SELAMAT DATANG DI BLOG PERUBAHAN SOSIAL

"Makkah adalah realitas empiris, Madinah adalah realitas ideal, jarak keduanya adalah amanah perubahan"

Minggu, 31 Januari 2010

LIVING WITHOUT RELIGION

Pada dekade belakangan ini, kehidupan beragama sedang diuji terutama oleh issue agama sebagai sumber konflik. Mulai issue Palestina vs Israel, Irak-Iran vs PBB (USA), Afghanistan vs USA, Pakistan, hingga Mindanau vs Philipina. Beberapa contoh Negara-wiyaha konflik di atas sekalipun bukan konflik agama un-sich tetapi setidaknya mengkaitkan issue konflik dengan issue agama. Palestina misalnya, mungkin orang dapat mengatakan adalah issue politik pendudukan Israel atas Palestina, akan tetapi Islama vs Yahudi adalah issue yang tidak terpisah dari padanya. Belum lagi adanya issue terorisme internasional yang membawa-bawa Islam sebagai agama pem-back up. Perancis adalah salah satu negara Eropa yang kemudian paling vulgar mengambil sikap setidak-tidaknya anti simbolisasi agama dalam wilayah public.
Berbagai issue tersebut seolah-oleh menguatkan tesis 5 abad yang lalu ketika di dataran Eropa lahir renaissance (gerakan pencerahan kembali yang aslinya pencerahan pemikiran manusia dari pendudukan pemikiran keagamaan, pemikiran ketuhanan). Dari Renaisance tersebut kemudian lahirlah paradigma metode ilmiah. Dengan metode ilmiah ini lahirlah ilmu-pengetahuan modern yang berkembang hingga saat ini. Sekulerisme paham yang memisahkan kehudpan dunia dengan kehidupan keagamaan pun berkembang secara integral dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Bahkansekulerisme ini hingga saat ini menjadi arus besar yang mendominasi segala isme dalam kehidupan manusia. Akhir dari cerita sejarah di atas adalah Tuhan atau agama memang pantas disingkirkan dari kehidupan manusia. Kalaupun agama boleh hidup hanya pada wilayah privat, yakni hubungan seorang manusia dengan Tuhannya, di luar itu adalah wilayah larangan bagi Tuhan atau agama untuk campur tangan. Dipicu oleh alasan ini saya ingin mengajak kita semua kembali pada permasalahan mendasar yakni mungkinkah manusia hidup tanpa agama. Mungkinkah akal manusia hidup tanpa wahyu. Mungkinkah manusia hidup tanpa Tuhan.
Manusia memang tanpa bimbingan wahyu telah memiliki potensi untuk dapat berpikir mengenai hal-hal teknis bahkan abstrak tentang kehidupannya. Mereka dapat mengenal sesamanya, binatang, dan lingkungannya, berikut bagaimana berinteraksi dengan semua itu. Bahkan manusia dengan akalnya dapat berpikir dan berkesimpulan akan adanya Tuhan sebagai suatu keharusan dari terciptanya alam semesta. Dal am alQuran misalnya kita temukan beberapa ayat yang menyatakan bahwa ketika orang-orang kafir ditanya siapa yangb telah menciptakan alam semsta mera menjawab Allah. Diantara ayat tersebut adalah (QS.31:25). Tentu saja pemikiran manusia tersebut spekulatif. Kita bisa menyaksikan suatu pemikiran yang semula dianggap benar pada suatu masa kemudian diketahui salahnya dan digantikan dengan pemikiran yang lain. Pemikiran manusia tentang Tuhan dalam sepanjang sejarah kehidupan mungkin adalah ekspresi dari keinginan azali manusia untuk bertuhan. Bahkan menurut alQur’an, sejak beberapa waktu dalam kandungan, manusia yang masih berupa janin sudah mengikrarkan janji pengakuaan akan ketuhanan Allah (QS.7:172). Sehingga secara normative kita bisa menyimpulkan bahwa ketika manusia dalam hidupnya mengingkari adanya Tuhan berarti ia melakukan pemberontakan terhadap kata hatinya sendiri. Dengan kata lain pengingkaran terhadap Tuhan adalah suatu yang mustahil dalam hidup manusia. Jika demikian secara normative, bagaimana dalam sejarah?
Sejak zaman kuno mungkin zaman pra sejarah, manusia sudah “mencari-cari” siapa Tuhannya. Namun demikian Tuhan yang mereka temukan adalah tuhan yang sangat alamiah dalam dzat maupun sifat-sifatnya. Tuhan masih berupa kayu, batu, angin dan sebagainya. Inilah Tuhan dalam agama animism dan dinamisme. Dalam sejarah agama, animism dan dinamisme ini adalah cikal bakal dalam evolusi agama, dalam perkembangannya kemudian lahirlah agama monotheisme. AlQur’an kembali menyinggung hal ini melalui kisah Nabi Ibrahim yang dengan akalnya mencari dan menemukan Tuhan Yang Maha Pencipta (QS.
Pada beberapa abad sebelum masehi manusia-manusia cerdas zaman Yunani telah mengerahkan segala daya berfikirnya untuk menemukan siapa sebenarnya Tuhan itu, bagaimana hubungannya dengan alam dan manusia, dan issue-issue mendasar lainnya. Mereka adalah Socrates, Aristoteles, Plato. Pemikiran mereka adalah luar biasa pada zamannya. Namun demikian tentu masih bersifat spekulatif.
Dengan akalnya memang manusia dapat megenal Tuhan, namun demikian temuan tersebut tentu bersifat spekulatif, tidak memiliki tingkat kepastian yang definitive. Tuhan hasil pencarian akal ini masih terbatas dengan sifat-sifat umumnya, misalnya sang pencipta, yang maha kuasa, dan sebagainya. Siapa Dia yang sebenarnya? Bagaimana sifat-sifatnya sebagaimana dijelaskan oleh agama (baca:Islam) tidak dapat ditemukan oleh akal manusia. Dia bernama Allah SWT, Dia serba maha; pengasih, pemurah, kuasa, suci, mengetahui, mendengar, pemelihara, pemberi rizki, sabar, pengampun, adil, dan sebagainya tidak dapat ditemukan oleh akal. Akal juga tidak dapat menemukan konsep tentang akherat, alam kubur, mizanul amal, surga, neraka, pahala, siksa, malaikat, syetan dan sebagainya. Dengan kta lain, bagaimanapun hebatnya pemikiran manusia tetap saja adalah spekulatif, general, jauh dai kepastian dan tidak terperinci, dan akhirnya menghasilkan tingkat keyakinan yang keropos jauh dari kokoh.
Atas dasar keimanan spekulatif tentang Tuhan yang serba terbatas inilah bangunan tentang sistim kehidupan didirikan oleh manusia saat itu. Sebelumnya mereka juga berusaha untuk menemukan serta memahami siapa sebenarnya manusia dan juga alam. Dari pemahaman tentang Tuhan, manusia dan alam tersebut kemudian manusia (melalui para filosof) berfikir tentang kehidupan. Mereka mulai berfikir mengapa, untuk apa kehiduapan ini ada. Apa hakekatnya hidup, dari mana asal dan sampai di mana akhirnya. Bahkan pemikiran mereka berlanjut sampai pokok-pokok hal yang agak terperinci, misalnya politik, ekonomi, pertanian, hingga moralitas dan seni. Kita bisa membayangkan, atas dasar keyakinan yang spekulatif atau tidak pasti seperti ini, kemudian mereka rancang makna kehidupan. Tentu juga sekitar ketidakpastian (absurditas hidup).
Allah SWT Sang Pencipta manusia dan alam tentu lebih mengetahui sampai dimana kapasitas pemikiran makhluqnya. Demikian juga tentang keterbatasannya memahami keberadaan Tuhan, dirinya sendiri dan alam. Itulah karena itu, sejak manusia diciptakan Allah SWT dengan rahman dan rahimnya mengutus para Nabi dan Rasul untuk menyampaikan risalah-Nya guna menuntun pemikiran manusia hingga sampai pada kebenaran definitive. Nabi Adam, Ibrahim, Musa, isa, hingga Muhammad SAW. Diutus untuk manusia. Namun dasar manusia sering tidak tahu diri, sehingga seringkali mereka menolak pertolongan tuntunan Allah tersebut, mengingkari kehadiran para Nabi utusan Allah.
Bahaya hidup tanpa Tuhan
Pengingkaran manusia akan tuhan bukan tanpa akibat dan dampak terhadap kehidupan manusia itu sendiri. Tuhan adalah pusat transendensi dari kehidupan ini. Pengingkaran kepada Tuhan berarti pengingkaran terhadap semua dimensi transenden dari kehidupan. Kehidupan tanpa transendesni adalah kehidupan yang tiada makna kecuali kehidupan yang terdistorsi maknanya menjadi kehidupan yang sekali dan duniawi ini. Tidak ada makna di luar yang bersifat duniawi. Jawaban akan persoalan transenden seperti mengapa, untuk apa, apa hakekat hidup, semuanya terbatas dengan jawaban duniawi. Hidup ya sekarang dan di sini. Tidak ada akherat. Yang ada adalah the here after yang absurd. Tidak ada pahala dan siksa, yang ada adalah guna yang pragmatis. Nilai guna pun adalah guna bagi hidup sang sekali , di sini dan saat ini. Tidak ada nilai kebenaran, kebaikan dan keindahan yang lebih mulia dari pada hidup yang sekali, di sini, dan saat ini. Jika keyakinan yang merupakan sumber nilai ini rapuh maka seluruh nilai di atasnya juga rapuh dan tanpa tujuan yang jelas dan pasti.
Semangat renaissance yang kemudian melahirkan metode ilmiah dan ilmu pengathuan seperti saat ini adalah semangat untuk melanjutkan warisan pemikiran filsafat Yunani, yang juga disebut dengan helenisme. Adalah semangat untuk tidak melibatkan Tuhan dalam pemikiran tentang rancang bangun kehidupan. Kehidupan cukup dipikirkan oleh manusia. Dengan kata lain manusia adalah pusat kehidupan semesta. Aliran ini dalam istilah filsafat dikatakan dengan humanism.
Hakekat yang paling substantive dari manusia adalah indera dan akalnya. Itulah karenanya dalam epistimologi ilmu pengetahuan, empirisme(indera) dan rasionalisme (akal) adalah satu-satunya metode untuk mendapatkan kebenaran ilmiah. Di luar yang rasional dan empiris dianggap nihil oleh ilmu pengetahauan.
Pada dataran onologis, hakekat yang ada adalah kenyataan empiris. Tidak ada kenyataan di luar kenyataan empiris. Kehidupan adalah dunia empiris ini saja. Keberkahan, ketaqwaan, kesucian hati, kebersihan jiwa, halal, haram, ridlo Tuhan, dosa, akherat, surge, neraka, syetan, adalah tidak lebih dari dongeng (hasil imagenasi) manusia kuno). Yang penting adalah benar (logika), indah dan guna dalam makna duniawi semata. Bagi kalangan ilmiah perut dan di bawah perut adalah segala-galanya.
Oleh karena itu, tidak perlu kaget jika pada dataran aksiologi, di mana etika berada, tidak dikenal baik buruk menurut pertimbangan keyakinan agama. Semuanya bersifat pragmatis, untuk kepentingan sekarang dan di sini.
Akhirnya wajar pula jika kebudayaan dan peradaban yang dilahirkan adlah kebudayaan dan peradaban yang serba materialistic, egois, eksploitatif terhadap alam, dan merusak. Kerusakan yang diakibatkan oleh kebudayaan renaissance adalah kerusakan multidimensi. Dari kerusakan spiritual-moral,individual- social, dan fisikal-lingkungan. Apakah ada kerusakan yang lebih hebat dari ketiganya? Apakah ada bahaya dari bahaya kehiduapn yang dirancang tanpa agama dan tanpa Tuhan????????
Alahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar