SELAMAT DATANG DI BLOG PERUBAHAN SOSIAL

"Makkah adalah realitas empiris, Madinah adalah realitas ideal, jarak keduanya adalah amanah perubahan"

Kamis, 18 Februari 2010

ISLAM : SUATU PILIHAN HIDUP

Setidaknya ada tiga cara orang memilih agama untuk dipeluknya . Pertama, mereka memluk agama karena keturunan. Kedua, orang memeluk suatu agama karena hasil pencarian kritis. Ketiga, orang memilih agama karena keduanya, awalnya ia memeluk agama karena keturunan namun kemudian ia mempertanyakan kembali pilihannya itu dengan pertanyaan-pertanyaan kritis.

Jika dengan cara pertama seseorang memeluk suatu agama, maka ia tidak mau tahu tentang isi atau ajaran agamanya secara lebih mendalam. Benar atau tidak benar ajaran agamanya bukanlah suatu yang penting. Keberagamaan mereka cenderung mengikuti saja keberagamaan nenek moyangnya. Agama baginya bukan urusan rasionalitas, tetapi tradisionalitas. Cara ini juga membuat seseorang tidak kreatif dalam mengapresiasi agamanya, sehingga ia cenderung tidak mau tahu dan tidak mampu dalam mengantisipasi perubahan zaman, di mana agama harus menjawabnya.

Lain dengan cara pertama, cara kedua akan menjadikan orang mengetahui persis alasan ia harus memilih agama apa, karena agama pilihannya tentu saja agama yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan kritisnya. Kalau ia seorang yang memilih Islam sebagai agamanya, ia terlebih dahulu mempertanyakan mengapa harus Islam, bukan yang lain? Apa perbedaan essensial Islam disbanding dengan agama lain. Jawaban Islam atas pertanyaan-pertanyaan itu membuat ia memiliki alasan kuat untuk memilih Islam. Cara ini juga menjadikan ia berusaha untuk memahami ajaran agamanya secara lebih mendalam. Ia juga berusaha untuk menjawab setiap persoalan baru sebagai setiap tuntutan perubahan zaman. Cara ini juga mengharuskan seseorang untuk memahami agama secara rasional. Bukan itu saja, karena agama anutannya adalah hasil dari pencarian, tentu saja keberagamaan mereka lebih kuat dari keberagamaan sebagai hasil cara pertama. Namun demikian kelompok ini tidak banyak jumlahnya, karena semua orang tua akan mewariskan agamanya kepada keturunannya. Oleh karena itu, sebagai alternatifnya adalah kelompok ketiga. Kelompok ini semula adalah pewaris agama nenek moyangnya namun karena daya dan sikap kritisnya, menjadikan ia mempertanyakan segala sesuatu yang dia temukan, termasuk terhadap agama yang ia peluknya. Kelompok ketiga inilah kelompok yang kita harapkan akan menjadi model keberagamaan kebanyakan generasi muda Islam. Kelompok pertama harus digugah dan dibangkitkan daya kritisnya sehingga menjadi kelompok ketiga.

Menghadapi sikap kritis manusia, Islam sebagai agama yang terakhir diturunkan Tuhan, seolah sudah didesign sedemikian rupa sehingga alih-alih takut terhadap sikap kritis manusia, justru sikap kritis itu dibangkitkan oleh alQur'an (kitab suci umat Islam) sendiri. Dengan kata-kata afala ta'qilun (apakah kamu tidak menggunakan akalmu), afala tatafakarun (apakah kamu tidak berfikir), afala yatadabbarun (apakah kamu tidak memperhatikan dengan teliti) yang berterbaran dalam berbagai ayat, al Qur'an menggugah sikap kritis tersebut.

Berbeda dengan agama lain, Islam selain mencakup ajaran tentang tata cara menyembah Tuhan, atau mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya, juga mencakup tata cara hubungan antara manusia dengan sesamanya dan alam semesta. Tuhan, manusia, alam, hari akhir, akherat, dan kenabian adalah hal-hal pokok yang saling terkait dalan kehidupan. Bahkan tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kehidupan itu tidak lain adalah interaksi antara thema-thema pokok tersebut, interaksi antara Tuhan dengan manusia; interaksi antar manusia; interaksi antara manusia dengan alam; interaksi Tuhan dengan alam; alam dalam hal ini juga alam akherat. Kesemua thema tersebut (Tuhan, manusia dan alam, akherat dan kenabian) dibahas secara gamblang oleh agama Islam, terutama melalui kitab sucinya AlQur’an.

AlQur’an sebagai kitab suci bagi agama yang terakhir, sekaligus penyempurna bagi agama-agamna sebelumnya (QS.5:3), menjadikan ia mesti tampil sebagai kitab suci yang hebat. Lengkapnya alQur’an bukan berarti ia memuat segala hal, akan tetapi karena alQur’an memuat prinsip-prinsip mengenai interaksi antar thema kehidupan tersebut. Dengan penjelasan prinsip tentang semua pokok kehidupan tersebut menjadikan umat yang memahaminya memiliki pandangan hidup (wordl view)yang khas. Pada titik inilah kemukjizatan alQur’an terletak. Berbeda dengan para Nabi sebelumnya, yang memiliki mukjizat terbesar berupa fenomena besar yang meta rasional. Seperti Ibrahim tidak terbakar oleh api unggun raja Namrut, Musa yang bisa membelah Laut Merah, Isa yang dapat menghidupkan kembali orang yang telah mati. Mukjizat Nabi Muhammad adalah alQur’an. Kemukjizatan alQur’an terletak pada kemampuan alQur’an membentuk pandangan hidup kaum mukminin yang membacanya. Pandangan hidup mukmin terbentuk manakala mereka memahami penjelasan alQur’an tentang berbagai thema kehidupan tersebut.

Dengan pandangan hidup tersebut mukmin baik individu maupun komunitas memiliki cara pandang yang benar tentang kehidupan. Dengan pandangan hidup tersebut kaum mukminin dapat melakukan peran sebagai saksi atas manusia (syuhada ala al nas), dalam pengertian dapat melakukan dialog, dan sekaligus memberi keteladanan hidup bagi manusia yang lain. Dengan demikian dapat kita katakana alQur’an adalah petunjuk bagi sang wakil Allah di muka bumi ini (kahlifatu Allah fi al ardl).

Penjelasan alQur’an tentang prinsip tersebut berupa berbagai bentuk. Adakalanya berupa perintah langsung Allah SWT terhadap manusia, kisah atau sejarah masa lalu, penjelasan diskriptif tentang kehidupan yang baik dan buruk, diskripsi tentang akherat dan sebagainya. Susunan isi alQur’an seolah-olah berserakan dan tidak sistimastis, baik susunan ayat maupun susunan surat-suratnya. Tidak seperti buku biasa yang bioasanya sitimatisasinya mengikuti kaidah ilmiah, yakni pendahuluan, penjelasan teoritik dari yang umum dan kemudian mengkhusus, hingga akhirnya kesimpulan. Tidak demikian dengan alQur’an, awalnya memang surat al Fatehah, surat pembukaan, induk alQur’an (umul Kitab), tetapi bagaimana dengan suat albaqarah, Ali Imran, Anisa dan seterusnya. Nama-nama surat tersebut tidak menggambarkan urutasn yang sesuai dengan isinya. Dapat dikatakan ketidaksistimatisan itulah sistimatisasi alQur’an. Bukankah alam semesta ini juga tampak tidak sitimatis jika dilihat dengan sistimatisasi seorang arsitektur bangunan atau ahli tata kota. Namun demikian inilah justru letak hebatnya sistimatisasi alam.

Buku yang membiarkan ayat-ayat alQur’an berbicara sendiri tentang berbagai tema pokok kehidupan ini adalah karya Prof.Fazlurrahman, cendekiawan muslim asal Pakistan yang kemudian hijrah ke Amerika yang berjudul The Major Themes of Qur’an (Thema Pokok Al Qur’an). Melalui buku itu kita dapat memahami bagaimana alQur’an memandang Tuhan; siapa sebenarnya Tuhan, mengapa mesti ber tuhan, siapa Allah, dan seterusnya adalah beberapa pertanyaan yang dapat kita temukan dalam buku tersebut. Begitu juga dengan manusia, alam, nabi, dan kaherat.

Secara ringkas isi buku tersebut telah diresensi oleh sdr Khairul Asfiyak (http://fai-unisma-malang.blogspot.com/), diantara resensi tersebut adalah sebagai berikut :
Karya Fazlur rahman yang aslinya berjudul “Major themes of Qur’an” ini terdiri dari Pendahuluan, isi buku dan appendiks I dan II yang sesungguhnya kedua catatan ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan tema pokok al Qur’an, kecuali bahwa kedua appendiks tersebut disertakan dalam satu buku semata-mata untuk mendukung dan memperjelas komentar dan uraian-uraian fazlur rahman di dalam mengurai kondisi sosial dan dan setting sejarah yang mewarnai wajah al qur’an.
Al qur’an adalah kitab yang sempurna didalamnya memuat berbagai segi hubungan manusia dengan Tuhannya, hubungan manusia dengan diri dan sesamanya dan hubungan manusia dengan alam disekitarnya. Agaknya tema-tema inilah yang kemudian oleh fazlurrahman digambarkan dalam bukunya dengan lebih memperjelas tema-tema la qur’an itu kedalam 8 (delapan) kategori.

Salah satu dari kedelapan tema yang termuat dalam kandungan al qur’an adalah tentang aspek Tuhan. Fazlurrahman mempertanyakan tentang rasionalitas manusia dalam mengakui setidak-tidaknya mempercayai adanya wujud Tuhan ( hal. 2) Dalam pandangan beliau sesungguhnya al qur’an tidak “membuktikan” adanya Tuhan akan tetapi “menunjukkan” cara untuk mengenal Tuhan, melalui alam semesta yang ada (hal. 15)

Sisi lain kandungan al qur’an adalah manusia sebagai individu, dalam pandangan fazlurrahman asal usul manusia jelas beda dengan mahluk lainnya. Mengingat dalam diri manusia ada unsur ruh yang ditiupkan oleh Allah SWT. Sekalipun demikian ia menyangkal adanya dualisme individual antara jiwa dan raga dalam diri manusia sebagaiman terdapat pada filsafat yunani, agam kristen dan hinduisme ( hal. 26) beliau juga menjelaskan hakikat tujuan diciptakannyamanusia di muka bumi ini yakni sebgai khalifatullah mengemban amnah Allah SWt (28) Sekaligus hambatan dan tantangan yang dihadapinya dalam mengemban misi suci itu. Tantangan terbear manusia dalah syaitan karena ia melambangkan sifat kepicikan (dlaif) dan kesempitan fikir (قطر ) al qur’an tidak henti-hentinya menyebutkan kelemahan ini di dlm bentuk dan konteksyang berbeda. Karena kepicikannya kadang manusia berlaku amat sombong tetapi lekas putus asa. Tidak ada mahluk lain yang dapat menjadi sombong dan berputus asa sedemikian gapangnya seperti manusia (hal. 38-41) Oleh karena itu manusia yang baik harus memiliki keseimbangan yang dalam al qur’an disebut sebagai taqwa. Akar perkataan taqwa adalah waqy, berjaga-jaga atau melindungi diri dari sesuatu dan perkataan taqwa dengan pengertian ini dipergunakan juga dalam al qur’an surat ke-52:27 40:45 76:11 (hal 43)

Selain sebagai individu manusia dalah mahluk sosial, aleh karena itu al qur’an tdak bisa berdiam diri untuk tidak mengatur peri kehdiupannya dalam bermasyarakat. Bahwa tujuan diturunkannya al qur’an adalah menegakkan sebuah tatanan masyarakat yang ethis dan egalitarian , hal ini terlihat di dalam celaannya terhadap disekuilibrum ekonomi dan ketidak adilan sosial dalam masyarakat makkah waktu itu. Pada mulanya celaan itu lebih ditujukan kepada dua aspek yang berkaitan dengan pola hidup bermasyarakat yakni aspek politheisme dan ketimpanbgan sosial ekonomi yang menibulkan dan menyebebakna perpecahan diantara manusia (hal. 55)
Pada level sosial politik al qur’an juga ingin menguatkan unit kekeluargaan paling dasar yang terdiri dari orang tua, anak-anak, kakek,nennek dan masyarakat muslim dengan meniadakan rasa kesukuan. Kesetiaan kepad aorang tua ditegaskan dalam ayat 2:83 4:36 6:151 17:23 (hal61) semenatra dalam rangka melaksankan urusan pemerintahan al qur’an menyuruh kaum muslim untuk menegakkan syura (lembaga konsultatif) Nabi Muhammad SAW sendiri disuruh al qur’an (3:159) untuk memutuskan persoalan-persoalan setelah berkonsultasi dengan pemuka-pemuka masyarakat (hal 63) jika dalam musyawarah terjadi perselisihan dan berakibat peperangan diantara kelompok muslim, al qur’an menyerukan agar diangkat seorang penengah jika salah satu kelompok menolak penengahan ini maka ia harus diperangi (hal. 64) hal ini tidak berarti pemberontakan tidak diijinkan oleh al qur’an. Semua Nabi sesudah nabi Nuh adalah pemberontak terhadap tata nilai masyarakat yang didalamnya tersebar penyelewengandi atas dunia (fasad fil ardl) yang dapat diartikan sebagai keadaan yang menurus kepad apengabaian hukum secara politis, moral, sosial ketika urusan nasional / internasional tidak dapat dikendalikan lagi (hal. 65)

