang tidak terlebih dahulu berbuat kesalahan (74-76). Dan ujung dari perjalanan bersama Musa dengan Hidhir adalah ketika Musa kembali memprotes prilaku Hidhir yang tidak mau meminta upah atas jasanya menegakkan kembali tembok yang hendak rubuh, pada hal ia dalam kesulitan bekal dalam perjalanan itu (77-78). Akhirnya perpisahan keduanya pun harus terjadi. Namun sebelumnya Hidhir menjelaskan tentang ketiga prilaku anehnya itu. Bahwa mengapa ia melobangi perahu? Perahu itu miliki orang miskin, yang jika tidak dilobangi atau dibuat cacat, maka perahu itudi seberang akan dirampas oleh penguasa kafir (79). Bahwa Hidhir membunuh anak baik-baik karena orang tuanya sangat shaleh. Jika tidak dibunuh anak itu nantinya akan menjadi durhaka pada Allah dan bahkan mengkafirkan orang tuanya. Dengan dibunuh orang tua itu akan selamat dari kekfiran dan nantinya akan mendapatkan ganti anak yang shaleh (80-81). Bahwa Hidhir tidak mau menerima upah atas jasanya, karena di bawah tembok itu tersimpan harta benda anak yatim peninggalan orang tuanya yang shaleh, yang harus diselamatkan dari ancaman orang-orang kafir. Penyelamatan itu dilakukan Hidhir dengan menutupkan kembali tembok di atas harta benda tersebut. Hidhir yakin bahwa nanti pada saat yang tepat anak yatim itu akan menemukannya . Dan dibalik semua prilaku anneh Hidhir tesebut adalah atas perintah Allah SWT, bukan kemauan Hidhir pribadi (82).

Kisah dan dialog Hidhir dan Musa dalam alQur’an tersebut saya pahami sebagai kisah dan dialog antara dua paradigma kebenaran yang berbeda. Hidhir mewakili paradigma metharasional, sedang Musa mewakili paradigma rasional murni. Kita sebagai rasionalis, --karena terlanjur diprogram menjadi rasionalis oleh lingkungan terutama pendididkan kita—awalnya tentu membenarkan paradigma Musa. Tetapi apan yang terjadi ketika kita mengetahui hikmah di balik prilaku Hidhir? Bukankah kita ikut menyesali protes Musa. Coba kalau Musa tidak protes terus, kana akan banyak lagi hikmah yang dapat kita ambil dari prilaku anneh Hidhir.

Musa adalah kita, yang keras kepala memegangi pengalaman kita sebagai satu-satunya pengalaman akan kebenaran. Bahkan karena egoisme rasionalitas kita, kita curiga atau berprasangka buruk terhadap prilaku-prilaku Hidhir yang sampai saat ini bahkan sampai kapanpun akan sering kita temui, yang tidak lain adalah prilaku Allah SWT. Karena Hidhir bertindak atas perintah Allah. Kita kurang atau bahkan tidak yakin alias ingkar ( kufur) akan ayat qauliyah dan kauniyah Allah.

Terhadap perintah infak atau shadaqah misalnya, kalau tidak karena ramat Allah kepada kita, bukankah egoisme rasionalitas kita cenderung banyak berbicara menolak perintah itu. Padahal betapa hebat hikmah dibalik pelaksanaan perintah infak dan shadaqah itu dapat kita rasakan. Terhadap perintah dakwah dan jihad (mengajak orang lain dengan lesan dan perbuatan untk taat kepada Allah), rasionalitas kitapun berbicara mending kita pasif untuk berdakwah, yang penting kita sendiri shaleh. Kalau tidak karena rahmat Allah pada kita, kita tidak begitu yakin akan imbalan Allah kepada orang yang melakukan dakwah. Terhadap larangan Allah agar kita tidak jatuh hati kepada kemewahan dunia tetapi untuk jatuh hati kepada kebahagiaan akherat pun demikian kita sikapi. Kalau tidak karena Rahmat Allah kepada kita, rasionalitas kita berbicara jangan-jangan akherat nanati benar-benar ada, baiklah kita taat epada Allah, toh kalua akherat nanti ternyata tidak ada, kita kan tidak rugi amat.

Ketaatan kita kepada rasionalitas pada satu sisi dan menolak kepada kebenaran meta rasional Hidhir adalah pertanda bahwa kita sebenarnya belum menjadi mukmin dan muslim sejati. Bukankah mukmin dan muslim itu adalah orang yang memilki iman yang murni 100 % dan selanjtnya menyerahkan kediriannya kepada kehendak Allah SWT. Kehendak Allah itulah paradigma meta rasional. Mampukah kita????
Ya Allah tunjukkan yang benar itu tampak benar dan beri kami kekuatan untuk mengikutinya, dan tunjjukkan yang salah itu tampak salah dan beri kami kekuatan untuk menghindarinya.
Wallahu a’lam.

Kamis, 21 Januari 2010

REORIENTATION OF DAKWAH PARADIGM From Subjective-Normative to Objective-History•

Preface
That one of ironical fact in this moment, in one side dakwah activities were acted intensively and extensively everywhere, but in the other side degradation of Indonesian moral –moslem majority-- be happened everywhere too. As long as we know, there were dakwah with many kind and type from majelis dzikir (dzikir forum) until majelis ta’lim (Islamic learning forum) in Indonesia. But impossible to be denied, if high number of crime and moral badness happened in Indonesia. As Islamic institution for muslim community development, dakwah must be responsible for the ironical fact. What was wrong in the dakwah so it’s failure.

Dakwah : Phenomenology perspective
Phenomenology perspective is the scientific method which to try to understand to the phenomena in the foundamental and essentials level. In the phenomenology perspective the reality of dakwah consist of two part; the first, essentials of dakwah. It’s the foundamental reality. Based on it, the body of dakwah in the empirical level be constructed. Beside that, the character of dakwah essentials is not contaminated by particulars and historycal reality. The second, dakwah empirical level. In this level dakwah as the form. It’s historically, particularly, and plurally.
The essential dakwah consist of faith, assumption, and orientation of dakwah. All of the element above were could paradigm of dakwah. In phenomenology perspektif, what was happened in dakwah empirical reality depends on essential dakwah.

Dakwah : Empirical level
A lot of moslem understand to dakwah as tabligh un sich – lecture activity only, so the main course of dakwah is just for lecturing of Islam. The main orientation of dakwah messages are eschatology problem, halal and haram (law) problem. Dakwah was oriented to community development is very limited.
In the phenomenology perspective, the fact of dakwah based on normative- subjective paradigm. Normative-subjective paradigm is a system of faith and assumption, which convinced that script and religious symbol as single-trust. By this paradigm, the past histories fact is script, it’s not many interpretation out side of the script for historical fact. As result, all follower of this paradigm give more orientation to the past than to the future.
In the level of scientific, the normative-subjective paradigm influence to construction of dakwah theories. In the epistimological level, the deductive-rationality used more than inductive-rationality. As result, the scientific discovery in dakwah science is very limited. A lot of dakwah books writed by normative paradigm followers.
In the level of practice, dakwah was understood as the ritual action only, which be actualized traditionaly. Dakwah doesn’t need action professionally, and reality planning. Dakwah ultimate goal is happyness in world and here after. That is not measurable. Dakwah action did not actualized by program plan, so dakwah community can’t evaluate dakwah action. It’s not based on empirical social reality, so dakwah action are not real. In the short, dakwah is acted
traditionally, contradiction with modern method.

Solution
By looking at the main problem of dakwah, we must do reorientation of dakwah paradigm. It’s the intelectual project. I hope academic community of dakwah become pioneer for doing that intelectual project. Normative-subjective paradigm must be changed with objective-history paradigm. What is the meaning of objective-history paradigm? It’s system of faith or assumption which convinced that the thrust come from both, the scripture and social-cultural back-ground. Both of them can be differed each ather but can’t be separated.
In Fazlurahman thought, the main message of Islam consists of two part. They are ideal-moral message and legal-formal message. Legal-formal message is different from ideal-moral massage, becouse the legal-formal message contains of historical load. Therefore, formal-legal is historically, and ideal-moral is universally. By Fazlurrahman perspective, we must take ideal-moral message to be realized in social-cultural reality today. If we take legal-formal message to day meant back to the past. It’s impossible. If we use normative-subjective paradigm, it’s same as we take legal-formal message of Islam.
When the first paradigm recommended us to construct dakwah-theories building with rationally-normativelly, so the second paradigm recommended us to construct dakwah theories building with rationally and objectivelly. By this this way, we will able to act scientific research in dakwah regions. It’s mean, there will be many scientific discoveries in dakwah. There will be many new theories. In this level, dakwah academic will get new spirit and new dynamics.
Dakwah in empirical level, the second perspective emphasize to empirically planning before dakwah action. In this moment, social mapping is very important for dakwah.
This way, we will be succesfull to realiz dakwah as agent of social change. Dakwah will make solution of social problem. And at last, dakwah as rahmatan lil ‘alamin will be realized.
Wallahu a’lam bishawab

VISI DAKWAH VISI KEHIDUPAN

Dakwah secara bahasa berasal dari kata da’a, yad’u, dakwatan yang berarti memanggil, menyeru, dan mengajak. Sebagai suatu istilah, dakwah adalah upaya mengajak umat manusia untuk kembali kepada jalan / sistim Allah secara menyeluruh baik secara lesan meupun perbuatan, sebagai ikhtiar muslim untuk merealisasikan Islam dalam kehidupan individu(fardiyah), keluarga (usrah), kel;ompok (jama’ah), masyarakat (ummah), dalam semua segi kehidupan secara terorganisasi sehingga terbentuk khairu ummah.
Dakwah merupakan kegiatan yang sangat tua setua usia manusia, karena dakwah sudah dilakukan sejak Nabi Adam as. Sebagai sebuah ajakan kepada sistim Allah, Adam telah mengajak semua anaknya (Qabil dan Habil) untuk berkurban, sebagai tanda ketaatan kepada Allah SWT. Demikian seterusnya, para Nabi dan Rasul selalu diutus Allah untuk mengajak umat manusia kembali ke jalan hidup-Nya, hingga yang terakhir adalah diutusnya Nabi Muhammad SAW untuk mengajak manusia hingga akhir zaman taat kepada Allah.
Ketika zaman kenabian sudah usai, semua ummat Muhammad diminta Allah melanjutkan misi dakwah tersebut. Kita dapat temukan banyak ayat al Qur’an yang menyatakan permintaan Allah tersebut. Misalnya QS. 3:104, 110, 17:125). Mengingat perintah atau permintaan Allah ini ditujukan untuk semua manusia muslim tanpa terkecuali, sedang dakwah sering disalah fahami sebagai tabligh (orangnya mubaligh) dengan segala kecakapan bicara didepan umum, maka peintah dakwah ini seolah perintah yang tidak semua orang dapat melaksanakannya, karena sedikit saja orang yang berkemampuan berbicara kepada khalayak. Untuk itu perlu pelurusan pemahaman terhadap dakwah ini.
Kualitas Diri
Tentu kita sepakat bahwa merealisasikan materi ajakan untuk diri sendiri harus lebih didahulukan dari pada mengajak orang lain. Kita mengajak shalat anak kita misalnya tidak akan evektif jika kita sendiri tidak mengawalinya. Demikian juga dengan ajakan dakwah kita. Langkah pertama adalah merealisasikan Islam dalam diri kita.
Tujuan akhir dakwah adalah masyarakat dengan kualitas khairu ummah /ummat terbaik (QS.3:110). Untuk mencapai tujuan akhir tersebut diperlukan tujuan antara yakni khairu jama’ah (golongan/himpunan/kelompok terbaik), khairu jama’ah memerlukan tujuan antara lagi yakni khairu usrah (keluarga terbaik). Dan keluarga terbaik memerlukan tujuan antara yakni khairul bariyah. Jadi khairul bariyyah adalah syarat paling awal harus dipenuhi untuk bisa mencapai tujuan akhir dakwah. Bagaimana kreteria khairul barriyah? Manusia berkualitas khairul barriyah adalah manusia yang memiliki kualitas iman yang prima dan kemudian ditransformasikan menjadi amal shaleh (QS.98:7). Transformasi Iman ke amal shaleh harus melalui prisma pemedar iman yakni pola berpikir .

1. Mengimankan hati
Yang paling inti dalam Islam adalah aqidah, keimanan atau keyakinan bahwa Allah adalah tuhan yang tunggal. Sebagai inti ajaran, maka keyakinan ini harus diposisikan sebagai keyakinan dasar dalam diri seseorang. Sebagai keyakinan ia bersemayam dalam hati, karenanya tidak tampak secara lahiriah. Namun demikian keyakinan ini sangat penting dan menentukan seluruh konstruk kepribadian, baik itu cara berpikir, sikap hingga tingkah laku. Nabi Muhammad SAW menjelaskan posisi keyakinan ini melalui sabdanya, “Sesungguhnya pada diri seorang anak Adam ada segumpal darah, jika ia baik maka baik seluruh tubuhnya, jika ia buruk maka buruk seleuruh tubuhnya. Segumpal darah itu adalah hati.” Ibarat konstruksi bangunan, maka keyakinan hati ini laksana fondasi. Ia harus kokoh tertanam didalam tanah, jika kita menginginkan bangunan itu kuat.
Matan kayakinan bagi seoraqng muslim tidak cukup hanya percaya bahwa Allah adalah sesembahan tunggal. Lebih dari itu semua sifat Allah harus diyakini, mulai dari wujud, kuat, perkasa, berdiri sendiri, berbeda dengan makhluq, pencipta, pemberi rizki, pemurah, pengasih, adil, melihat, mendengar, lembut, bijaksana, penolong, tempat bergantung semua makhluqnya,dan sebagainya. Semua sifat itu Allah sendiri yang mendiskripsikannya dalam berbagai ayat Al qur’an yang disebut dengan al-asmaul husna (nama-nama yang baik). Kurang mempercayai sebagian dari sifat Allah ini bukan saja menjadikan keimanan muslim rapuh, tetapi juga akan mengganggu sistim keberimbangan I’tikat hatinya, mengganggu pula bangunan sistim keimanan. Akibatnya yang lain adalah keterbelahan kepribadiannya kelak.
Keimanan kepada Tuhan Allah SWT adalah dasar bagi keimanan pada yang lain, mulai dari malaikat, Nabi, Kitab suci, hari akhir, hingga taqdir. Seorang yang yakin akan Maha Pintarnya Allah, percaya tidak mungkin salahnya Allah akan membawa konsekuensi percaya pada seluruh isi kitab Al Qur’an. Percaya pada isi kitab AlQur’an akan membawa keyakinan pada akan datangnya saat qiyamat, hari akhirat dan sebagainya.
Sebelum bertemu dengan sistim keyakinan tersebut, sebenarnya secara primordial (dari sononya) seorang manusia telah diberi bekal berupa watak atau sifat hati yang fitri –baca: bertauhid. Fitri atau fitrah ini memmang tidak secara jelas dan konkrit meyakini Allah sebagai Tuhan dengansegala sifatnya tersebut di atas. Namun masih berbentuk kecenderungan kepada kebenaran, kemuliaan, keindahan… dan kualitas-kualitas positif lainnya. Nabi Muhammad SAW juga bersabda: “ Setiap bayi lahir dalam keadaan fitri. Bapak Ibunya yang menjadikan ia Yahudi, Nasrani atau Majusi…”. Karena kebenaran adalah ekspresi ketuhanan, sehingga ia tunggal, seperti tunggalnya Allah. Sebagai contoh, seorang perampok adalah jahat, tidak benar dikatakan tidak jahat. Oleh karenya semua manusia membencinya. Bahkan perampok itu sendiri sebnarnya membenci prilaku dan predikatnya itu. Buktinya, ia pasti tidak menginginkan anaknya juga menjadi perampok.
Ini adalaha modal yang luar biasa bagi manusia , karena hati akan selalu menyuarakan kebenaran bagi si empunya hati, kapan dan dimanapun. Namun ia juga laksana cermin, bisa sangat bersih sehingga sangat jelas bayangan di dalamnya. Bisa juga ia kotor, sehingga sama sekali tidak jelas bayangan di dalamnya. Bahkan ia juga bisa rusak sehingga sama sekali tidak berfungsi. Noda adalah segala bentuk pemberontakan kepada suara hati yang dilakukan si pemilik hati. Inilah hakekat penutupan hati yang dilakukan Allah kepada hati orang kafir. Tugas dakwah hakekatnya adalah uapaya memfungsikan kembali hati ini bagi semua manusia.
Dengan demikian pertemuan seorang manusia dengan Islam adalah pertemuan seorang musafir dengan rumah aslinya sendiri. Pengingkaran terhadap Islam menjadikan manusia merasa tinggal di rumah orang lain, yang tentu akan merasa terasing, jauh dari rasa kerasan, tentram, nyaman dan damai. Jika seorang manusia senantiasa hidup dengan Islam, maka pada saatnya nanti jika ia harus meninggalkan dunia ia akan kembali kepada asal-muasalnya yakni tauhid, dengan rasa senang, dan disenangi oleh Dzat asalnya. Dalam term alQur’an ridlo dan diridloi (QS.89:28, 98:8).

2. Mengimankan pikiran
Kualitas diri tidak cukup pada kuatnya keimana hati, namun harus dilanjutkan pada kesalehan pola berfikir atau mind set. Pola berfikir dapat dianalogikan dengan prisma yang akan memedarkan cahaya yang datang dari hati. Tidak saja dibutuhkan prisma yang berkualitas prima, tapi juga prisma dengan ukuran dan pola yang pas, sehingga cahaya dapat perpedar secara efektif dan maksimal.
Pola berpikir yang saleh adalah pola berpikir yang memiliki kesadaran akan keterbatasannya, seraya tunduk pada yang Adikodrati (Allah SWT) . Ada kebenaran di atas kebenaran rasional (metha-rational), ada kenyataan di atas kenyataan empiris (metha empirical). Antara dua kebenaran itu sejalan tidak saling menegasikan. Begitu juga dengan adanya dua kenyataan tersebut. Kebenaran di atas rasio dan empiris itulah kebenaran wahyu. Adalah menyatunya akal dan wahyu menjadi inti dari pola berfikir saleh.
Pada dataran yang lebih teknis, kebenaran tidak saja diperoleh dengan memberdayakan nalar tetapi juga dapat diperoleh dengan memberdayakan hati. Antara nalar dan hati bekerja secara integral, tidak terpisah atau bahkan bertentangan. Nalar berpikir keras tentang objeknya yaitu seluruh sistim alam semesta. Sedang hati giat mendekatkan diri dengan pencipta alam semesta. Hasil dari olah nalar dan olah hati adalah pemahaman terhadap sistim alam semesta yang didasarkan pada sikap rendah hati, serta orientasi yang jelas untuk menggapai ridlo Allah SWT (QS.3:190-191).
Untuk memahami secara lebih jelas hal tersebut, ada baiknya jika kita memahami pola berpikir yang tidak saleh. Yakni pola berpikir sekuler, ateis, pagan dan sebaginya. Bagi yang disebut terakhir, agama harus dibatasi pada wilayah gerak hubungan personal-individual manusia dengan Tuhan. Teks ajaran agama hanya membuat saleh seorang manusia ketika berhadapan dengan Tuhan, bukan dengan sesamanya. Hubungan manusia dengan sesamanya ada aturannya sendiri , demikian juga hubungan manusia dengan alam. Dan aturan itu manusia sendiri yang membuatnya tidak boleh ada campur tangan Tuhan. Manusia adalah binatang, sama dengan simpanse, kera, dan monyet. Yang berbeda hanya kapasitas berpikirnya. Ukuran kebenarannya adalah yang menguntungkan dirinya sekalipun merugikan yang lain. Ukuran moralnya adalah yang mengenakkan dan menyenangkan bagi dirinya.
Demikian halnya ketika menusia sekuler memandang alam. Alam adalah barang temuan secara kebetulan. Tidak perlu ada tujuan dan maksud dibalik penciptaan dan keberadaan alam. Semangat menggauli alam adalah semangat untuk mengeksploitasi. Etika menggauli alam adalah etika “sepanjang aman” bagi diri atau bangsanya. Boleh tempat ibadah di bangun, tetapi tidak untuk di pasar dan kantor. Wajar jika akhirnya alam digauli secara brutal demi memuaskan watak rakus dan tamak manusia sekuler. Akhirnya wajar pula jika membangun sama nilainya dengan merusak (QS. 2: 11-12). Menurut mereka, kerusakan adalah ekses pembangunan. Itulahprinsip kotor dalam teori-teori kaum sekuler.
Ada juga kaum agamawan yang berpola pikir sekuler. Mereka membenarkan teori kaum sekuler, bahwa agama adalah urusan akherat. Mereka menerima konsep etika kaum sekuler, ukuran baik dan buruk dalam hal kehidupan duniawi adalah urusan nalar manusiawi bukan agama. Baik buruk dalam politik ya urusan nalar politik. Biasanya mereka menyatakan, “jangan berkhutbah dalam berpolitik, berekonomi, berkesenian dan sebagainya. Politik adalah politik itu sendiri, ekonomi urusan ekonomi, seni untuk seni. Agama bagi mereka adalah konsep untuk mendapatkan kebahagiaan di akherat, bukan untuk kehidupan dunia. Kan dunia sudah ada yang ngatur yakni ilmu pengetahuan ilmiah. Sedang ilmu pengetahuan yang dimaksud adalah rasionalisme dan empirisme sebagai intinya. Jadi yang menentukan benar salah, baik buuruk adalah manusia semata, bukan Tuhan. Roger Garaudi seorang mantan intelektual sekuler bahkan ateis yang kemudian menjadi muslim, menyebut mereka seperti “membaca teks-teks agama dengan mata orang mati.” Agama adalah barang antik, barang pajangan, yang tidak ada hubungan fungsional dengan kegiatan hidup manusia. Agama tidak ada dalam ranah politik, ilmu pengetahuan, ekonomi, arsitektur dan sebagainya. Agamawan model ini lebih suka berdebat dalam hal-hal yang sifatnya ibadah-ritual, hingga mereka lupa pada tujuan ibadah yakni hadirnya kualitas taqwa. Mereka lupa bahwa sebenarnya mereka hanya mutar-mutar di “jalan” tidak pernah membayangkan yang di ujung jalan yakni tujuan. Paling luas dari wilayah agama adalah mengupayakan ketentraman semu di hati manusia, tetapi tidak akan pernah menjadikan agama sebagai solusi atas permasalahan ummat. Sehingga tidak ada perbedaan antara istilah cerdas dengan culas, alim dengan licik. Pada hal keduanya sebenarnya berada pada dua kutub utara dan selatan. Bertentangan secara diametral. Yang satu benar dan yang lain salah.

3. Mengimankan sikap dan prilaku
Sikap dan prilaku adalah sisi luar atau ekspresi dari kepribadian seseorang. Sebagai ekspresi kepribadian sikap dan prilaku sebenarnya adalah fungsi dari hati dan pikiran seseorang. Jika hati adalah sumber instruksi, pikiran membahasakan instruksi, maka sikap dan prilaku adalah bentuknya. Sikap dan prilaku inilah sisi yang tampak dan kasad mata dari kepribadian seseorang.
Sikap dan prilaku memiliki wilayah cakupan sangat luas. Semua aktivitas manusia dari bangun tidur hinggaa mau tidur itulah wilayahnya. Mulai sikap dan prilaku terhadap diri sendiri, orang lain dan terhadap alam serta lingkungannya. Jika diurai sikap dan prilaku meliputi makan, minum, berpakaian, bertempat tinggal, berkeluarga, bertetangga, bertani, berpendidikan, berjual beli, berpolitik, berilmu pengetahuan, berteknologi, berkesenian, hingga berpertahanan.
Jika kita amati dan teliti, ajaran Islam --baik yang terkandung dalm al Qur’an maupun implementasinya oleh Rasulullah Muhammad SAW yang tercatat dalam al Hadits,-- memiliki penjelasan tentang semua persoalan hidup di atas. Jika ayat al Qur’an berbicara masalah penguasa (ulil amri), maka Nabi menerapkannya dalam bentuk politik, Nabi adalah seorang kepala negara dan pemerintahan, bahkan Ia seorang panglima perang saat itu. Begitu juga ketika alQur’an berbicara bagaimana tata sosial ekonomi dibangun, maka Nabi menerapkannya dalam bentuk sabda dan prilaku jual beli, ada lembaga baitul mal, zakat, infak, sedekah dan sebagainya. Ringkasnya, Nabi buka hanya penyiar agama melalui khutbah dan majlis taklim. Jika alQur’an menjelaskan bagaimana berkehidupan sosial dari keluarga hingga bertetangga dan bermasyarakat, maka Nabi mengamalkan dalam bentuk sikap dan prilaku sebagai seorang suami, seorang bapak, seorang tetangga, dan bermasyarakat. Nabi bukan hanya mengajarkan bagaimana menyembah Tuhan dalam bentuk shalat, puasa, dzikir, dan haji. Lebih dari itu, semua wilayah sikap dan prilaku dapat kia temukan rujukannya dalam diri nabi sebagai penerima wahyu dan pembawa risalah Islamiyah. Itulah makanya AlQur’an menyatakan bahwa ajaran Islam telah lengkap dan sempurna sebagai risalah terakhir Allah bagi kehidupan manusia, melanjutkan dan meluruskan risalah Nabi-Nabi sebelum Muhammad SAW (QS.5:3). Abul A’la al Maududi dalam bukunya yang berjudul Karakteristik Ajaran Islam, menjelaskan secara sangat gamblang tentang kesempurnaan Islam tersebut.
Jika ketiga komponen kepribadian tersebut (hati, akal dan jasad lengkap dengan fungsinya keyakinan, pemikiran dan sikap serta prilaku) telah diimankan maka lengkap sudah keberimanan dan kesalehan seseorang. Dalam sejarah Islam, pembinaan Nabi untuk menghasilkan kepribadian mukmin para sahabatnya dilakukan lebih awal dari pembinaan masyarakat mukmin. Kita mengenalnya melalui pereodisasi sejarah Islam; makah dan madinah. Pada pereode Makah inilah penggemblengan kepribadian dilaksanakan. Dengan berdasar pada pereode Makah, pembangunan tata sosial mukmin dilakukan pada pereode Madinah. Bahkan pereode Makah memakan waktu lebih lama yakni 13 tahun dari pereode Madinah yang hanya 10 tahun.
Wallahu a’lam.

Rabu, 20 Januari 2010

SEKOLAH BERKHARAKTER DAN CERDAS

i
Di puncak perkembangan dunia atas bimbingan ”agama” rasionalisme dan empirisme, yang konon telah mengantarkan kehidupan manusia pada tahap kemajuan yang luar biasa saat ini, masyarakat dunia mulai cemas dan khawatir. Ternyata peradaban modern dengan sain dan teknologinya, disamping memberikan kemudahan bagi kehidupan manusia di satu sisi, pada sisi yang lain juga mendatangkan dampak negatif yang sangat mengkawatirkan. Berbagai krisis terjadi di mana-mana, mulai dari krisis sumber daya alam; menipisnya cadangan bahan bakar minyak dan gas, polusi darat, laut, dan udara; krisis sosial kemanusiaan, maraknya penzoliman antar manusia, minimnya keadilan, lunturnya kasih sayang dengan sesama, semua itu manifes dalam bentuk terjadinya berbagai konflik antar bangsa dan negara; hingga runtuhnya sendi-sendi moral-spiritual masyarakat dunia. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa titik teratas dari perkembangan metode ilmiah dan sekaligus pandangan dunia baru adalah krisis multi dimensi dalam kehidupan manusia (Michel Scumacher: Kecil Itu Indah, 1987).
Dalam bahasa Al Qur’an dikatakan bahwa kerusakan baik di darat maupun di laut adalah akibat dari ulah tangan manusia. (QS. Ar Rum :41). Persoalannya adalah manausia dengan kharakter yang bagaimana yang prilakaunya merusak kehidupan ini?

ii
Jika kita mau sedikit filosofis, baca: mendasar, melihat kharakter manusia sekarang atau manusia modern adalah manusia yang terlalu percaya diri sehingga tidak memerlukan Tuhan dalam kehidupannya. Keyakinan ini adalah inti dari humanisme abad 16.
Inti dari pandangan dunia yang baru ini adalah kepercayaan yang berlebihan kepada manusia (human being), sebagai penguasa tunggal alam jagad raya ini. Memang Tuhan pernah ada, tetapi hanya menciptakan alam dengan seisinya beserta hukum-hukumnya saja, kemudian ia tidak berarti apa-apa. Tuhan identik dengan aturan alam ini saja. Tidak ada tempat bagi Tuhan yang bersifat personal. Tidak ada mistisime dan metafisika.
Yang menonjol dari humanisme adalah penuhanan terhadap rasionalisme dan empirisme. Keduanya berpandangan bahwa pada dasarnya dunia ini memiliki arti yang dapat dipahami yakni arti matematis. (Cran Brinton, Pembentukan Alam Pikiran Modern, 1981). Selanjutnya rasionalisme dan empirisme ini menjadi ruh (spirit) bagi lahirnya ilmu pengetahuan baru. Ilmu pengetahuan ini, baik dalam arti sebagai satu satuan pengetahuan ilmiah yang terkumpul dan tersusun maupun dalam arti sebagai suatu cara penyelesaian masalah (yaitu metode ilmiah), tidaklah berurusan dengan metafisika—baca: agama. Jadi rasionalisme dan empirisme cenderung untuk menyingkirkan Tuhan serta keghaiban yang ada di dunia ini. Yang ada hanyalah sesuatu yang belum diketahui dan nanti suatu saat akan dapat terungkap dengan penelitian yang menggunakan metode ilmiah. Rasionalisme dan empirisme telah menggantikan agama dalam fungsinya sebagai landasan dan petunjuk kehidupan manusia.

iii
Pada dataran institusional, lembaga pendidikan, tempat di mana ilmu pengetahuan model rasionalisme dan empirisme dikembangkan dan diajarkan, merasa cukup ideal jika bisa memproses peserta didiknya menjadi manusia yang cerdas nalar intelektualnya pada satu sisi, sambil mencampakkan kecerdasan hatinya pada sisi yang lain. Dengan demikian manusia yang lahir dari proses pendidikan dengan paradigma intelektual intelegence adalah manusia yang kehilangan keberimbangan dalam kepribadiannya. Denagn istilah lain adalah manusia yang mengalami split personality. Al Qur’an menyindir manusia model demikian dengan manusia yang mengalami kebutaan bukan pada mata kepalanyaa tapi buta pada mata hatinya. Sehingga wajar jika manusia dengan kharakter tersebut, melakukan pembangunan dengan cara merusak pada segala dimensinya. Perhatikan dan renungkan QS.2 : 6-12.
Jika kita mengamati realitas kehidupan saat ini, kita dapat membenarkan orang yang menyimpulkan bahwa krisis yang melanda dunia saat ini adalah krisis yang komprehensip, mulai krisis spiritual, intelektual, sosial, hingga fisikal. Kehidupan ini sudah kehilangan pegangan spiritual-moral; peduli apa dengan hal-hal yang diluar empiris, Tuhan, rahmat, berkah, surga, neraka, akherat, dan seterusnya. Kebenaran sudah mengalami distorsi makna. Kebenaran yang ada hanya benar secara rasional. Jika akal mengiyakan tidak ada lagi persoalan. Jika ada persoalan pada akibat, itu adalah persoalan lain. Pada hal kebenaran akal adalah kebenaran logika-formal. Dalam bidang kesejahteraan ekonomi misalnya, dengan dalih hak individu harus dihormati, kebebasan untuk memiliki harta, tidak perlu dipedulikan adanya kekayaan yang menumpuk pada sebagian kecil orang di tengah-tengah masyarakat banyak yang mengalami kemiskinan dan kelaparan. Secara sosial pun demikian. Manusia kehilangan rasa sosial sedemikian parahnya, bahkan komunitas sosial yang paling inti yakni keluarga, untuk saat ini tidak manusia pedulikan. Pembunuhan sadis terjadi di mana-mana bahkan pada anak mereka sendiri. Begitu juga tindakan kriminal-seksual yang tidak masuk di dalam akal manusia itu sendiri. Demikian juga kerusakan fisikal. Alam untuk saat ini dapat diakatakan dibatas akhir toleransinya. Pemanasan global, krisis sumber daya alam, polusi pada semua bagian alam ddan sebagainya adlah diantara bentuk kerusakan yang terjadi. Lalu kemudian apa yang bisa dilakukan. Satu hal prinsip dalam al Qur’an dinyatakan bahwa bagaimanapun keadaannya kita harus tetap optimis. Putus asa hanyalah bujukan syetan.

Oleh karena itu yang kita perlukan pada era kecemasan dan kekhawatiran global saat ini adalah kembali lahirnya manusia yang tidak saja cerdas tetapi juga memiliki kharakter kuat dalam kepribadiannya. Lembaga yang harus mengambil tanggung jawab lahirnya manusia yang berkharakter kuat dan cerdas tersebut adalah semua lembaga yang secara alangsung maupun tidak melaksanakan pendidikan yang dikenal dengan educational networks yakni keluarga, lingkungan dan sekolah.
Sebagaimana dikatakan Howard Gardner dalam bukunya Frames Of Mind, 1983, dikenal setidaknya delapan macam kecerdasan, mulai dari kecerdasan intelektual, emosional, spiritual, spasial, kinestetik, intrapersonal, interpersonal, musical, linguistic, harus dikembangkan secara integral, simultan dan komprehensif.
Lembaga pendidikan yang berfokus pada pengembangan kecerdasan majemuk harus dirancang sedemikian rupa sehingga seluruh system di dalam unit pendidikan, mulai dari kurikulum, SDM atau guru, sarana dan prasarana, hingga budaya dalam lingkungan unit pendidikan tersebut bersinergi satu dengan yang lain mengarah pada terwujudnya visi unit pendidikan tersebut. Jika salah satu saja dari komponen dalam sistem tersebut tidak berjalan, maka seluruh proses akan terganggu, dan akhirnya gagal berfungsi yang semestinya.
Sedangkan pendidikan karakter, mengharuskan unit pendidikan tidak semata-mata melakukan transfer of knoledge semata, tatapi lebih dari itu, yaitu harus juga berfungsi pada penanaman moral, nilai-nilai etika, estetika, budi pekerti yang luhur dan lain sebagainya. Pemberian penghargaan (prizing) kepada yang berprestasi, dan hukuman (punishman) kepada yang melanggar, menumbuhsuburkan (cherising) nilai-nilai yang baik dan sebaliknya mengecam dan mencegah (discowaging) berlakunya nilai-nilai yang buruk mestinya berlaku di lembaga tersebut. Selanjutnya menerapkan pendidikan berdasarkan karakter (characterbase education) dengan menerapkan ke dalam setiap pelajaran yang ada di samping mata pelajaran khusus untuk mendidik karakter, seperti; pelajaran Agama, Sejarah, PKN, dan sebagainya.
Adapun strategi yang dapat digunakan untuk pembentukan kharakter meliputi pengajaran, keteladanan, pembiasaan, dan juga do’a. Ini semua memerlukan guru atau siapapun yang terlibat dalam proses kegiatan belajar mengajar harus terlebih dahulu memiliki kepribadian yang berkharakter kuat. Dan tidak boleh dilupakan bahwa nilai-nilai etik dan moral sesungguhnya berbasis pada agama. Dengan kata lain sekolah yang berbasis agama yang kuat memiliki peluang besar untuk menjadi alternatif melakukan pendidikan untuk melahirkan manusia yang BERKHARAKTER DAN CERDAS. Demikian juga rumah tangga dan keluarga yang merupakan lingkungan pembentuk dan pelaku pendidikan karakter pertama dan utama harus lebih diberdayakan oleh unit pendidikan. Sebagaimana disarankan Philips, keluarga hendaklah kembali menjadi school of love, sekolah untuk kasih sayang (Philips, 2000) atau tempat belajar yang penuh cinta sejati dan kasih sayang (keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warrahmah).
Wallahu a’lam.

Selasa, 19 Januari 2010

MENGAPA UMAT ISLAM TERBELAKANG

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. (qs. Ali Imran 110).


Islam adalah jalan hidup yang sempurna bagi manusia (QS. Al Midah: 3). Al Qur’an adalah kitab petujuk, pembimbing, rahmat bahkan juga obat bagi kehidupan manusia pada umumnya dan orang-orang bertaqwa khususnya (QS.Al Baqarah: 2; Al An’am :157; QS. Ali Imran 138). Bertolak dari beberapa ayat al Qur’an di atas, mestinya sangat wajar jika kaum muslimin, dengan jalan hidup Islam dan atas petunjuk Al Qur’an, mendapat kesuksesan hidup baik secara pribadi maupun sebagai ummat. Namun mengapa kenyataannya justru sebaliknya ? Umat Islam pada zaman modern ini sedang dilanda keterbelakangan hidup, kemiskinan dalam ekonomi, kebodohan dalam bidang ilmu dan teknologi, bercerai-berai dalam bidang sosial-politik. Apakah berarti Allah mengingkari firman-Nya sendiri ? Apakah berarti kitab suci Al Qur’an tidak lagi bisa dipercaya ? Atau kenapa kemunduran Islam sampai terjadi ?
Menurut Syaqib Arsalan seorang ulama Mesir , penyebab kemunduran Umat Islam ada empat; 1. Mereka jauh dari alQur’an dan Sunnah; 2.Mereka bermental minder (inferiarity Complex); 3. Mereka taqlid buta; 4.Mereka berpecah belah.

Umat Islam Jauh dari Al Qur’an dan Al Sunah
Al Qur’an dan Sunnah adalah sumber utama ajaran Islam. Keduanya dapat menjadi petunjuk, rahmat, dan obat bagi kehidupan umat, jika keduanya dibaca, dikaji, dan diamalkan isinya. Namun dalam kenyataan hidup sehari-hari, sudahkah Al Qur’an dan Hadits menjadi bacaan, sumber kajian, dan secara konsisten (teguh) menjadi pedoman hidup umat Islam ? Jawaban atas pertanyaan tersebut tentu kita sudah tahu. Lebih banyak diantara umat Islam yang masih jauh dari Al Qur’an dan Al Sunnah. Keduanya jarang di baca, jarang dikaji, sehingga tentu saja juga jarang dipedomani. Akibatnya, banyak sikap dan prilaku hidup umat yang jauh bahkan sering bertentangan dengan kitab sucinya.

Umat Islam Bermental Minder
Rendah diri atau minder adalah sikap mental yang memandang dirinya serba lemah, kekurangan dan tidak mampu, dan sebaliknya melihat orang lain sebagai pihak yang kuat, dan lebih sempurna. Dengan mental ini, akan muncul sikap silau melihat orang lain, sehingga perlu mencontoh secara membuta, sekalipun harus kehilangan jati dirinya. Manusia seperti ini adalah model manusia pembeo, tidak kreatif dalam berkarya. Akibatnya, manusia bermental demikian selamanya akan ketinggalan di belakang. Banyak diantara umat Islam yang silau melihat cara hidup Barat, sehingga mereka secara membabi buta menirunya. Mulai dari gaya rambut, model dalam pergaulan, hingga cara berpikirnya pun meniru Barat. Diantaranya adalah berpikir serba materi. Materi mendasari pola pikir dan prilaku hidupnya. Dalam hal berbudaya umat Islam merasa maju dan pede kalau berbudaya Barat, sebaliknya minder dengan cara hidup Islam. Na’udzu billah.

Taqlid Buta
Penyebab kemunduran lain adalah taqlid buta. Adalah sikap mencontoh dengan tanpa berpikir dalam beragama. Banyak sekali ayat Al Qur’an yang menyuruh kita berpikir, diantaranya melalui kata-kata: Afala ta’qilun (apakah kamu tidak menggunakan akalmu) , afala tatafakarun (apakah kamu tidak berpikir). Namun dalam kenyataannya, banyak kegiatan keagamaan kita, kita lakukan dengan mencontoh, tanpa tahu mana dasarnya, mengapa harus dilakukan, untuk apa tujuannya dsb. Sikap seperti ini disebut taqlid. Sikap ini muncul sebagai akibat dari sikap merendahkan potensi akal. Karena sikap taqlid buta inilah sejarah Islam dipenuhi tradisi tahayul (hal-hal yang tidak masuk akal), bid’ah (tambahan yang tak perlu dalam agama) dan khurafat. Al Qur’an melarang kita taqlid buta (QS. Al Maidah : 104) Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul". Mereka menjawab: "Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya". Dan apakah mereka akan mengikuti juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?

Berpecah-Belah
“Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh” kata pepatah tersebut paling pas untuk diterapkan pada umat Islam sekarang ini. Seruan al Qur’an untuk persatuan umat (QS. Ali Imran :103): “ Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai”, tidak lagi dilaksanakan. Ormas dan Orpol Islam saling tidak akur satu dengan yang lain. Bahkan negara Islam satu tidak harmonis dengan negara Islam lain, atau setidaknya kurang persatuan diantara mereka. Akibatnya potensi umat Islam yang beragam dan banyak tidak banyak bermanfaat untuk kemajuan umat Islam, bahkan bisa jadi malah menghambat. Padahal Jumlah muslim didunia telah mencapai satu meliar atau seperlima penduduk dunia. Andaikata mereka semua bersatu maka tidak saja mereka akan maju, bahkan mereka akan disegani oleh umat yang lain. Diantara cara menjaga persatuan adalah sikapi perbedaan sebagai karunia Allah sekaligus sunatullah yang tak dapat dihindari, dan hayati bagian persamaannya. Bukankah karena perbedaan itu justru akan saling melengkapi antara satu bagian umat dengan lainya ? Kesadaran dan semangat persatuan umat Islam ini tampaknya sudah redup dari hati pemimpin-pemimpin Islam. Akibatnya kekalahan demi kekalahan telah dan sedang umat Islam alami.
Demikianlah faktor-faktor yang menyebabkan umat Islam hingga kini masih dilanda keterbelakangan hampir disegala bidang. Jika kita ingin keluar dari belenggu keterbelakangan itu tidak lain kecuali dengan cara menghilangkan kelima factor di atas. Yakni kembali pada Qur’an dan Sunah, percaya diri, hindari taqlid, dan jaga persatuan. Marilah kita mulai dari sekarang, dari diri kita, dan dari hal yang mungkin. Insya Allah.

Jumat, 15 Januari 2010

Dakwah Rasional: Dakwah Berbasis Pemberdayaan Umat

I. Dakwah Rasional :Pendahuluan
Dakwah adalah pelanjut missi kerisalahan para Nabi. Watak risalah Islamiyah adalah rahmat bagi seluruh alam (QS. AL Anbiya’: 107). Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. Untuk menjadi rahmat maka risalah dakwah mestinya menjawab problema sosialnya (bukan menambah masalah). Oleh karena itu dakwah akan berhasil jika ia dilaksanakan berdasar analisa terhadap problem sosial dimana dakwah akan berlangsung. Atas dasar problem sosial itu maka tujuan, target, pendekatan, bentuk action, materi, pelaku, sarana yang dibutuhkan dapat dirumuskan.
Ormas Islam modernis seperti Muhammadiyah tidak boleh mendasarkan gerakannya pada azas tradisional, melainkan harus konsisten dengan azas rasionalnya. Dengan demikian gerakan dakwahnyapun harus rasional. Gerakan dakwah rasional adalah gerakan dakwah yang terencana, dengan skala waktu, tempat, skala masalah, dan skala tujuan yang jelas dan terukur. Hanya dengan skala yang serba terukur, keberhasilan suatu gerakan dakwah dapat dievaluasi evektifitas serta evisiensinya dalam mencapai tujuan dakwahnya. Dengan dakwah yang terencana, akan dapat dihindari segala hal dalam dakwah yang tidak penting.
Perencanaan yang baik adalah perencanaan yang dapat digunakan sebagai acuan perjuangan kedepan secara evektif dan efisien, berdasarkan analisa kekuatan, kelemahan, peluang, hambatan dan tantangan yang dapat diperkirakan. Itulah karenanya perencanaan dibagi menjadi perencanaan jangka panjang (PJP), perencanan jangka menengah (PJM) dan jangka pendek (PJD). PJP harus diturunkan habis kedalam PJM, PJM dapat diturunkan menjadi PJD.

II.Problematika Dakwah Di Pracimantoro-Wonogiri
Sudah bukan rahasia bahwa Pracimantoro khususnya, wilayah Karesidenan Surakarta Hadiningrat pada umumnya adalah wilayah yang jauh dari pemikiran dan tradisi Islam. Ke-Islaman masyarakatnya adalah “Islam KTP” atau masyarakat abangan dalam term. Clifort Geert. Tradisi demikian adalah tradisi khas masyarakat pedalaman Pulau Jawa.
Sangat berbeda dengan ke-Islaman masyarakat pesisir utara Jawa, dengan Islam yang lebih dalam dan kuat. Kenyataan tersebut tentu bukan tanpa alasan. Pesisir utara Jawa, adalah wilayah pusat penyiaran agama Islam oleh para wali sejak abad 15 yang lalu.
Dalam peta penyebaran Islam di Pulau Jawa, sasaran pertama dakwah Islam adalah kalangan kraton. Dari Karton inilah kemudian Islam menyebar di kalangan masyarakat pedalaman –eks wilayah kraton Surakarta dan Yogyakarta Hadiningrat. Tanpa harus mengurangi nilai jasa dan peran kraton dalam penyebaran Islam, kraton bukanlah entitas netral –tidak punya kepentingan. Selain kraton menempati posisi sebagai penjaga tradisi-budaya Jawa, kraton juga pusat kekuasaan, tentu sangat membutuhkan legitimasi untuk memperkuat kekuasaannya. Oleh karena itu, ketika mereka juga berperan sebagai pendakwah Islam, dapat dikatakan kraton sangat berkepentingan terhadap dakwah. Dengan kata lain, kraton menempatkan politik dan budaya sebagai lebih utama dari dakwah Islam. Hal inilah yang menyebabkan Islam di pedalaman Jawa bukan Islam puritan tetapi Islam yang sinkritis. Pada giliran berikutnya, warna Islam sinkritis senantiasa mewarnai keberagamaan masyarakat pedalaman ini. Bahkan hingga kini.
Sebagai akibat Islam sinkritis inilah, masyarakat Islam pedalaman Jawa juga memiliki pengetahuan dan komitmen yang lebih tipis dari masyarakat pesisir utara. Ketika mereka melakukan penyimpangan terhadap ajaran agama, selain mereka belum tahu ajaran yang sebenarnya, ketika mereka tahu juga tidak sebegitu dlam rasa penyesalan mereka. Bahkan di lingkungan pedalaman ini, muslim taat akan dikucilkan karena dianggap menyimpang dari koridor adat atau budaya mereka. Islam yang “meng-adat” atau sinkritis adalah status quo bagi masyarakat Jawa pedalaman. Inilah akar keberagamaan masyarakat Surakarta-Yogyakarta dan sekitarnya, khususnya Pracimantoro-Wonogiri.
Faktor lain yang juga berpengaruh kuat adalah, kondisi geografis. Masyarakat Wonogiri ke selatan mayoritas masyarakat petani yang kurang beruntung. Hal ini disebabkan oleh kondisi geografis yang kurang subur dan kurang luas untuk pertanian, sehingga mayoritas mereka adalah petani penggarap, atau buruh tani. Pendapatan mereka dari mata pencaharian pokok tentu jauh dari kebutuhan sehari-hari.
Problema ini bertambah ketika kita membaca peta politik pembangunan yang kurang mendukung mereka. Pertanian adalah sector tidak begitu mendapat perhatian pemerintah. Jika ada perhatian atau kebijakan yang memihak mereka, tidak ada jaminan kebijakan tersebut sampai pada sasaran –masyarakat bawah. Sehingga dengan demikian nasib masyarakat petani di manapun menjadi semakin tragis, apa lagi yang kebetulan tinggal di sekitar Wonogiri. Pastilah akibatnya miskin menjadi predikat mereka selain predikat petani. Dari sini dapat dikatakan kemiskinan di Wonogiri belum tentu karena etos kerja mereka yang buruk, tetapi patut diduga kerena factor di luar itu.
Guna mempertahankan hidup akhirnya masyarakat Wonogiri menjadi masyarakat urban di berbagai kota besar. Hal ini membanggakan sekaligus memprihatinkan. Membanggakan karena, mereka menang dalam berperang dengan kemiskinan, tetapi kalah berhadapan dengan keadaan lingkungan mereka.
Persoalan yang lain yang sepersusuan dengan kemiskinan adalah kebodohan akibat rendahnya tingkat pendidikan. Akibat akhirnya adalah rendahnya kualitas SDM. Dengan kualitas SDM rendah dapat diduga bahwa masyarakat sekitar Wonogiri baik yang urban di kota maupun asli kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Jika disurvei, akan disimpulakan bahwa kebanyakan mereka menjadi buruh kasar, pedagang asongan, dan bahkan banyak juga yang sebenarnya tidak bekerja, pekerjaan kadang ada kadang tidak. Akibat samping dari rendahnya tingkat pendidikan dan SDM adalah sikap mereka yang permisif pada budaya asing yang diharamkan agama, dan kebiasaan luhur moyang masyarakat. Kadzal fakru anyakuna kufran.
Dari prealitas-realitas tersebut akhirnya dapat dipahami mengapa di sekitar wilayah Wonogiri berlaku adagium amar munkar dan nahi ma’ruf laris, amar ma’ruf nahi munkar menangis.
Dari uraian singkat di atas dapat disimpulkan bahwa problematika dakwah di Wonogiri pada saat-saat ini hingga beberapa dekade mendatang masih sama, yakni minimnya pengetahuan dan komitmen agama, yang berakar rendahnya tingkat pendidikan dan kualitas SDM, serta tingginya angka kemiskinan.

III. Perlunya Dakwah Berbasis Ekonomi
Dengan memperhatikan problematika dakwah di atas maka master plain dakwah di Wonogiri khususnya dapat di buat. Diantaranya adalah mengacu pada jangka waktu pembentukan SDM berkualitas misalnya 25 tahun ke depan. Untuk membuat master plain seperti itu tentu sangat diperlukan diskusi pakar serius. Tapi baiklah kita berpikir sederhana saja. Tujuan jangka panjang dakwah di muka bumi ini adalah untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang adil, makmur, dan diridloi Allah di dalam istilah al Qur’an disebut Khairu Ummah. Adil adalah suasana social di mana seluruh sendi kehidupan mulai dari hukum, politik, ekonomi, pendidikan dan keamanan, dilandasi asas keadilan. Artinya dapat dinikmati oleh semua yang bmemiliki hak, yaitu semua lapisan masyarakat tanpa terkecuali. Makmur adalah suasana ekonomi dimana masyarakat hidup sejahtera, berkecukupan, tidak dililit hutang dan kemiskinan. Sedangkan diridloi Allah adalah suasana spiritual masyarakat yang beriman, taat kepada Allah, jauh dari tindakan yang bertentangan dengan agama (munkar).
Selanjutnya, tujuan jangka panjang tersebut harus diturunkan menjadi lima tahap tujuan jangka pendek. Misalnya Dakwah Jangka Pendek (DJP I) bertujuan membangun infrastruktur kehidupan, mulai dari penyiapan kader dakwah dengan kualitas SDM yang memadai diseluruh sector kehidupan, serta penyiapan infrastruktur ekonomi, dan social. Pada tahap ini berarti mempertinggi tingkat pendidikan ummat. Berbagai beasiswa mestinya kita sediakan. Yang lain tentu paradigm pendidikan harus menumbuhkan semangat berwirausaha.
DJP II bertujuan untuk memanfaatkan SDM dakwah dalam bidang ekonomi, social, kesehatan, pendidikan yang telah tersedia pada PJD I, dengan harapan terjadi pemberantasan kemiskinan melalui penyiapan lapangan kerja. Pada tahap ini berarti menumbuhkan mental community interprenership serta membuka peluang kerja yang sebanyak-banyaknya.
DJP III bertujuan untuk konsolidasi, pemantapan dan pemerataan hasil DJP II ke seluruh wilayah dakwah. DJP IV bertujuan untuk mengembangkan hasil-hasil DJP II dan III. Sedang DJP V bertujuan untuk mempertinggi ketahanan tatanan kehidupan yang sudah terbangun.
Uraian singkat tersebut di atas pada dasarnya hanya pemikiran sepontan yang masih perlu didiskusikan secara mendalam. Lebih dari itu adalah penegasan bahwa dakwah adalah social engineering. Dengan demikian dakwah tidak dapat dilaksanakan sambil lalu tetapi harus penuh keseriusan dan terencana.
Selain itu, hal lain yang pelu ditegaskan juga di sini adalah dalam rangka menghadapi persoalan dakwah yang sangat komplek di atas, maka dakwah di Praci mestinya bertujuan untuk membasmi akar persoalannya yakni meningkatkan pendidikan, berantas pengangguran, dan kemiskinan, seta berikan penyuluhan ke-Islaman.
Karena luas serta dalamnya persoalan dakwah di wilayah ini maka dakwah harus melibatkan hampir seluruh komponen masyarakat, dakwah partisipatif. Setiap lembaga dakwah harus melibatkan sebanyak-banyaknya masyarakat untuk berpartisipasi medukung seluruh proses dakwahnya. Mulai dari roses pemikiran, pendanaan, hingga pelaksanaan proses dakwah yang multi bidang tersebut.
Di sinilah ormas Islam yang mengakar di masyarakat sangat berpeluang untuk berhasil. Sebaliknya sifat elitis dari pergerakan harus dieliminir. Ke sini pula Muhammadiyah Wonogiri diantaranya harus berbenah merevitalisasi dirinya. Seluruh sel organisasi harus dibangun dan dioperasikan secara maksimal. Sel-sel mati yang mengganggu harus dibuang.
Sudah barang tentu, pendekatan dakwahnya tentu tidak lagi mengandalkan pendekatan dakwah bil lisan un sich, seperti selama ini dilaksanakan. Melainkan harus dengan pendekatan yang multi sektor. Dakwah dalam pendidikan merupakan keharusan pertama untuk menyiapkan kader dakwah di masa datang. Pendirian Pondok pesantren modern yang bersifat umum hingga yang spesialistik interpreneurship pertukangan, peternakan, pertanian adealah sangat penting. Demikian juga Sekolah formal dari tingkat dasar, menengah pertama dan atas adalah tak kalah penting.
Di masyarakat luas, juru dakwah bukan ahli ceramah saja tetapi lebih dari itu ia harus berperan sebagai konsultan pengembangan masyarakat, yang bekerja dalam bidang spiritual keagamaan, ekonomi dan social secara simultan. Dari pemikiran ini maka setiap kader dakwah harus memiliki jamaah tetap di wilayahnya masing-masing untuk dibina. Jamaah itulah yang akan diarahkan bersama-sama dirinya untuk berkembang secara social dan ekonomi, serta berlandaskan agama. Dari gerakan semacam ini maka secara perlahan tetapi pasti kita mulai merubah masyarakat menuju tatanan ideal Islam. Lebih dari itu dakwah tidak mengabadikan masyarakat sekuler di mana agama wilayahnya akherat dan urusan dunia bukan urusan agama tetapi urusan ilmu duniawi.

IV. Pemberdayaan Zakat Infak dan Shadaqah
Alhamdulillah Islam sebagai agama sempurna QS.5:3 , menuntun kehidupan manusia QS.2:2. lengkap diseluruh aspeknya, mulai spiritual, ekonomi, social, politik dsb. Diantara bidang tersebut adalah bidang ekonomi yang menjadi perhatian serius ajaran Islam. Diantaranya adalah tegaknya sistim perekonomian yang berkeadilan, jujur, santun, bersih dari monopoli dan penindasan. Diantara perangkat spiritual sekaligus perangkat ekonomi tersebut adalah adanya sistim zakat, infaq dan shadaqoh (ZIS). Ketiganya bukan hanya kewajiban spiritual-keagamaan tetapi juga kewajiban muammalah yakni tegaknya kesejahteraan yang berbasis pada keadilan social-ekonomi ummat.
Sayangnya hingga saat ini masih banyak bagian ummat yang memahami ZIS hanya sebagai kewajiban spiritual keagamaan seseorang. Dari anggapan seperti ini wajar jika ZIS tidak dikelola secara professional sebagai satu sendi dalam system perekonomi umat, sehingga zis tidak berdampak pada pemberdayaan ekonomi. ZIS dapat menjadi modal untuk berdakwah yang sebenarnya dalam rangka memberantas kemiskinan, membuka lapangan kerja hingga meningkatkan pendidikan ummat.
Tujuan ZIS adalah kesejahteraan seluruh ummat Islam. Dengan demikian pemanfaatannya tidak semestinya untuk dikonsomsi saja tetapi harus diberdayakan. Berbagai jenis pemberdayaan dapat dilakukan seperti; pengelolaan koperasi simpan-pinjam tanpa bunga untuk masyarakat miskin, pemberian modal usaha terhadap mereka, pemberian bia siswa untuk anak miskin, dipadukan dengan usaha pertokoan yang menangani kebutuhan sehari-hari jamaah, bahkan untuk memberi honorarium juru dakwah dalam jamaah dsb. Ringkasnya, dakwah dan ZIS merupakan sistim Islam yang tak dapat dipisahkan. Tanpa ZIS maka roda dakwah tidak akan berputar, sebaliknya tanpa dakwah maka ZIS tak bermanfaat maksimal.
Wallahu a’lam bish shawab.