SELAMAT DATANG DI BLOG PERUBAHAN SOSIAL

"Makkah adalah realitas empiris, Madinah adalah realitas ideal, jarak keduanya adalah amanah perubahan"

Kamis, 18 Februari 2010

ISLAM : SUATU PILIHAN HIDUP

Setidaknya ada tiga cara orang memilih agama untuk dipeluknya . Pertama, mereka memluk agama karena keturunan. Kedua, orang memeluk suatu agama karena hasil pencarian kritis. Ketiga, orang memilih agama karena keduanya, awalnya ia memeluk agama karena keturunan namun kemudian ia mempertanyakan kembali pilihannya itu dengan pertanyaan-pertanyaan kritis.

Jika dengan cara pertama seseorang memeluk suatu agama, maka ia tidak mau tahu tentang isi atau ajaran agamanya secara lebih mendalam. Benar atau tidak benar ajaran agamanya bukanlah suatu yang penting. Keberagamaan mereka cenderung mengikuti saja keberagamaan nenek moyangnya. Agama baginya bukan urusan rasionalitas, tetapi tradisionalitas. Cara ini juga membuat seseorang tidak kreatif dalam mengapresiasi agamanya, sehingga ia cenderung tidak mau tahu dan tidak mampu dalam mengantisipasi perubahan zaman, di mana agama harus menjawabnya.

Lain dengan cara pertama, cara kedua akan menjadikan orang mengetahui persis alasan ia harus memilih agama apa, karena agama pilihannya tentu saja agama yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan kritisnya. Kalau ia seorang yang memilih Islam sebagai agamanya, ia terlebih dahulu mempertanyakan mengapa harus Islam, bukan yang lain? Apa perbedaan essensial Islam disbanding dengan agama lain. Jawaban Islam atas pertanyaan-pertanyaan itu membuat ia memiliki alasan kuat untuk memilih Islam. Cara ini juga menjadikan ia berusaha untuk memahami ajaran agamanya secara lebih mendalam. Ia juga berusaha untuk menjawab setiap persoalan baru sebagai setiap tuntutan perubahan zaman. Cara ini juga mengharuskan seseorang untuk memahami agama secara rasional. Bukan itu saja, karena agama anutannya adalah hasil dari pencarian, tentu saja keberagamaan mereka lebih kuat dari keberagamaan sebagai hasil cara pertama. Namun demikian kelompok ini tidak banyak jumlahnya, karena semua orang tua akan mewariskan agamanya kepada keturunannya. Oleh karena itu, sebagai alternatifnya adalah kelompok ketiga. Kelompok ini semula adalah pewaris agama nenek moyangnya namun karena daya dan sikap kritisnya, menjadikan ia mempertanyakan segala sesuatu yang dia temukan, termasuk terhadap agama yang ia peluknya. Kelompok ketiga inilah kelompok yang kita harapkan akan menjadi model keberagamaan kebanyakan generasi muda Islam. Kelompok pertama harus digugah dan dibangkitkan daya kritisnya sehingga menjadi kelompok ketiga.

Menghadapi sikap kritis manusia, Islam sebagai agama yang terakhir diturunkan Tuhan, seolah sudah didesign sedemikian rupa sehingga alih-alih takut terhadap sikap kritis manusia, justru sikap kritis itu dibangkitkan oleh alQur'an (kitab suci umat Islam) sendiri. Dengan kata-kata afala ta'qilun (apakah kamu tidak menggunakan akalmu), afala tatafakarun (apakah kamu tidak berfikir), afala yatadabbarun (apakah kamu tidak memperhatikan dengan teliti) yang berterbaran dalam berbagai ayat, al Qur'an menggugah sikap kritis tersebut.

Berbeda dengan agama lain, Islam selain mencakup ajaran tentang tata cara menyembah Tuhan, atau mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya, juga mencakup tata cara hubungan antara manusia dengan sesamanya dan alam semesta. Tuhan, manusia, alam, hari akhir, akherat, dan kenabian adalah hal-hal pokok yang saling terkait dalan kehidupan. Bahkan tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kehidupan itu tidak lain adalah interaksi antara thema-thema pokok tersebut, interaksi antara Tuhan dengan manusia; interaksi antar manusia; interaksi antara manusia dengan alam; interaksi Tuhan dengan alam; alam dalam hal ini juga alam akherat. Kesemua thema tersebut (Tuhan, manusia dan alam, akherat dan kenabian) dibahas secara gamblang oleh agama Islam, terutama melalui kitab sucinya AlQur’an.

AlQur’an sebagai kitab suci bagi agama yang terakhir, sekaligus penyempurna bagi agama-agamna sebelumnya (QS.5:3), menjadikan ia mesti tampil sebagai kitab suci yang hebat. Lengkapnya alQur’an bukan berarti ia memuat segala hal, akan tetapi karena alQur’an memuat prinsip-prinsip mengenai interaksi antar thema kehidupan tersebut. Dengan penjelasan prinsip tentang semua pokok kehidupan tersebut menjadikan umat yang memahaminya memiliki pandangan hidup (wordl view)yang khas. Pada titik inilah kemukjizatan alQur’an terletak. Berbeda dengan para Nabi sebelumnya, yang memiliki mukjizat terbesar berupa fenomena besar yang meta rasional. Seperti Ibrahim tidak terbakar oleh api unggun raja Namrut, Musa yang bisa membelah Laut Merah, Isa yang dapat menghidupkan kembali orang yang telah mati. Mukjizat Nabi Muhammad adalah alQur’an. Kemukjizatan alQur’an terletak pada kemampuan alQur’an membentuk pandangan hidup kaum mukminin yang membacanya. Pandangan hidup mukmin terbentuk manakala mereka memahami penjelasan alQur’an tentang berbagai thema kehidupan tersebut.

Dengan pandangan hidup tersebut mukmin baik individu maupun komunitas memiliki cara pandang yang benar tentang kehidupan. Dengan pandangan hidup tersebut kaum mukminin dapat melakukan peran sebagai saksi atas manusia (syuhada ala al nas), dalam pengertian dapat melakukan dialog, dan sekaligus memberi keteladanan hidup bagi manusia yang lain. Dengan demikian dapat kita katakana alQur’an adalah petunjuk bagi sang wakil Allah di muka bumi ini (kahlifatu Allah fi al ardl).

Penjelasan alQur’an tentang prinsip tersebut berupa berbagai bentuk. Adakalanya berupa perintah langsung Allah SWT terhadap manusia, kisah atau sejarah masa lalu, penjelasan diskriptif tentang kehidupan yang baik dan buruk, diskripsi tentang akherat dan sebagainya. Susunan isi alQur’an seolah-olah berserakan dan tidak sistimastis, baik susunan ayat maupun susunan surat-suratnya. Tidak seperti buku biasa yang bioasanya sitimatisasinya mengikuti kaidah ilmiah, yakni pendahuluan, penjelasan teoritik dari yang umum dan kemudian mengkhusus, hingga akhirnya kesimpulan. Tidak demikian dengan alQur’an, awalnya memang surat al Fatehah, surat pembukaan, induk alQur’an (umul Kitab), tetapi bagaimana dengan suat albaqarah, Ali Imran, Anisa dan seterusnya. Nama-nama surat tersebut tidak menggambarkan urutasn yang sesuai dengan isinya. Dapat dikatakan ketidaksistimatisan itulah sistimatisasi alQur’an. Bukankah alam semesta ini juga tampak tidak sitimatis jika dilihat dengan sistimatisasi seorang arsitektur bangunan atau ahli tata kota. Namun demikian inilah justru letak hebatnya sistimatisasi alam.

Buku yang membiarkan ayat-ayat alQur’an berbicara sendiri tentang berbagai tema pokok kehidupan ini adalah karya Prof.Fazlurrahman, cendekiawan muslim asal Pakistan yang kemudian hijrah ke Amerika yang berjudul The Major Themes of Qur’an (Thema Pokok Al Qur’an). Melalui buku itu kita dapat memahami bagaimana alQur’an memandang Tuhan; siapa sebenarnya Tuhan, mengapa mesti ber tuhan, siapa Allah, dan seterusnya adalah beberapa pertanyaan yang dapat kita temukan dalam buku tersebut. Begitu juga dengan manusia, alam, nabi, dan kaherat.

Secara ringkas isi buku tersebut telah diresensi oleh sdr Khairul Asfiyak (http://fai-unisma-malang.blogspot.com/), diantara resensi tersebut adalah sebagai berikut :
Karya Fazlur rahman yang aslinya berjudul “Major themes of Qur’an” ini terdiri dari Pendahuluan, isi buku dan appendiks I dan II yang sesungguhnya kedua catatan ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan tema pokok al Qur’an, kecuali bahwa kedua appendiks tersebut disertakan dalam satu buku semata-mata untuk mendukung dan memperjelas komentar dan uraian-uraian fazlur rahman di dalam mengurai kondisi sosial dan dan setting sejarah yang mewarnai wajah al qur’an.
Al qur’an adalah kitab yang sempurna didalamnya memuat berbagai segi hubungan manusia dengan Tuhannya, hubungan manusia dengan diri dan sesamanya dan hubungan manusia dengan alam disekitarnya. Agaknya tema-tema inilah yang kemudian oleh fazlurrahman digambarkan dalam bukunya dengan lebih memperjelas tema-tema la qur’an itu kedalam 8 (delapan) kategori.

Salah satu dari kedelapan tema yang termuat dalam kandungan al qur’an adalah tentang aspek Tuhan. Fazlurrahman mempertanyakan tentang rasionalitas manusia dalam mengakui setidak-tidaknya mempercayai adanya wujud Tuhan ( hal. 2) Dalam pandangan beliau sesungguhnya al qur’an tidak “membuktikan” adanya Tuhan akan tetapi “menunjukkan” cara untuk mengenal Tuhan, melalui alam semesta yang ada (hal. 15)

Sisi lain kandungan al qur’an adalah manusia sebagai individu, dalam pandangan fazlurrahman asal usul manusia jelas beda dengan mahluk lainnya. Mengingat dalam diri manusia ada unsur ruh yang ditiupkan oleh Allah SWT. Sekalipun demikian ia menyangkal adanya dualisme individual antara jiwa dan raga dalam diri manusia sebagaiman terdapat pada filsafat yunani, agam kristen dan hinduisme ( hal. 26) beliau juga menjelaskan hakikat tujuan diciptakannyamanusia di muka bumi ini yakni sebgai khalifatullah mengemban amnah Allah SWt (28) Sekaligus hambatan dan tantangan yang dihadapinya dalam mengemban misi suci itu. Tantangan terbear manusia dalah syaitan karena ia melambangkan sifat kepicikan (dlaif) dan kesempitan fikir (قطر ) al qur’an tidak henti-hentinya menyebutkan kelemahan ini di dlm bentuk dan konteksyang berbeda. Karena kepicikannya kadang manusia berlaku amat sombong tetapi lekas putus asa. Tidak ada mahluk lain yang dapat menjadi sombong dan berputus asa sedemikian gapangnya seperti manusia (hal. 38-41) Oleh karena itu manusia yang baik harus memiliki keseimbangan yang dalam al qur’an disebut sebagai taqwa. Akar perkataan taqwa adalah waqy, berjaga-jaga atau melindungi diri dari sesuatu dan perkataan taqwa dengan pengertian ini dipergunakan juga dalam al qur’an surat ke-52:27 40:45 76:11 (hal 43)

Selain sebagai individu manusia dalah mahluk sosial, aleh karena itu al qur’an tdak bisa berdiam diri untuk tidak mengatur peri kehdiupannya dalam bermasyarakat. Bahwa tujuan diturunkannya al qur’an adalah menegakkan sebuah tatanan masyarakat yang ethis dan egalitarian , hal ini terlihat di dalam celaannya terhadap disekuilibrum ekonomi dan ketidak adilan sosial dalam masyarakat makkah waktu itu. Pada mulanya celaan itu lebih ditujukan kepada dua aspek yang berkaitan dengan pola hidup bermasyarakat yakni aspek politheisme dan ketimpanbgan sosial ekonomi yang menibulkan dan menyebebakna perpecahan diantara manusia (hal. 55)
Pada level sosial politik al qur’an juga ingin menguatkan unit kekeluargaan paling dasar yang terdiri dari orang tua, anak-anak, kakek,nennek dan masyarakat muslim dengan meniadakan rasa kesukuan. Kesetiaan kepad aorang tua ditegaskan dalam ayat 2:83 4:36 6:151 17:23 (hal61) semenatra dalam rangka melaksankan urusan pemerintahan al qur’an menyuruh kaum muslim untuk menegakkan syura (lembaga konsultatif) Nabi Muhammad SAW sendiri disuruh al qur’an (3:159) untuk memutuskan persoalan-persoalan setelah berkonsultasi dengan pemuka-pemuka masyarakat (hal 63) jika dalam musyawarah terjadi perselisihan dan berakibat peperangan diantara kelompok muslim, al qur’an menyerukan agar diangkat seorang penengah jika salah satu kelompok menolak penengahan ini maka ia harus diperangi (hal. 64) hal ini tidak berarti pemberontakan tidak diijinkan oleh al qur’an. Semua Nabi sesudah nabi Nuh adalah pemberontak terhadap tata nilai masyarakat yang didalamnya tersebar penyelewengandi atas dunia (fasad fil ardl) yang dapat diartikan sebagai keadaan yang menurus kepad apengabaian hukum secara politis, moral, sosial ketika urusan nasional / internasional tidak dapat dikendalikan lagi (hal. 65)

Tema lain yang memenuhi isi al qur’an adalah berita-berit atentang Nabi/rasul dan wahyu. Secar aumum dapat diaktakan bahwa semua rosul dibangkitkan adlah semata-mata menganjurkan pad afaham monotheisme bahwa hanya Allah SWt yang Esa dan yang patut disembah, tuhan-tuhan yang lain adalah palsu belaka (hal.121) menuurt al qur’an sebagai manusia belaka nabi dianggap wajar jika pernah melakukan kesalahansehingga ia harus terus menerus berjuang, jika tidak dapat berbuat demikian maka merka itu tidak dapat menjadi teladan bagi manusia yang lain (hal. 130) Minimal nabi tak pernah ingin menjadi nabi/ mempersiapkan dirinya menjadi seorang nabi, jelas sekali bahwa pwngalaman religius yang terjadi secara tak terduga itulah yang mengantarnya menjadi nabi (hal.132) Predikat kenabian bukan hal yang bagi bagi Nabi Muhammad Saw kadangkal ia dianggap sebgai kahin (52:29) atau penyair (36:69) dan tukang sihir (hal 136-137) yang menarik dalam pandangan fazlurrahman adalah ketika ia berpendapat bukan “malaikat”-lah mahluk yang menyampaikan wahyu kepada nabi Muhammad SAW, al qur’an tidak pernah menyatakan penyampai wahyu itu sebagai malaikat tetapi sebagai ruh/utusan spiritual. Allah SWt pernah menurunkan wahyu kepada malaikat akan tetapi dalm konteks yang berbeda(sebagai semangat orang islam/mu’min untuk berperang melawan musuh Allah SWT (8:12) Nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad SAW tampaknya berhubungan langsung dengan Allah SWT. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Nabi-nabi telah memperoleh manfaat dari ruh Allah SWT (hal.139) barangkali yang dimaksud engan ruh itu adalah kekuatan, kemmapuan /agensi yang berkembang di ahti Muhammad SAW dan jika diperlukan ia dapat berubah menjadi operasi wahyu yang aktual (hal.142)

Sisi lain kandungan al qur’an yang hanya sedikit disinggung adalah proses kejadian alam (kosmolologi/kosmogini) Jika al qur’an hnaya sedikit berbicara tentang kosmologi maka sebaliknya ia seringkali dan berualngkali membuat pernyataan-pernyataan mengenai alam dan fenomena alam yang kadang dikaitkan dengan Allah, dengan manusia atau kadang kedua-duanya. Pernyataan ini membersitkan isyarat tentang kekuasaan dan kebesaran Allah yang tak terhingga dan menyerukan agar manusia beriman kepada-Nya. Alam semesta beserta kekuasaan dan keteraturannya yang tak terjangkau akal ini harus dipandang manusia sebagai pertanda kekuasaan Allah SWT (hal.101) Informasi tentang proses kejadian alam ternyata pararel dengan apa yang disampaikan wahyu, sebagaimana dibuktikan penulis muslim pada abad pertengahan artinya informasi al qur’an tentang proses kejadian alam semesta adalah ilmiah adanya (hal.105) terakhir sekali bahwa alam semesta itu dalam gambaran al qur’an akan mengalami kehancuran di hari kiamat (hal. 114)

Bagian menarik lain dari alqur’an adalah persoalan eskatologis (akhirat) yang secara umum menggambarkan kenikmatan pahala surga dan azab neraka. Ide pokok tentang akhiat adalah munculnya kesadaran unik manusia tentang suatu pengalaman yang tidak pernah dialaminya dimasa-masa yang lalu (hal. 154) akhirat adalah saat kebenaran (hal. 154) dan tujuan akhir kehidupan /akibat jangka panjang dari amal perbuatan manusia diatas dunia ini. Semenatra dunia bukanlah “dunia ini” tetapi ia adalah nilai-nilai yang rendah /keinginan-keinginan rendah yang tampaknya sedemikian menggoda sehingga setiap saat dikejar oleh hampir semua manusia dengan mengurbankan tujuan-tujuan yang lebih mulia dan berjangka panjang( hal. 157) Konsep dasar akhirat sesungguhnya berujud sikap sarkasme al qur’an terhadap pedagang-pedang makkah yang bermegah-megahan dg emas, perak dan barang dagang lainnya.yang ditimbang adalah amal dan bukannya barang-barang tersebut (hal.158) Hanya saja al akhirat ini adalah sebuah ide yang sangat sulit untuk diterima oleh orang-orag mekkah jahiliyyah yang berpandangan sekularisme dengan alasan bahwa nnenek moyang dan leluhur mereka dulunya telah mendengar “kisah-kisah” ini jauh dimasa sebelumnya yang ternyata hal itu hanya khayalan orang-orang zaman dahulu (hal.168)

Menurut al qur’an akhirat adalah penting dengan alasan pertama, moral dan keadilan adalah kualitas untuk menilai amal perbuatan manusia yang itu tidak bisa ditegakkan di alam dunia, kedua, tujuan hidup harus diejlaskan dengan seterang-terangnya dan ap[a tujuan yang sesungguhnya dari kehidupan ini. Ketiga, perbantahan perbedaan pendapat dan konflik anttar manusia mestilah diselesaikan dan tempatnya adalah di hari akhirat nanti.

Adapun tema berikutnya adalah persoalan syaitan dan kejahatan. Fazlurrahman beranggapan bahwa iblis dan syaitan adalah personifikasi yang diruju’ al qur’an untuk mewakili kekuatan jahat yang ada dimuka bumi ini. Sekalipun demikian personifikasi syaitan sebagai aktor kejahatan masih menimbulkan perdebatan (hal. 178 & 189) Perbedaannya adalah bahwa syaitan kemunculannya bersamaan dengan kisah kejadian adam, jadi seusia dengan manusia walaupun sebelumnya telah ada dalam bentuk jin (hal. 181) sementara jin/iblis diciptakan sebelum adanya manusia berdasarkan 15:27 dan 7:12 (hal.180) al qur’an menggambarkan syaitan sebagai pembangkang perintah Allah SWT dan sebagi tandingan manusia, dan bukannya tandingan Allah SWT karena Allah SWT berada diluar jangkauannya. Jadi secara metafisis syaitan tidak sederajat dengan Tuhan, sbg-mana halnya Ahriman yang merupakan tandingan Yazdan dalam agama Zoroaster (hal.181) Dalam pandangan fazlurrahman aktifitas syaitan hanya mampu membingungkan manusia dan memendungi kesadaran-kesadaran batinnya (hal.182) syaitan tidak punya kekuatan akan tetapi kelicikan dan kelicinannya dengan menggunakan tipu daya, siasat membujuk dan berkhianat adalah aktifitas sejati syaitan (hal.183) Jadi kekuatan syaitan bertumpu pada kelemahan manusia (hal.184) Oleh karena itu yang berbahaya bagi manusia bukanlah faktor syaitan ansich/kekuatan syaitan akan tetapi sikap manusia itu sendiri yang tidak mengerahkan kekuatannya untuk melawan bujukan syaitan (hal.185)

Bagian terakhir dari tema-tema al qur’an adalah mulai dibangunnya sendi-sendi masyarakat muslim di Madinah. Keseluruhan bab terakhir ini membahas tentang kritik dan sanggahan beliau terhadap pendapat snouck Hurgronye , Theodore Noldekke, dan Friedrich Schwallly yang menyatakan bahwa risalah kenabian Muhammad SAW hanyalah bikinan muhammad belaka, karena muhammad ketika menyampaikan risalah islam tidak mendapat respon positif baik dari kalangan yahudi maupun nasrani. Respon negatif ini kemudian disikapi Nabi dengan menyatakan bahwa islam itu tidak berasal/ menginduk kepada kebesaran Yahudi ataupun Nasrani akan tetapi kepada Nabi Ibrahim. Satyu hal yang dalam pandangan Snouck dan orientalis pada umumnya adalah tindakan apologi belaka.

Dengan memahami alQur’an yang memiliki kandungan sedemikian hebat ini, dan selanjutnya kaum mukminin memiliki pandangan hidup secara konsisten dengan pemahamannya tadi, serta pada dataran berikutnya mukminin swecara konsisten pula mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata, maka lahirnya peradaban manusia yang dapat dipertanggung-jawabnkan baik dihadapan Tuhan, manusia dan alam segera akan menjadi kenyataan.

Peradaban modern yang diunggulkan manusia pada abad-abad ini adalah peradaban yang pincang. Peradaban yang hanya mengakomodasi tuntutan hidup yang bersifat lahiriah pada satu sisinya, sekaligus mencampakkan kebutuhan hidup manusia yang bersifat batiniah. Peradaban ini tidak hadir dengan sendirinya. Ia dilahirkan oleh sebuah pandangan hidup yang bersifat sekuleristik. Adalah pandangan hidup yang menceraikan kehidupan dunia dengan kehidupan keagamaan. Kehidupan dunia mulai dari politik, ekonomi, arsitektur, sain dan teknologi juga seni bukanlah urusan agama dan Tuhan. Itu semua murni urusan manusia. Benar-salah, baik-buruk, indah dan tidak indah, adalah urusan manusia dengan indera dan nalarnya untuk memutuskannya. Sebaliknya agama mengurus hubungan manusia dengan Tuhannya saja.

Dari pandangan hidup demikian, maka lahirlah peradaban manusia yang materialistic seperti kita saksikan saat sekarang ini. Suatu peradaban yang lahir tanpa panduan agama. Arsitektur peradaban materialistik hakekatnya adalah orang-orang yang tidak mempunyai (baca: tidak mengakui) Tuhan dalam hidupnya. Agama bagi mereka adlah urusan ibadah ritual semata. Jika ia seorang muslim, maka agama berarti syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji, tidak lebih dari itu. Sedangkan pasar, birokrasi, parlemen, pertanian, dan seterusnya bukanlah urusan agama. Ukuran keshalehan bagi manusia seperti itu adalah rajin beribadah saja. Tidak dikenal adanya kesatuan antara kesalehan individu dengan kesalehan social. Secara tata social, tidak ada hubungan antara bangunan masjid dengan pasar, partai politik, serta sanggar seni dan laboratorium ilmiah.

Jika kita seorang muslim dan mukmin mestinya rujukan pemahaman ke-Islaman kita kepada Nabi Muhammad SAW. Bukankah al Qur’an sebagai pedoman hidup normative sudah dilaksanakan pada dataran historis oleh Nabi Muhammad SAW? Sebagai konsekluensinya, untuk mendapatkan pemahaman terhadap al Qur’an yang benar, tidak bisa tidak harus menyertakan sunah Nabi Muhammad SAW. Memahami dan meneladani kehidupan Nabi adalah suatu keharusan integral untuk memahami alQur’an. Muhammad sebagai nabi bukanlah sosok yang pekerjaannya hanya khotbah di masjid, memimpin shalat berjama’ah dan doa. Akan tetapi, kecuali tugas itu semua, pada saat yang sama Nabi juga seorang politisi pemegang kekusaan. Ia juga hakim pemberi rasa keadilan masyarakatnya. Sebelumnya ia juga seorang pedagang besar. Dan tentu saja ia adalah seorang guru pendidik seluruh umatnya.

Dengan demikian pandangan hidup sekuleristik bukanlah lahir dari rahim ajaran Islam. Jika dikaitkan dengan Islam adalah sebuah destaosi terhadap Islam. Keberadaan pandangan hidp sekuler di dunia Islam Indonesia khususnya, tidak bias lepas dari rekayasa kaum colonial Belanda saat itu yang sangat ketakutan dengan pandangan hidup Islam. Melawan secara frontal dan fisik terhdap kekuatan kaum mukminin rakyat Indonesia adalah sesuatu yang sulit dilakukan. Oleh karenya disusupkanlah seorang intelektual Belanda (Snouch Horgronya) untuk mengamati kharakter ajaran Islam dalam kehidupan yang saat itu mengambil Aceh sebagai objek yang dia amati. Akhirnya diambil kesimpulan bahwa menguasai Islam dank um muslimin adalah sulit dilakukan dengan perang terbuka. Satu-satunya jalan yang mungkin adalh dengan membiarkan umat mukmin beribadah sepanjang mereka tidak berpolitik. Rekomendasi ini akhirnya menjadi kebijakan kolonialis Belanda untuk menguasai Islam di nusantara.

Anehnya, banyak generasi muslim saat ini yang tidak sadar akan tipu daya kolonial tersebut, dan dengan setia mewarisi pandangan hidup sekuler yang ditinggalkanya hingga saat ini. Inilah faktor penyebab terganggunya sistim persatuan dan persaudaraan Islam. Satu agama mereka, tetapi berbeda pandangan hidup yang dimilikinya. Bahkan bukan saja perbedaan tetapi pertentangan antara pandangan hidup yang satu dengan lainya. Inilah keprihatinan kita. Bagaimanakah solusinya?

Allahu a’lam.

ISLAM : SUATU PILIHAN HIDUP

Setidaknya ada tiga cara orang memilih agama untuk dipeluknya . Pertama, mereka memluk agama karena keturunan. Kedua, orang memeluk suatu agama karena hasil pencarian kritis. Ketiga, orang memeilih agama karena keduanya, awalnya ia memeluk agama karena keturunan namun kemudian ia mempertanyakan kembali pilihannya itu dengan pertanyaan-pertanyaan kritis.

Jika karena cara pertama seseorang memluk suatu agama, maka ia tidak mau tahu tentang isi atau ajaran agamanya secara lebih mendalam. Benar atau tidak benar ajaran agamanya bukanlah suatu yang penting. Keberagamaan mereka cenderung mengikuti saja keberagamaan nenek moyangnya. Agama baginya bukan urusan rasionalitas, tetapi tradisionalitas. Cara ini juga membuat seseorang tidak kreatif dalam mengapresiasi agamanya, sehingga ia cenderung tidak mau tahu dan tidak mampu dalam mengantisipasi perubahan zaman, di mana agama harus menjawabnya.

Lain dengan cara pertama, cara kedua akan menjadikan orang mengetahui persis alasan ia harus memilih agama apa, karena agama pilihannya tentu saja agama yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan kritisnya. Kalau ia seorang yang memilih Islam sebagai agamanya, ia terlebih dahulu mempertanyakan mengapa harus Islam, bukan yang lain? Apa perbedaan essensial Islam disbanding dengan agama lain. Jawaban Islam atas pertanyaan-pertanyaan itu membuat ia memiliki alasan kuat untuk memilih Islam. Cara ini juga menjadikan ia berusaha untuk memahami ajaran agamanya secara lebih mendalam. Ia juga berusaha untuk menjawab setiap persoalan baru sebagai setiap tuntutan perubahan zaman. Cara ini juga mengharuskan seseorang untuk memahami agama secara rasional. Bukan itu saja, karena agama anutannya adalah hasil dari pencarian, tentu saja keberagamaan mereka lebih kuat dari keberagamaan sebagai hasil cara pertama.

Berbeda dengan agama lain, Islam selain mencakup ajaran tata cara menyembah Tuhan, atau mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya, juga mencakup tata cara hubungan antara manusia dengan sesamanya dan alam semesta. Tuhan, manusia, alam, hari akhir, akherat, dan kenabian adalah hal-hal pokok yang saling terkait dalan kehidupan. Bahkan tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kehidupan itu tidak lain adalah interaksi antara thema-thema pokok tersebut, interaksi antara Tuhan dengan manusia; interaksi antar manusia; interaksi antara manusia dengan alam; interaksi Tuhan dengan alam; alam dalam hal ini juga alam akherat. Kesemua thema tersebut (Tuhan, manusia dan alam, akherat dan kenabian) dibahas secara gamblang oleh agama Islam, terutama melalui kitab sucinya AlQur’an.

AlQur’an sebagai kitab suci bagi agama yang terakhir, sekaligus penyempurna bagi agama-agamna sebelumnya (QS.5:3), menjadikan ia mesti tampil sebagai kitab suci yang hebat. Lengkapnya alQur’an bukan berarti ia memuat segala hal, akan tetapi karena alQur’an memuat prinsip-prinsip mengenai interaksi antar thema kehidupan tersebut. Dengan penjelasan prinsip tentang semua pokok kehidupan tersebut menjadikan umat yang memahaminya memiliki pandangan hidup (wordl view)yang khas. Pada titik inilah kemukjizatan alQur’an terletak. Berbeda dengan para Nabi sebelumnya, yang memiliki mukjizat terbesar berupa fenomena besar yang meta rasional. Seperti Ibrahim tidak terbakar oleh api unggun raja Namrut, Musa yang bias membelah Laut Merah, Isa yang dapat menghidupkan kembali orang yang telah mati. Mukjizat Nabi Muhammad adalah alQur’an. Kemukjizatan alQur’an terletak pada kemampuan alQur’an membentuk pandangan hidup kaum mukminin yang membacanya. Pandangan hidup mukmin terbentuk manakala mereka memahami penjelasan alQur’an tentang berbagai thema kehidupan tersebut.

Dengan pandangan hidup tersebut mukmin baik individu maupun komunitas memiliki cara pandang yang benar tentang kehidupan. Dengan pandangan hidup tersebut keum mukminin dapat melakukan peran sebagai saksi atas manusia (syuhada ala al nas), dalam pengertian dapat melakukan dialog, dan sekaligus memberi keteladanan hidup bagi manusia yang lain. Dengan demikian dapat kita katakana alQur’an adalah petunjuk bagi sang wakil Allah di muka bumi ini (kahlifatu Allah fi al ardl).

Penjelasan alQur’an tentang prinsip tersebut berupa berbagai bentuk. Adakalanya berupa perintah langsung Allah SWT terhadap manusia, kisah atau sejarah masa lalu, penjelasan diskriptif tentang kehidupan yang baik dan buruk, diskripsi tentang akherat dan sebagainya. Susunan isi alQur’an seolah-olah berserakan dan tidak sistimastis, baik susunan ayat maupun susunan surat-suratnya. Tidak seperti buku biasa yang bioasanya sitimatisasinya mengikuti kaidah ilmiah, yakni pendahuluan, penjelasan teoritik dari yang umum dan kemudian mengkhusus, hingga akhirnya kesimpulan. Tidak demikian dengan alQur’an, awalnya memang surat al Fatehah, surat pembukaan, induk alQur’an (umul Kitab), tetapi bagaimana dengan suat albaqarah, Ali Imran, Anisa dan seterusnya. Nama-nama surat tersebut tidak menggambarkan urutasn yang sesuai dengan isinya. Dapat dikatakan ketidaksistimatisan itulah sistimatisasi alQur’an. Bukankah alam semesta ini juga tampak tidak sitimatis jika dilihat dengan sistimatisasi seorang arsitektur bangunan atau ahli tata kota. Namun demikian inilah justru letak hebatnya sistimatisasi alam.

Buku yang membiarkan ayat-ayat alQur’an berbicara sendiri tentang berbagai tema pokok kehidupan ini adalah karya Prof.Fazlurrahman, cendekiawan muslim asal Pakistan yang kemudian hijrah ke Amerika yang berjudul The Major Themes of Qur’an (Thema Pokok Al Qur’an). Melalui buku itu kita dapat memahami bagaimana alQur’an memandang Tuhan; siapa sebenarnya Tuhan, mengapa mesti ber tuhan, siapa Allah, dan seterusnya adalah beberapa pertanyaan yang dapat kita temukan dalam buku tersebut. Begitu juga dengan manusia, alam, nabi, dan kaherat.

Secara ringkas isi buku tersebut telah diresensi oleh sdr Khairul Asfiyak (http://fai-unisma-malang.blogspot.com/), diantara resensi tersebut adalah sebagai berikut :
Karya Fazlur rahman yang aslinya berjudul “Major themes of Qur’an” ini terdiri dari Pendahuluan, isi buku dan appendiks I dan II yang sesungguhnya kedua catatan ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan tema pokok al Qur’an, kecuali bahwa kedua appendiks tersebut disertakan dalam satu buku semata-mata untuk mendukung dan memperjelas komentar dan uraian-uraian fazlur rahman di dalam mengurai kondisi sosial dan dan setting sejarah yang mewarnai wajah al qur’an.
Al qur’an adalah kitab yang sempurna didalamnya memuat berbagai segi hubungan manusia dengan Tuhannya, hubungan manusia dengan diri dan sesamanya dan hubungan manusia dengan alam disekitarnya. Agaknya tema-tema inilah yang kemudian oleh fazlurrahman digambarkan dalam bukunya dengan lebih memperjelas tema-tema la qur’an itu kedalam 8 (delapan) kategori.

Salah satu dari kedelapan tema yang termuat dalam kandungan al qur’an adalah tentang aspek Tuhan. Fazlurrahman mempertanyakan tentang rasionalitas manusia dalam mengakui setidak-tidaknya mempercayai adanya wujud Tuhan ( hal. 2) Dalam pandangan beliau sesungguhnya al qur’an tidak “membuktikan” adanya Tuhan akan tetapi “menunjukkan” cara untuk mengenal Tuhan, melalui alam semesta yang ada (hal. 15)
Sisi lain kandungan al qur’an adalah manusia sebagai individu, dalam pandangan fazlurrahman asal usul manusia jelas beda dengan mahluk lainnya. Mengingat dalam diri manusia ada unsur ruh yang ditiupkan oleh Allah SWT. Sekalipun demikian ia menyangkal adanya dualisme individual antara jiwa dan raga dalam diri manusia sebagaiman terdapat pada filsafat yunani, agam kristen dan hinduisme ( hal. 26) beliau juga menjelaskan hakikat tujuan diciptakannyamanusia di muka bumi ini yakni sebgai khalifatullah mengemban amnah Allah SWt (28) Sekaligus hambatan dan tantangan yang dihadapinya dalam mengemban misi suci itu. Tantangan terbear manusia dalah syaitan karena ia melambangkan sifat kepicikan (dlaif) dan kesempitan fikir (قطر ) al qur’an tidak henti-hentinya menyebutkan kelemahan ini di dlm bentuk dan konteksyang berbeda. Karena kepicikannya kadang manusia berlaku amat sombong tetapi lekas putus asa. Tidak ada mahluk lain yang dapat menjadi sombong dan berputus asa sedemikian gapangnya seperti manusia (hal. 38-41) Oleh karena itu manusia yang baik harus memiliki keseimbangan yang dalam al qur’an disebut sebagai taqwa. Akar perkataan taqwa adalah waqy, berjaga-jaga atau melindungi diri dari sesuatu dan perkataan taqwa dengan pengertian ini dipergunakan juga dalam al qur’an surat ke-52:27 40:45 76:11 (hal 43)

Selain sebagai individu manusia dalah mahluk sosial, aleh karena itu al qur’an tdak bisa berdiam diri untuk tidak mengatur peri kehdiupannya dalam bermasyarakat. Bahwa tujuan diturunkannya al qur’an adalah menegakkan sebuah tatanan masyarakat yang ethis dan egalitarian , hal ini terlihat di dalam celaannya terhadap disekuilibrum ekonomi dan ketidak adilan sosial dalam masyarakat makkah waktu itu. Pada mulanya celaan itu lebih ditujukan kepada dua aspek yang berkaitan dengan pola hidup bermasyarakat yakni aspek politheisme dan ketimpanbgan sosial ekonomi yang menibulkan dan menyebebakna perpecahan diantara manusia (hal. 55)
Pada level sosial politik al qur’an juga ingin menguatkan unit kekeluargaan paling dasar yang terdiri dari orang tua, anak-anak, kakek,nennek dan masyarakat muslim dengan meniadakan rasa kesukuan. Kesetiaan kepad aorang tua ditegaskan dalam ayat 2:83 4:36 6:151 17:23 (hal61) semenatra dalam rangka melaksankan urusan pemerintahan al qur’an menyuruh kaum muslim untuk menegakkan syura (lembaga konsultatif) Nabi Muhammad SAW sendiri disuruh al qur’an (3:159) untuk memutuskan persoalan-persoalan setelah berkonsultasi dengan pemuka-pemuka masyarakat (hal 63) jika dalam musyawarah terjadi perselisihan dan berakibat peperangan diantara kelompok muslim, al qur’an menyerukan agar diangkat seorang penengah jika salah satu kelompok menolak penengahan ini maka ia harus diperangi (hal. 64) hal ini tidak berarti pemberontakan tidak diijinkan oleh al qur’an. Semua Nabi sesudah nabi Nuh adalah pemberontak terhadap tata nilai masyarakat yang didalamnya tersebar penyelewengandi atas dunia (fasad fil ardl) yang dapat diartikan sebagai keadaan yang menurus kepad apengabaian hukum secara politis, moral, sosial ketika urusan nasional / internasional tidak dapat dikendalikan lagi (hal. 65)

Tema lain yang memenuhi isi al qur’an adalah berita-berit atentang Nabi/rasul dan wahyu. Secar aumum dapat diaktakan bahwa semua rosul dibangkitkan adlah semata-mata menganjurkan pad afaham monotheisme bahwa hanya Allah SWt yang Esa dan yang patut disembah, tuhan-tuhan yang lain adalah palsu belaka (hal.121) menuurt al qur’an sebagai manusia belaka nabi dianggap wajar jika pernah melakukan kesalahansehingga ia harus terus menerus berjuang, jika tidak dapat berbuat demikian maka merka itu tidak dapat menjadi teladan bagi manusia yang lain (hal. 130) Minimal nabi tak pernah ingin menjadi nabi/ mempersiapkan dirinya menjadi seorang nabi, jelas sekali bahwa pwngalaman religius yang terjadi secara tak terduga itulah yang mengantarnya menjadi nabi (hal.132) Predikat kenabian bukan hal yang bagi bagi Nabi Muhammad Saw kadangkal ia dianggap sebgai kahin (52:29) atau penyair (36:69) dan tukang sihir (hal 136-137) yang menarik dalam pandangan fazlurrahman adalah ketika ia berpendapat bukan “malaikat”-lah mahluk yang menyampaikan wahyu kepada nabi Muhammad SAW, al qur’an tidak pernah menyatakan penyampai wahyu itu sebagai malaikat tetapi sebagai ruh/utusan spiritual. Allah SWt pernah menurunkan wahyu kepada malaikat akan tetapi dalm konteks yang berbeda(sebagai semangat orang islam/mu’min untuk berperang melawan musuh Allah SWT (8:12) Nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad SAW tampaknya berhubungan langsung dengan Allah SWT. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Nabi-nabi telah memperoleh manfaat dari ruh Allah SWT (hal.139) barangkali yang dimaksud engan ruh itu adalah kekuatan, kemmapuan /agensi yang berkembang di ahti Muhammad SAW dan jika diperlukan ia dapat berubah menjadi operasi wahyu yang aktual (hal.142)

Sisi lain kandungan al qur’an yang hanya sedikit disinggung adalah proses kejadian alam (kosmolologi/kosmogini) Jika al qur’an hnaya sedikit berbicara tentang kosmologi maka sebaliknya ia seringkali dan berualngkali membuat pernyataan-pernyataan mengenai alam dan fenomena alam yang kadang dikaitkan dengan Allah, dengan manusia atau kadang kedua-duanya. Pernyataan ini membersitkan isyarat tentang kekuasaan dan kebesaran Allah yang tak terhingga dan menyerukan agar manusia beriman kepada-Nya. Alam semesta beserta kekuasaan dan keteraturannya yang tak terjangkau akal ini harus dipandang manusia sebagai pertanda kekuasaan Allah SWT (hal.101) Informasi tentang proses kejadian alam ternyata pararel dengan apa yang disampaikan wahyu, sebagaimana dibuktikan penulis muslim pada abad pertengahan artinya informasi al qur’an tentang proses kejadian alam semesta adalah ilmiah adanya (hal.105) terakhir sekali bahwa alam semesta itu dalam gambaran al qur’an akan mengalami kehancuran di hari kiamat (hal. 114)

Bagian menarik lain dari alqur’an adalah persoalan eskatologis (akhirat) yang secara umum menggambarkan kenikmatan pahala surga dan azab neraka. Ide pokok tentang akhiat adalah munculnya kesadaran unik manusia tentang suatu pengalaman yang tidak pernah dialaminya dimasa-masa yang lalu (hal. 154) akhirat adalah saat kebenaran (hal. 154) dan tujuan akhir kehidupan /akibat jangka panjang dari amal perbuatan manusia diatas dunia ini. Semenatra dunia bukanlah “dunia ini” tetapi ia adalah nilai-nilai yang rendah /keinginan-keinginan rendah yang tampaknya sedemikian menggoda sehingga setiap saat dikejar oleh hampir semua manusia dengan mengurbankan tujuan-tujuan yang lebih mulia dan berjangka panjang( hal. 157) Konsep dasar akhirat sesungguhnya berujud sikap sarkasme al qur’an terhadap pedagang-pedang makkah yang bermegah-megahan dg emas, perak dan barang dagang lainnya.yang ditimbang adalah amal dan bukannya barang-barang tersebut (hal.158) Hanya saja al akhirat ini adalah sebuah ide yang sangat sulit untuk diterima oleh orang-orag mekkah jahiliyyah yang berpandangan sekularisme dengan alasan bahwa nnenek moyang dan leluhur mereka dulunya telah mendengar “kisah-kisah” ini jauh dimasa sebelumnya yang ternyata hal itu hanya khayalan orang-orang zaman dahulu (hal.168)

Menurut al qur’an akhirat adalah penting dengan alasan pertama, moral dan keadilan adalah kualitas untuk menilai amal perbuatan manusia yang itu tidak bisa ditegakkan di alam dunia, kedua, tujuan hidup harus diejlaskan dengan seterang-terangnya dan ap[a tujuan yang sesungguhnya dari kehidupan ini. Ketiga, perbantahan perbedaan pendapat dan konflik anttar manusia mestilah diselesaikan dan tempatnya adalah di hari akhirat nanti.

Adapun tema berikutnya adalah persoalan syaitan dan kejahatan. Fazlurrahman beranggapan bahwa iblis dan syaitan adalah personifikasi yang diruju’ al qur’an untuk mewakili kekuatan jahat yang ada dimuka bumi ini. Sekalipun demikian personifikasi syaitan sebagai aktor kejahatan masih menimbulkan perdebatan (hal. 178 & 189) Perbedaannya adalah bahwa syaitan kemunculannya bersamaan dengan kisah kejadian adam, jadi seusia dengan manusia walaupun sebelumnya telah ada dalam bentuk jin (hal. 181) sementara jin/iblis diciptakan sebelum adanya manusia berdasarkan 15:27 dan 7:12 (hal.180) al qur’an menggambarkan syaitan sebagai pembangkang perintah Allah SWT dan sebagi tandingan manusia, dan bukannya tandingan Allah SWT karena Allah SWT berada diluar jangkauannya. Jadi secara metafisis syaitan tidak sederajat dengan Tuhan, sbg-mana halnya Ahriman yang merupakan tandingan Yazdan dalam agama Zoroaster (hal.181) Dalam pandangan fazlurrahman aktifitas syaitan hanya mampu membingungkan manusia dan memendungi kesadaran-kesadaran batinnya (hal.182) syaitan tidak punya kekuatan akan tetapi kelicikan dan kelicinannya dengan menggunakan tipu daya, siasat membujuk dan berkhianat adalah aktifitas sejati syaitan (hal.183) Jadi kekuatan syaitan bertumpu pada kelemahan manusia (hal.184) Oleh karena itu yang berbahaya bagi manusia bukanlah faktor syaitan ansich/kekuatan syaitan akan tetapi sikap manusia itu sendiri yang tidak mengerahkan kekuatannya untuk melawan bujukan syaitan (hal.185)

Bagian terakhir dari tema-tema al qur’an adalah mulai dibangunnya sendi-sendi masyarakat muslim di Madinah. Keseluruhan bab terakhir ini membahas tentang kritik dan sanggahan beliau terhadap pendapat snouck Hurgronye , Theodore Noldekke, dan Friedrich Schwallly yang menyatakan bahwa risalah kenabian Muhammad SAW hanyalah bikinan muhammad belaka, karena muhammad ketika menyampaikan risalah islam tidak mendapat respon positif baik dari kalangan yahudi maupun nasrani. Respon negatif ini kemudian disikapi Nabi dengan menyatakan bahwa islam itu tidak berasal/ menginduk kepada kebesaran Yahudi ataupun Nasrani akan tetapi kepada Nabi Ibrahim. Satyu hal yang dalam pandangan Snouck dan orientalis pada umumnya adalah tindakan apologi belaka.

Dengan memahami alQur’an yang memiliki kandungan sedemikian hebat ini, dan selanjutnya kaum mukminin memiliki pandangan hidup secara konsisten dengan pemahamannya tadi, serta pada dataran berikutnya mukminin swecara konsisten pula mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata, maka lahirnya peradaban manusia yang dapat dipertanggung-jawabnkan baik dihadapan Tuhan, manusia dan alam segera akan menjadi kenyataan.

Peradaban modern yang diunggulkan manusia pada abad-abad ini adalah peradaban yang pincang. Peradaban yang hanya mengakomodasi tuntutan hidup yang bersifat lahiriah pada satu sisinya, sekaligus mencampakkan kebutuhan hidup manusia yang bersifat batiniah. Peradaban ini tidak hadir dengan sendirinya. Ia dilahirkan oleh sebuah pandangan hidup yang bersifat sekuleristik. Adalah pandangan hidup yang menceraikan kehidupan dunia dengan kehidupan keagamaan. Kehidupan dunia mulai dari politik, ekonomi, arsitektur, sain dan teknologi juga seni bukanlah urusan agama dan Tuhan. Itu semua murni urusan manusia. Benar-salah, baik-buruk, indah dan tidak indah, adalah urusan manusia dengan indera dan nalarnya untuk memutuskannya. Sebaliknya agama mengurus hubungan manusia dengan Tuhannya saja.

Dari pandangan hidup demikian, maka lahirlah peradaban manusia yang materialistic seperti kita saksikan saat sekarang ini. Suatu peradaban yang lahir tanpa panduan agama. Arsitektur peradaban materialistik hakekatnya adalah orang-orang yang tidak mempunyai (baca: tidak mengakui) Tuhan dalam hidupnya. Agama bagi mereka adlah urusan ibadah ritual semata. Jika ia seorang muslim, maka agama berarti syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji, tidak lebih dari itu. Sedangkan pasar, birokrasi, parlemen, pertanian, dan seterusnya bukanlah urusan agama. Ukuran keshalehan bagi manusia seperti itu adalah rajin beribadah saja. Tidak dikenal adanya kesatuan antara kesalehan individu dengan kesalehan social. Secara tata social, tidak ada hubungan antara bangunan masjid dengan pasar, partai politik, serta sanggar seni dan laboratorium ilmiah.

Jika kita seorang muslim dan mukmin mestinya rujukan pemahaman ke-Islaman kita kepada Nabi Muhammad SAW. Bukankah al Qur’an sebagai pedoman hidup normative sudah dilaksanakan pada dataran historis oleh Nabi Muhammad SAW? Sebagai konsekluensinya, untuk mendapatkan pemahaman terhadap al Qur’an yang benar, tidak bisa tidak harus menyertakan sunah Nabi Muhammad SAW. Memahami dan meneladani kehidupan Nabi adalah suatu keharusan integral untuk memahami alQur’an. Muhammad sebagai nabi bukanlah sosok yang pekerjaannya hanya khotbah di masjid, memimpin shalat berjama’ah dan doa. Akan tetapi, kecuali tugas itu semua, pada saat yang sama Nabi juga seorang politisi pemegang kekusaan. Ia juga hakim pemberi rasa keadilan masyarakatnya. Sebelumnya ia juga seorang pedagang besar. Dan tentu saja ia adalah seorang guru pendidik seluruh umatnya.

Dengan demikian pandangan hidup sekuleristik bukanlah lahir dari rahim ajaran Islam. Jika dikaitkan dengan Islam adalah sebuah destaosi terhadap Islam. Keberadaan pandangan hidp sekuler di dunia Islam Indonesia khususnya, tidak bias lepas dari rekayasa kaum colonial Belanda saat itu yang sangat ketakutan dengan pandangan hidup Islam. Melawan secara frontal dan fisik terhdap kekuatan kaum mukminin rakyat Indonesia adalah sesuatu yang sulit dilakukan. Oleh karenya disusupkanlah seorang intelektual Belanda (Snouch Horgronya) untuk mengamati kharakter ajaran Islam dalam kehidupan yang saat itu mengambil Aceh sebagai objek yang dia amati. Akhirnya diambil kesimpulan bahwa menguasai Islam dank um muslimin adalah sulit dilakukan dengan perang terbuka. Satu-satunya jalan yang mungkin adalh dengan membiarkan umat mukmin beribadah sepanjang mereka tidak berpolitik. Rekomendasi ini akhirnya menjadi kebijakan kolonialis Belanda untuk menguasai Islam di nusantara.

Anehnya, banyak generasi muslim saat ini yang tidak sadar akan tipu daya kolonial tersebut, dan dengan setia mewarisi pandangan hidup sekuler yang ditinggalkanya hingga saat ini. Inilah faktor penyebab terganggunya sistim persatuan dan persaudaraan Islam. Satu agama mereka, tetapi berbeda pandangan hidup yang dimilikinya. Bahkan bukan saja perbedaan tetapi pertentangan antara pandangan hidup yang satu dengan lainya. Inilah keprihatinan kita. Bagaimanakah solusinya?

Allahu a’lam.

Senin, 15 Februari 2010

INDIVIDU ATAU MASYARAKAT YANG DOMINAN

Diantara problem filsafat sosial adalah mana diantara individu dan masyarakat yang paling dominan. Individu yang mendominasi masyarakat atau sebaliknya masyarakat yang mendominasi individu? Murtadha Mutahhari, intelektual muslim yang telah ikut membidani lahirnya negara Republik Islam Iran, dalam bukunya Masyarakat dan Sejarah pernah mengulas persoalan tersebut.

Menurutnya Islam telah memiliki gagasan sendiri yang sangat jelas. Dalam sistim sosialis, masyarakat mendominasi individu. Bahkan individu hampir tidak memiliki hak atas dirinya sendiri. Semua tentang diri sudah menjadi miliki masyarakat yang diwakili oleh Negara. Kalau toh masih memiliki hak tinggalah sebagian kecil dan minimalis. Hak akan kepemilikan atas tanah, rumah, pendapatan, kekayaan, kebebasan berpendapat, politik, pendidikan sudah diserahkan –baca: dirampas oleh Negara. Masyarakat menjadi serba seragam. Individu tidak bisa menentukan sepenuhnya atas diri mereka sendiri. Memang dengan sistim yang serba seragam ini, dalam masyarakat tidak terjadi kesenjangan. Bahkan menurut sistim ini kesenjangan adalah bagian integral dari sistim lawannya yakni individualism-liberalisme, yang harus dilawan, dijadikan titik tolak perjuangan dan perubahan social menuju masyarakat yang serba sama rata sama rasa tersebut.

Dalam sistim social seperti itu, di mana individu menjadi sub-ordinat dari masyarakat, sepenuhnya ditentukan oleh masyarakat. Jika masyarakat baik, baiklah individu. Sebaliknya jika masyarakat lingkungannya buruk dan jahat maka buruk dan jahat pulalah individu. Perbaikan masyarakat yang mendominasi individu seperti model di atas harus dilakukan secara structural. Tata social yang harus dirubah sedemikian rupa sehingga kehidupan menjadi semakin ideal. Karenanya revolusi social menjadi jalan strategi kaum sosialis. Perbaikan dimulai dengan memetkan masyarakat menjadi dua kelas, yakni borjuis dan proletar. Revolusi adalah kebangkitan kaum proletar untuk menuntut hak sama rasa dan rata terhadap kaum borjius. Jika revolusi ini berhasil maka akan terbentuk masyarakat tanpa kelas. Inilah masyarakat ideal bagi kaum sosialis.

Sebaliknya adalah sistim liberal. Dalam sistim ini individu memiliki hak kebebasan yang tidak terbatas. Satu-satunya batasan adalah mekanisme pasar. Kompetisi antar individual atau kelompok dibiarkan bebas, sebebas-bebasnya. Dalam belantara pasar yang sedemikian bebas maka tentu siapa yang kuat dia yang menang, yang lemah pasti terlindas. Dikatakan aleh pengikut sistim ini, bahwa kebebasan adalah hak primordial pada setiap manusia. Jika dalam implementasi hak ini terjadi kompetisi atau bahkan konflik itu adalah hal yang biasa. Sudah menjadi tabiat alam kompetisi bebas ini terjadi. Hewan, tumbuh-tumbuhan dan juga manusia. Bahkan pada hekekatnya manausia adalah srigala bagi lainnya (homo homini lopus) . Saling kompetisi, saling mengalahkan dan saling membunuh adlah watak alaminya. Untuk menghindarkan konflik dalam suatu komunitas, maka dibuatlah kelompok berdasarkan suku, ras, dan kebangsaan, sehingga persaingan dan konflik terjadi bukan anatar manusia atau kelompok dalam suatu bangsa, tetapi antar bangsa.

Sebagai akibat dari kebebasan yang demikian kesenjangan social tidak bias terhindarkan. Kesenjangan bahkan harus ada, sebagaimana harus adanya persaingan. Dengan persaingan kemajuan akan dapat dicapai.
Menurut sistim ini individu mendominasi masyarakat. Perkembangan individu harus dilakukan dengan membiarkannya bebas. Atas alas an ini pembatasan dalam bentuk apapun harus dihilangkan. Persoalannya dapatak dalam ruang persaingan yang begitu bebas, kelompok yang lemah berkembang sebagaimana individu atau kelompok yang kuat. Bukankah yang kuat pasti menang dalam persaingan? Bukakah si kuat dapat membuat sitim persaingan pasar dengan leluasa untuk kepentingannya sendiri?

Mengahdapi dua sistim itu alQur’an bicara tentang sistim kemasyarakatan. Kebebasan masyarakat atas individu tidaklah terlalu salah. Karena ada hadit mutawatir tentang dominasi masyarakat atas individu tersebut. “setiap bayi yang lahir dalam keadaan fitrah (bertauhid, suci), sedang kedua orang tuanya (masyarakat lingkungannya) yang menjadikan ia yahudi, nasrani, atau majusi.” Masyarakatlah yang menentukan kualitas individu.

Namun demikian, kekuatan individu untuk membebaskan diri dari dominasi masyarakat bukan tanpa alas an. Atas dasar fitrah sebagai watak primordial manusia, seorang individu tidak bisa dijajah begitu saja oleh masyarakat. Atas dasar fitrah inilah individu melakukan pemberontakan terhadap dominasi dan hegemoni masyarakat. Sejarah kenabian dalam alQur’an menjelaskan bagaimana individu keluar dan bahkan mempengaruhi masyarakat. Nabi Ibrahim misalnya, ia dilahirkan dalam tatanan masyarakat paganistik (ayahnya sendiri tukang membuat patung sesembahan masyarakatnya), tetapi atas dasar fitrahnya Ibrahim mencari cahaya di balik kegelapan masyarakatnya. Hingga akhirnya ia mendapatkan cahaya itu berupa penemuan ke-Esaan Tuhan. Dengan prinsip tauhidnya, kemudian Ibrahim menghancurkan sistim social pagan yang semula mendominasi dan digantikanya dengan sistim baru yang lebih adil. Kisah Ibrahim memenggal dan merusak sistim berhala kaumnya, hingga perjuangannya melawan kediktatoran Raja Namrut adalah menjelaskan kebebasan individu atas masyarakat. Begitu juga dengan kisah Nabi Musa yang meruntuhkan sistim sosialnya Raja Fir’aun. Kisah Nabi Muhammad, putra Makah yang semula jahiliah, kemudia keluar dan menghancurkan sistim kejahiliahan Makah. Semuanya menggambarkan dan member inspirasi untuk terjadinya perubahan dalam masyarakat oleh individu yang memliki visi. Seorang mukmin bukanlah orang atau kepribadian yang ditelan oleh cakrawala, tetapi cakrawala yang ditelan oleh dirinya. Persoalannya kemudian adalah lalu bagaimana hubungan individu dan social dalam islam yang sebenarnya?

Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan awal bahwa. Pertama, individu awalnya adalah didominasi oleh masyarakatnya. Fase ini terutama terjadi ketika individu itu lemah dan belum berdaya, baik karena usia atau budayanya. Usia anak adalah usia seseorang yang hampir semuanya ditentukan oleh lingkungannya. Bagaimana lingkungan menghendaki kepribadian anak, ya seperti itu pula kepribadian anak akan menjadi. Kebudayaan yang melemahkan individu dapat berasal dari agama yang dipahami secara salah. Misalnya prinsip sabar dalam agama, jika ia disalah pahami menjadi nrimo ing pandum (meminjam istilah Jawa), adagium Jawa yang menyamakan “kehidupan manusia laksana wayang yang sangat tergantung kepada maunya dalang” adalah tata social-budaya yang melemahkan individu.

Melihat dan menghadapi agama yang salah dipahami masyarakat tersebut, Lenin dan Karl Mark membuat kesimpulan bahwa agama adalah candu masyarakat –nilai yang membuat masyarakat lemah tidak berdaya. Keduanya lupa bahwa Islam khususnya, menjadi nilai pelopor pemberontakan kaum yang lemah atas kaum yang menindas? Bukankah awal kenabian Muhammad hanya diikuti oleh orang-orang dari kelas proletar? Bukankah kaum yang mengingkari dan melawan Nabi Muhammad kebanyakan dari kelompok masyarakat atas (orang-orang kaya dan terhormat dari masyarakat Makah, seperti Abu Jahal dan Abu Lahab)?

Kedua, hegemoni masyarakat atas individu akan berakhir ketika individu tersebut eksist dengan prinsip, visi dan missinya. Kisah para Nabi di atas menjelaskan kesimpulan ini. Watak dominan masyarakat dengan demikian tidak bewrsifat dominan. Individu yang eksist dapat melakukan pemberontakan pada masyarakatnya jika hukum dia rasakan tidak sesuai atau bahkan bertentangan dengan fitrah atau hati nuraninya. Pemberontakan individu atas dasar fitrah inilah yang disaebut dakwah atau jihad. Bahkan jika hukum social itu terasa sangat kuat untuk dirubah, maka demi kebebasannya individu dapat keluar dari territorial yang menindas tersebut inilah yang disebut hijrah.

Namun demikian bukan berarti Islam mendukung aliran liberalism individu. Pada kebebasan individu terdapat hak masyarakat yang melekat secara inhern. Kebebasan individu bukan tanpa batas. Hukum waris, zakat, infak dan sedekah hakekatnya adalah hak masyarakat yang harus diberikan oleh individu pada ranah ekonomi. Demikian sistim social-ekonomi yang dijamin memberikan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat harus dilaksanakan oleh Negara. Bukan dibiarkan bebas oleh diri sistim itu sendiri.
Islam menyerahkan kepada manusia untuk menentukan bentuk sistim sosialnya sendiri. Islam hanya menentukan hal-hal prinsip tentang sistim social itu. Yang paling prinsip dari sistim social yang hendak dibangun adalah tauhid –transendensi dalam alam jagad raya. Bukan persoalan dunia yang menjadi pertimbangan kehidupan dunia ini harus dibangun, tetapi Tuhan, akherat, kebaikan, kebenaran, dan keadilan yang utama. Kesalahan paling mendasar dari sosialisme dan kapitalisme adalah nilai dasarnya yang tidak lain adalah materialism.
Allahu a’lam.

NEW GENERATION ITU BERNAMA YAHYA

Kembali kepada alQur’an dan alSunnah adalah prinsip gerakan Muhammadiyah. Prinsip ini dicanangkan sejak awal pendirian persyarikatan ini bukan tanpa sebab. Kecuali alQur’an dan alSunah sebagai sumber utama ajaran Islam, sebagai konsekuensinya seluruh ajaran harus dapat dipertanggungjawabkan pada dasar tersebut pada satu sisi, pada sisi lain umat Islam hampir di seluruh dunia muslim, alih-alih dapat mempertahankan sebagai pemegang supremasi peradaban dunia seperti yang dicapai pada abad-abad pertengahan, tetapi malah hidup inferior di bawah superioritas Barat.

Hasil pencanderaan the founding father Muhammadiyah terhadap ketertinggalan dan keterbelakangan tersebut adalah sebagai akibat umat Islam telah lama meninggalkan sumber utamanya,alQur'an dan alSunah sebagai pedoman hidup. Umat Islam khususnya di Indonesia, terlalu asyik dengan hal-hal yang berbau tahayul, bid’ah dan khurafat yang notabene bukan berasal dari ajaran Islam. Dengan meninggalkan sumber ajarannya tersebut, umat islam kehilangan agama sebagai sumber dari pandangan hidup, dan akhirnya umat kehilangan elan vital, sebagai umat yang dinamis, kreatif dan inovatif dalam mengarungi dunia ini. Oleh karena itu, gerakan kembali kepada alQur’an dan alSunah harus dilakukan. Pada ranah inilah Muhammadiyah sebagai sebuah gerakan dakwah dan social berada. Dengan segala dinamika, pertumbuhan dan perkembangan, bahkan pasang dan sekaligus surut dalam sejarah telah dilalui oleh Muhammadiyah, bahkan saat ini telah samapailah pada usia monumental 100 tahun.

Di usianya yang genap satu abad ini para aktifis Muhammadiyah perlu merenungkan salah satu teori Toynbe Sejarahwan dari Inggris dengan teori morfologi peradabanya. Ringkasnya Toynbe berpendapat bahwa peradaban manusia sebenarnya sama seperti makluk hidup mengalami morfologi dalam hidupnya. Seperti dalam diri manusia sendniri, kehidupan pasti mengalami transformasi berturut-turut dari kelahiran sebagai bayi yang dilanjutkan ke masa anak-anak, kemudian remaja, dewasa, tua dan akhirnya mati.

Masa anak-anak Muhammadiyah tentu terjadi di awal masa kelahirannya hingga berkembang sel-sel organisasinya, khususnya pada masa kepemimpinan awal. Para perintis berjuang habis-habisan untukmendirikan Muhammadiyah, mulai dari merumuskan blueprint (jati diri) hingga mencoba bertahan dari berbagai keterbatasan dan kesulitan. Kiai Dahlan dan sahabat serta murid-murid langsung beliu berperan pada fase kelahiran hingga bayi Muhammadiyah ini.

Berikutnya adalah masa ramaja, yang mana seluruh sel organisasi sudah eksis dan siap berkarya bagi lingkungannya. Kami menduga fase ini berlangsung hingga sekitar masa kemerdekaan, di mana tokoh-tokoh Muhammadiyah telah mulai dikenal dalam percaturan nasional berjuang bahu-membahu dengan elemen masyarakat yang lain berjuang melawan penjajah, hingga akhirnya meraih kemerdekaan, merumuskan arah dan bentuk Negara RI, dan akhirnya ikut mempertahankan kemerdekaan tersebut dari berbagai ancaman yang datang. Pada fase ini juga, secara internal dalam tubuh Muhammadiyah mengalami perkembangan menuju sebuah persyarikatan yang sempurna. Fase ini berakhir hingga masa orde lama berakhir.

Fase berikutnya adalah fase dewasa. Pada fase ini Muhammadiyah memasuki masa dimana semua sisi organisiasinya—ortom-- telah mencapai perkembangan sempurna, bahkan telah mencapai puncak perkembangannya. Pada sector pendidikan sekolah-sekolah Muhammadiyah mulai dari Bustanul Athfal, hingga perguruan tinggi telah berhasil beukan ssaja sebagai pelopor tetapi bahkan berhasil menduduki peringkat terdepan bersama-sama dengan lembaga pendidikan dari elemen yang lain, terutama Negara. Begitu juga sector kesehatan, rumah sakit Muhammadiyah telah menjadi rumah sakit termaju bersma rumah sakit lain. Begitu juga pada sector keagamaan serta social. Masjid Muhammadiyah, majlis-majlis taklim Muhammadiyah, rumah yatim piatu, panti jompo telah menjadi paling maju baik secara kuantitas maupun kualitas. Semua lembaga amal usaha Muhammadiyah telah melakukan peran yang terbaik, serta memberikan manfaat secara maksimal pada fase ini.

Namun kemudian, disadari maupun tidak fase ini pun harus berakhir. Sel-sel dalam tubuh Muhammadiyah, baik pada tubuh persyarikatan maupun pada tubuh amal usahanaya telah mengalami penuaan. Dinamisasi telah memuncak dan mulai berganti dengan stagnasi. Rasionalitas gerakan mungkin juga sudah mengalami titik jenuh dan kemudian berganti menjadi rutinitas-tradisional. Ketajaman visi telah mengalami penumpulan visi, sehingga Muhammadiyah tidak lagi mampu membaca dengan tajam dan cerdas berbagai persoalan yang yang berada di tengah-tengah masyarakat, dan khirnya juga gagal membuat solusi atas persoalan tersebut. Soliditas organisasi yang pada masa sebelumnya kuat bagaikan satu tubuh, segera memasuki fase yang mana satu bagian terasa terpisah dari bagian lain, hubungan semakin longgar satu ortom dengan ortom lain, bahkan dalam ortom tersebut perpecahan dan konflik kepentingan telah menjadi warna mencolok.Yang dahulu kehadirannya ditunggu-tunggu oleh yang lain, saat penuaan ini terjadi kehadiran Muhammadiyah menjadi sesuatu yang membosankan. Jika tidak segera menyadari ketuaannya, maka dimulai dengan fase ini kematian tinggal menunggu waktu.

Tetapi ingat, ketika seseorang telah memasuki fase dewasa bahkan tua, yang normal telah menyiapkan generasi penerusnya guna melanjutkan estafeta kehiduapn dan perjuangannya. Satu dinasti jika tidak ingin mati dan terhapus dari sejarah peradaban masyarakatnya harus telah menyiapkan generasi penerus untuk menghidupakan dinasti tersebut. Jika tidak, maka dinasti sebesar apapun akan hancur ditelan zaman. Pohon pisang saja, sejak masih produktif ia telah menumbuhkan tunas baru bahkan ada beberapa tunas dari satu induk,yang siap menggantikan peran induknya. Karena itu, pohon pisang tidak sampai punah dari kehidupan ini.

Sistim regenerasi Muhamaadiyah, sebagaimana dengan organisasi yang lain, memang telah ada dan berjalan. Sistim regenerasi di persyarikatan ini berjalan mulai dari tingkaat pusat yang disebut muktamar, tingkat wilayah disebut musywil, tingkat daerah disebut musyda, dan tingkat cabang dan ranting disebut musycab dan musyran. Memang dalam muktamar misalnya terjadi pergantian kepemimpinan secara nasional dari Pak AR Fakhrudin kepada Pak Ahmad Azhar Basyir, dan selanjutnya secara berturut-turut dari Pak Azhar kepada pak Amin Rais, Pak Syafii Maarif, hingga saat ini Pak Din Samsudin. Namun jika kita cermati regenerasi itu masih terbatas pergantian personal.

Menurut hemat kami regenerasi yang terjadi belum didahului, atau dibarengi, dengan adanya regenerasi paradigma, visi dan gagasan pergerakan. Regenerasi yang terakhir ini jauh lebih substansial dan lebih enting dari pada sekedar pergantian pemimpin. Karena pada hakekatnya setiap generasi itu menghadapi tantangan dan persoalannya sendiri. Tidak bisa generasi baru menggunakan paradigma, visi, dan gagasan generasi sebelumnya apa lagi jika perbedaan rentang waktu itu lama. Regeerasi yang terakhir tersebut laksana ruh bagi persyarikatan. Kita dapat bayangkan jika ruh regenerasi ini tidak terjadi, berarti tidak ada regenerasi. Sehingga persyarikatan sebenaarnya masih dengan paradigm, visi, dan gagasan lama untuk digunakan oleh pemimpin yang baru. Akibatnya wajar kalau tidak ada kesan inovasi. Sementara seperti NU misalnya transformasi dari fase tua itu malah terjadi. Kita sebagai outsider dapat merasakan adanya gerakan neo-tradisionalisme yang memimpin NU sejak kepemimpinan Gus Dur hingga Hasim Muzadi.

Jika ia tidak ingin memasuki masa pikun bahkan kematiannya, maka Muhammadiyah mestinya sudah melakukan regenerasi di usia dewasanya dahulu bukan saat ini. Tetapi dari pada tidak ada regenerasi, tidak apalah dimasa tuanya ini Muhammadiyah harus melahirkan generasi baru guna meneruskan perjuangannya. Apa tidak terlambat, apa sebenarnya generasi baru tersebut, bagaimana melahirkannya, apakah saat ini belum ada? Adalah beberapa pertanyaan yang harus dijawab.

Lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali, itulah mungkin kalimat yang paling cocok untuk menjawab pertanyaan apakah kita terlambat. Nabi Zakariya diusianya yang sudah tua ditambah dengan keadaan istrinya yang mandul mengadukan persoalan regenerasinya kepada Allah. Dengan ketulusan dan kegigihannnya dalam berjuanag, maka doa Nabi Zakariya dikabulkan Tuhan dengan kelahiran putranya yang saleh luara biasa, Nabi Yahya (QS.19: 2-15). Mungkin kisah Nabi Zakariya dalam ayat-ayat tersebut bisa kita gunakan sebagai pelajaran/i’tibar bagi Muhammadiyah. Perjuangan panjang yang sudah dilakukan Muhammadiyah dengan penuh ikhlas , bisa jadi menjadi wasilah bagi Muhammadiyah untuk melahirkan generasi sekualitas Nabi Yahya.

Yahya, secara etimologis berarti hidup-kehidupan. Hidup berarti adanya ruh yang mengaktifkan hati, pikiran dan badani. Seperti yang telah disinggung di atas ruh bersrti paradigm, visi dan gagasan baru. Aktifnya hati berarti tergeraknya hati untuk dapat merasakan kehadiran Tuhan (dzikir), memiliki kepekaan rasa terhadap apa yang dialami diri dan orang lain, kemauan untuk senantiasa berpegang terhadap kebenaran, pemihakan tehadap kaum yang tertindas, kamauan untuk berjuang di jalan yang benar. Aktifnya pikiran berarti tergeraknya pikiran untuk mengenali dan membaca kebenaran dan persoalan yang ada dalam masyarakat, merumuskan kebenaran dalam bentuk konsep, kemampuan merumuskan cita-cita, sekaligus merumuskan gerakan yang tepat dan strategis untuk merealisasikan cita-cita itu. Aktifnya jasmani berarti aktinya seleuruh sel organisasi, baik sruktur induk, ortum, maupun amal usaha Muhammadiyah. Sehingga dapat dipastikan seluruh elemen organisasi tersebut bergerak melaksanakan penannya secara tepat.

Generasi baru sekualitas Yahya bagi Muhammadiyah adalah generasi muda yang berkharakter profetik (kenabian). Adalah pertama, generasi Muhammadiyah yang gelisah –protes terhadap realitas empiris yang ia hadapi—dan terus menerus tanpa kenal lelah mencari soluasi atas permasalahan tersebut. Kedua adalah generasi yang menunjung supremasi wahyu di atas potensi humanistiknya. Rasionalitas dan empiritas bukan segala-galanya, bahkan ditundukkan oleh supremasi wahyu. Ketiga generasi yang secara professional turun dari rumah elitismenya, sesuai bidang yang ia tekuni ia terjun langsung di masyarakat untuk mengajak kembali hidup dalam sistim Allah. Ketiga kharakter tersebut ia lakoni dengan konsisten samapi akhirnya dengan pertolongan Allah ia kembali berhasil seperti orang tuanya.

Untuk melahirkan generasi baru tersebut, generasi tua juga harus mengawali dengan mewarisi mental Nabi Zakariya, adalah pertama, generasi tua yang juga gelisah dengan usia keberadaannya, keberadaan persyarikatannya yang kia semakin menua. Bukan generasi yang masih cukup percaya diri, merasa masih muda, produktif, sebanding dengan tantangan zamannya.Selanjutnya ia memohon kepada Allah untuk hadirnya generasi baru bukan generasi yang sama dengan dirinya. Yang sama diantara keduanya adalah sama-sama harus melakukan peran kenabian, syariah, bentuk, dan teknis gerakan sudah harus berbeda sebanding dengan tantangan yang dihadapi.

Harus diakui untuk saat ini beberapa bagian dari persyarikatan Muhammadiyah sudah melakukan regenerasi. Namun demikian regenerasi yang ada masih dilakukan secara sendiri-sendiri, sporadic, belum sistemik, sistematis, dan total. Regenerasi yang sporadic tersebut akhirnya terkesan reaktif dan lokalistik.

Sebagai contoh misalnya, dalam bidang pendidikan. Perlu disyukuri bahwa saat belakangan ini muncul sekolah-sekolah baru Muhammadiyah. Baru dalam arti bukan gedungnya, atau sekedar mendirikan sekolah baru, tetapi sekolah yang didirikan dengan latar belakang kesadaran yang baru, paradigm baru, kurikulum baru, hingga tradisi yang baru juga. Namun sayangnya, seolah-olah sekolah baru tersebut masih berdiri sendiri-sendiri, belum dibarengi atau seharusnya diawali oleh yayasan langsung (majlis dikdasmen pusat) yang memiliki paradigm yang baru, dan gagasan baru, serta sistim birokrasi yang baru.Dengan demikian regenerasi di bidang pendidikan dapat dilakukan secara sistimatis, nasional, dan mengakar pada regenerasi paradigm yang kuat. Gejala yang lain, sekolah yang baru tersebut belum didukung oleh tersedianya berbagai perangkat lunak seperti kurikulum, buku rujukan, dan sebagainya. Bukti lainnya, di beberapa daerah muncul sekolah baru tersebut, tidak di daerah yang lain, atau di semua daerah. Bahkan masih ada beberapa daerah yang takut dengan munculnya generasi baru dalam bidang pendidikan tersebut.

Seperti Kiai Dahlan, sang pendiri Muhammadiyah adalah generasi baru pada masanya. Ruh regenerasi itu ia sendiri yang mewakilinya. Dengan demikian ruh regenerasi itu harus dimulai dari seseorang bukan gerakan kolektif. Dari seorang individu tersebut selanjutnya ruh generasi baru menjelma menjadi bola salju yang semakin membesar ketika disosialisaikan pada ranah publik. Jelmaan ruh generasi baru itulah Muhammadiyah. 100 tahun sudah generasi baru tersebut berjuang. Berbagai fase kehidupan sudah ia lakukan dengan peran terbaik. Kini saatnya lahir ruh generasi baru dari Muhammadiyah. Namun sebagai syarat lahirnya generasi baru diantaranya harus ada kesiapan dari generasi sebelumnya. Secara kolektif generasi tua harus siap bahkan berharap muncul / lahirnya generasi baru abad kedua Muhammadiyah, sebagaimana halnya Nabi Zakariya yang bermunajat kepada Allah akan segera lahirnya generasi baru. Generasi tua harus menciptakan kondisi yang memungkinkan lahirnya generasi baru, jangan malah menghalangi generasi baru tersebut. Bagaimana keadaan dan situasi saat ini, sudah demikiankah adanya? Kejujuran kitalah yang dapat menjawabnya.
Allahu a’lam.

Selasa, 09 Februari 2010

FITROH

Dalam sebuah hadits-nya, Rasulullah SAW bersabda, “Setiap bayi terlahir dalam keadaan fitrah (suci). Orang tuanya yang menjadikan seseorang itu Yahudi, Nasrani atau Majusi.” Persoalannya adalah apa yang dimaksud “fitrah (suci)” dalam hadits tersebut. Apakah suci berarti netral, belum berisi, dan belum memihak, sehingga dapat dengan mudah diberi warna merah, hijau, atau abu-abu. Atau sebaliknya suci berarti memihak pada sesuatu yang bersih, tidak kotor, apa lagi gelap, karena penuh noda.

Untuk mendapatkan makna yang lebih pasti, ada baiknya jika kita juga renungkan beberapa ayat atau hadits lain yang berkaitan dengan keadaan tersebut. Pertama, adalah QS. Al A’raf: 172. Pesan penting dari ayat tersebut adalah, ketika masih dalam proses awal menjadi janin, ruh dari janin tersebut telah berjanji kepada Tuhannya bahwa ia sanggup untuk mengakui Ketuhanan Allah SWT. Dengan demikian menurut ayat ini sebenarnya sejak berupa janin (usia 160 hari dalam kandungan), manusia telah mengakui ketuhanan Allah SWT (ber-tauhid).

Kedua, setelah bayi itu lahir ke dunia serta tumbuh menjadi baligh (dewasa), komitmen pada nilai tauhid tersebut tetap mendasari perkembangan kepribadiannya. Sebagai buktinya, berikut ada sebuah ilustrasi; Ketika seorang melihat film di layar TV, yang dalam alur ceritanya ada pahlawan sang pembela kebenaran dan penjahat musuh kebenaran tersebut, maka semua manusia apapun agama, ras, suku dan bangsanya, pasti mendukung peran sang pahlawan dan membenci penjahat.

Kecenderungan semua manusia dengan berbagai idiologinya terhadap kebenaran yang sama dalam ilustrasi tersebut, menunjukkan bahwa sebenarnya kebenaran memang tunggal. Tidak ada standar ganda terhadap suatau kebenaran, karena kebenaran memang berasal dari Tuhan yang satu (tauhid). “Kebenaran datang dari Tuhanmu, maka janganlah engkau termasuk orang yang ragu”(QS. ) Dengan alasan ini, sekali lagi menunjukkan bahwa manusia sejak awal kejadiannya memang telah ber-tauhid.

Tauhid juga menjadi inti dari semua agama yang dibawa oleh semua Nabi dan Rasul. Sedangkan semua Nabi dan Rasul adalah muslim. Dengan demikian pada hakekatnya semua manusia sejak berupa janin sudah “beragama” yakni Islam. Karena itulah, dalam redaksi hadits di atas kata fitrah disejajarkan dengan nama beberapa agama (Yahudi, Nasrani, dan Majusi). Jika fitrah diartikan sebagai suci, tentu yang lebih pas dipersandingkan dengan kata kotor, mengkilap, dan sebagainya.

Sesuai dengan ilustrasi di atas, dapat dipahami bahwa kehendak fitrah teraktualisasi menjadi suara hati. Selanjutnya suara hati dapat terekspresi kedalam sikap seseorang. Ekspresi fitrah menjadi sikap tersebut dapat terlihat jelas ketika seseorang tidak sedang memiliki kepentingan (interest) pada suatu persoalan. Pada ilustrasi di atas digambarkan sebagai “sekedar melihat film”. Sebaliknya, kehendak fitrah, ekspresi suara hati menjadi tidak jelas, ketika seseorang berada di tengah-tengah kepentingan. Pada saat seperti ini fitrah, suara hati menjadi tertutup oleh kepentingan orang itu sendiri, yang tidak lain adalah bersumber pada ego-nya.

Walaupun dalam kondisi seperti ini bukan berarti suara hati (fitrah) menjadi hilang. Ia masih tetap ada hanya saja tidak dapat terekspresi menjadi sikap. Suara hati akan tetap hanya sebagai suara hati yang hanya dikenali oleh pemiliknya saja. Seperti pada kasus seorang pelacur, sebenarnya suara hatinya menyadari bahwa tindakan pelacurannya itu salah, tetapi apa boleh dikata ia berada pada tarikan kepentingan butuh uang. Orang seperti ini sebenarnya sedang mengalami kepribadian yang terbelah atau ganda (split personality). Kehidupannya tidak nyaman karena perang dengan hatinya sendiri.

Sebaliknya dengan menjadi muslim, manusia akan dapat hidup sehat tanpa mengalami split personality tersebut. Hal ini dapat dipahami, karena Islam sesuai dengan makna aslinya adalah menyerahkan diri. Menjadi muslim (orang yang beragama Islam) pada hakekatnya seseorang telah menyerahkan seluruh interest pribadinya (ego). Sehingga egonya menjadi selaras dengan interest Tuhan, yang sebenarnya juga selaras dengan suara hatinya. Hal itu ditunjukkan melalui sikap seorang muslim yang secara sadar (tidak terpaksa) taat terhadap syariat agamanya. Dengan mentaati syariat agamanya, berarti kehendak fitrah dapat teraktualisasikan tanpa di halangi oleh ego. Akibatnya dengan menjadi muslim, seseorang akan mendapatkan kepribadian yang sehat dalam arti tidak ada ketegangan-ketegangan jiwa, beban-beban psikis, sebagai akibat tertutupnya kehendak fitrah atau suara hatinya.

Semua ajaran dan syariat Islam tidak ada yang bertentangan dengan fitrah manusia. Islam memiliki syariat pernikahan yang sejalan dengan fitrah manusia untuk berhubungan dengan lawan jenisnya. Bahkan pada sebuah hadits dijelaskan bahwa pernikahan adalah sunah Rasul yang tidak boleh ditinggalkan seorang muslim. Hal ini berbeda dengan agama tertentu yang mensyaratkan tidak kawin untuk menjadi pemimpin agama. Islam memandang dunia sebagai ladang yang harus di garap dengan penuh kesungguhan, untuk mendapatkan panen di akherat. Seorang muslim haram membelakangi dunia demi untuk akherat. Ajaran ini selaras dengan fitrah manusia yang cenderung pada dunia. Prinsip Islam ini juga sangat berbeda dengan ajaran agama tertentu yang mensyaratkan untuk membelakangi dunia guna mendapatkan surga. Ringkasnya, Islam adalah agama yang selaras dengan fitrah manusia (QS. Ar Rum:30). Tidak akan terjadi penekanan, perlawanan, dan perampasan terhadap kehendak fitrah dengan menjadi seorang muslim.

‘Idul-fitri berarti kembali suci. Yaitu kembali pada suasana di mana kehendak fitrah, suara hati, akan mendasari seluruh sikap, pemikiran dan prilaku manusia dalam kehidupan nyata. Kehendak diri (ego) tidak lagi menjadi tuan atas sikap, pemikiran dan prilakunya. Ini berarti hilangnya semua sikap, pemikiran dan prilaku salah, buruk, dan jelek, karena digantikan oleh sikap, pemikiran dan prilaku yang benar, baik, dan indah. Jika kenyataan ini terwujud inilah kemenangan sejati seluruh umat manusia bahkan jagat raya.

Kemenangan ini diperoleh setelah sebulan penuh semua muslim melakukan serangkaian bentuk peribadatan dengan penuh kesadaran dan ketaatan, mulai dari pengendalian diri secara total dalam puasa, shalat malam, tadarus al-Qur’an, hingga memperbanyak shadaqah.

Dengan bekal idul fitri ini kemudian seorang muslim kembali turun ke medan kehidupan untuk berdialog dengan segala dinamika dunia, apakah hasil dialog tersebut menjadi ia terpelanting pada prilaku, sikap, pemikiran, dan bahkan kehilangan kehendak hati nuraninya, atau ia berhasil bertahan dengan kesucian nuraninya.
Allahu a'lam.

MASA DEPAN SEJARAH KEMANUSIAAN

Setiap manusia memiliki kecenderungan kepada kebenaran dan menolak segala bentuk kejahatan. Kecenderungan ini disebut dengan FITRAH(baca kembali tulisan tentang "Fitrah"). Kecenderungan ini bersifat abadi dan laten. Sekalipun sering kali karena tertutup oleh kuatnya tarikan atas kepentingan, seseorang tidak menghiraukan kecenderungan dasarnya tersebut.

Untuk mengembalikan manusia yang tidak menghiraukan lagi kecenderungan dasarnya pada satu sisi, serta dalam rangka menjaga sikap konsistensi (istiqomah) pihak yang berpegang pada kecenderungan dasarnya itulah seruan, peringatan ajakan untuk kembali dan tetap hidup dalam kecenderungan dasar, harus senantiasa diserukan. Inilah hakekat dakwah (yang secara letterlack) berarti seruan atau ajakan (kepada sistim Allah).

Bertolak pada kecenderungan semua manusia kepada kebenaran yang bersifat laten (universal)kapan dan di manapun, arah perubahan social dalam sejarah, ditentukan. Guna mendapatkan gambaran konkrit mengenai arah perubahan social ini, baiklah kita mulai untuk memahami lingkup social yang paling kecil dan sederhana yakni keluarga.
Keluarga setidaknya terdiri dari orang tua (ayah dan ibu) beserta anak-anak mereka. Semua aggota keluarga ini akan merasa nyaman dan tentram dan akhirnya kerasan dalam keluarga itu jika kondisi keluarga dalam keadaan yang baik atau sehat. Dikatakan keluarga sehat jika semua anggota keluarga menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran, keadilan, kasih sayang, kesabaran, dan kebersamaan…(sisi batiniyah). Atas dasar sisi batiniyah ini, kondisi lahiriyah seperti sehat lingkungan keluarga, cukup secara ekonomi, aman secara fisik, dapat dibangun. Mengapa keadaan ini menentukan kenyamanan, ketentraman, dan kekerasanan semua naggota keluarga? Jawabnya adalah karena situasi batiniyah dan keadaan lahiriyah tersebut sesuai dengan kehendak dasar manusia. Jika dibayangkan keadaan sebaliknya. Misalnya ada diantara anggota keluarga tersebut yang meninggalkan kecenderungan dasarnya, dengan menginjak-injak nilai kebenaran, keadilan, kasih sayang, dan kebersamaan, tentu semua anggota keluarga yang lain akan merasa terusik, serta tidak nyaman.

Mereka yang terusik ini sudah pasti akan mengadakan reaksi, mulai memberi peringatan, menentang dengan sikap lebih keras, dan bahkan bisas jadi berupa pertengkaran fisik. Jika peringatan dan pertengkaran tersebut tidak menghentikan pihak yang hidup dengan kebatilan atau kejahatan, bahkan pihak ini berkuasa atau dominan dalam keluarga tersebut, maka dengan alasan demi kebenaran, kenyamanan dan ketentraman diri mereka yang berpegang teguh kepada nilai-nilai kebenaran dan keadilan dengan terpaksa akan pindah keluarga lain atau mendirikan keluarga baru.
Peringatan mulai dari yang persuasive, hingga upaya yang lebih bersungguh-sungguh dan mengerahkan segala upaya dan daya untuk menghentikan semua bentuk kejahatan, serta akhirnya harus pergi meninggalkan keluarga demi kebenaran, ketentraman dan kenyamanan, dengan sadar inilah ilustrasi dari prinsip dakwah, jihad dan hijrah.
Demikian juga dalam kamunitas social yang lebih luas dari itu, baik dalam lingkup jama’ah (kelompok social) maupun ummah (masyarakat); prinsip-prinsip fitrah (kecenderungan dasar kemanusiaan), dakwah, jihad, dan hijrah, akan menjadi prinsip dan ruh perubahan social.

Sejarah Nabi adalah gambaran sejarah yang merepresentasikan dan mengaktualisasikan berbagai prinsip tersebut. Muhammad adalah sosok manusia yang sebelum diangkat menjadi Nabi dan Rasul sudah memiliki predikat manusia yang hidup dengan kecenderungan dasarnya. Dalam sirah Nabi digambarkan bahwa semenjak kecil ia tidak gemar atau bahkan tidak pernah menyaksikan tontonan berupa tarian-tarian jahiliah. Jika ia diajak menonton tontonan jahiliah ia pasti tertidur. Diusia remajanya, Ia sudah mendapat kepercayaan dari kaumnya untuk menjadi penengah –mediator guna menyelesaikan konflik, bahkan ia juga diberikan gelar oleh kaumnya sebagai orang yang dapat dipercaya (al-amin).

Pada awal kenabiannya, kaum yang menolak seruan dakwahnyapun sebenarnya percaya dengan pesan kenabian Muhammad, karena sepanjang hidupnya Ia tidak pernah bohong, namun karena berbagai kepentingan (interest) orang-orang kafir menentang kerasulan Muhammad SAW.

Dengan pribadinya yang lurus dengan watak dasar kemanusiaannya (hanif) ini, Muhammad sangat gelisah melihat kajahiliahan masyarakat sekitarnya. Dalam kegelisahan jiwanya tersebut, Ia berkhalwat (menyepi guna merenungi masalah masyarakatnya) sehingga pada puncak khalwatnya Ia didatangi utusan Allah SWT, Malaikat Jibril yang menuntunnya untuk menerima wahyu. Wahyu, predikat Nabi dan Rasul (Utusan Allah) tidak datang pada situasi vakum, melainkan datang di puncak perenungan , pencarian solusi, aktif).

Fase berikutnya, Nabi Muhammad tidak lagi aktif berkhalwat melainkan terjun langsung ke tengah-tengah masyarakatnya untuk menyeru, mengajak, memberi peringatan, dan kabar gembira, mengembalikan masyarakatnya untuk hidup dalam sistim Allah serta meninggalkan budaya jahiliah dan selanjutnya membangun budaya baru yang sesuai dengan kecenderungan dasar manusia (fitrah). Fase inilah yang disebut fase dakwah. Seruan dakwah ini disampaikan kepada semua manusia yang Nabi jangkau, mulai dari keluarga dan saudara terdeka, intern suku Quraisy, hingga masyarakat Makah pada umumnya. Seruan dakwah hakekatnya panggilan untuk kembali kepada kecenderungan watak dasar manusia. Orang-orang yang tidak memiliki kepentingan (interest) terhadap kehiduapan dan budaya jahiliah, baik politik, maupun ekonomi, segera menyambut seruan dakwah Nabi dan menyatakan diri menerima seruan tersebut. Mereka yang menerima seruan dakwah itu adalah kebanyakan masyarakat dari kelas tidak berkuasa dan bukan orang kaya (power and capital less), karena merekalah masyarakat yang tidak memiliki interest untuk menolak seruan dakwah. Dan kelompok yang habis-habisan menolak seruan dakwah adalah masyarakat yang berkuasa baik secara sosial politik maupun kekonom i. Penolakan terhadap seruan dakwah bukan berarti tidak percaya dengan isi pesan dakwah, melainkan penolakan yang sadar bahwa jika pesan dakwah mereka terima berkonsekuensi pada hilangnya asset, akses, legitimasi, akibat diterapkannya sisitim kehidupan dan kebudayaan yang berganti. Jika seruan dakwah ini dilaksanakan dengan semakin intensif, dengan mengerahkan segala daya kaum muslimin miliki, mulai harta benda, pikiran, tenaga, hingga jiwa, maka bergantilah fase dakwah menjadi fase jihad. Di puncak kesulitan dan tantangan, dimana dakwah dan jihad tidak lagi menjadi sarana efektif untuk terjadinya perubahan dan perbaikan sosial, maka berlakulah fase berikutnya yakni hijrah. Untuk pertama kali Nabi menyuruh ummatnya, kaum muslimin untuk hijrah dari Makah menuju Thaif. Dalam sejarah dinyatakan bahwa hijrah pertama ini tidak efektif, dan akhirnya kaum muslimin kembali lagi dari Tahaif menuju ke Makah untuk melanjutkan perjuangan mereka dengan dakwah dan jihad. Puncak dari seruan dakwah di Makah adalah penolakan yang semakin intensif dari kelompok penentang, hingga akhirnya Nabi menginstruksikan pada kaum muslimin untuk hijrah (pindah) dari Makkah menuju Yastrib (Madinah). Hijrah pada kali kedua ini berhasil, karena sebelumnya memang terjadi kondisi sedemikian rupa hingga justru kehadiran kaum muslimin dan Nabi Muhammad di tunggu-tunggu oleh penduduk Yastrib.

Demikianlah, dakwah, jihad, dan hijrah dilaksanakan secara integral oleh Nabi dan kaum muslimin awal, yang pada hakekatnya sebagai suatu sistim perubahan social sekaligus sistim pembebasan kecenderungan dasar manusia yang tidak lain adalah fitrah, atas dominasi sistim budaya, social, politik dan ekonomi yang menindas, anti fitrah, anti kebenaran, anti keadilan, anti kesamaan derajad kemanusiaan.
Apabila dakwah, jihad dan hijrah sebagai sistim perubahan social ini efktif dilaksanakan maka ia akan menajdi ancaman atas lingkungan, komunitas social jahiliah. Karena kecenderungan dasar manusia ini menjadi suara hati setiap manusia, maka potensi untuk terjadinya perubahan social atas sistim kebudayaah jahiliah pada hakekatnya berada dalam sisitim jahiliyah itu sendiri. Jika daya fitrah yang semula masih potensial ini dapat diaktualisasikan, maka setiap sistim jahiliah dapat dipastikan mendapatkan penentangan dari dalam dirinya sendiri, dari para pelakunya sendiri dan seanjutnya akan dirubah secara pelan-pelan oleh menjadi sistim budaya yang akomodatif terhadap kecenderungan dasar kemanusiaan yakni fitrah. Jika suatu komunitas menentang seruan dakwah, maka jihad dapat dilaksanakan. Jika jihad pun gagal, maka alternative terakhir untuk terjadinya perubahan dan perbaikan social adalah hijrah.

Kita dapat membayangkan jika setiap komunitas terjadi aktualisasi kekuatan dan daya fitrah serta jihad, maka perubahan social mulai terjadi dalam komunitas tersebut. Jika hal ini terus berlanjut, maka setiap komunitas akan berubah menjadi komunitas yang mengakomodasi semua nilai kebenaran, keadilan, dan persamaan serta persaudaraan. Tidak ada komunitas anti nilai-nilai fitrah yang dapat bertahan dalam perubahan sejarah. Karena jika sistim yang dominan terlalu kuat untuk menerima perubahan dan perbaikanpun pasti tidak akan kuat mencegah terjadinya perpindahan anggota komunitas itu menuju komunitas lain yang lebih kondusif untuk aktualisasi nilai-nilai fitrah.

Ada satu factor lagi yang sejalan dengan perubahan social menuju masyarakat fitrah, yakni kecenderungan hukum alam atau sunatullah. Alam, sebagaimana kita ketahui diciptakan dengan disertai hukum alam yang senantiasa bekerja dengan konsisten dan tidak berubah arah. Dalam bahasa alQur’an alam semesta ini diciptakan bukan tanpa tujuan (rabana ma khalaqta hadza batila QS.3:191). Arah bekerjanya hukum alam sesuai dengan watak aslinya yakni keseimbangan, keberlanjutan, kedamaian, keserasian, keindahan, serta memberikan manfaat pada kehidupan semesta alam. Alam dengan hokum alamnya akan senantiasa menolak atau setidaknya mengingatkan manusia atas prilakunya yang merusak alam. Sebagai bukti atas watak alam tersebut adalah munculnya reaksi alam yang seolah anti terhadap model interaksi manusia terhadap alam yang distruktif serta eksploitatif pada masa-masa belakangan ini. Tanah longsor adalah bentuk reaksi alam terhadap aksi manusia yang eksploitatif terhadap alam. Perubahan iklim yang tidak lagi terartur serta terjadinya pemanasan global adalah reaksi alam terhadap prilaku manusia yang sembrono serta tidak santun terhadap alam. Demikian seterusnya alam memberka reaksi terhadap prilaku manusia yang tidak sejalan dengan watak alam. Sedang watak alam (keseimbangan, keberlanjutan, kedamaian, keserasian, keindahan, serta memberikan manfaat pada kehidupan semesta alam) adalah sejalan dengan nilai-nilai fitrah manusia.

Dengan adanya reaksi alam terhadap aksi manusia yang salah, pasti akan menjadikan manusia semakin sadar atas prilakunya yang salah. Kecuali jika manusia itu sudah buta dan tuli sehingga tidak mengetahui dan menyadari kesalahan atas prilakunya. Sehinga dengan demikian dari watak alam inipun akan menjadikan manusia berubah menjadi semakin benar. Jika demikian dengan arah perubahan social menuju masa depan, persoalannya yang muncul berikutnya adalah sebenarnya bagaimana watak masyarakat masa depan?

Benar,universal dan tunggal
Dengan dakwah, jihad dan hijrah, serta dilengkapi dengan sunatullah yang menjadi watak alam-lingkungan manusia hidup, maka arah perkembangan sejarah kehiduapan manusia sangatlah optimistic. Masa depan sejarah menuju satu tatanan kehidupan yang menjadikan fitrah sebagai azas sekaligus ukuran moral dan intelektual. Kejahatan atau kebathilan dengan segala bentuknya tidak akan mendapatkan tempat ketika dakwah, jihad dan hijrah ini aktif bekerja. Sebaliknya semua komunitas social akan berubah menjadi komunitas social yang satu watak yakni benar, universal dan tunggal. Mengapa benar, universal dan tunggal?

Benar, karena nilai kebenaran adalah nilai dasar dari fitrah manusia. Semua manusia terlepas dari predikat parsialitasnya, pasti dalam hatinya menyetujui dan memihak kepada kebenaran. Dalam terminologi alQur’an, kebenaran adalah dari Tuhan (QS. 2:147), sedang Tuhan adalah Esa, dimana semua manusia memiliki watak primordial bertuhankan Tuhan yang Maha Esa (QS. 7:172). Oleh karena itu setiap manusia memihak kepada kebenaran yang juga tunggal. Universal, karena kecenderungan dasar manusia memiliki watak (blueprint) yang sama. Setiap manusia memiliki fitrah yang sama. Persamaan watak ini akan menjadikan manusia memiliki ukuran-ukuran nilai yang juga sama kapan dan di manapun. Akhirnya, akan terbentuk masyarakat masa depan yang universal. Dengan demikian konflik antar individu atau komunitas manusia hanya karena kepentingan-kepentingan yang bersifat artificial dan sementara, bukan karena perbedaan watak yang hakiki. Tunggal, karena watak yang sama, hakekat dari komunitas manusia di manapun dan kapanpun akan memiliki hakekat yang sama. Perbedaan hanyalah pada dataran bentuk (form) dan perwujudan atau manifestasi. Persoalannya kemudian adalah bagaimana dengan futorologi yang tampaknya pesimistik dari Nabi Muhammad dalam beberapa haditsnya? Dianataranya bahwa tanda-tanda akan datangnya qiyamat adalah jika tidak ada lagi orang yang menyebut-nyebut asma Allah (dzikir), kemungkaran meraja lela, dan sebagainya?

Dalam pemahaman kami, hadits-hadits tersebut adalah peringatan dini (early warning) dari Nabi terhadap umat manusia untuk teguh pendirian berpegang dengan fitrahnya. Keteguhan hati tersebut hendaknya ditindaklanjuti dengan semangat dalam ber-dakwah, ber- jihad, dan bahkan walaupun sampai harus ber-hijrah. Semua itu harus dilaksanakan dalam rangka menjaga fitrah kemanusiaan. Karena kehidupan akan segera berakhir (baca: qiyamat) jika nilai-nilai yang sejalan dengan kecenderungan dasar manusia (baca: fitrah) sudah dinafikkan dari panggung sejarah kemanusiaan. Kapankah itu?
Allahu a’lam.

Rabu, 03 Februari 2010

MENINGGALKAN ILMU UMAT ISLAM TERBELAKANG

Harus diakui bahwa negeri-negeri non-Islamlah yang saat ini lebih maju di antara negarase-dunia, khususnya negara-negara Eropa dan Amerika. Mengapa demikian? Permasalahan sekaligus motivasi bagi dunia Islam untuk bangkit ini pernah diajukan oleh Syaqib Arsalan, ulama kenamaan di awal abad XX yang lalu, namun demikian belum ada jawaban yang final hingga saat ini.

Ketertinggalan dunia Islam memang suatu ironi baik dihadapkan dengan doktrin normatif Islam maupun bukti historisnya. Bukankah ayat alQur’an menyatakan al-Islamu ya’lu ‘ala yu’la ‘alaihi (Islam adalah tinggi dan tidak ada yang melebihinya. Bukankah alQur’an juga menyatakan kesempurnaan ajarannya (QS.5:3)? Bukankah tidak mungkin firman Allah SWT, Dzat Yang Maha Benar, salah dalam segala-Nya, termasuk dalam firman-Nya?

Demikian juga dengan sejarah, sebelum Eropa mengenal renaisance abad 16 yang lalu, maka peradaban Islamlah yang memimpin peradaban dunia saat itu. Jika jawaban atas pertanyaan-pertanyan di atas benar adanya, dan kemudian kita gunakan sebagai asumsi untuk berhipotesa, maka kesimpulan sementara yang menyatakan bahwa: “Islam tertutup oleh kaum muslimin adalah benar pula adanya.

Meraba permasalahan
Jika kita juga melakukan identifikasi atas berbagai hal yang dimungkinkan terkait dengan ketertinggalan dunia Islam, maka hipotesa di atas akan semakin kuat kebenarannya.

Sumber Daya Alam (SDA)
SDA yang dimiliki negara-negara muslim dapat dikatakn melimpah. Mulai minyak hingga pertambangan dan hutan yang dibutuhkan dunia ada di negara-negara Islam. Sehingga dari segi alam dunia Islam mestinya lebih maju dari yang lain. Kelayaan SDA ini memang menjadikan beberapa negara Islam khususnya dari Timur Tengah tergolong negara-negara berkecukupan bahkan kaya. Namun harus segera kita sadari bahwa term kaya bukan berarti maju. Karena negara yang disebut maju adalah jika negara tersebut cepat dalam mengantisipasi tantangan dan peluang di masa depan, memimpin, mandiri terutama dalam bidang sain dan teknologi, hingga hankam), yang dari itu semua akhirnya kaya secara ekonomi. Bukankah Jepang dan Singapura –menyebut beberapa contoh—adalah negara-negara yang memiliki wilayah sangat sempit? Namun demikian mereka raja dalam hal teknologi dan kesejahteraan. Demikian juga dengan negara-negara Eropa.

Sumber Daya Manusia (SDM)
Setidaknya secara kuatitatif, seperlima warga dunia adalah muslim. Sekalipun hal ini justru akan menjadi bumerang bagi dunia Islam jika keunggulan kuantitatif ini tidak diimbangi dengan keunggulan kualitas SDM. Memang memprihatinkan, tenaga kerja di luar negeri yang berasal dari negara-negara Islam kebanyakan bekerja di sektor pekerja kasar, mulai dari pembantu rumah tangga hingga kuli bangunan. Sebaliknya, pekerja luar negi di negar-negar muslim berada di high sektor. Ini semua menjunjukkkan bahwa SDM di negara muslim berkualitas rendah. Keadaan SDM yang memprihatinkan ini bisa jadi adalah sebab sekaligus akibat ketertinggalan dunia Islam.

Bangaimana dengan gelombang imperialisme Barat di hampir seluruh wilayah dunia Islam selama beberapa abad yang lalu? Apakah mereka penyebab ketertinggalan dunia Islam? Jika kita melihat sejarah di dunia Islam, tidak mudah untuk menyatakan imperialisme sebagai penyebab. Karena, bukankah sebelum gelombang imperialisme Barat masuk ke dunia Islam, dunia Islam telah mengalami kemunduran baik dalam hal ilmu pengetahuan, politik, hingga perdagangan? Pada abad XII Bagdad simbul kejayaan dunia Islam di wilayah timur sudah dihancurkan oleh pasukan Mongol. Tidak lama kemudian hal yang sma juga dialami oleh Cordova (Spanyol). Diawali dengan semakinmelemahnya kekuatan politik penguasa Bani Umayah di ujung benua Eropa itu, kemudian disusul dengan meredupnya cahaya cemerlang universitas-universitas Islam di bumi Eropa, akhirnya tamat sudah sejarah kemegahan Islam di Eropa yang telah berjalan tidak kuurang dari 5 abad. Lalu apa permasalahan sebenarnya dialami dunia Islam sejak awal keterbelakangannya hingga kini?

Kami menduga bahwa pusat permasalahannya terletak pada pola berpikir (mind set) yang kurang tepat –untuk tidak mengatakan salah sama sekali--, yang dimiliki kaum muslimin. Kesalahan ini mulai dari salah dalam cara pandang terhadap doktrin agama, kerancuan dalam berpandangan hidup, hingga akhirnya kesalahan dalam berilmu pengetahuan. Yang akhirnya salah juga dalam ber sikap dan prilaku. Benarkah demikian?

Salah Kaprah
Kita sering melihat berbagai hadits Nabi ditempel di dinding-dinding kamar mandi dan tempat wudlu. Diantara hadits itu adalah, “Kebersihan bagian dari iman”. Penempelan tulisan itu bertujuan untuk memotivasi kaum muslim agar menjaga kesehatan. Apa yang salah? Sekilas memang tidak salah. Tetapi mari kita amati dengan agak kritis.

AlQur’an dan Hadits Nabi adalah dua sumber ajaran Islam. Jika Al Qur’an adalah kalam Ilahi yang memiliki tingkat kebenaran mutlak. Di dalamnya menjelaskan kehidupan ini secara lengkap, dunia-akherat, batin-lahir, pencipta-yang diciptakan, baik-buruk, benar dan salah. Tetapi janganlah kita lupa bahwa kelengkapan alQur’an tidak berarti juga menjelaskan tentang hal-hal yang teknis, operasional, dan aplikatif.

Kepemimpinan misalnya walau begitu penting dalam hidup ini, alQur’an tidak membahas bagaimana bentuk teknisnya. Begitu juga dalam hal shalat misalnya, tidak kita temukan bagaimana cara takbir, rukuk dan sujud, dan sebagainya. Islam sangat peduli dengan hidup sehat. Tidak ada ajaran agama yang membahas secara rinci air-bersuci. Namun apakah kita bisa temukan berbagai jenis mikro-bakteri, bagaimana sistim sanitasi, berbagai jenis penyakit dalam? Tentu tidak adak penjelasan berbagai hal teknis dan rinci tersebut. Karena alQur’an memang bukan buku ilmu pengetahuan. Intinya, al Qur’an adalah sumber nilai yang posisinya di atas nilai, filsafat, idiologi, apa lagi teori dalam ilmu pengetahuan. Pada hal sesuatu yang terkait langsung dengan prilaku hidup adalah ilmu pengetahuan. Ia senantiasa berkembang dari waktu ke waktu.

Ada kenyataan baru---teori baru---ilmu pengetahuan ----diaplikasi----perubahan / ada kenyataan baru---teori baru …..begitu seterusnya. Ilmu tidak pernah berhenti berkembang. Sedang teks-teks alQuran dan Hadits adalah tetap. Lalu bagaimana caranya agar kedua sumber ajaran Islam yang universal tersebut senantiasa up to date dan aplicable?

Dari dataran teks menuju dataran aplikasi, terdapat dataran lain yang tidak boleh dilompati. Ia adalah dataran filsafat dan ilmu. Jika filsafat menunjukkan hakekat, arah, tujuan dan maksud ilmu, maka ilmu berbicara masalah-masalah yang nyata objektif-empiris. Nilai Islam menjadi landasan filsafat tersebut. Dan untuk selanjutnya ilmu yang mengurai hingga samapi dataran sangat teknis.

Untuk jelasnya, kembali kita contohkan dengan masalah bersuci (thaharah). Di antara “anadzhafatu min al iman” dan pemasangan tulisan di dinding-dinding toilet harus ada bangunan ilmu kebersihan-kesehatan-penyakit-pengobatan-perawatan. Awalnya siswa-siswa sekolah muslim harus dikenalkan dengan doktrin kebersihan bagian dari iman, lantas diajak berfikir mengapa islam sangat peduli dengan kebersihan, bahkan menyatu dengan keimanan? Baru kemudian mereka harus belajar mikro organism dalam berbagai jenis air, apa akibatnya jika mikroorganisme tersebut masuk dalam tubuh manusia, apa saja jenis penyakit,….. dan berbagai hal lain yang berkaitan dengan kesehatan.

Barat maju tanpa dipandu agama yang hebat, bahkan mereka maju dengan meninggalkan agama. Tatapi jangan salah, bahwa Barat maju dengan ilmu pengetahuan. Mereka tidak mengenal doktrin “anadzhafatu min al iman” tetapi mereka sangat pintar ilmu tentang air dan ilmu lain yang terkait, penyakit, sanitasi, pengobatan, dan sebagainya, sehingga muncullah kesadaran dalam diiri orang-orang Barat untuk hidup sehat. Akhirnya lahirlah budaya sehat. Sehingga tidak aneh jika dalam hal kesehatan lingkungan, orang Barat lebih Islami dari kita umat muslim.

Demikian juga berkenaan dengan teknologi antariksa. Barat tidak mengenal doktrin tuju lapis langit, perbintangan, tetapi mereka rajin meneliti apa itu langit? Kemudian lahirlah ilmu tentang ruang angkasa, pesawat ruang angkasa, kehidupan di ruang angkasa, dan sebagainya.

Kerkurangan Barat adalah ketika mereka tidak dipandu oleh nilai yang dapat membantu pemikiran tentang makna, maksud, dan tujuan adanya langit, ruang angkasa, dan bahkan hakekat, maksud dan tujuan hidup. Banguna ilmu pengetahuan Barat mengalami meaning less, kehilangan makna. Makna bagi mereka tidak keluar dari kepeningan picik dan terbatas kehidupan maanusia. Bahkan terlalu kasar memang namun demikian adanya. Hakkekat, maksud, dan tujuan hidup yang melaandasi arah ilmu pengetahuan Barat tidak melewati sekitar daerah perut dan di bawah perut. Terlalu sulit bagi ilmu pengetahuan Barat untuk memahami kehudpan pasca dunia, kebangiktan saat kiyamat, mizanul amal, dan sebagainya yang anak Islam hafalkan sejak masih balita.

Ringkasnya jika umat Islam menyimpan panduan hidupnya di dalam almari baja, bahkan sangat sulit untuk membukanya. Sementara Barat tidak mengenal panduan hidup, tetapi memiliki semua sarana hidup.

Persoalannya kemudian adalah mungkinkah mengejar ketertinggalan umat ini? Jawabnya pasti mungkin, karena jawaban tidak mungkin adalah bentuk putus asa dan putus asa adalah sikap mengingkari Allah Dzat yang Maha Kuasa. “Bagitu saja kok repot, kaya tidak punya Tuhan saja” kelakar Alm. Gus Dur bisa jadi pas buat umat islam. Tetapi persoalannya adalah bagaimana jawaban mungkin itu memang dapat menjadi kenyataan, bukan sekedar menghibur diri. Ada usul? Kita tunggu ya…..

KHAIR AL BARIYAH: INSAN KAMIL

Dalam bahasa Arab, pribadi yang sempurna itu disebut sebagai insan al kamil. Dalam alQur’an term yang mirip dengan insan al kamil adalah khairul bariyah (sebaik-baik manusia) (QS. 98:7). Manusia sempurna atau sebaik-baik manusia ini dapat terwujud jika iman dapat ditransformasikan menjadi prilaku saleh (amal saleh dalam semua segi kehidupan), nilai-nilai iIslam dapat ditransformasikan menjadi realitas Islam, ideal-ideal Islam dapat ditransformasikan menjadi tatanan Islam, konsep-konsep Islam dapat ditransformasikan menjadi lembaga-lembaga Islam, dan sebagainya. Hal ini karena dalam epistimogi Islam, iman dan amal saleh tidak dapat dipisah-pisahkan. Iman baru nyata bila sudah diwujudkan dalam prilaku saleh. Tidak ada prilaku saleh tanpa ada landasan atau perwujudan dari iman. Banyak ayat alqur’an menjelaskan hubungan antara iman dan amal saleh yang tidak terpisahkan tersebut.

Dalam bukunya Masjid Sebagai Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam Sidi Ghazalba menjelaskan hubungan iman dan amal saleh tersebut dengan sanagat sistimatis. Ia menganalogikan hubungan itu seperti sebuah konstruk bangunan. Iman ditempatkan pada posisi pondasi, mulai iman kepada Allah SWT, malaikat, nabi, rasul, al kitab, hari akhir, hingga taqdir baik maupun buruk. Iman kepada Allah dalam posisi paling dasar karena ia merupakan determinasi untuk iman kepada yang lain. Dalam sistim keimanan Islam, semakin kuat dan sempurna keimanannya kepada Allah semakin kuat dan sempurna imannya kepada yang lain. Karena pentinga beriman kepada Allah ini, pengingkaran terhadap eksistensi Allah adalah suatu dosa (pelanggaran) terberat, dosa terbesar yang tidak akan diampuni (QS.31:13). Untuk selanjutnya, jika sistim keimanan ini kuat dan sempurna, maka ia akan dapat menjadi pondasi atau dasar yang kuat pula untuk bangunan yang hendak didirikan di atasnya.

Setelah sistim keimanan ini tuntas, dimulailah konstruksi bangunan dengan sistim ibadah. Sistim ibadah yang paling awal adalah thaharah (bersuci). Konsep bersuci dalam Islam tidak hanya berorientasi pada kebesihan atau kesucian lahir. Kesucian lahir ini penting, harus dilakukan dengan niat, syarat, serta rukun yang benar dan lengkap, dengan tujuan kesucian batin. Ada beberapa hadits Nabi yang menjelaskan diantara keutamaan berwudlu adalah diampuninya dosa-dosa yang terjadi akibat anggota badan yang kena air wudlu. Bahkan do’a yang diajarklan Nabi ketika selesai wudlu adalah mohon untuk dijadikan orang yang bertaubat dari semua dosa dan salah dan dijadikan orang yang suci. Jadi dalam sistim thaharah, kebersihan lahiriah merupakan prasyarat kebersihan batiniyah.
Tahapan berikutnya adalah pengamalan ibadah ritual Islam yang juga dikenal dengan Rukun Islam (ar kan al Islam). Dalam Rukun Islam, konsep syahadat adalah yang pertama. Bersyahadat artinya mengikrarkan apa yang sudah menjadi ketetapan hatinya (Rukun Iman)untuk diekspresikan keluar disaksikan kepada orang lain dengan pengucapan lesan. Jika semula sistim keimanan terdapat dalam hati, tidak tampak bagi orang lain, maka melalui syahadat ini keadaan batin ini dinyatakannya ke luar.

Inti dari ikrar syahadat adalah untuk mejadikan Allah sebagai satu-satunya Tuhan dalam kehidupannya, serta pengakuan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Sahadat ini seorang muslim mengikatkan diri dengan sistim ajaran Islam secara keseluruhan. Tidak ada artinya bersyahadat jika ia mengingkari sebagian saja dari sistim ajaran Islam. Syahadat bukan hanya sekedar pengucapan lesan, tetapi semacam ikrar perjanjian untuk mentaati Allah melalui seluruh ajaran Islam, yang pada gilirannya nanti mengikat secara hukum dalam sitim hukum Islam. Oleh karena itu konsekuensi dari syahadat adalah penyerahan diri secara totalitas untuk tundak, patuh dan taat kepada semua aturan atau syareat Islam. Islam-muslim dalam makna generiknya adalah menyerahkan diri . Belum menjadi muslim yang sebenarnya jika seseorang masih egois (mementingkan dirinya sendiri) dari pada ketentuan Allah.

Tahapan berikutnya adalah memulai melaksanakan kewajiban syariat Islam yang berupa ibadah ritual, mulai dari shalat, zakat, puasa, hingga haji. Sebagaimana dalam thaharah, semua sistim ibadah ritual dalam Islam harus dilaksanakan dengan niat yang ikhlas dan tulus guna mendapatkan ridlo Allah SWT, disamping harus sesuai dengan syarat dan rukunnya. Namun demikian hakekat ibadah ini bukan untuk Allah. Allah SWT sebagai Tuhan yang Maha Kuasa, Berdiri sendiri, Tidak tergantung pada apapun, tidak membutuhkan manfaat sedikitpun dari semua rangkaian ibadah tersebut di atas. Hakekatnya semua manfaat dan keutamaan dari pelaksanaan ibadah tersebut adalah untuk manusia itu sendiri. Barang siapa bersyukur maka ia bersyukur untuk dirinya sendiri, dan barang siapa ingkar sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia (QS. 27:40). Shalat misalnya memliki keutamaan bagi pelakunya mulai akan mendapatkan ampunan dan diangkat derajatnya oleh Allah, yang pada akhirnya si pelaku salat akan memiliki sifat-sifat mulia. Demikian juga dengan semua ibadah ritual yang lain, proses internalisasi nilai-nilai keutamaan seperti, sabar, jujur, diisiplin, rendah hati, dan sebagainya ke dalam diri seorang muslim akan berjalan dengan pasti. Hingga akhirnya, melalui pelaksanaan ibadah diri seoang muslim akan mengalami transformasi menjadi diiri yang berkualitas utama. Dalam istilah al Qur’an, diri dengan kualitas utama ini disebut dengandiri yang ber taqwa. Kadar ketaqwaan adalah sesatu yang tidak statis melainkan dinamais, dapat turun dapat juga naik, dan semakin sempurna. Pribadi yang telah mencapai derajat taqwa paling sempurna adalah Rasulullah SAW. Untuk itulah Ia dijadikan idola bagi semua umat Islam (QS. 33:21).

Perlu ditegaskan di sini, bahwa sistim ibadah adalah media untuk mentransformasikan diri hingga dapat mencapai kualitas taqwa sebagai tujuannya. Sistim ibadah bukan tujuan. Sayangnya sebagian kalangan muslim lebih mengutamakan mengapresiasi media bukan tujuannya. Perdebatan fiqh yang melelahkan antar kelompok muslim adalah salah satu bentuk kekeliruan dalam hal ini. Fiqh bukan tidak perlu, tetapi tujuan hendaknya mendapatkan porsi untuk diapresiasi. Persoalan yang dimunculkan bukan, “sudahkan cara sujud anda benar?”, tetapi hendaknya, “sudahkan sujud anda mengantarkan anda hadir bertemu Allah?”

Taqwa adalah diri yang berkualitas utama. Jika unsur dalam diri manusia yang pokok adalah hati-spiritualitas, nalar-intelektualitas, dan jasad-fisikalitas, maka diri yang bertaqwa mengalami kematangan secara spiritual, intelektual, hingga fisikal. Seorang yang bertaqwa adalah seorang muslim yang terbiasa bermunajat kepada Allah sehingga menjadikan ia dekat bahkan “menyatu” dengan Allah. Atas dasar spiritualitasnya ia berfikir kritis serta berwawasan luas dan matang. Pada titik ini, pemikiran seorang muslim menjadi khas/unik karena berdasar atas dan berorientasi pada Allah. Dalam alQur’an seorang yang mampu menyeimbangkan antara dzikir dan pikirnya ini disebut dengan ulil albab (QS.3:190-194). Yang terkahir, ia tidak sekedar berwacana dalam hidupnya, tetapi sekligus mengambil prakarsa untuk mewujudkan pemikirannya pada dataran realitas. Ia aktif ikut serta terlibat dalam pergumulan sejarah untuk mewujudkan cita-citanya. Pada dataran inipun ia memiliki kecakapan dan ketrampilan yang memadai. Kesemuanya ini digambarkan Nabi sebagai diri yang di waktu malam menjadi seorang rahib yang waktunya dihabiskan untuk bermunajad kepada Allah, sedang pada waktu siangnya ia barat pendekar yang tidak kenal lelah berjuang di medan sejarah. Pentinya predikat taqwa ini adalah karena ia menjadi syarat untuk melaksanakan tugas berikutnya yakni berijtihad.

Ber-ijtihad adalah mengerahkan segenap daya pikir untuk merumuskan konsep-konsep baru atas segala persoalan kemanusiaan berdasarkan nilai serta semangat ajaran Islam. Pada dataran inilah “islamisasi” kehidupan yang diawali dari ranah pemikiran/konsepsionalitas dilakukan. Tugas berijtihad dapat dilakukan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki seorang / komunitas muslim. Ada diantara muslim yang lingkup ijtihadnya pada wilayah pribadinya sendiri, ada yang sampai wilayah keluarga, ada juga yang samapai wilayah kelompok komunitas (jamaah), bahkan ada juga yang lingkup ijtihadnya mencakup semua wilayah masyarakat (ummat).

Wiayah ijtihad mencakup seluruh aspek kehidupan, mulai keagamaan hingga politik, wilayah seni hingga ilmu pengetahuan, ekonomu hingga hukum, teknologi hingga kebudayaan. Prinsip ijtihad harus dilakukan oleh muslim kerena ayat-ayat alQur’an dan alHadits sudah berhenti turun, sedangkan kehidupan dalam arti luas di atas senantiasa berkembang secara dinamis. Banyak hal-hal baru yang belum ada penyelesaiannya secara letterluck dalam kedua sumber ajaran Islam di atas. Sangat berbeda dengan zaman alQur’an masih diturunkan, Nabi masih memutuskan persoalan-persoalan yang umat islam hadapi secara langsung. Untuk saat-saat di mana jauh dengan masa Nabi maka banyak sekali dengan hal-hal baru yang harus diapresiasi dan diputuskan statusnya oleh umat Islam. Dialog antara nilai/ajaran Islam dengan permasalahan baru itulah wilayah ijtihad. Ijtihad tidak boleh berhenti. Ia merupakan sumber dinamika ajaran Islam. Sehingga para ulama abad pertengahan hingga kini meletakkan ijtihad sebagai sumber ajaran Islam ke-tiga setelah alQur’an dan aSunah. Memang dibutuhkan syarat-syarat tertentu untuk dapat berijtihad dengan benar,dengan hasil yang bervaliditas tinggi. Namun syarat itu harus dibuat realistis sehingga tidak menjadi penghalang keberanian untuk berijtihad.

Jika ijtihad tidak dilakukan maka kehidupan akan berjalan liar tanpa panduan dan jawaban dari sudut pandang agama. Inilah kehidupan sekuler atau atheistic. Padahal agama adalah jalan hidup, alQur’an adalah Kitab Petunjuk bagi manusia yang bertaqwa (QS. 2:2).

Inilah gambaran tentang khairul bariyah, tujuan antara dakwah Islam sebelum akhirnya mencapi khairul usrah, dan khairul jama’ah dan akhirnya mencapai khairul ummmah.
Allahua’lam