Tema lain yang memenuhi isi al qur’an adalah berita-berit atentang Nabi/rasul dan wahyu. Secar aumum dapat diaktakan bahwa semua rosul dibangkitkan adlah semata-mata menganjurkan pad afaham monotheisme bahwa hanya Allah SWt yang Esa dan yang patut disembah, tuhan-tuhan yang lain adalah palsu belaka (hal.121) menuurt al qur’an sebagai manusia belaka nabi dianggap wajar jika pernah melakukan kesalahansehingga ia harus terus menerus berjuang, jika tidak dapat berbuat demikian maka merka itu tidak dapat menjadi teladan bagi manusia yang lain (hal. 130) Minimal nabi tak pernah ingin menjadi nabi/ mempersiapkan dirinya menjadi seorang nabi, jelas sekali bahwa pwngalaman religius yang terjadi secara tak terduga itulah yang mengantarnya menjadi nabi (hal.132) Predikat kenabian bukan hal yang bagi bagi Nabi Muhammad Saw kadangkal ia dianggap sebgai kahin (52:29) atau penyair (36:69) dan tukang sihir (hal 136-137) yang menarik dalam pandangan fazlurrahman adalah ketika ia berpendapat bukan “malaikat”-lah mahluk yang menyampaikan wahyu kepada nabi Muhammad SAW, al qur’an tidak pernah menyatakan penyampai wahyu itu sebagai malaikat tetapi sebagai ruh/utusan spiritual. Allah SWt pernah menurunkan wahyu kepada malaikat akan tetapi dalm konteks yang berbeda(sebagai semangat orang islam/mu’min untuk berperang melawan musuh Allah SWT (8:12) Nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad SAW tampaknya berhubungan langsung dengan Allah SWT. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Nabi-nabi telah memperoleh manfaat dari ruh Allah SWT (hal.139) barangkali yang dimaksud engan ruh itu adalah kekuatan, kemmapuan /agensi yang berkembang di ahti Muhammad SAW dan jika diperlukan ia dapat berubah menjadi operasi wahyu yang aktual (hal.142)

Sisi lain kandungan al qur’an yang hanya sedikit disinggung adalah proses kejadian alam (kosmolologi/kosmogini) Jika al qur’an hnaya sedikit berbicara tentang kosmologi maka sebaliknya ia seringkali dan berualngkali membuat pernyataan-pernyataan mengenai alam dan fenomena alam yang kadang dikaitkan dengan Allah, dengan manusia atau kadang kedua-duanya. Pernyataan ini membersitkan isyarat tentang kekuasaan dan kebesaran Allah yang tak terhingga dan menyerukan agar manusia beriman kepada-Nya. Alam semesta beserta kekuasaan dan keteraturannya yang tak terjangkau akal ini harus dipandang manusia sebagai pertanda kekuasaan Allah SWT (hal.101) Informasi tentang proses kejadian alam ternyata pararel dengan apa yang disampaikan wahyu, sebagaimana dibuktikan penulis muslim pada abad pertengahan artinya informasi al qur’an tentang proses kejadian alam semesta adalah ilmiah adanya (hal.105) terakhir sekali bahwa alam semesta itu dalam gambaran al qur’an akan mengalami kehancuran di hari kiamat (hal. 114)

Bagian menarik lain dari alqur’an adalah persoalan eskatologis (akhirat) yang secara umum menggambarkan kenikmatan pahala surga dan azab neraka. Ide pokok tentang akhiat adalah munculnya kesadaran unik manusia tentang suatu pengalaman yang tidak pernah dialaminya dimasa-masa yang lalu (hal. 154) akhirat adalah saat kebenaran (hal. 154) dan tujuan akhir kehidupan /akibat jangka panjang dari amal perbuatan manusia diatas dunia ini. Semenatra dunia bukanlah “dunia ini” tetapi ia adalah nilai-nilai yang rendah /keinginan-keinginan rendah yang tampaknya sedemikian menggoda sehingga setiap saat dikejar oleh hampir semua manusia dengan mengurbankan tujuan-tujuan yang lebih mulia dan berjangka panjang( hal. 157) Konsep dasar akhirat sesungguhnya berujud sikap sarkasme al qur’an terhadap pedagang-pedang makkah yang bermegah-megahan dg emas, perak dan barang dagang lainnya.yang ditimbang adalah amal dan bukannya barang-barang tersebut (hal.158) Hanya saja al akhirat ini adalah sebuah ide yang sangat sulit untuk diterima oleh orang-orag mekkah jahiliyyah yang berpandangan sekularisme dengan alasan bahwa nnenek moyang dan leluhur mereka dulunya telah mendengar “kisah-kisah” ini jauh dimasa sebelumnya yang ternyata hal itu hanya khayalan orang-orang zaman dahulu (hal.168)

Menurut al qur’an akhirat adalah penting dengan alasan pertama, moral dan keadilan adalah kualitas untuk menilai amal perbuatan manusia yang itu tidak bisa ditegakkan di alam dunia, kedua, tujuan hidup harus diejlaskan dengan seterang-terangnya dan ap[a tujuan yang sesungguhnya dari kehidupan ini. Ketiga, perbantahan perbedaan pendapat dan konflik anttar manusia mestilah diselesaikan dan tempatnya adalah di hari akhirat nanti.

Adapun tema berikutnya adalah persoalan syaitan dan kejahatan. Fazlurrahman beranggapan bahwa iblis dan syaitan adalah personifikasi yang diruju’ al qur’an untuk mewakili kekuatan jahat yang ada dimuka bumi ini. Sekalipun demikian personifikasi syaitan sebagai aktor kejahatan masih menimbulkan perdebatan (hal. 178 & 189) Perbedaannya adalah bahwa syaitan kemunculannya bersamaan dengan kisah kejadian adam, jadi seusia dengan manusia walaupun sebelumnya telah ada dalam bentuk jin (hal. 181) sementara jin/iblis diciptakan sebelum adanya manusia berdasarkan 15:27 dan 7:12 (hal.180) al qur’an menggambarkan syaitan sebagai pembangkang perintah Allah SWT dan sebagi tandingan manusia, dan bukannya tandingan Allah SWT karena Allah SWT berada diluar jangkauannya. Jadi secara metafisis syaitan tidak sederajat dengan Tuhan, sbg-mana halnya Ahriman yang merupakan tandingan Yazdan dalam agama Zoroaster (hal.181) Dalam pandangan fazlurrahman aktifitas syaitan hanya mampu membingungkan manusia dan memendungi kesadaran-kesadaran batinnya (hal.182) syaitan tidak punya kekuatan akan tetapi kelicikan dan kelicinannya dengan menggunakan tipu daya, siasat membujuk dan berkhianat adalah aktifitas sejati syaitan (hal.183) Jadi kekuatan syaitan bertumpu pada kelemahan manusia (hal.184) Oleh karena itu yang berbahaya bagi manusia bukanlah faktor syaitan ansich/kekuatan syaitan akan tetapi sikap manusia itu sendiri yang tidak mengerahkan kekuatannya untuk melawan bujukan syaitan (hal.185)

Bagian terakhir dari tema-tema al qur’an adalah mulai dibangunnya sendi-sendi masyarakat muslim di Madinah. Keseluruhan bab terakhir ini membahas tentang kritik dan sanggahan beliau terhadap pendapat snouck Hurgronye , Theodore Noldekke, dan Friedrich Schwallly yang menyatakan bahwa risalah kenabian Muhammad SAW hanyalah bikinan muhammad belaka, karena muhammad ketika menyampaikan risalah islam tidak mendapat respon positif baik dari kalangan yahudi maupun nasrani. Respon negatif ini kemudian disikapi Nabi dengan menyatakan bahwa islam itu tidak berasal/ menginduk kepada kebesaran Yahudi ataupun Nasrani akan tetapi kepada Nabi Ibrahim. Satyu hal yang dalam pandangan Snouck dan orientalis pada umumnya adalah tindakan apologi belaka.

Dengan memahami alQur’an yang memiliki kandungan sedemikian hebat ini, dan selanjutnya kaum mukminin memiliki pandangan hidup secara konsisten dengan pemahamannya tadi, serta pada dataran berikutnya mukminin swecara konsisten pula mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata, maka lahirnya peradaban manusia yang dapat dipertanggung-jawabnkan baik dihadapan Tuhan, manusia dan alam segera akan menjadi kenyataan.

Peradaban modern yang diunggulkan manusia pada abad-abad ini adalah peradaban yang pincang. Peradaban yang hanya mengakomodasi tuntutan hidup yang bersifat lahiriah pada satu sisinya, sekaligus mencampakkan kebutuhan hidup manusia yang bersifat batiniah. Peradaban ini tidak hadir dengan sendirinya. Ia dilahirkan oleh sebuah pandangan hidup yang bersifat sekuleristik. Adalah pandangan hidup yang menceraikan kehidupan dunia dengan kehidupan keagamaan. Kehidupan dunia mulai dari politik, ekonomi, arsitektur, sain dan teknologi juga seni bukanlah urusan agama dan Tuhan. Itu semua murni urusan manusia. Benar-salah, baik-buruk, indah dan tidak indah, adalah urusan manusia dengan indera dan nalarnya untuk memutuskannya. Sebaliknya agama mengurus hubungan manusia dengan Tuhannya saja.

Dari pandangan hidup demikian, maka lahirlah peradaban manusia yang materialistic seperti kita saksikan saat sekarang ini. Suatu peradaban yang lahir tanpa panduan agama. Arsitektur peradaban materialistik hakekatnya adalah orang-orang yang tidak mempunyai (baca: tidak mengakui) Tuhan dalam hidupnya. Agama bagi mereka adlah urusan ibadah ritual semata. Jika ia seorang muslim, maka agama berarti syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji, tidak lebih dari itu. Sedangkan pasar, birokrasi, parlemen, pertanian, dan seterusnya bukanlah urusan agama. Ukuran keshalehan bagi manusia seperti itu adalah rajin beribadah saja. Tidak dikenal adanya kesatuan antara kesalehan individu dengan kesalehan social. Secara tata social, tidak ada hubungan antara bangunan masjid dengan pasar, partai politik, serta sanggar seni dan laboratorium ilmiah.

Jika kita seorang muslim dan mukmin mestinya rujukan pemahaman ke-Islaman kita kepada Nabi Muhammad SAW. Bukankah al Qur’an sebagai pedoman hidup normative sudah dilaksanakan pada dataran historis oleh Nabi Muhammad SAW? Sebagai konsekluensinya, untuk mendapatkan pemahaman terhadap al Qur’an yang benar, tidak bisa tidak harus menyertakan sunah Nabi Muhammad SAW. Memahami dan meneladani kehidupan Nabi adalah suatu keharusan integral untuk memahami alQur’an. Muhammad sebagai nabi bukanlah sosok yang pekerjaannya hanya khotbah di masjid, memimpin shalat berjama’ah dan doa. Akan tetapi, kecuali tugas itu semua, pada saat yang sama Nabi juga seorang politisi pemegang kekusaan. Ia juga hakim pemberi rasa keadilan masyarakatnya. Sebelumnya ia juga seorang pedagang besar. Dan tentu saja ia adalah seorang guru pendidik seluruh umatnya.

Dengan demikian pandangan hidup sekuleristik bukanlah lahir dari rahim ajaran Islam. Jika dikaitkan dengan Islam adalah sebuah destaosi terhadap Islam. Keberadaan pandangan hidp sekuler di dunia Islam Indonesia khususnya, tidak bias lepas dari rekayasa kaum colonial Belanda saat itu yang sangat ketakutan dengan pandangan hidup Islam. Melawan secara frontal dan fisik terhdap kekuatan kaum mukminin rakyat Indonesia adalah sesuatu yang sulit dilakukan. Oleh karenya disusupkanlah seorang intelektual Belanda (Snouch Horgronya) untuk mengamati kharakter ajaran Islam dalam kehidupan yang saat itu mengambil Aceh sebagai objek yang dia amati. Akhirnya diambil kesimpulan bahwa menguasai Islam dank um muslimin adalah sulit dilakukan dengan perang terbuka. Satu-satunya jalan yang mungkin adalh dengan membiarkan umat mukmin beribadah sepanjang mereka tidak berpolitik. Rekomendasi ini akhirnya menjadi kebijakan kolonialis Belanda untuk menguasai Islam di nusantara.

Anehnya, banyak generasi muslim saat ini yang tidak sadar akan tipu daya kolonial tersebut, dan dengan setia mewarisi pandangan hidup sekuler yang ditinggalkanya hingga saat ini. Inilah faktor penyebab terganggunya sistim persatuan dan persaudaraan Islam. Satu agama mereka, tetapi berbeda pandangan hidup yang dimilikinya. Bahkan bukan saja perbedaan tetapi pertentangan antara pandangan hidup yang satu dengan lainya. Inilah keprihatinan kita. Bagaimanakah solusinya?

Allahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar