SELAMAT DATANG DI BLOG PERUBAHAN SOSIAL

"Makkah adalah realitas empiris, Madinah adalah realitas ideal, jarak keduanya adalah amanah perubahan"

Selasa, 09 Februari 2010

FITROH

Dalam sebuah hadits-nya, Rasulullah SAW bersabda, “Setiap bayi terlahir dalam keadaan fitrah (suci). Orang tuanya yang menjadikan seseorang itu Yahudi, Nasrani atau Majusi.” Persoalannya adalah apa yang dimaksud “fitrah (suci)” dalam hadits tersebut. Apakah suci berarti netral, belum berisi, dan belum memihak, sehingga dapat dengan mudah diberi warna merah, hijau, atau abu-abu. Atau sebaliknya suci berarti memihak pada sesuatu yang bersih, tidak kotor, apa lagi gelap, karena penuh noda.

Untuk mendapatkan makna yang lebih pasti, ada baiknya jika kita juga renungkan beberapa ayat atau hadits lain yang berkaitan dengan keadaan tersebut. Pertama, adalah QS. Al A’raf: 172. Pesan penting dari ayat tersebut adalah, ketika masih dalam proses awal menjadi janin, ruh dari janin tersebut telah berjanji kepada Tuhannya bahwa ia sanggup untuk mengakui Ketuhanan Allah SWT. Dengan demikian menurut ayat ini sebenarnya sejak berupa janin (usia 160 hari dalam kandungan), manusia telah mengakui ketuhanan Allah SWT (ber-tauhid).

Kedua, setelah bayi itu lahir ke dunia serta tumbuh menjadi baligh (dewasa), komitmen pada nilai tauhid tersebut tetap mendasari perkembangan kepribadiannya. Sebagai buktinya, berikut ada sebuah ilustrasi; Ketika seorang melihat film di layar TV, yang dalam alur ceritanya ada pahlawan sang pembela kebenaran dan penjahat musuh kebenaran tersebut, maka semua manusia apapun agama, ras, suku dan bangsanya, pasti mendukung peran sang pahlawan dan membenci penjahat.

Kecenderungan semua manusia dengan berbagai idiologinya terhadap kebenaran yang sama dalam ilustrasi tersebut, menunjukkan bahwa sebenarnya kebenaran memang tunggal. Tidak ada standar ganda terhadap suatau kebenaran, karena kebenaran memang berasal dari Tuhan yang satu (tauhid). “Kebenaran datang dari Tuhanmu, maka janganlah engkau termasuk orang yang ragu”(QS. ) Dengan alasan ini, sekali lagi menunjukkan bahwa manusia sejak awal kejadiannya memang telah ber-tauhid.

Tauhid juga menjadi inti dari semua agama yang dibawa oleh semua Nabi dan Rasul. Sedangkan semua Nabi dan Rasul adalah muslim. Dengan demikian pada hakekatnya semua manusia sejak berupa janin sudah “beragama” yakni Islam. Karena itulah, dalam redaksi hadits di atas kata fitrah disejajarkan dengan nama beberapa agama (Yahudi, Nasrani, dan Majusi). Jika fitrah diartikan sebagai suci, tentu yang lebih pas dipersandingkan dengan kata kotor, mengkilap, dan sebagainya.

Sesuai dengan ilustrasi di atas, dapat dipahami bahwa kehendak fitrah teraktualisasi menjadi suara hati. Selanjutnya suara hati dapat terekspresi kedalam sikap seseorang. Ekspresi fitrah menjadi sikap tersebut dapat terlihat jelas ketika seseorang tidak sedang memiliki kepentingan (interest) pada suatu persoalan. Pada ilustrasi di atas digambarkan sebagai “sekedar melihat film”. Sebaliknya, kehendak fitrah, ekspresi suara hati menjadi tidak jelas, ketika seseorang berada di tengah-tengah kepentingan. Pada saat seperti ini fitrah, suara hati menjadi tertutup oleh kepentingan orang itu sendiri, yang tidak lain adalah bersumber pada ego-nya.

Walaupun dalam kondisi seperti ini bukan berarti suara hati (fitrah) menjadi hilang. Ia masih tetap ada hanya saja tidak dapat terekspresi menjadi sikap. Suara hati akan tetap hanya sebagai suara hati yang hanya dikenali oleh pemiliknya saja. Seperti pada kasus seorang pelacur, sebenarnya suara hatinya menyadari bahwa tindakan pelacurannya itu salah, tetapi apa boleh dikata ia berada pada tarikan kepentingan butuh uang. Orang seperti ini sebenarnya sedang mengalami kepribadian yang terbelah atau ganda (split personality). Kehidupannya tidak nyaman karena perang dengan hatinya sendiri.

Sebaliknya dengan menjadi muslim, manusia akan dapat hidup sehat tanpa mengalami split personality tersebut. Hal ini dapat dipahami, karena Islam sesuai dengan makna aslinya adalah menyerahkan diri. Menjadi muslim (orang yang beragama Islam) pada hakekatnya seseorang telah menyerahkan seluruh interest pribadinya (ego). Sehingga egonya menjadi selaras dengan interest Tuhan, yang sebenarnya juga selaras dengan suara hatinya. Hal itu ditunjukkan melalui sikap seorang muslim yang secara sadar (tidak terpaksa) taat terhadap syariat agamanya. Dengan mentaati syariat agamanya, berarti kehendak fitrah dapat teraktualisasikan tanpa di halangi oleh ego. Akibatnya dengan menjadi muslim, seseorang akan mendapatkan kepribadian yang sehat dalam arti tidak ada ketegangan-ketegangan jiwa, beban-beban psikis, sebagai akibat tertutupnya kehendak fitrah atau suara hatinya.

Semua ajaran dan syariat Islam tidak ada yang bertentangan dengan fitrah manusia. Islam memiliki syariat pernikahan yang sejalan dengan fitrah manusia untuk berhubungan dengan lawan jenisnya. Bahkan pada sebuah hadits dijelaskan bahwa pernikahan adalah sunah Rasul yang tidak boleh ditinggalkan seorang muslim. Hal ini berbeda dengan agama tertentu yang mensyaratkan tidak kawin untuk menjadi pemimpin agama. Islam memandang dunia sebagai ladang yang harus di garap dengan penuh kesungguhan, untuk mendapatkan panen di akherat. Seorang muslim haram membelakangi dunia demi untuk akherat. Ajaran ini selaras dengan fitrah manusia yang cenderung pada dunia. Prinsip Islam ini juga sangat berbeda dengan ajaran agama tertentu yang mensyaratkan untuk membelakangi dunia guna mendapatkan surga. Ringkasnya, Islam adalah agama yang selaras dengan fitrah manusia (QS. Ar Rum:30). Tidak akan terjadi penekanan, perlawanan, dan perampasan terhadap kehendak fitrah dengan menjadi seorang muslim.

‘Idul-fitri berarti kembali suci. Yaitu kembali pada suasana di mana kehendak fitrah, suara hati, akan mendasari seluruh sikap, pemikiran dan prilaku manusia dalam kehidupan nyata. Kehendak diri (ego) tidak lagi menjadi tuan atas sikap, pemikiran dan prilakunya. Ini berarti hilangnya semua sikap, pemikiran dan prilaku salah, buruk, dan jelek, karena digantikan oleh sikap, pemikiran dan prilaku yang benar, baik, dan indah. Jika kenyataan ini terwujud inilah kemenangan sejati seluruh umat manusia bahkan jagat raya.

Kemenangan ini diperoleh setelah sebulan penuh semua muslim melakukan serangkaian bentuk peribadatan dengan penuh kesadaran dan ketaatan, mulai dari pengendalian diri secara total dalam puasa, shalat malam, tadarus al-Qur’an, hingga memperbanyak shadaqah.

Dengan bekal idul fitri ini kemudian seorang muslim kembali turun ke medan kehidupan untuk berdialog dengan segala dinamika dunia, apakah hasil dialog tersebut menjadi ia terpelanting pada prilaku, sikap, pemikiran, dan bahkan kehilangan kehendak hati nuraninya, atau ia berhasil bertahan dengan kesucian nuraninya.
Allahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar