SELAMAT DATANG DI BLOG PERUBAHAN SOSIAL

"Makkah adalah realitas empiris, Madinah adalah realitas ideal, jarak keduanya adalah amanah perubahan"

Rabu, 20 Oktober 2010

ILMU FILSAFAT DAN AGAMA :

Sebuah pendahuluan

Bagi manusia indera adalah alat untuk mengetahui diri dan lingkungan alamnya. Hasil dari kerja mengetahui ini disebut pengetahuan. Kegiatan mengetahui dengan indera meliputi warna dengan mata, bentuk dengan meraba, suara dengan telinga, rasa dengan lidah, dan bau dengan hidung. Sesuai dengan kemampuannya, indera hanya dapat menangkap atau mencandra sisi paling luar dari suatu fenomena. Seperti terhadap daun yang berwarna hijau, mata hanya menangkap seberapa luas permukaan daun itu, warna, hingga keadaan permukaannya. Mata tidak tahu apa fungsi dari warna hijau bagi tumbuhan itu. Apa saaja isi atau kandungan biologisnya. Indera hanya bisa merasakan dingin atau panasnya cuaca, tanpa mau tahu apa hubungannya dengan awan yang bergelantungan. Mata hanya dapat melihaat kilatan cahaya petir di tengah gelapnya malam ketika hendak turun hujan tanap mengetahui apa sebab dan akibatnya. Indera hanya melihat turunnya air dari langit, yang diawali dengan adanya awan, dan sebelumnya panasnya suhu udara, dan sebelumnya uap air lautan yang terkena sinar panas matahari. Indera tidak dapat memahami apa lagi menemukan hubungan antar fakta air turun, awan, suhu udara panas, uap air, cahaya dan samudra luas tersebut.
Hubungan antar fakta satu dengan fakta lain baru dapat dipahami ketika manusia menggunakan akal pikirannya. Pikiran manusia mampu memahami apa yang terkandung dalam fakta, serta bagaimana hubungan antar fakta tersebut. Akal pikiran dapat memecahkan satu fakta berdasar unsur-unsurnya. Seperti misalnya hijau daun yang kemudian ia disebut clorofil. Apa itu clorofil? Ternyata ia adalah zat yang berguna untuk merubah unsur hara tanah yang dikirim oleh akar untuk dijadikan zat lain yang berguna bagi pertumbuhan suatu tumbuhan. Akal dapat memahami air hujan, yang tidak lain adalah unsur dari awan yang semula adalah uap air dari samudra. Akal dapa memahami mengapa uap air kemudian berkumpul menjadi awan, yang kemudian dalam keadaan tertentu air itu harus jtuh dalam bentuk titik-titik air hujan. Hubungan antar fakta dalam suatu fenomena secara sistimatis itulah yang kemudian disebut ilmu pengetahuan.
Bagi seorang dokter yang nota bene memiliki ilmu kesehatan manusia, dapat menangkap dan memahami hubungan antar gejala yang dialami seorang pasiennya. Seperti hubungan antara perut yang sakit dengan muntah-muntah, dan panas badannya. Guna memperjelas diagnosanya dokter perlu informasi latar belakang sebelum seorang pasien muntah dan sakit perut. Dan setelah mendiagnosa berdasar banyak fakta tersebut ia akan dapat memberikan obat yang tepat terhadap pasien tersebut. Hubungan antar fakta itulah bagian dari ilmu kesehatan atau ilmu kedokteran. Memahami satu fakta dengan memecah dan menghubungkannya kembali, kemudian membuat kesimpulan itulah pekerjaan akal pikiran, yang kemudian disebut dengan berpikir. Berpikir dengan menggunakan suatu metode secara konsisten, dibantu dengan alat yang sangat teliti akan sampai kepada kesimpulan yang falid. Jika metode itu metode ilmiah maka hasinya adalah ilmu pengetahuan, atau yang popular dengan sain.
Akal-pikiran menjadikan manusia hidup lebih mudah dan juga lebih maju serta sejahtera. Karena dengan ilmu pengethaun yang ditemukannya, manusia dapat lebih memanfaatkan sumber daya baik alam maupun manusia secara lebih efisien. Namun sayang bukan kemajuan dan kesejahteraan saja yang didapat oleh manusia dengan ilmu-pengetahuannya tersebut, tetapi juga mala petaka yang tidak kalah mengkawatirkan kehidupan. Misalnya adlah adanya krisis energy yang mengancam, krisis lingkungan alam yang terkenal dengan global warming (pemanasan global). Dan yang tidak kalh dahsyatnya adalah krisis social dan moral manusia itu sendiri. Siapa dan apa yang salah?
Kembali kita pada pengetahuan manusia. Ternyata pengetahuan manusia tidak terhenti pada pengetahuan dan ilmu-pengetahuan saja. Terhadap fenomena hujan misalnya, mausia masih bertanya. Mengapa hujan selalu terjadi dengan siklus yang konsisten mulai dari cahaya yang mengenai samudra, awan, dan hujan. Mengapa fakta-fakta tersebut begitu rapi dan konsisten? Adakah hokum yang mengatur. Jika ada apa hokum yang mengatur itu? Mungkinkah aturan itu ganda atau tunggal. Apakah aturan itu bersifat tetap dan mencakup semua yang ada di alam raya ini? Siapa yang menciptakan hokum alam itu? Mungkinkah Sang Pencipta itu bodoh atau sangat pandai luar biasa, sehingga dapat membuat hokum yang ditaai baik karena suka rela maupun terpaksa oleh seluruh alam? Mungkinkah Sang Pencipta itu tunggal atau banyak? Apakah alam ini diciptakan dengan tujuan atau penciptaan iseng, kebetulan, tanpa tujuan? Ratusan pertanyaan yang nota bene di balik kenyataan empiris masih dapat dibuat oleh manusia yang memang punya watak ingin tahu itu. Dan jawaban itu tidak lagi diruang ilmu-pengetahuan, melainkan di luar dan di balik ilmu pengtetahuan yang faktawi itu. Pengetahuan jenis inilah yang disebut dengan filsafat.
Pengetahuan filsafati adalah pengetahuan manusia yang murni hasil dari pemberdayaan akal-pikirannya. Ia tidak berada di ruang fakta dan fenomena. Ia berusaha membuat pertanyaan dan menjawabnya untuk hal-hal yang berada di balik fakta dan fenomena. Jawaban atas pertanyaan-pertanyayan filsafat itu misalnya adalah hokum alam yang membuat fakta-fakta siklus hujan berjalan konsisten. Sang penciptalah yang menciptakan hokum alam tersebut. Ia ada dengan tidak diciptakan. Karena kalau ia diciptakan maka ia tak lebih adalah makluq. Ia harus ada dan “bekerja” tidak terbatas dengan hokum alam, karena hokum alam saja ia yang menciptakannya. Ia ada sebelum hokum alam ada. Ia bebas sebebas-bebasnya, tidak ada apapun yang mengikatnya. Tentu ia maha pintar. Dan jawaban-jawaban seterusnya….. adalah jawaban akal pikiran terhadap pertanyaan-pertanyaan filsafati di atas. Memang jawaban itu tidak ada yang menjamin kebenarannya secara mutlak. Kebenaran yang dihasilkannya bersifat relative. Kemungkinan besar benar. Kebenaranya tidak terbatas untuk sebagian manusia. Semua manusia mengakuinya sekalipun bukan kebenaran mutlak. Kebenaran relative itu karena ia hasil pikiran manusia yang terbatas kemampuannya.
Sang Maha Pencipta itulah Allah SWT. Sebagai sang pencipta ia memiliki kharakter yang tidak terbatas yang disebut al asma’ul husna. Ar Raman, ar rahim, al Malik, al Qudus, al salam …….al shabr adalah sifat dan nama-nama Nya yang mulia. Dunia ini diciptakan dari air dalam enam masa. Kehidupan dunia ini sangat sementara dibanding dengan kehidupan pasca dunia (akherat). Kehidupan akherat itu ada dua macam yakni surga dan neraka. Sebelum itu ada yang disebut alam barzakh (kubur). Dan seterusnya inilah yang disebut ajaran agama.
Jika filsafat adalah murni pemberdayaan akal-pikiran manusia, maka agama adalah ajaran yang berasal dari tuhan. Sebagai ajaran yang berasal dari Tuhan maka kebenrannya bersifat mutlaq. Ia diberikan oleh Tuhan yang kerjanaya tidak dapat dibatasi oleh akal, tetapi agama juga diperuntukkan pada amanusia yang berakal. Oleh kerena itu agama tidak semuanaya masuk akal ajarannya. Ada yang rasional dan ada yang di atas rasio (metha rasional). Shalat subuh misalnya mengapa harus dua rakaat. Kan ia dilakukan pada saat pagi rsionalnya mesti lebih banyak dari shalat siang. Tetapi mengapa ia hanya dua rakaat? Mengapa gerakan shalat seperti itu, memakai takbir, rukuk dan sujud? Mengapa tidak menggunakan jalan di tempat, atau seperti gerakan yoga? Mengapa wudlu dari hadats karena buang angin, tetap saja harus menyiram anggota wudlu biasa –bukan tempat keluarnyaa angin? Itulah diantara contoh bahwa tidak semua ajaran agama itu rasional.
Ajaran agama memang tidak hanya dapat dipahami dengan akan. Jauh sebelum akal memehaminhya, hati manusia sudah harus meyakininnya. Keyakinan itulah yang disebut dengan iman. Yang sangat menentukan keberagamaan memang bukan akal manusia tetapi hati. Akal, dan indera hanya pembuat penjelasannya dan juga penguatnya, tetapi yang pokok adalah hatinya. Hati lah yang menentukan baik-buruknya manusia dengan agamanya itu. Bukan akalnya, bukan inderanya. Kebenaran agama adalah kebenaran yang bersifat mutlak, karena ia diciptakan oleh Dzat Yang Mutlak. Berhadapan dengan kebenaran agama inilah manusia harus bersifat pasrah, sami’na wa atha’na (kami dengar dan kami taat). Tuhan yang Maha Meengetahui, lebih tahu untuk berbuat bagaimana, dan apa saja, dalam rangka mengatur alam semesta ini, termasuk manusia. Sedang kita serba terbatas, samai hal-hal yang terdekat dengan kita saja kita tidak mengetahui. Contohnya, kita tidak tahu persis berpa ukuran air mata kita, apa saja komposisinya, berapa kali mata kita berkedip, apa saja bagian mata kita sehingga kita dapat melihat. Baru-baru ini saja setelah ada kemajuan iptek menusia mulai mengetahui itu semua. Sedang Tuhan sudah mengetahui persis jauh sebelum itu semua diciptakan.
Bagian yang mana dari agama yang bersifat mutlak? Bagian agama yang berasal dari Tuhan lah yang mutlak. Dalam islam, bagian itu yakni teks al Qur’an dan al Sunah Shahehah. Keduanya baik itu materi maupun proses penulisan dan penyeleksian dalam sejarah diakui sangat ketat dan dapat dipertanggung jawakannya. Jika al Qur’an jelas asalnya dari Allah, tetapi bagaimana dengan al Sunah? Al Sunah shahehah adalah perkataan, perbuatan dan ketetapan Nabi Muhammad SAW. Sedang apapun yang dikatakan, dilakukan, dan ditetapkan Nabi, tidaklah dari diiri beliau sendiri, tetapi semata-mata karena Allah SWT (in huwa illa wahyu yuha). Keduanya sejajar dalam arti jika al Qur’an hanya meminta kita melakukan sesuatu, tanpa menjelaskan bagaimana sesuatu itu harus dilakukan, maka al Sunah mengajarkan bagaimana sesuatu iatu harus dilakukan. Seperti sholat. Al Qur’an hanya menyuruh manusia untuk menegakkan shalat. Sedang Nabilah yang member contoh pelaksanaan shalat. Demikian juga dengan hal-hal lin terutama beribadah langsung kepada Allah (ibadah mahdhah).
Ilmu pengetahuan dan filsafat serta agama berada dalam gradasi yang berbeda. Pengetahuan biasa berada dalam gradasi terendah, kemudian disusul oleh ilmu pengetahuan, kemudian filsafat dan yang paling tinggi adalah agama. Agama terutama Islam, tidak mempertentangkan antara ilmu pengetahun, filsafat dan agama. Sekalipun ada wilayah agama yang belum terjangkau oleh akal. Tetapi islam mendorong umatnya u ntuk menggunakan akalnya dalam menjalani hidup bahkan juga dalam memahami agamanya.
Allahu a’lam.

ISLAM : TUHAN, MANUSIA, DAN ALAM

Islam adalah agama yang sempurna. Ajarannya meliputi seluruh kehidupan manusia tanpa terkecuali, dari bangun tidur manusia hingga tidur kembali di atur oleh Islam. Tidak salah jika ada yang mengatakan bahwa Islam adalah agama sekaligus peradaban. Di mana ada komunitas muslim di situ akan terekspresi kehidupan yang khas dengan budaya dan peradaban. mengapa demikian? dari mana seorang muslim mendapatkan legitimasi dalam berislam sehingga mengekspresikan kehidupan yang khas tersebut? Untuk menjawab dua pertanyaan tersebut kita perlu mengawali pembahasan mengenai al Qur’an.
Al Qur’an sebagai mukjizat terbesar Nabi Muhammad SAW
Hampir semua ulama berpendapat bahwa al Qyr’an merupakan mukjizat terbesar Nabai SAW. Di mana kemukjizatan itu dapat dibuktikan. Sementara adaa yang menjawab kemukjizatan al Qur’an terletak dalam sastranya. Terhadap jawaban ini, pantaslah kita ajukan pertanyaan, jika benar kemukjizatan alQur’an terletak pada nilai sastranya, bisa diajukan pertanyaan seberapa urgen kesusasteraan dalam kehidupan, sehingga Allah meletakkan kehebatan al Qur’an dalam hal sastra? Pada hal kehidupan akan tetap tidak terganggu tanpa sastra. Ada juga yang mengajukan jawaban kemukjizatan alQur’an pada keterjagaannya. Memeang al Qur’an merupakan peninggalan sejarah yang sangat terjaga otensitasnya, namun apakah di dalam otensitasnya itu kehebatan al Qur’an. Bukankah otensitas hanya merupakan efek dari kehebatan al Qur’an yang lain. Missal al Qur’an tidak berguna, mungkin akan lebih mudah hilang atau rusak. Lalu dalam hal apa kemukjizatan al Qur’an?
Ada sebagian ulama –Ibnu Taimiyah-- yang berpendapat bahwa kemukjizatan al Qur’an terletak pada kemampuan al Qur’an membentuk dan membangngun suatu pandangan dunia yang khas. Pandangan dunia (wordl view) adalah cara pandang terhadap kehidupan yang kemudian melahirkan prilaku baik pada individu maupun komunitas. Orang menyebut pandangan dunia juga dengan idiologi, yakni idea dan logos –doktrin –keyakinan terhadap ide-ide dasar tentang kehidupan yang diyakni kebenarannya untuk kemudian membentuk cara pandang tentang kehidupan masa depan, masa kini dan masa lalu, berikut methode, strategi pencapaian masa depan tersebut. Bagaimana al Qur’an membangun idiologi?
Fazlurrahman membantu kita untuk memahami alQur’an sebagai suatu sistim ajaran yang lengkap (komprehenship). Dalam bukunya The Major Themes Of Qur’an yang diterjemahkan menjadi Thema Pokok Al Qur’an, ia menjelaskan kehebatan alQur’an terletak pada tujuan diturunkannya kitab suci tersebut yakni untuk membentuk masyarakat yang etis dan egalitarian. Hal mana tanpak pada kritik Qur’an pada disekulibrium ekonomi masyaarakat Arab saat itu. Dengan kata lain alQur’an adalah kitab petunujk bagi manusia untuk merealisasikan masyarakat ideal. Hal tersebut menurut Rahman terbukti dari pembahasan al Qur’an pada beberap thema pokok kehidupan manusia, mulai dari pembahasan akan Tuhan, manusia, alam, Nabi-rasul, Syaithan, dan hari akhir.
Mengapa thema-tehma tersebut disebut thema pokok? Ya, karena kehidupan dengan segala kompleksitasnya sebenarnya termasuk dalam kerangka interaksi antar thema tersebut. Yakni manusia dengan Tuhannya, manusia dengan sesamanya dan manusia dengan alam, hingga keadaan hidupnya di akherat.
Pertanyaan lainnya adalah, mengapa al Qur’a sebagai kitab petunjuk bagi manusia, tidak member petnjuk praktis bagi manusia untk melakukan ini dan tidak melakukan itu (hal-hal teknis dalam hisup)? Ya. Inilah kehebatan al Qur’an.
Dengan menjelaskan berbagai hal mendasar dan pokok dalam kehidupan itu, al Quran mampu membejadi petunjuk bagi manusia sepanjang masa. Karena kehidupan manusiaa secara universal sebenarnya tidak keluar dari interaksi antar Tuhan, manusia dan alam tersebut. Kecuali itu, jika al Qur’an menjelaskan hal-hal teknis dalam hidup, maka bukan kitab suci namanya tetapi kitab petunjuk dan teknis (juknis) kehidupan. Jika iitu yang dilakukan maka ada masanya al Qur’an menjadi kurang relevan dengan persoalan nyata, dan kehilangan universalitasnya.
Al Qur’an : Tuhan
Mengapa tuhan begitu penting untuk dijelaskan dalam alQur’an. Atau dengan pertanyaan lain, mengapa Tuhan merasa penting untuk menjelaskan dirinya pada menusia? Ya, penjelasan itu begitu penting, karena di dalam sejarahnya manusia tidak pernah bisa secara pasti memahami siapa Tuhan dalam hidup ini. Bagaimanapun hebatnya manusia menggunakan pikirannya untuk mendapatakan kepastian siapa sebenarnya tuhan pasti akan gagal. Pikiran manusia bersifat relative. Sehingga hasil pemikirannya baik itu berupa ilmu pengetahuan maupun filsafat akhirnya juga relative. Mungkinkah kehidupan didasarkan pada kebenaran yang bersifat relative?
Demikian juga tentang Tuhan, semua aspek kehidupan alam semesta ini bergantung terhapak persepsi tentang tuhan. Orang Jawa misalnya memiliki persepsi tentang Tuhan seperti dalang sedangkan manusia dan alam seperti wayang. Dalang adalah pemilik mutlak atas wayang serta perannya dalam sebuah lakon. Sebaliknya wayang tidak berdaya sedikiitpun terhadap dirinya sendiri. Dari persepsi yang demikian lahirlah watak manusia Jawa yang fatalistic, pasif, dan serba menyerah. Jika kebetulan ia benar, baik, dan beruntung, itu karena kehendak Yang Mnaha kuasa yakni Dalang. Sebaliknya jika mereka salah, buruk dan rugi juga karena dalang, yang harus dibawakan dengan sikap nrimo ing pandum. Agama yang fatalistic inilah agama yang dipersepsikan sebagai candu pembuat mabuk oleh Karl mark dalam idiologi komunismenya.
Pada sejarah hidup kemanusiaan, pencarian manusia akan siapa Tuhan sudah lama dilakukan dengan pikirannya. Namun ujung dari pencaqrian itu dapat kita saksikan jauh dari kenyataan akan Tuhan itu sendiri. Manusia primitive menemukan Tuhan sebagai kayu besar, batu besar, dan berhala yang mereka ciptakan sendiri. Semua itu mereka yakini memiliki roh yang berkemampuan di atas kemampuan manusia. Hubungan antara Tuhan dengan manusia adalah hubungan yang bersifat tidak rasional bahkan takhayul dan khurafat. Semua misteri ketidakmampuan manusia adalah wilayah kerja Tuhan. Semua yang selain itu adalah wilayah kehidupan manusia bukan wilayah Tuhan. Ketika misteri itu tidak ada maka sudah tidak ada lagi wilayah Tuhan.
Para filosof, berusaha menemukan Tuhan dengan pikirannya. Di ujung pemikirannya akhirnya mereka mengenal Tuhan walaupun juga jauh dari realitas Tuhan itu sendiri. Capaian tertinggi kaum filosof tentang Tuhan menye butkan bahwa tuhan sebagai prima causa (pencipta pertama). Akal juga dapat sampai pada pemahaman bahwa prima causa mestilah tunggal, bebas dari hokum alam, unik, dan lebih dari yang lain.
Filosof Barat, Rene Descartes berkesimpulan bahwa Tuhan telah mati (The god is deat). Kaitannya dengan alam menurut Descart, tuhan memang benar telah menciptakan alam dengan segal hukumnya, namun kemudian alam dibiarkannya kerja sendiri, sebagaimana jam yang telah diciptakan kemudian ditinggalkan oleh penciptanya, sementara jam itu bekerja dengan hukumnya. Pemahaman akan tuhan tersebut tentu tidak keluar dari idiologi Materialisme Barat. –keyakinan bahwa ala mini pusatnya benda, manusia dan tuhan adalah subordinan dari benda tersebut.
Atas dasar persepsi tentang tuhan yang demikian maka Barat telah lama (sejak kebangkitannya abad 16) telah kehilangan realitas diluar dunia yang materialistic. Barat telah lama kehilangan realitas metafisika; Tuhan, akherat, dan aspek bathiniah manusia. Dengan ini Barat kehilangan landasan akar segala nilai. Benar, salah, baik-buruk, untung rugi dipahami sebagai fungsi dari benda belaka. Inilah akar masalah dari peradaban Barat.
Melihat kebunutan manusia dalam mencari tuhannya itulah, maka Tuhan dengan maha pemurahnya kemudian mengutus para Nabi dan Rasul untuk menyampaikan risalahnya kepada umat manusia. Inti dari semua risalah tersebut yaitu monotheisme. Suatu keyakinan bahwa tuhan itu satu, tiada bersekutu dengan apapun. Jika filsafat hanya dapat meraba dalam ketidak pastian tentang siapa tuhan, maka agama melalui teks-teksnya secara tegas, serta rinci, kemudian menjelaskan siapa Tuhan yang sebenar-benarnya.
Al Qur’an hadir dengan penuh ketegasan menjelaskan tentang siapa Tuhan. Dialah Allah, tiada tuhan kecuali dia.Tidak beranak, serta tidak diperanakkan. Tempat bergantung segala sesuatu. Dia Yang maha Pengasih, Maha penyayang, Maha adil, Maha mengetahuia yang ghaib dan yang nyata,Yang awal, Yang Akhir, yang lahir, Yang bathin, Maha pintar, Maha Pemberi Rizki, Maha Pencipta, Maha emberi bentuk, Maha pengampun, Maha Penerima Taubat, Maha Kuasa atas segala sesuatu, Maha Merajai, Maha Suci, maha menyelamatkan, … dan seterusnya.
Dari persepsi tentang Tuhan yang demikian akan lahirlah manusia yang aktif, sekaligus, pandai menyerahkan diri kepada Nya, bertanggung jawab, hati-hati, memiliki visi tentang masa depan yang jelas, optimis, kuat tidak mudah putus asa, adil, berani, dan rendah hati…… bukan penghamba materi, tetapi peduli dengan lingkungan dan alam, dan sebagainya. Inilah gambaran tentang manusia sempurna (insane kamil).
Qur’an : manusia
Setelah persepsi tentang Tuhan tuntas dijelaskan oleh al Qur’an, kemudian alQur’an juga menjelaskan tentang manusia. Sebenarnya siapa itu? Dari apa ia diciptakan, sebagai apa mereka hidup, kemana setelah hidup di dunia ini selesai? Bagaimana ukuran kemuliaannya, mengapa ia cenderung berbuat praktis?
Seperti dalam menejelaskan tentang Tuhan, Al Qur’an menjelakan tentang manusia juga sangat detil dan pasti. Penjelasan itu bertebaran dalam berbagai ayat al Qur’an. Seperti; manusia itu terbuat dari sari pati tananh, kemudia air mani. Ia dapat menjadi makluq yang paing mulai, sebaliknya dapat menjadi makluk yang paling nestha. Mulia karena iman dan amal shalehnya. Dia diciptakan untuk menjadi wakil Allah di muka bumi, guna memakmurkan alam raya ini. Ia juga berpredikat sebagai hamba Allah.
Kecuali sebagai individu, dengan segala keinginan dan pertanggung-jawabannya, manusia juga sebagai makluk social, yang harus peduli pada orang lain dan masyarakat lingkungannya. Bermula dari laki-laki kemudia wanita, kemudian keduanya saling mencintai, akhirnya berkeluarga dan bermasyarakat. Semua manusia itu sederajat kecuali dalam ketaqwaannya. Hubungan antar manusia harus dalam kerangka tolong menolong dalam kebaikan dan taqwa, bukan dalam dosa dan permusuhan.
Manusia sebagai hamba dan khaalifah Allah harus melakukan peran-peran pemakmur dunia dan penegak kebenaran dan keadilan. Dua peran tersebut akan menjadikan manusia hidup dengan kemuliaan dan kebehagiaan baik di dunia ini maupun nanti di akherat.
Jika sudah sampai saatnya, manusia itu harus kembali menghadap Tuhannya, di akherat. Mereka tidak membawa apapun tentang dunia kecuali amal perbuatannya. Tidak ada amal perbuatannya kecuali akan dipertanggung-jawabkannya di kehidupan abadi (akherat). Jika hassil catatan amalnya baik maka manusia akan masuk surge, tetapi jika amal buruknya yang mendominasi maka nerakalah tempatnya. ….dan seterusnya.
Perspektif al Qur’an tentang manusia itu menjawab tuntas siapa sebenarnya manusia, dari mana asalnya, dan hendak kemana akhirnya. Sehingga tidak ada keraguan lagi, manusia mesti bagaimana bersikap dengan Tuhannya, bergaul dengan sesamaanya, harus berperan seperti apa, ia akan menjadi pejuang atau pecundang, pahlawan apa penjahat, kesemuanya sudah begitu jelas, al Qur’an menjadi landasan hidup.
Al Qur’an : alam
Kehidupan berlangsung di alam, kecuali bersama tuhan, manusia, serta juga alam. Sebagai pandangan hidup yang lengkap alQur’an juga menjelaskan tentang apa sebenarnya alam. Apa tujuan penciptaannya. Bahkan Qur’an juga menjelaskan bagaimana manusia mesti bergaul dengan alam.
Alam diciptakan Tuhan dalam enam masa, dengan bermula dari air. Matahari, bumi, bintang dan bulan masing-masing beredar sesuai dengan qadarnya. Semua alam ini bertasbih memuji tuhannya menurut bahasanya masing-masing, baik dengan suka rela atau terpaksa.
Penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang adalah tanda-tanda akan kebesaran tuhan. Semuanya diciptakan untuk menusia. Namun demikian dalam mengggunakannya manusia tidak boleh rakus dan merusak. Semuaa alam semesta ini diciptakan dengan keseimbangan dan keharmonisan. Jika ada kerusakan di darat maupun di laut badlaah karena ulah tangan manusia.
Alam ini bagi manusia sekaligus sebagai amanah yang harus dipertanggung-jawabkan nanti di akherat, sekaligus debagai ujian dan cobaan. Apakah manusia akan puas dengan dunia ini, sehingga ia menjadi ingkar pada Tuhannya serta kehidupan abadinya nanti di akherat? Ataukan ia akan menjadikan dunia ini sebagai lading tempat bertanam untuk dipetik hasilnya nanti?
Kahidupan dunia tidak lain sebagai sendau-gurau dan main-main. Kehidupan akheratlah kehidupan yang amat serius. Itulah karenanya manusia tidak boleh terlena oleh dunia yang penuh dengan perhiasan ini. Dengan pemberian Tuhan berupa ala mini mestinya manusia akan semakin bersyukur pada tuhannya, bukan justru membuatnya lupa dengan tuhannya. Alam sedemikian lengkap diciptakan untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Penjelasan di atas adalah sebagian dari penjelasan alQur’an tentang tiga tema pokok kehidupan (Tuhan, Manusia, dan Alam). Tidak cukup sampai di situ beberapa thema penting lain juga dijelaskan dalam al Qur’an. Misalnya penjelasan tentang akherat, nabi dan rasul, serta syetan. Semua penjelasan tersebut sebagai satu kesatuan integral yang akan menghadirkan konstruksi berpikir yang sedemikian lengkap tentang kehidupan.
Konstruksi berpikir demikian pada paro pertama abad VI M telah diimplementasikan secar konkrit oleh Nabi Muhammad SAW beserta para shahabatnya ketika itu berikut generasi-generasi sesudahnya. Hingga akhirnya pada beberapa abad sesudah itu dari komunitas muslim itu terukir satu peradaban indah baik secara spiritual, intelektual, dan fisikal. Satu peradaban yang paling maju dan paling beradab sepanjang sejarah kemanusiaan. Jika decade belakanagan ini peradaban tersebut mengalami kemunduran dan terkalahkan oleh peradaban lain adalah persoalan lain yang harus dikaji kembali leterbelakang dan penyebabnya. Namun setidaknya pandangan hidup yang dibengun oleh landasan alQur’an bukanlah pandangan hidup yang yang bersifat utopia (baca: mimpi).
Allahu a’lam.

FENOMENA MENGULANG BANJIR NABI NUH

Kehadiran Nabi Nuh adalah dalam rangka memberi peringatan kepada umatnya, untuk tidak durhaka kepada Allah SWT. Tetapi ternyata ajakan itu disikapi dengan penentangan ummat nabi Nuh. Hanya ada sedikit umat Nabi Nuh yang mentaatinya. Sebagai hukuman atas kedurhakaan umat Nabi Nuh tersebut, Allah datangkan banjir bandang yang sangat dahsyat walau pada musim kemarau. Di tengah terjangan banjir itu, hanya sedikit yang bisa selamat. Mereka terdiri dari orang-orang yang beriman, patuh dan mentaati seruan Nuh, dan berbagai jenis binatang. Adzab yang tidak kalah dahsyat juga pernah Allah timpakan kepada kaum Madyan, Ad dan Tsamud, yang juga dikenal durhaka kepada Allah. Lalu apa yang penting, dari kisah banjir banadang tersebut dalam konteks kekinian?
Ketika kebanyakan umat manusia sudah tidak lagi memperhatikan seruan Allah, bahkan meremehkan , menistakan, dan menentang ajaran-ajaran suci ilahi, apakah tidak mungkin akan datang adzab serupa dengan banjir nabi Nuh itu. Atau jangan-jangan banjir itu sekarang sudah terjadi?
Secara objektif, kita harus mengatakan bahwa manusia modern sekarang dan mendatang menunjukkan trend yang tidak lagi peduli dengan seruan ilahi. Agama dipahami sebagai peninggalan klasik yang hanya memiliki nilai pariwisata. Dilestarikan bukan sebagai ajaran yang hidup dalam keseharian manusia modern, melainkan sebagai barang yang antic, menghibur, dan sedikit bersejarah. Ya… modern dibuat dan dikesankan bertolak belakang dengan nilai dan ajaran agama. Jika modern berarti maju, sesuai nalar sehat, dan efisien. Maka agama berarti sebaliknya, terbelakang, penuh mitologi, bodoh, dan sia-sia. Jika ada sedikit orang yang peduli pada nilai dan ajaran agama, adalah fenomena aneh, lucu, dan tentu menjadi bahan tertawaan. Sebaliknya, berbagai prilaku penyimpangan norma dan ajaran agama sudah dianggap sebagai hal biasa. Pencurian, perzinaan, miras, hingga pembunuhan, menjadi hal yang lumrah, bahkan tidak jarang yang justru dilegalkan. Jika sudah demikian adanya, tidak aneh rasanya jika adzab dari langit akan atau sudah datang.
Analog dengan banjir Nabi Nuh, banjir yang sama mengancam kehidupan manusia itu saat ini sudah datang. Betapa tidak, kebudayaan jahiliyah yang dikemas sangat menarik nafsu manusia, melalui agen-agen distribusinya bisa masuk ke semua ruang, tanpa terbendung sedikitpun. Agen itu adalah kotak kecil yang bernama HP, pesawat televise, computer dan sebagaainya. Melalui berbagai perangkat tersebut, budaya jahiliah telah mengepung semua orang tanpa menyisakan ruang yang aman. Bukankah fenomena demikian adalah banjir? Tidak ada orang yang bisa menanggung keselamatan orang lain berhadapan dengan banjir tersebut, walaupun ia seorang ustadz, kiai, bahkan juga nabi, sebagaimana tidak diijinkannnya Nabi Nuh, untuk menyelamatkan istri dan seorang anaknya sendiri yang akhirnya tewas menjadi korban bajir besar saat itu.
Dan tidak jauh berbeda dengan banjir Nuh, yang dapat menyelamatkan hidup manusia adalah kapal Nuh. Ciri kapal itu adalah aneh ketika dibuat tetapi mampu mengantisipasi kemungkinan yang akan terjadi di masa depan. Sama anehnya dengan Nuh yang dicibir umatnya ketika ia membuat kapal di tengah musim kemarau, yang ternyata menjadi satu-satunya alternative untuk menolong kehidupan manusia menghadapi banjir bandang. Ciri yang lain, adalah penerimaan tanpa syarat oleh siapapun yang ingin selamat atas nilai, ajaran, perintah dari langit, bagaimanapun tidak masuk akalnya perintah langit tersebut. Dengan kata lain, kalau sudah berhadapan dengan otoritas langit, orang yang ingin selamat harus jauh-jauh membuang keangkuhannya, dan secepatnya menggantinya dengan sikap rendah hati atau tawadlu’. Ciri yang lain lagi adalah sikap teguh pendirian dalam menyiapkan kapal sehingga layak dipakai. Tanpa sikap istiqomah tersebut, maka proyek penyelamatan kehidupan akan gagal dilaksanakan, atau tidak selesai dilaksanakan.
Melihat bentuk empiric atas banjir yang terjadi, kapal itu berupa bisa berupa apa saja, mulai dari syair lagu, berlembar-lembar teori, grup music, kelompok pengajian, hingga keluaarga, sekolah (lembaga pendidikan), organisasi kemasyarakatan, paguyuban, kumpulan arisan, dan apapun. Prinsipnya adalah lembaga yang dibangun dalam rangka menegakkan kalimat ilahi.
Menghadapi musibah yang sudah di depan mata tersebut kaum muslimin banyak yang masih berpangku tangan belum menyadari besarnya ancaman. Bahkan ikut menggali lubang cekungan yang siap untuk mempercepat datangnya arus banjir. Sayang orang modern yang sudah terlanjur berotak rasionalisme dan berinderaa empirisme terlalu tuli untuk mencandra datangnya banjir.
Wallahu a’lam.

ISLAM DAN SEKULERISME

Sekulerisme adalah istilah bentukan dari speculum yang berarti masa kini, saat ini. Kemudian menjadi kata sekuler sebagai kata dasar dengan kata jadian sekulerisasi, dan sekulerisme. Sekulerisasi adalah satu proses menyekulerkan. Memasakinikan hal-hal yang sudah lama. Meng up date semua yang dianggap telah exspaired. Yang dianggap tantangan bagi sekulerisasi adalah nilai-nilai, dogma-dogma, yang dianggap universal ingenerik. Padahal nilai atau dogma tersebut sudah kadaluwarso, sehingga perlu untuk direformasi atau kaau perlu didekonstruksi untuk dapat diaktualisasikan pada realitas saat ini. Untuk itu sekulerisasi menyaratkan profanisasi nilai-nilai dan dogma-dogma yang dianggap sacral. Sekulerisasi pada dataran ini sejajar dengan desakralisasi dogma dan nilai, bahkan agama.
Tentang politik misalnya, dalam pandangan sekulerisasi, politik adalah masalah sekuler yang harus selalu direformasi sehingga sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan saat ini. Politik adalah masalah sekuler bukan masalah agama. Dogma dan teks agama dalam masalah politik tidak ada gunanya. Di sinilah politisasi agama sudah bukan saatnya lagi. Karena politik adalah masalah dunia yang sangat profane tidak sacral. Pada dataran ini kita dapat memahami statemen Cak Nur yang berbunyi, “Islam Yes Politik Islam No”. Kita juga dapat memahami pendapat Gus Dur bahwa assalamu’alaikum sama dengan selamat pagi. Dan juga pendapat siapapun yang mensekulerkan hal-hal yang memang bersifat sekuler.
Jika demikian penjelasan tentang sekulerisasi, apa dan mengapa orang meributkannya. Apa yang salah bahwa politik adalah persoalan dunia, saat ini, serta profane. Nurchlis berpendapat menyeret masalah politik ke dalam agama alih-alih memberikan kontribusi terhadap agama yang terjadi justru membuat citra agama menjadi buruk. Sebagai contohnya adalah banyaknya partai agama yang dalam sepak terjangnya justru bertentangan dengan nilai atau teks-teks agama, akibatnya justru merugikan agama itu sendiri. Demikian juga dalam bidang yang lain orang menjadi bertanya politisasi agama apakah tidak memanfaatkan agama untuk tujuan politik?
Sekulerisme dalam sejarah
Melihat penjelasan tetang sekulerisasi di atas memang tampak bahwa tidak ada masalah dalam sekulerisasi. Bahkan sekulerisasi sangat diperlukan oleh agama sehingga nilai-nilai agama dapat diaktualisasikan di dataran realitas empiris. Dengan sekulerisasi agama, agama menjadi fungsional dalam kehidupan. Namun pertanyaannya adalah sampai sebatas mana sekulerisasi dalam agama bias dilaksanakan. Sekulerisasi terhadap format keagamaan dengan tetap mensakralkan nilai-nilainya, tampaknya mmemang baik adanya, tetapi jika sekulerisasi dilakukan tanpa batas, seperti bacaan sholat dan adzan yang harus dibahasa nasionalkan, wudlu yang sama dengan sekedar mandi kecil, nikah yang penting sama-sama senang untuk berhubungan suami istri sekalipun tanpa ijab dan kabul, dan sederet masalah yang lain… tampaknya harus dipikir ulang. Terlebih jika cara kita memahami suatu kata harus disertai kontek sejarah di mana kata itu lahir. Sekuler, sekulerisasi, dan sekulerisme bagaimanapun harus dipahami dalam konteks sejarahnya.
Sekulerisme adalah paham yang lahir dari rahim peradaban Barat, tepanya pasca renaissance Eropa pada abad XV. Renaissance yang bermakna pencerahan kembali lahir sebagai bentuk dekonstruksi intelektual dan kemudian social-politik atas dominasi pihak gereja terhadap kaum ilmuwan, kaum capital dan rakyat jelata. Gereja yang saat itu juga menjadi penguasa intelektual, social dan politik memaksakan kebenaran-kebenaran dogma gereja kepada masyarakat. Sebagaimana biasanya penguasa yang tanpa control menjadi tirani yang tidak menerima kritik. Kritik dipahami sebagai ancaman yang karenanya harus dimusuhi dan dimusnahkan.
Pada episode ini di Eropa, khususnya Spanyol berddiri megah sebuah peradaban yang maju baik secara spiritual, intelektual maupun fisikal. Peradaban itu lahir dari spiritualisme dan intelektualisme islam, yang dibangun oleh salah seorang keturunan Bani Umayah yang selamat dkarena melarikan diri dari kejaran pasukan Bani Abbasiah. Kemajuan peradaban Islam ditandai oleh kemajuan sain dan teknologi, mulai dari ilmu astronomi, kedokteran, kimia, arsitektur, dan tentu saja ilmu agama. Beberapa tokohnya ada Ibn Rusyd atau yang lebih dikenal dengan Averos dalam buku-buku sejarah Barat. Ibnu Rusyd dikenal kecuali ahli dalam agama juga ilmuwan induktivis. Ia mengenalkan kebenaran sebagai hasikk dari percobaan empiris. Diantaranya kepada Ibnu Rusyd inilah banyak mahasiswa Eropa belajar ilmu pengetahuan empiiris di universitas Cordova di Spanyol. Di tengah kegelapan peradaban Barat, hasil pembelajaran dari universitas Cordova inilah sebuah cahaya pencerahan mulai menyebar di Eropa.
Diantara ilmuwan Eropa itu adalah Galileo yang kemudian bertori bahwa mataharilah yang sebenarnya sebagai pusat alam semesta yang kemudian terkenal dengan teori Helio sentrisme. Teori tersebut tentu saja bertentangan dan kemudian dipahami sebagai pembangkangan terhadap teori Gereja yang telah ada sebelumnya yang menyebut bahwa bumi adalh pusat semesta yang kemudian dikenal Geosentrisme. Banturan anatara sang penguasa yakni gereja dengan ilmuwan yang power loss berakibat dijatuhkannya hokum bakar hidup-hidup kepada Profesor Galileo. Peristiwa hukuman yang sangat tidak manusiawi itu kemudian menyentak kesadaran ilmuwan-ilmuwan Eropa untuk membebaskan ilmu mereka dengan dogma agama (baca: Gereja).
Pada bagian lain sejarah Eropa sedang terjadi permusuhan hebat anatara Raja Frederic dan ratu Isabel yang sedang memimpin pasukan Kristen untuk merebut kembali Spanyol dari tangan penguasa muslim Bani Umayah di Eropa. Ternyata perang tersebut membawa serta sentiment keagamaan,Islam dan Kristen, dan berlangsung sekitar 3 abad. Tentu perang selama itu menjadi sangat wajar jika membentuk mental kebencian Kristen kepada umat dan agama Islam, dan khususnya kaum ilmuwan Barat. Hingga kahirnya semakin kuatlah tembok pembatas anatar ilmu pengetahuan yang nota bene karya para ilmuwan dengan agama. Pemisahan secara intelektual ilmu dari agama ini, dalam datara social-budaya melahirkan satu paham yang disebut sekulerisme. Dari sudut pandang sejarah ini, akhirnya sekulerisme adalah sebuah gerakan intelktual dan budaya yang sengaja memisahkan kehidupan manusia menjadi dua bagian. Bagian yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya, dan alam semesta adalah wilayah ilmu pengetahuan, sedang wilayah agama adalah wilayah yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Kedua wilayah itu haram hukumnya untuk saling bertemu, berkait, dan mencampuri. Tidak ada agama, Tuhan, akherat, benar, dan baik yang bersifat keagamaan di dalam wilayah ilmu pengetahuan.

TRANSFORMASI DARI KARYAWAN MENJADI PEJUANG

Merenungkan keberadaan Muhammadiyah yang sudah berusia satu abad ini adalah suatu keharusan, sehingga langkah Muhammadiyah pada abad kedua dan seterusnya akan lebih membawa maslahah terhadap keberadaan ummat dan bangsa yang telah memilikinya selama ini.
Keberadaan Muhammadiyah selama ini identik dengan kebesaran adalah tidak dapat dipungkiri. Ada ratusan ribu TK ABA di seentero Indonesia, ribuan SD-MI, SMP-MTs, SMA-MA, hingga ratusan PT adalah fakta yang tidak terbantahkan bahwa Muhammadiyah adalah organisiasi besar. Di lapangan social ada ribuan panti yatim-piatu, rumah jompo, lembaga zakat, dan ribuan poliklinik ibu dan anak hingga rumah sakit. Membuat semakin lengkap Muhammadiyah dalam berkiprah di bumi pertiwi ini.
Penulis sebagai bagian dari penumpang yunior dalam gerbong Muhammadiyah menjadi terngguk-angguk secara tidak sadar, ketika di forum muktamar satu abad yang lalu menyaksikan sendiri betapa di bumi Papua Muhammadiyah menjadi bagian dari ormas keagamaan yang gigih berjuang mengibarkan bendera dakwah amar makruf nahi mungkarnya. Adalah betul-betul informasi yang sangat faktawi dan aktual bagi penulis. Boleh jadi hal itu, karena Papua adalah daerah terjauh dari tempat berpusatnya para media. Begitu juga dengan kiprah muhammadiyah di bumi Menado Sulawesi Utara. Nusa Tenggara Timur, bahkan juga di Bali. Beberapa daerah ini notabene mayoritas non muslim.
Oleh karena itu tidak terlalu salah jika para ahli sejarah membuat teori sejarah bahwa Islam (baca: Muhammadiyah) adalah salah satu dari lem perekat kesatuan dan persatuan Indonesia. Sungguh besar jasa Muhammadiyah bagi negeri ini. Karena itu sikap mengecilkan Muhammadiyah oleh siapapun, kecuali jelas bukan didasarkan oleh pemahaman yang utuh dan mendalam terhadap sejarah bangsa ini, juga tindakan yang gegabah dan membahayakan eksistensi bangsa ini saat ini dan di masa-masa yang akan datang.
Namun demikian, bukan sebuah lembaga yang baik jika para aktivis Muhammadiyah berpuas dengan fakta-fakta kebesarannya tersebut. Bahkan bisa jadi terhentilah langkah kebesarannya jika para aktovisnya terninabobokan oleh langgam kebesaran Muhammadiyah ya ng memang merdu dibawakan oleh para pengamat dalam dan luar negeri tersebut.
Sebagai seorang pelaku pendidikan (belum pantas bergelar pejuang, karena kata ini kayaknya lebih pantas diberikan kepada para pahlawan pendidikan), penulis agak terusik oleh orang-orang yang menyuarakan kebesaran Muhammadiyah di atas. Karena bagi penulis, Muhammadiyah adalah (meminjam istilah Emha Ainun najib) sebuah gerakan social yang keberadaannya sejak awal diabdikan untuk sebuah nilai agama yang sangat mendasar yakni Tauhid. Apresiasi mendalam Kiai Dahlan terhadap surat al Maun adalah sangat melegenda dalam sejarah awal keberadaaan Muhammadiyah.
Penulis mendapatkan pemahaman bahwa Muhammadiyah adalh lahir di atas dasar tauhid dan untuk memuliakan tauhid itu juga. Karena itu, ketika kita ingin mengukur kesuksesan Muhammadiyah sudah barang tentu bahwa inti ukurannnya adalah tauhid juga. Mengukur kesuksesan dan kebesaran Muhammadiyah hanya dengan ukuran jumlah/kuantitas amal usahanya adalah sebuah ketidaktepatan. Seperti mengukur kebesaran gajah dengan standar ukuran banyaknya gelintir bulu atau warnanya, bukan beratnya. Mengukur kehebatan seekor macan dengan jumlah kuku-kukunya, bukan keharmonisan bentuk tubuhnya dengan doreng bulu-bulu kulitnya.
Mengukur keberhasilan dan kebesaran Muhammadiyah tentu lebih tepat jika menggunakan ukuran sejauhmana amal-amal usahanya memberikan andil dalam perjuangan li i’la likalimatillah (meninggikan dan memuliakan kalimah ilahi). Banyaknya amal usaha Muhammadiyah yang mengalami disfungsi li I’la likalimatillah adalah sesuatu yang mubadzir, alias sia-sia dan membuang-buang asset persyarikatan. Ukuran kebesaran lembaga amal usaha Muhammadiyah bukan pada hal-hal yang bersifat kuantitatif. Jika kita hendak mengukur sebuah sekolah hendaknya bukan seberapa tinggi gedungnya, seberapa banyak muridnya, seberapa besar sumbangan dananya tidap bulan pada organisasi. Tetapi hendaknya menggunakan ukuran-ukuran kualitatif yang tauhidi.
Untuk sebuah amal usha sekolah ukran yang mestinya dipakai adalah sejauhmana relevansi visi dan missi sekolah terhadap upaya mentauhidkan ummat dan bangsa Indonesia. Bagaimana dasar, warna dan orientasi dari kurikulumnya? Sudahkan kohern dengan upaya menegakkan tauhid menurut pemahaman Muhammmadiyah? Bagaimana dalam proses-proses KBMnya? Sudahkah KBM sekolah memungkinkan semua peserta didiknya terkena sibghah tauhid. Seperti apa pola berpikir guru atau ustadznya? Materialistik kah? Apakah kinerja mereka seperti kinerja seorang karyawan ataukah sebagai seorang pejuang. Terakhir adalah alumninya. Apakah alumsi dari sekolah-sekolah Muhammadiyah memiliki karakter seorang mukmin yang intelektual, atau intelektual yang mukmin? Mukmin intelektual sangat berbeda dengan intelektual mukmin. Jika yang pertama, mukmin menjadi core dan jati dirinya, sedang intelektual adalah subordinanya. Pada yang kedua sebaliknya, intelektual adalah core dan jati dirinya, sedanngkan mukmin adalah sub ordinannya.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut harus dijawab dengan jujur oleh semua jajaran pimpinan baik pada yayasan maupun pimpinana amal usaha Muhammadiyah. Jawaban jujur tersebutlah yang menyatakan dengan konsisten dan apa adanya tentang keberadaan Muhammadiyah. Dengan kata lain, marilah kita berimajenasi, jika Kiai Dahlan saat ini masih ada, Ia akan menangis karena prihatin akan sepak terjang Muhammadiyah saat ini, atau tersenyum karena merasa lega dengan eksistensi Muhammadiyah.
Marilah ukuran-ukuran kualitas tauhidiyah sebuah amal usaha Muhammadiyah tersebut sedikit kita kupas, sehingga jelas bagi kita.
Visi dan Missi sebuah sekolah adalah merangkum arah gerak sekolah itu hendak berkiprah. Oleh karena itu visi dan missi sekolah Muhammadiyah hendaknya menjadikan tauhid sebagai nilai dasarnya. Nilai tauhid adalah nilai yang mendasari kehidupan dunia hingga akherat. Jika sekolah Muhammadiyah memiliki visi dan missi yang terbatas pada nilai duniawi semata, itu artinya sekolah itu akan berkiprah di dunia ini saja. Sekolah yang demikian tidak lebih dari senuah lembaga pendidikan sekuler. Yang pada gilirannya nanti akan melahirkan alumni bukan Abdullah (hamba Allah), tetapi abidunya (hamba dunia). Perlu ditegaskan di sini bahwa, tidak ada alasan karena visi dan missi tauhidnya sekolah Muhammadiyah menjadi terbelakang atau membelakangi dunia. Sebaliknya, dengan visi dan missinya itu sekolah Muhammadiyah memiliki akar kuat di dalam bumi tauhid, dan sekaligus berdahan dan berranting professionalitas dan akademik. Kuat kayakinannya terhadap Allah dan akherat sekuat itu pula tradisi profesionalitas dan kecerdasan akademiknya.
Selanjutnya, dasar dan orientasi kurikulumnya. Kurikulum adalah kelanjutan dari visis dan missi dari sebuah amal usaha berupa lembaga pendidikan. Jika visis adalah ruh, jiwa dan hatinya, maka kurikulum adalah sistim saraf otak dan pola pikirnyanya. Seluruh sistim KBM adalah perwujudan dari konsep yang disebut dengan kurikulum. Karena itu, alih-alih menyususn kurikulum sekolah secara sembarangan, bahkan ada sekolah yang mengkopi paste kurikulum sekolah lain, sekolah Muhammadiyah hendaknya menggodok kurikulumnya sehingga memungkinkan visi dan missi sekolah menjadi terwujud dalam sistim pendidikan sehaari-hari.
KBM adalah inti kegiatan di sekolah. KBM adalah proses dimana sang ustadz atau guru mengajarkan suatu ilmu kepada murid-muridnya. Ada dua inti dalam KBM ini yakni ilmu dan metodologi dedaktik nya. Ilmu jelas dalam pandangan tauhid tidak mengenal dikhotomi umum dan agama. Ilmu adalah satu dari Allah, yang diajarkan baik melalui ayat qauliyah maupun fenomena kanuniyah. Qauliyah harus menjadi term of reference bagi manusia untuk memahami dan menggauli alam. Sehingga imam Ghazali mengelompokkan hokum belajar ilmu menjadi dua. Qauliyah hokum mempelajarinya wajib ain, sedang kauniyah wajib kifayah. Hokum itu dapat dipahami bahwa. Setiap muslim wajib mempelajari ilmu agama sebelum ia mempelajari bagian dari ilmu kauniyah yang ia pilih. Sebelum seseorang mengambil fakultas kedoteran ia terlebih dahulu harus membekali diri dengan ilmu agama. Untuk sekolah tingkat dasar dan menengah hendaknya membekali semua siswanya dengan kedua ilmu tersebut (qauliyah dan kauniyah) secara seimbang.
Metode mengajar juga sangat penting bagi seorang guru. Ilmu harus masuk dalam arti dapat dipahami dan dipraktekkan oleh murid secara efektif. Karena itu metode yang tepat, alat peraga yang lengkap sangat penting utnuk dimiliki dan digunakan oleh seorang ustadz. Ustadz adalah ustad, bukan hanya seorang guru. Ia memiliki tanggung jawab untuk menyampaikan kedua ilmu itu secara tidak terpisah kepada siswanya. Dalam proses pembelajaran tesebut harus dijamin murid mendapatkan proses pembelajaran yang memungkinkan mereka kena sibghah tauhid. Inilah karenanya, ustadz kecuali berkewajiban mengajar juga harus mendidik. Di luar kelas, seorang ustadz harus membimbing muridnya untuk memiliki kepribadian yang berkarakter islami.
Tidak salah pepatah Jawa yang mengatakan bahwa guru memiliki makna digugu lan ditiru. Jika menginginkan murid memiliki kepribadian yang berwatak islami, maka ustdaz yang berkepribadian dan berkarakter utama (baca: Islami) merupakan prasarat. Karena ustadz, tidak hanya bertugas mengajar, tetapi harus menjadi contoh bagi murid. Ustad juga harus menjadi pemandu untuk jalannya pembiasaan diterapkannya nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari di sekolah. Jika sebuah sekolah menggunakan paradigm Islam dalam pendidikannya, mestinya menggunakan empat pendekatan dalam pendidikannya; pertama, pembelajaran. Factor ini sangat penting karena pengajaran menjadikan hilangnya kebodohan digantikan dengan pencerahan, kjahiliah menjadi madaniyah, buta menjadi melihat, tidak tahu menjadi tahu. Kegagalan dalam proses pembelajaran ini maka berakibat fatalnya proses pendidikan untuk pencerhan. Kedua, pembiasaan. Pendidikan yang bermakan juga pembentukan sikap, prilaku dan kepribadian peserta didik tidak bisa hanya mengandalkan pengajaran, tetapi lebih dari itu juga diperlukan pembiasaan aplikasi nilai dalam kehidupan sehari-hari siswa. Nilai dapat terinternalisasi menjadi kepribadian yang berkarakter jika nilai dibiasakan diterapkan dalam kehidupan nyata. Tidak cukup sebuah nilai dipahami atau dimengerti saja untuk sampai menjadi karakter. Perlu proses mencoba, biasa, dan akhirnya menjadi. Ketiga, keteladanan. Bagi usia anak usia 6-12 tahun keteladanan adalah cara paling efektif untuk mengerti, memahami, dan menggunakan suatu aturan, tatakrama, dan nilai. Alih-alih anak-anak, orang dewasa saja metode keteladanan ini masih digunakan. Nilai, aturan dan tata karma adlah sesuatu yang sangat abstrak. Sesuatu yang abstrak sulit untuk diketahui, dikenal, dipahami seseorang, apalagi anak-anak. Perubahan nilai abstrak menjadi konkrit inilah yang menjadkan anak mudah mengikuti suri teladan mereka. Keempat adalah mendoakan. Metode keempat ini juga sangat penting. Dalam Islam, Nabi saja yang memang diangkat untuk menyiarkaan risalah agama adalah bukan berkapasitas member petunjuk. Allah lah dzat satu-satunya yang memeiliki hak dan wewenang prerogative untuk memberikan petunjuk. Dengan petunjuk (hidayah) maka seseorang dapat hidup dengan nilai syariat Islam. Disinalh kepribadian yang berkarakter akan lahir.
Jika kita perhatikan keempat metode di atas, maka guru, ustadz, hingga professor menempati posisi yang sangat signifikan dan strategis untuk keberhasilan pendidikan dalam makna pembentukan kepribadian peserta didik. Jika gur itu sendiri tidak berkepribadian yang berkarakter, mana mungkin merekada dapat menjadi pemandu bagi murid-murid mereka. Mereka yang mengajar, mereka yang membiasakan nilai pada murid-murinya, mereka yang menadi contoh bagi merid, dan terakhir mereka juga yang mestinya juga mendoakan murid-murid mereka. Di sini memang guru dituntut menjadi manuisa yang super. (insane kamil).
Guru yang super adalah guru yang memiliki etos kerja yang bagus, dan guru yang pula harus kerja secara professional. Guru harus berbeda dengan pekerja. Guru harus menjadi pejuang. Jika karyawan, dasar etos kerjanya adalah uang, upah, honor, dan sejenisnya, lain sama sekali adalah seorang pejuang. Etos kerja seorang pejuang didasarkan pada tauhid itu sendiri. Pejuang bekerja karena semata mengharap mendapatkan keridlaan Allah
Allahu a’lam.

Rabu, 31 Maret 2010

ARAB PRA ISLAM (DRAFT)

1. Keadaan geografis
- Tanah padang pasir yang gersang
- Makah adalah lembah diantara gunung-gunung disebelah timur barat dan utara
- Tdk ada pertanian n peternakan kec skala kecil
- Subur hanya ada di arab selatan (Yaman
- Strategis karena berada ditengah antara Romawi dan Persia, sehingga digunakan sebagai jalur lalu lintas perdagangan para pejalan kaki
- Tidak ada mata air di wilayah tersebut, kecuali zamzam yang dibuat Ibrahim
- Terdapat ka’bah ditengah jalur dagang tsb yang dibangun sebagai pusat peribadahan.
- Ka’bah inilah yang menjadi cikal-bakal adanya komunitas di Makah


2. Keadaan social
- Tdk ada tata social yang permanen pd awalnya
- Yang ada adlah manusia yang berhenti untuk sementara dr perjalanan untuk berdagang
- Tata social yang permanen baru muncul setelah ada mata air zamzam dan ka’bah
- Tata social berpusat pd kakbah
- Bangunan paling depan urut ke belakang adalah menunjukkan strata social
- Pembagian jabatan berdasarkan fungsi ka’bah
- Struktur social spt ini bertahan hingga zaman persis pra nabi
- Perdagangan adalah mata pencaharian utama
- Anak laki-laki menjadi lebih berguna pada kondisi geografis spt itu, dimana perdagangan dilaksanakan antar wilayah yang jauh
- Tidak ada struktur social yang permanen, spt kerajaan Romawi dan Persia
- Yang ada adalah komunitas berdasarkan pertalian darah (suku)
- Masing-masing suku independent thd suku lain, tdk ada yang lbh dominan
- Scr cultural, pengurus ka’bah menduduki posisi social lbh tinggi dari yang lain.
- Pengurus ka’bah didapatkn secr turun-temurun
- Tidak ada penjajahan
- Penjajahan satu-satunya adalah tentara gajah yng dipimpin oleh Abraha (penguasa Abisenia di Yaman, yang dg alasan ekonomi hendak menghancurkan ka’bah
- Ekonomi tumbuh karena peran ka’bah sebagai pusat ibadah

3. Keadaan keagamaan
- Ka’bah adalah bangunan untuk beribadah pad Tuhan (tauhid)
- Keadaan keagamaan adalah penyembah berhala
- Perubahan terjadi karena mereka ingin menjadikan perantara (barang dari sekitar ka’bah)untuk menjadi media dekat dg Tuhan
- Jarak yang terllu lama menjadikan mereka lupa dengan inti (tauhid) dan hanya ingat akan medianya saja
- Seruan tauhid oleh nabi-nabi terdahulu kalah dengan imagenasi keagamaan yang bersifat geografis
- Agama untuk survival
- Agama mereka agama pagan
- Ada nasrani (pendet buhaerah) dan ada juga Yahudi , keduanya minoritas
- Nasrani dan Yahudi tdk dapat berkembang di Makah karena kalah dengan ka’bah yang semakin terdistorsi maknanya menjadi pusat paganism Arab.
- Muhammad bukan tidakmengenal agama Yahudi dan Nasrani, tetapi juga mengetahui kebatilannya.
- Ia mencari alternative pemecahan maslah dengan melaksanakan uzlah ke gua Hira.
- Muhammad diangkat menjadi Nabi.

Jumat, 26 Maret 2010

DAKWAH NABI DI MADINAH

Selama 13 tahun sudah Nabi Muhammad berdakwah di Makkah, mulai kepada keluarga, kerabat dekat, saudara satu suku (Bani Hasyim), hingga seluruh suku di wilayah Makkah rasanya tidak ada yang tertinggal untuk Ia dakwahi. Nabi Muhammad sebagai orang tokoh muda yang berpredikat terpercaya (al amin) mestinya dapat dengan mudah mengajak suku-suku diseluruh Makah untuk mengikuti ajakannya. Namun yang terjadi sebaliknya, terhadap seruan dakwah yakni ajakan untuk menyembah hanya kepada Allah yang Esa dan pengakuan bahwa Muhammad adalah Nabi dan Utusannya, kebanyakan masyarakat Makkah sulit menerimanya. Alih-alih menerima seruan Nabi, mereka justru meencemooh, mencaci, menyakiti secara fisik mereka yang mengikuti Nabi, memboikot secara ekonomi dan social, bahkan hendak membunuh Nabi sendiri. Ringkasnya, selama 13 tahun berdakwah di Makkah, Nabi dan para sahabatnya justru mendapatkan perlawanan hebat. Bahkan hampir saja missi kerasulan itu gagal dilaksanakan.
Satu hal yang penting untuk dicatat dalam dakwah di Makkah ini adalah dakwah yang menggunakan pendekatan cultural. Yakni dakwah yang bertujuan untuk menggugah kesadaran masyarakat dengan cara-cara persuasive, jauh dari kesan memaksa, dengan sasaran masyarakat secara individu. Sering kali Nabi mengumpulkan anggota satu suku, mulai dari keluarganya, kerabat hingga semua suku Makkah, namun tetap saja ajakan itu untuk membuka kesadaran individual. Dalam sejarah dakwah di Makkah tidak ditemui adanya aturan yang dibuat Nabi dan masyarakat Makkah secara bersama-sama dan mengikat semua warga atau komunitas dalam menerima dakwah. Beberapa orang atau keluarga yang masuk Islam masih sebatas perorangan atau individual. Mengapa dakwah cultural yang dilakukan Nabi? Jawaban yang paling realistis adalah karena Nabi bukan seorang yang memiliki kkekuasaan di wilayah Makah. Ia hanyalah warga biasa. Pelajaran lain yang dapat diambil dengan dakwah di Makkah ini adalah dakwah cultural adalah metode dakwah yang paling sesuai untuk wilayah dimana Islam belum menjadi realitas dalam kehidupan.
Diujung rasa yang hampir putus asa berdakwah di Makkah ini, datang secercah harapan dari wilayah lain di tanah Arab, yakni Yastrib. Pada satu musim haji tepatnya tahun 622 h, Muhammad bertemu dengan 12 orang jama’ah haji yang sekaligus mewakili dua suku di Yastrib yakni Aus dan Khajraj. Pertemuan itu seperti biasanya digunakan Muhammad untuk mengajak memeluk agama Islam. Repon atas ajakan Muhammad tersebut adalah diterimanya agama islam, bahkan lebih jauh dari itu mereka berjanji setia kepada Muhammad untuk masuk Islam dengan bersyahadat dan berjanji mendukungannya. Mereka juga hendak mengabarkan perihal agama baru tersebut kepada kerabatnya di Yastrib sepulang dari haji. Perjanjian antara Muhammad dengan 12 orang tersebut dikenal dengan Aqobah I. menyusul Aqabah I, Muhammad mengirimkan seorang sahabatnya yang tentu terpercaya yakni Mushab bin Umair untuk melakukan dakwah di Ystrib. Sungguh luar biasa, kehadiran 12 orang dan juga Mushab disambut dengan positif dan penerimaan agama baru ini bagi mereka ykni suku Aus dan Khajraj. Muhammad dan ajarannya begitu dikenal , dikenang, dan disenangi di bumi Yastrib ini. Akhirnya pada bulan haji tahun berikutnya dating lagi utusan dari Yastrib ini 70 orang di Makkah untuk menemui Muhammad dan menyatakan kesetiaannya kepadanya dan ajarannya. Perjanjian setia 70 orang wakil dari Yastrib dengan Muhammad ini kemudian disebut dengan perjanjian Aqabah II. Lebih terinci isi perjanjian Aqabah II ini dari ada Aqabah I. Kecuali mereka bersyahadat, sanggub untk menjalankan syariat Iislam yang telah ada pada waktu itu, mereka juga berjanji untuk tidak akan melanggar larangan-larangan Islam, dan bahkan mereka juga berjanji setia untuk membela Muhammad jika dia nanti tinggal di Yastrib. Perjanjian ini begiu meyakinkan, karena disamping dilAKUKan dengan jumlah orang yang jauh lebih banyak, juga Muhammad waktu itu didampingi salah seorang kerabatnya dari Bani Hasyim (sekalipun masih belum muslim) yang menanyakan jaminan keamanan bagi saudaranya yakni Muhammad kelak di Yastrib. Pertanyaannya adalah mengapa orang-orang Yastrib ini begitu mudah menerima ajaran Muhammad?
Setidaknya ada dua jawaban akan hal tersebut, yakni Yastrib waktu itu dihuni oleh beberapa suku bangsa, diantara suku bangsa yang terbesar adalah Aus, Khajraj dan Yahudi. Secara keagamaan dua suku Aus dan Khajraj beragama pagan yakni penyembah berhala. Sedang orang-orang Israel (sebenarnya mereka ini adalah emigrant dari Palestina) aadalah beragama Yahudi. Kaum Yahudi ini secara social merasa lebih tinggi tingkat sosialnya dari pada ddua suku yang lain, karena mereka menyembah Tuhan. Berbeda dengan suku Aus dan Khajraj yang hanya menyembah berhala. Dari hubungan social yang demikian memungkinkan orang –orang Aus dan Khajraj sudah mengenal dan behkan terlibat dalam wacana tentang Tuhan dan ajarannya dari langit, sekalipun mereka masih kuat memegangi agama berhela mereka. Singkatnya persoalan Tuhan yang begitu abstrak dari Tuhan yang sementara telah mereka kenal dan sembah selama ini sudah bukan masalah asing.
Jawaban yang kedua adalah kenyataan social diantara tiga suku tersebut. Dengan latar belakang agama yang berbeda tersebut suku Yahudi seolah menjadi saingan dari dua suku yang lain penyembah berhala. Sering kali bangsa Yahudi merendahkan para penyembah berhala tersebut. Merasa diremehkan, sehingga suku Aus dan Khajraj tentu memberikan respon yang juga bermusuhan terhadap orang-orang Yahudi. Hingga akhirnya dengan kelicikannya, orang-orang Yahudi ini mencari cara agar kedua suku tersebut menejadi lemah. Tipu daya dilakukan dengan mengadu domba antara keduanya. Siasat adu domba tersebut berhasil membuat dua suku yang beragama sama ini bermusuhan bahkan menjadi peperangan diantara keduanya. Peperangan ini disebut dengan Ba’ath. Perang antara keduanya berlangsung habis-habisan hingga menewaskan banyak korban. Kekalahan ada pada suku Aus. Dengan lemahnya Aus dan Khajraj berarti suku bangsa Yahudi dapat dengan lebih leluasa mengembangkan kehidupannya. Tetapi ujung dari tipu muslihat Yahudi ini akhirnya dapat dirasakan juga oleh kedua suku yang berperang. Pada saat belakangan, tokoh-tokoh mereka sering kali membayangkan masa-masa damai sebelumnya, sehingga upaya damai mulai diusahakan. Untuk berdamai, dua suku ini harus disatukan dalam suatu kepemimpinan. Nah kepemimpinan tentu bukan berasal dari pihak yang berseteru tetapi harus dair orang luar. Upaya mencarri pemimpin inilah diantara yang mengantarkan pertemua 12 orang Yastrib dengan Muhmmad.
Disamping ittu ada lagi satu factor penting, yakni superioritas suku Yahudi atas kedua suku yang lain adalah karenaa mereka mengklim sebagai makhluk kesayangan Tuhan. Beberaapa Nabi diturunkan dari bangsa Israil (Yahudi), dan mereka telah diberi informasi dari kitab mereka bahwa sebentar lagi akan segera diutus nabi terakhir kepada mereka dan tentu akan berasal dari bangsa Yahudi lagi. Merasa inferior dalam hal keagaamaan ini, maka ketika mereka bertemu dengan Muhammad yang mengenalkan diri sebagai Nabi terakhir sebagaimana dikabarkan bangsa Yahudi, dengan segala senang hati menerima ajakan Muhammad. Kabar kenabian Muhammad mereka dengar lebih awal lebih baik sehingga tidak kedahuluan bangsa Yahudi. Dengan jalan inilah mereka akan duduk sama rendah berdiri sama tinggi dengan Yahudi, karena mereka telah lebih dulu mendapatkan agama baru yang dulu selalu diklim akan turun dari keturunan Yahudi.
Bagi Muhammad sendiri, Yastrib bukan daerah asing. Bahkan telah alam wilayah ini telah menjalin hubungan batin dengan Muhammad. Hal ini dilatarbelakangi oleh karena; pertama, nenek moyang ibunda Nabi, Aminah berasal dari Ystrib ini. Kedua, ayahanda Nabi Abdullah juga wafat dan dimakamkan di kota ini. Sehingga banyak kenangan bahkan juga saudara nabi ada di daerah ini. Kedekatan batiniah adalah suatu kemestian antara Nabi dan Yastrib. Sehingga sangat wajar jika perjanjian Aqabah I dan II segera berlangsung karena beberapa factor yang melatarbelakangi di atas.
Atas dasar ini Nabi mulai menganjurkan para saahabatnya yang telah lama menjadi sasaran kebencian orang-orang Makkah karena menjadi seorang muslim, untuk hijrah mendapatkan kehidupan yang lebih aman khususnya demi agama mereka untuk pindah ke Yastrib. Perpindahan ini jelas bukan bentuk dari tidak adanya keberanian untuk bertahan di Makah, melainkan kecuaali karena perintah Allah melalui wahyu alQur’an, juga justru dalam rangka melakukan strategi dakwah yang lain. Jika karena sifat penakut, tentu nabi dan Sahabatnya tidak akan bertahan seama 13 tahun di Makkah sekalipun dimusuhi orang-orang Makah dengan berbagai bentuk permusuhan. Atas seruan hijrah ini kaum muslimin secara bergantian, rombongan demi rombongan segera hijrah ke Yastrib. Palaksanaan hijrah inipun tidak lepas dari halangan dan rintangan orang-orang kafir Makkah. Menyikapi rintangan tersebut beberapa orang muslim hijrah dengan sembunyi, dan guna menghindari kesan dan tuduhan mereka memindahkan kekayaan Makah ke Yastrib, kaum muslimin tidak membawa harta kekayaan miliknya sendiri di Makah dalam hijrah. Mereka hanya berbekal sekedarnya seperti mau bepergian beberapa hari saja. Harta kekayaan, rumah, pekarangan, ternak, dan lainya ditinggal begitu saja. Bagi mereka yang enting menyelamatkan akidah dan keyakinan mereka. Mengapa Yastrib menjadi tujuan hijrah, atau mengapa kaum muslimin berbondong-bondong hijrah ke Yastrib. Mungkin jawaban akan keadaan Yastrib dengan kondisi geografis yang lebih subur sehingga kehidupannya tidak kalah makmur dengan kehidupan Makkah, juga menjadi penyebab yang lain.
Nabi sebagai seorang pemimpin yang bertanggung jawab mempersilahkan semua sahabatnya untuk berangkat hijrah terlebih dahulu, kecuali Abu Bakar dan Ali sahabatnya yang paling dekat. Ada beberapa peristiwa dramatis di sekitar keberangkatan Nabi untuk hijrah ke Yastrib. Pertama adalah adanya siasat kaum kafir untuk membunuh Nabi sebagai upaya terakhir merintangi dakwah. Ketika pembunuhan sudah hendak dilakukan dengan mengepung rumah Nabi di suatu malam, Ali diminta Nabi untk mengecoh para pemuda tim eksekutor rencana pembunuhan Nabi, dengan cara menggantikan Nabi untuk tidur di tempat tidur nabi. Dengan cara itu, Muhammad bias lolos dari pembunuhan dan berangkat hijrah bersama sahabatnya yang lain, yakni Abu Bakar.
Kedua, Nabi bersama Abu Bakar berjalan keluar untuk hijrah di tengah malam dengan menempuh jalan yang tidak biasanya, dan kemudian dengan singgah dulu untuk bersembunyi dari kejaraan orang-orang kafir, di sebuah gua yakni gua Tsur. Dalam goa tersebut, nabi dan saahabatnya itu nyaris tertangkap. Namun terjadilah keajaiban besar yakni, pintu gua tiba –tiba tertutup oleh rumah laba-laba, sehingga tidak ada kesan baru saja dilewato seseorang. Disamping rumah laba-laba, juga ada sepasang merpati yang sedang mengerami telurnya persis di depan goa. Dengan jalan itu, Allah melindungi Nabi dan sahabatnya tersebut, sehingga orang-orang kafir tidak menemukannnya. Singkatnya, Nabi akhirnya berangkat dengan selamat untuk melaksanakan perintah Allah hijrah ke Madinah. Pertanyaan berikutnya adalah apa yangdilakukan Nabi setelah sampai di Yastrib.
Sebelum Nabi sampai Yastrib, tepatnya ketika sampai di Quba, tepat sebelah barat Yastrib, Nabi dan kaum muslimin di daerah tersebut secara bersama-sama membangun sebuah masjid. Mengapa dibangun masjid? Apa kaitannnya dengan yang hendak dilakukan Nabi di Yastrib? Adalah pertnyaan kritis berikutnya. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Sidi Gazalba, masjid dalam ajaran maupun sejarah Islam ternyata memiliki fungsi dan peran yang sangat strategis, yakni tidak saja menjadi tempat beribadah bagi umat Islam, melainkan juga sebagai pusat pembangunan kebudayaan Islam. Fungsi ini tentu disadari Nabi dan para sahabatnya sehingga Masjid didirikan sebelum kehidupan Islam di Madinah dimulai.
Pada tulisan ini sengaja tidak diuraikan hal-hal teknis, namun hanya akan menjelaskan hal-hal strategis dalam dakwah yang dilakukan Nabi di Yastrib. Setelah kehadiran Nabi, Yastrib dirubah namanya menjadi Madinatun Nabii (kota Nabi). Secar berurutan yang dilakukan Nabi setelah sampai di Madinah adalah; pertama, mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar. Muhajirin adalah kaum muslimin yang baru dating dari Makah. Mereka dating tidak membawa harta kekayaan, kecuali seperlunya saja. Sehingga mereka memerlukan bantuan untuk melaksanakan kehidupan di Madinah. Hal lain yang melatarbelakangi kebijakan Nabi tersebut adalah pentingnya komunitas muslim yang bersatu, solid dalam arti yang luas. Bisa dibayangkan mereka yang nanti pada gilirannya bertanggung jawab mengambil peran sebagai embrio masyarakat Islam, tetapi elemen-elemen dalam komunitas tersebut masih berserakan serta tidak dikoordinasikan dengan baik, tentu peran berikutnya akan gagal dilaksanakan.
Hubungan persaudaraan yang diserukan Nabi kepda Muhajirin dan Anshar adalah hubungan persaudaraan yang sangat kuat. Yakni hubungan persaudaraan yang dibangun atas dasar ikatan akidah, tetapi melebihi persudaraan karena darah keturunan. Setiap seorang Anshar dipersudarakan dengan seorang Muhajirin. Muhammad sendiri bersaudara dengan Ali, Hamzah dengan Zaid bekas budaknya, Abu bkar dengan Kharija bin Zaid, Umar dengan Itban Bin Malik. Denagn persudaraan seiman dan sekaligus senashab ini komunitas muslim menjadi sangat kuat untuk bias mengemban tugas dakwah.
Hal strategis lain yang dilakukan Nabi adalah membuat perjanjian antar komunitas yang ada di kota Madinah, yakni persaudaraan anatar kaum muslimin, Yahudi, dan Nasrani. Perjanjian ini dirumuskan bersama-sama antar mereka dibawah bimbingan dan pengawasan dan tentu prakarsa Nabi. Perjanjian yang sangat penting scara social dan politik ini disebut dengaan Piagam Madinah. Beberapa dictum isinya adalah sebagai berikut :
1. Kebebasan Bergama
2. Kebebasan menyatakan pendapat
3. Keselamtan harta benda
4. Larangan berbuat kejahatan
5. Kewajiban menjaga pertahanan wilayah secara bersama-sama
Inilah dokumen politik yang telah diletakkan Muhammad 1400 tahun yang lalu. Sebuah dokumentasi politik yang elok dan baru serta maju, berbeda dengan tradisi politik yang ada saat itu, yang biasanya sebagai alat bagi sebuah tirani untuk menguasai. Dengan dokumen ini pada akhirnya kota Madinah telah berubah dari kota biasa menjadi kota yang terhormat di mata kemanusiaan.
Dua tindakan strategis (mempersudarakan kaum muslim muhajirin dan anshar serta piaagam madinah) adalah dilakukan Nabi daalam rangka membawa risalah Islamiyah (dakwah). Dakwah pada intinya memiliki dua fungsi utama yakni menyampaikan atau menyiarkan risalah Islamiyah, dan mereaalisasikan nilai serta ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari. Pertama sebagai fungsi penyiaran risalah Islam yang sudah pasti dilakukan Nabi serta para sahabatnya guna menjelaskan ajaran Islam, sehingga masyarakat berbodong-bondong mengikuti dan masuk Islam. Hal ini terbukti dengan diutusnya Mushab bin Umair ke Yastrib sebelum hijrah. Dengan fungsi risalah ini, Nabi menjadi sumber rujukan setiap permasalahan yang dihadapi umat baik individu maupun sebagai komunitas. Nabi selalu menyampaikan wahyu kepada umat atau sahabat-sahabatnya setiap kali wahyu itu diterimanya. Disinilah peran Nabi sebagai pembawa risalah memperoleh bentuknya. Saat-saat tertentu Nabi menjadi sahabat bagi para sahabatnya yang lain, pada saat lain Nabi sebagai guru atau ustadz bagi sahabatnya.
Fungsi yang kedua adalah fungsi realisasi ajaran dan nilai-nilai Islam dalam kehidupan nyata. Fungsi ini juga disebut sebagai fungsi kerahmatan. Dengan fungsi kerahmatan, maka ajaran Islam akan menjadi sumber perubahan dalam kehidupan menjadi lebih baik, maju, dan luhur, yang akhirnya menjadi rahmat bagi seluruh alam. Dengan fungsi ini, nilai atau ajaran Islam tidak cukup dipahami secara normative un sich, tetapi harus diturunkan menjadi sesuatu yang nyata. Sebagai contoh, ajakan Islaam kepada kebersihan (anadzafatu min al iman). Hadits tersebut tidak cukup dimengerti bahwa kebersihan adalah bagian dari iman, terus sebagai pelaksanaannya tulisan tersebut ditempel diberbagai tempat. Tindakan demikian hanya bersifat demonstrative dan motifatif, tidak berpengaruh secara signifikan terhadap gerak motorik untuk mengamalkannya. Bahkan sering karena banyak tulisan seperti itu tertempel di berbagai tempat, menghasilkan kesan jorok di tempat tersebut.
Oleh kaarena itu sebagai upaya mewujudkan fungsi kerahmatan ini umat Islam harus menjadikan ajaran Islam sebagai sumber nilai, bukankata mutiara yang diharapkan menggugah kesadaran. Sebagai sumber nilai, di sana ada keadilan, kesamaan, kebersamaan, persaudaraan, disiplin, jujur, kebenaran, kebersihan dan sebagainya. Kesemua nilai tersebut, dalam ajaran Islam mengakar pada tauhid. Nilai-nilai tersebut tidak dengan sendirinya dapat diamalkan oleh masyarakat, akan tetapi perlu dijabarkan pada dataran filsafat. Apa sebenarnya keadilan itu, dari mana asalnya, apa isinya, bagaimana hakekatnya, mengapa keadilan itu harus, bagaimana mengaplikasikan keadilan dalam ruang dan waktu, dan sebagainya, adalah berbagai pertanyaan yang harus dijawab untuk dapat memahami dengan benar apa itu keadilan. Selanjutnya dari filsafat keadlian tersebut harus dicaari teorinya. Seperti teori keadilan ekonomi, teori keadilan politik, teori keadilan hokum, pendidikan, dan seterusnya. Sebagaimana yang kita ketahui teori adalah terikat dengan kaidah berpikir ilmiah, seperti rasional, objektif, dan empiiris. Ia dirancang dan dibangun dari ruang nyata kehidupan. Bukan doktrin dan fiksi. Teori, terus berkembang mengikuti perkembangan zaman. Setiap waktu dievaluasi diperbaharui, bahkan bias jadi diganti karena sudah tidak lagi sesuai dengan kenyataan.
Teori berasal dari data yang tersusun rapi serta penjelasannya secara rasional tentang sesuatu persoalan. Penjelasan itu berupa definisi dan proposisi, yang antara satu dan lainya membentuk suatu rangkaian pemikiran baik secara deduktif meupun induktif, serta mengarah kepada kebenaran, baik kebenaran koherensi maupun korespondensi, dan bahkan juga kebenaran teologi. Untuk kebenaran yang terakhir tersebut, memang tidak diakui oleh kebenaran ilmiah, namun kebenaran teologi ini penting mengingat agama adalah sumber nilai yang telah teruji dalam berbagai momentum sejrah. Setiap peradaban besar dan maju selalu muncul di wilayah-wilayah dimana agama mengakar kuat di tempat tersebut.
Giliran berikutnya adalah institusionalisasi nilai atau tahap pelembagaan nilai. Setelah masyarakat memegangi nilai, dan kemudian diperkaya dengan wawasan teoritik dari setiap nilai tersebut, maka tidak secara otomatis masyarakat menjadi pengamal nilai-nilai tersebut sesuai teori ilmiah. Akan tetapi masyarakat masih harus melengkapi diri dengan perangkat-perangkat yang diperlukan untuk aktualisasi nilai dalam kehidupan nyata. Perangkat itu berupa lembaga, baik itu lembaga legislative (pembuat aturan), lembaga eksekutif (pelaksana nilai), dan lembaga yudikatif (pengawas pelaksanaan nilai). Lembaga social tidak berarti hanya berbentuk kantor, tetapi mulai dari berupa aturan, manusia, alat atau barang, dan seterusnya. Lembaga social yang berkaitan dengan kebersihan misalnya berupa: aturan menjaga kebersihan lingkungan, lembaga pelaksana yang menyediakan berbagai perangkat atau alat yang diperlukan untuk menjaga lingkungan, hingga lembaga pengawas kebersihan leingkunga.
Jika datara institusionalisasi ini tuntas dilakukan, maka tahap yang terakhir adalah pelaksanaan nilai dalam kehidupan. Masyarakat yang sudah komitmen kuat memegangi nilai-nilai, ditambah dengan memiliki khasanah ilmu pengetahuan yang berkait dengan nilai-nilai tersebut, ditunjang oleh adanya lembaga=lembaqga yang memudahkan dan mengharuskan mesyarakat melaksanakan nilai-nilai tersebut, maka pengamalan nilai tidak lagi menemui kendala. Dengan sendirinya masyarakat akan penjadi pengamal nilai dalam kehidupan. Inilah dia jawabagan mengapa Barat lebih maju dan “islami” dari umat Islam? Karena mereka memiliki teori, lembaga yang mendukdung untuk hidup sesuai nilai yang mereka yakini kebenarannya.
Sementara dalam hal ilmu pengetahuan ini umat Islam mundur dan tertinggal. Mereka hanya memiliki nilai-nilai yang diyakini, tetapi tidak tahu bagaimana mengaktualisasikan nilai-nilai itu dalam kehidupan. Akibatnya, pada dataran peradaban empiris umat islam tertinggal di belakang. Kita habiskan pikiran dan otak kita untuk menghafal ayat Al Qur’an dan sunah. Ayat dan Sunah tidak berusaha mereka dekati dengan filsafat sehingga tampak sebagai sumber nilai. Tidak juga mereka turunkan dalam dataran ilmu, dan institusinya. Yang terjadi nash alQur’an maupun Sunah Nabi mereka paksakan untuk diamalkan secara langsung dalam kenyataan hidup, yang sudah barang tentu sangat berbeda persoalan dan kompleksitasnya antara zaaman Nabi dengan zaman sekarang. Dengan kata lain, dlam dunia Islam telah terjadi lompatan dalam alur pemikiran logis dan sistimatis. Adaa mata rantau yang hilang dari proses yang semestinya.
Bahkan ada seorang cendekiawan muslim besar Hujatul Islam Imaam Ghazali, Ia membagi ilmu dibagi menjadi dua; yakni ilmu agama yang wajib ain mempelajarinya, dan ilmu umum yang hokum mempelajaarinya wajib kifayah. Pembagian itusebenarnya tidak salah jika tidak untuk memisahkan ilmu agama dan umum. Mestinya kita memahami pembagian ilmu itu untuk menyatukan sekaligus membedakan saja bukan memisahkan. Maksudnya, semua muslim wajib mempelajari ilmu agama pada awalnya, baru kemudian setelah dirasa cukup tuntas, mereka selanjutnya memilih hendak mempelajari ilmu umum yang mana. Jadi mempelajari ilmu umum hakekatnya juga wajib ain, dan wajib kifayah untuk memilih salah satu bidang saja, sehingga diperoleh profesionalitas.
Allahu a’lam.

Kamis, 18 Februari 2010

ISLAM : SUATU PILIHAN HIDUP

Setidaknya ada tiga cara orang memilih agama untuk dipeluknya . Pertama, mereka memluk agama karena keturunan. Kedua, orang memeluk suatu agama karena hasil pencarian kritis. Ketiga, orang memilih agama karena keduanya, awalnya ia memeluk agama karena keturunan namun kemudian ia mempertanyakan kembali pilihannya itu dengan pertanyaan-pertanyaan kritis.

Jika dengan cara pertama seseorang memeluk suatu agama, maka ia tidak mau tahu tentang isi atau ajaran agamanya secara lebih mendalam. Benar atau tidak benar ajaran agamanya bukanlah suatu yang penting. Keberagamaan mereka cenderung mengikuti saja keberagamaan nenek moyangnya. Agama baginya bukan urusan rasionalitas, tetapi tradisionalitas. Cara ini juga membuat seseorang tidak kreatif dalam mengapresiasi agamanya, sehingga ia cenderung tidak mau tahu dan tidak mampu dalam mengantisipasi perubahan zaman, di mana agama harus menjawabnya.

Lain dengan cara pertama, cara kedua akan menjadikan orang mengetahui persis alasan ia harus memilih agama apa, karena agama pilihannya tentu saja agama yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan kritisnya. Kalau ia seorang yang memilih Islam sebagai agamanya, ia terlebih dahulu mempertanyakan mengapa harus Islam, bukan yang lain? Apa perbedaan essensial Islam disbanding dengan agama lain. Jawaban Islam atas pertanyaan-pertanyaan itu membuat ia memiliki alasan kuat untuk memilih Islam. Cara ini juga menjadikan ia berusaha untuk memahami ajaran agamanya secara lebih mendalam. Ia juga berusaha untuk menjawab setiap persoalan baru sebagai setiap tuntutan perubahan zaman. Cara ini juga mengharuskan seseorang untuk memahami agama secara rasional. Bukan itu saja, karena agama anutannya adalah hasil dari pencarian, tentu saja keberagamaan mereka lebih kuat dari keberagamaan sebagai hasil cara pertama. Namun demikian kelompok ini tidak banyak jumlahnya, karena semua orang tua akan mewariskan agamanya kepada keturunannya. Oleh karena itu, sebagai alternatifnya adalah kelompok ketiga. Kelompok ini semula adalah pewaris agama nenek moyangnya namun karena daya dan sikap kritisnya, menjadikan ia mempertanyakan segala sesuatu yang dia temukan, termasuk terhadap agama yang ia peluknya. Kelompok ketiga inilah kelompok yang kita harapkan akan menjadi model keberagamaan kebanyakan generasi muda Islam. Kelompok pertama harus digugah dan dibangkitkan daya kritisnya sehingga menjadi kelompok ketiga.

Menghadapi sikap kritis manusia, Islam sebagai agama yang terakhir diturunkan Tuhan, seolah sudah didesign sedemikian rupa sehingga alih-alih takut terhadap sikap kritis manusia, justru sikap kritis itu dibangkitkan oleh alQur'an (kitab suci umat Islam) sendiri. Dengan kata-kata afala ta'qilun (apakah kamu tidak menggunakan akalmu), afala tatafakarun (apakah kamu tidak berfikir), afala yatadabbarun (apakah kamu tidak memperhatikan dengan teliti) yang berterbaran dalam berbagai ayat, al Qur'an menggugah sikap kritis tersebut.

Berbeda dengan agama lain, Islam selain mencakup ajaran tentang tata cara menyembah Tuhan, atau mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya, juga mencakup tata cara hubungan antara manusia dengan sesamanya dan alam semesta. Tuhan, manusia, alam, hari akhir, akherat, dan kenabian adalah hal-hal pokok yang saling terkait dalan kehidupan. Bahkan tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kehidupan itu tidak lain adalah interaksi antara thema-thema pokok tersebut, interaksi antara Tuhan dengan manusia; interaksi antar manusia; interaksi antara manusia dengan alam; interaksi Tuhan dengan alam; alam dalam hal ini juga alam akherat. Kesemua thema tersebut (Tuhan, manusia dan alam, akherat dan kenabian) dibahas secara gamblang oleh agama Islam, terutama melalui kitab sucinya AlQur’an.

AlQur’an sebagai kitab suci bagi agama yang terakhir, sekaligus penyempurna bagi agama-agamna sebelumnya (QS.5:3), menjadikan ia mesti tampil sebagai kitab suci yang hebat. Lengkapnya alQur’an bukan berarti ia memuat segala hal, akan tetapi karena alQur’an memuat prinsip-prinsip mengenai interaksi antar thema kehidupan tersebut. Dengan penjelasan prinsip tentang semua pokok kehidupan tersebut menjadikan umat yang memahaminya memiliki pandangan hidup (wordl view)yang khas. Pada titik inilah kemukjizatan alQur’an terletak. Berbeda dengan para Nabi sebelumnya, yang memiliki mukjizat terbesar berupa fenomena besar yang meta rasional. Seperti Ibrahim tidak terbakar oleh api unggun raja Namrut, Musa yang bisa membelah Laut Merah, Isa yang dapat menghidupkan kembali orang yang telah mati. Mukjizat Nabi Muhammad adalah alQur’an. Kemukjizatan alQur’an terletak pada kemampuan alQur’an membentuk pandangan hidup kaum mukminin yang membacanya. Pandangan hidup mukmin terbentuk manakala mereka memahami penjelasan alQur’an tentang berbagai thema kehidupan tersebut.

Dengan pandangan hidup tersebut mukmin baik individu maupun komunitas memiliki cara pandang yang benar tentang kehidupan. Dengan pandangan hidup tersebut kaum mukminin dapat melakukan peran sebagai saksi atas manusia (syuhada ala al nas), dalam pengertian dapat melakukan dialog, dan sekaligus memberi keteladanan hidup bagi manusia yang lain. Dengan demikian dapat kita katakana alQur’an adalah petunjuk bagi sang wakil Allah di muka bumi ini (kahlifatu Allah fi al ardl).

Penjelasan alQur’an tentang prinsip tersebut berupa berbagai bentuk. Adakalanya berupa perintah langsung Allah SWT terhadap manusia, kisah atau sejarah masa lalu, penjelasan diskriptif tentang kehidupan yang baik dan buruk, diskripsi tentang akherat dan sebagainya. Susunan isi alQur’an seolah-olah berserakan dan tidak sistimastis, baik susunan ayat maupun susunan surat-suratnya. Tidak seperti buku biasa yang bioasanya sitimatisasinya mengikuti kaidah ilmiah, yakni pendahuluan, penjelasan teoritik dari yang umum dan kemudian mengkhusus, hingga akhirnya kesimpulan. Tidak demikian dengan alQur’an, awalnya memang surat al Fatehah, surat pembukaan, induk alQur’an (umul Kitab), tetapi bagaimana dengan suat albaqarah, Ali Imran, Anisa dan seterusnya. Nama-nama surat tersebut tidak menggambarkan urutasn yang sesuai dengan isinya. Dapat dikatakan ketidaksistimatisan itulah sistimatisasi alQur’an. Bukankah alam semesta ini juga tampak tidak sitimatis jika dilihat dengan sistimatisasi seorang arsitektur bangunan atau ahli tata kota. Namun demikian inilah justru letak hebatnya sistimatisasi alam.

Buku yang membiarkan ayat-ayat alQur’an berbicara sendiri tentang berbagai tema pokok kehidupan ini adalah karya Prof.Fazlurrahman, cendekiawan muslim asal Pakistan yang kemudian hijrah ke Amerika yang berjudul The Major Themes of Qur’an (Thema Pokok Al Qur’an). Melalui buku itu kita dapat memahami bagaimana alQur’an memandang Tuhan; siapa sebenarnya Tuhan, mengapa mesti ber tuhan, siapa Allah, dan seterusnya adalah beberapa pertanyaan yang dapat kita temukan dalam buku tersebut. Begitu juga dengan manusia, alam, nabi, dan kaherat.

Secara ringkas isi buku tersebut telah diresensi oleh sdr Khairul Asfiyak (http://fai-unisma-malang.blogspot.com/), diantara resensi tersebut adalah sebagai berikut :
Karya Fazlur rahman yang aslinya berjudul “Major themes of Qur’an” ini terdiri dari Pendahuluan, isi buku dan appendiks I dan II yang sesungguhnya kedua catatan ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan tema pokok al Qur’an, kecuali bahwa kedua appendiks tersebut disertakan dalam satu buku semata-mata untuk mendukung dan memperjelas komentar dan uraian-uraian fazlur rahman di dalam mengurai kondisi sosial dan dan setting sejarah yang mewarnai wajah al qur’an.
Al qur’an adalah kitab yang sempurna didalamnya memuat berbagai segi hubungan manusia dengan Tuhannya, hubungan manusia dengan diri dan sesamanya dan hubungan manusia dengan alam disekitarnya. Agaknya tema-tema inilah yang kemudian oleh fazlurrahman digambarkan dalam bukunya dengan lebih memperjelas tema-tema la qur’an itu kedalam 8 (delapan) kategori.

Salah satu dari kedelapan tema yang termuat dalam kandungan al qur’an adalah tentang aspek Tuhan. Fazlurrahman mempertanyakan tentang rasionalitas manusia dalam mengakui setidak-tidaknya mempercayai adanya wujud Tuhan ( hal. 2) Dalam pandangan beliau sesungguhnya al qur’an tidak “membuktikan” adanya Tuhan akan tetapi “menunjukkan” cara untuk mengenal Tuhan, melalui alam semesta yang ada (hal. 15)

Sisi lain kandungan al qur’an adalah manusia sebagai individu, dalam pandangan fazlurrahman asal usul manusia jelas beda dengan mahluk lainnya. Mengingat dalam diri manusia ada unsur ruh yang ditiupkan oleh Allah SWT. Sekalipun demikian ia menyangkal adanya dualisme individual antara jiwa dan raga dalam diri manusia sebagaiman terdapat pada filsafat yunani, agam kristen dan hinduisme ( hal. 26) beliau juga menjelaskan hakikat tujuan diciptakannyamanusia di muka bumi ini yakni sebgai khalifatullah mengemban amnah Allah SWt (28) Sekaligus hambatan dan tantangan yang dihadapinya dalam mengemban misi suci itu. Tantangan terbear manusia dalah syaitan karena ia melambangkan sifat kepicikan (dlaif) dan kesempitan fikir (قطر ) al qur’an tidak henti-hentinya menyebutkan kelemahan ini di dlm bentuk dan konteksyang berbeda. Karena kepicikannya kadang manusia berlaku amat sombong tetapi lekas putus asa. Tidak ada mahluk lain yang dapat menjadi sombong dan berputus asa sedemikian gapangnya seperti manusia (hal. 38-41) Oleh karena itu manusia yang baik harus memiliki keseimbangan yang dalam al qur’an disebut sebagai taqwa. Akar perkataan taqwa adalah waqy, berjaga-jaga atau melindungi diri dari sesuatu dan perkataan taqwa dengan pengertian ini dipergunakan juga dalam al qur’an surat ke-52:27 40:45 76:11 (hal 43)

Selain sebagai individu manusia dalah mahluk sosial, aleh karena itu al qur’an tdak bisa berdiam diri untuk tidak mengatur peri kehdiupannya dalam bermasyarakat. Bahwa tujuan diturunkannya al qur’an adalah menegakkan sebuah tatanan masyarakat yang ethis dan egalitarian , hal ini terlihat di dalam celaannya terhadap disekuilibrum ekonomi dan ketidak adilan sosial dalam masyarakat makkah waktu itu. Pada mulanya celaan itu lebih ditujukan kepada dua aspek yang berkaitan dengan pola hidup bermasyarakat yakni aspek politheisme dan ketimpanbgan sosial ekonomi yang menibulkan dan menyebebakna perpecahan diantara manusia (hal. 55)
Pada level sosial politik al qur’an juga ingin menguatkan unit kekeluargaan paling dasar yang terdiri dari orang tua, anak-anak, kakek,nennek dan masyarakat muslim dengan meniadakan rasa kesukuan. Kesetiaan kepad aorang tua ditegaskan dalam ayat 2:83 4:36 6:151 17:23 (hal61) semenatra dalam rangka melaksankan urusan pemerintahan al qur’an menyuruh kaum muslim untuk menegakkan syura (lembaga konsultatif) Nabi Muhammad SAW sendiri disuruh al qur’an (3:159) untuk memutuskan persoalan-persoalan setelah berkonsultasi dengan pemuka-pemuka masyarakat (hal 63) jika dalam musyawarah terjadi perselisihan dan berakibat peperangan diantara kelompok muslim, al qur’an menyerukan agar diangkat seorang penengah jika salah satu kelompok menolak penengahan ini maka ia harus diperangi (hal. 64) hal ini tidak berarti pemberontakan tidak diijinkan oleh al qur’an. Semua Nabi sesudah nabi Nuh adalah pemberontak terhadap tata nilai masyarakat yang didalamnya tersebar penyelewengandi atas dunia (fasad fil ardl) yang dapat diartikan sebagai keadaan yang menurus kepad apengabaian hukum secara politis, moral, sosial ketika urusan nasional / internasional tidak dapat dikendalikan lagi (hal. 65)

Tema lain yang memenuhi isi al qur’an adalah berita-berit atentang Nabi/rasul dan wahyu. Secar aumum dapat diaktakan bahwa semua rosul dibangkitkan adlah semata-mata menganjurkan pad afaham monotheisme bahwa hanya Allah SWt yang Esa dan yang patut disembah, tuhan-tuhan yang lain adalah palsu belaka (hal.121) menuurt al qur’an sebagai manusia belaka nabi dianggap wajar jika pernah melakukan kesalahansehingga ia harus terus menerus berjuang, jika tidak dapat berbuat demikian maka merka itu tidak dapat menjadi teladan bagi manusia yang lain (hal. 130) Minimal nabi tak pernah ingin menjadi nabi/ mempersiapkan dirinya menjadi seorang nabi, jelas sekali bahwa pwngalaman religius yang terjadi secara tak terduga itulah yang mengantarnya menjadi nabi (hal.132) Predikat kenabian bukan hal yang bagi bagi Nabi Muhammad Saw kadangkal ia dianggap sebgai kahin (52:29) atau penyair (36:69) dan tukang sihir (hal 136-137) yang menarik dalam pandangan fazlurrahman adalah ketika ia berpendapat bukan “malaikat”-lah mahluk yang menyampaikan wahyu kepada nabi Muhammad SAW, al qur’an tidak pernah menyatakan penyampai wahyu itu sebagai malaikat tetapi sebagai ruh/utusan spiritual. Allah SWt pernah menurunkan wahyu kepada malaikat akan tetapi dalm konteks yang berbeda(sebagai semangat orang islam/mu’min untuk berperang melawan musuh Allah SWT (8:12) Nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad SAW tampaknya berhubungan langsung dengan Allah SWT. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Nabi-nabi telah memperoleh manfaat dari ruh Allah SWT (hal.139) barangkali yang dimaksud engan ruh itu adalah kekuatan, kemmapuan /agensi yang berkembang di ahti Muhammad SAW dan jika diperlukan ia dapat berubah menjadi operasi wahyu yang aktual (hal.142)

Sisi lain kandungan al qur’an yang hanya sedikit disinggung adalah proses kejadian alam (kosmolologi/kosmogini) Jika al qur’an hnaya sedikit berbicara tentang kosmologi maka sebaliknya ia seringkali dan berualngkali membuat pernyataan-pernyataan mengenai alam dan fenomena alam yang kadang dikaitkan dengan Allah, dengan manusia atau kadang kedua-duanya. Pernyataan ini membersitkan isyarat tentang kekuasaan dan kebesaran Allah yang tak terhingga dan menyerukan agar manusia beriman kepada-Nya. Alam semesta beserta kekuasaan dan keteraturannya yang tak terjangkau akal ini harus dipandang manusia sebagai pertanda kekuasaan Allah SWT (hal.101) Informasi tentang proses kejadian alam ternyata pararel dengan apa yang disampaikan wahyu, sebagaimana dibuktikan penulis muslim pada abad pertengahan artinya informasi al qur’an tentang proses kejadian alam semesta adalah ilmiah adanya (hal.105) terakhir sekali bahwa alam semesta itu dalam gambaran al qur’an akan mengalami kehancuran di hari kiamat (hal. 114)

Bagian menarik lain dari alqur’an adalah persoalan eskatologis (akhirat) yang secara umum menggambarkan kenikmatan pahala surga dan azab neraka. Ide pokok tentang akhiat adalah munculnya kesadaran unik manusia tentang suatu pengalaman yang tidak pernah dialaminya dimasa-masa yang lalu (hal. 154) akhirat adalah saat kebenaran (hal. 154) dan tujuan akhir kehidupan /akibat jangka panjang dari amal perbuatan manusia diatas dunia ini. Semenatra dunia bukanlah “dunia ini” tetapi ia adalah nilai-nilai yang rendah /keinginan-keinginan rendah yang tampaknya sedemikian menggoda sehingga setiap saat dikejar oleh hampir semua manusia dengan mengurbankan tujuan-tujuan yang lebih mulia dan berjangka panjang( hal. 157) Konsep dasar akhirat sesungguhnya berujud sikap sarkasme al qur’an terhadap pedagang-pedang makkah yang bermegah-megahan dg emas, perak dan barang dagang lainnya.yang ditimbang adalah amal dan bukannya barang-barang tersebut (hal.158) Hanya saja al akhirat ini adalah sebuah ide yang sangat sulit untuk diterima oleh orang-orag mekkah jahiliyyah yang berpandangan sekularisme dengan alasan bahwa nnenek moyang dan leluhur mereka dulunya telah mendengar “kisah-kisah” ini jauh dimasa sebelumnya yang ternyata hal itu hanya khayalan orang-orang zaman dahulu (hal.168)

Menurut al qur’an akhirat adalah penting dengan alasan pertama, moral dan keadilan adalah kualitas untuk menilai amal perbuatan manusia yang itu tidak bisa ditegakkan di alam dunia, kedua, tujuan hidup harus diejlaskan dengan seterang-terangnya dan ap[a tujuan yang sesungguhnya dari kehidupan ini. Ketiga, perbantahan perbedaan pendapat dan konflik anttar manusia mestilah diselesaikan dan tempatnya adalah di hari akhirat nanti.

Adapun tema berikutnya adalah persoalan syaitan dan kejahatan. Fazlurrahman beranggapan bahwa iblis dan syaitan adalah personifikasi yang diruju’ al qur’an untuk mewakili kekuatan jahat yang ada dimuka bumi ini. Sekalipun demikian personifikasi syaitan sebagai aktor kejahatan masih menimbulkan perdebatan (hal. 178 & 189) Perbedaannya adalah bahwa syaitan kemunculannya bersamaan dengan kisah kejadian adam, jadi seusia dengan manusia walaupun sebelumnya telah ada dalam bentuk jin (hal. 181) sementara jin/iblis diciptakan sebelum adanya manusia berdasarkan 15:27 dan 7:12 (hal.180) al qur’an menggambarkan syaitan sebagai pembangkang perintah Allah SWT dan sebagi tandingan manusia, dan bukannya tandingan Allah SWT karena Allah SWT berada diluar jangkauannya. Jadi secara metafisis syaitan tidak sederajat dengan Tuhan, sbg-mana halnya Ahriman yang merupakan tandingan Yazdan dalam agama Zoroaster (hal.181) Dalam pandangan fazlurrahman aktifitas syaitan hanya mampu membingungkan manusia dan memendungi kesadaran-kesadaran batinnya (hal.182) syaitan tidak punya kekuatan akan tetapi kelicikan dan kelicinannya dengan menggunakan tipu daya, siasat membujuk dan berkhianat adalah aktifitas sejati syaitan (hal.183) Jadi kekuatan syaitan bertumpu pada kelemahan manusia (hal.184) Oleh karena itu yang berbahaya bagi manusia bukanlah faktor syaitan ansich/kekuatan syaitan akan tetapi sikap manusia itu sendiri yang tidak mengerahkan kekuatannya untuk melawan bujukan syaitan (hal.185)

Bagian terakhir dari tema-tema al qur’an adalah mulai dibangunnya sendi-sendi masyarakat muslim di Madinah. Keseluruhan bab terakhir ini membahas tentang kritik dan sanggahan beliau terhadap pendapat snouck Hurgronye , Theodore Noldekke, dan Friedrich Schwallly yang menyatakan bahwa risalah kenabian Muhammad SAW hanyalah bikinan muhammad belaka, karena muhammad ketika menyampaikan risalah islam tidak mendapat respon positif baik dari kalangan yahudi maupun nasrani. Respon negatif ini kemudian disikapi Nabi dengan menyatakan bahwa islam itu tidak berasal/ menginduk kepada kebesaran Yahudi ataupun Nasrani akan tetapi kepada Nabi Ibrahim. Satyu hal yang dalam pandangan Snouck dan orientalis pada umumnya adalah tindakan apologi belaka.

Dengan memahami alQur’an yang memiliki kandungan sedemikian hebat ini, dan selanjutnya kaum mukminin memiliki pandangan hidup secara konsisten dengan pemahamannya tadi, serta pada dataran berikutnya mukminin swecara konsisten pula mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata, maka lahirnya peradaban manusia yang dapat dipertanggung-jawabnkan baik dihadapan Tuhan, manusia dan alam segera akan menjadi kenyataan.

Peradaban modern yang diunggulkan manusia pada abad-abad ini adalah peradaban yang pincang. Peradaban yang hanya mengakomodasi tuntutan hidup yang bersifat lahiriah pada satu sisinya, sekaligus mencampakkan kebutuhan hidup manusia yang bersifat batiniah. Peradaban ini tidak hadir dengan sendirinya. Ia dilahirkan oleh sebuah pandangan hidup yang bersifat sekuleristik. Adalah pandangan hidup yang menceraikan kehidupan dunia dengan kehidupan keagamaan. Kehidupan dunia mulai dari politik, ekonomi, arsitektur, sain dan teknologi juga seni bukanlah urusan agama dan Tuhan. Itu semua murni urusan manusia. Benar-salah, baik-buruk, indah dan tidak indah, adalah urusan manusia dengan indera dan nalarnya untuk memutuskannya. Sebaliknya agama mengurus hubungan manusia dengan Tuhannya saja.

Dari pandangan hidup demikian, maka lahirlah peradaban manusia yang materialistic seperti kita saksikan saat sekarang ini. Suatu peradaban yang lahir tanpa panduan agama. Arsitektur peradaban materialistik hakekatnya adalah orang-orang yang tidak mempunyai (baca: tidak mengakui) Tuhan dalam hidupnya. Agama bagi mereka adlah urusan ibadah ritual semata. Jika ia seorang muslim, maka agama berarti syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji, tidak lebih dari itu. Sedangkan pasar, birokrasi, parlemen, pertanian, dan seterusnya bukanlah urusan agama. Ukuran keshalehan bagi manusia seperti itu adalah rajin beribadah saja. Tidak dikenal adanya kesatuan antara kesalehan individu dengan kesalehan social. Secara tata social, tidak ada hubungan antara bangunan masjid dengan pasar, partai politik, serta sanggar seni dan laboratorium ilmiah.

Jika kita seorang muslim dan mukmin mestinya rujukan pemahaman ke-Islaman kita kepada Nabi Muhammad SAW. Bukankah al Qur’an sebagai pedoman hidup normative sudah dilaksanakan pada dataran historis oleh Nabi Muhammad SAW? Sebagai konsekluensinya, untuk mendapatkan pemahaman terhadap al Qur’an yang benar, tidak bisa tidak harus menyertakan sunah Nabi Muhammad SAW. Memahami dan meneladani kehidupan Nabi adalah suatu keharusan integral untuk memahami alQur’an. Muhammad sebagai nabi bukanlah sosok yang pekerjaannya hanya khotbah di masjid, memimpin shalat berjama’ah dan doa. Akan tetapi, kecuali tugas itu semua, pada saat yang sama Nabi juga seorang politisi pemegang kekusaan. Ia juga hakim pemberi rasa keadilan masyarakatnya. Sebelumnya ia juga seorang pedagang besar. Dan tentu saja ia adalah seorang guru pendidik seluruh umatnya.

Dengan demikian pandangan hidup sekuleristik bukanlah lahir dari rahim ajaran Islam. Jika dikaitkan dengan Islam adalah sebuah destaosi terhadap Islam. Keberadaan pandangan hidp sekuler di dunia Islam Indonesia khususnya, tidak bias lepas dari rekayasa kaum colonial Belanda saat itu yang sangat ketakutan dengan pandangan hidup Islam. Melawan secara frontal dan fisik terhdap kekuatan kaum mukminin rakyat Indonesia adalah sesuatu yang sulit dilakukan. Oleh karenya disusupkanlah seorang intelektual Belanda (Snouch Horgronya) untuk mengamati kharakter ajaran Islam dalam kehidupan yang saat itu mengambil Aceh sebagai objek yang dia amati. Akhirnya diambil kesimpulan bahwa menguasai Islam dank um muslimin adalah sulit dilakukan dengan perang terbuka. Satu-satunya jalan yang mungkin adalh dengan membiarkan umat mukmin beribadah sepanjang mereka tidak berpolitik. Rekomendasi ini akhirnya menjadi kebijakan kolonialis Belanda untuk menguasai Islam di nusantara.

Anehnya, banyak generasi muslim saat ini yang tidak sadar akan tipu daya kolonial tersebut, dan dengan setia mewarisi pandangan hidup sekuler yang ditinggalkanya hingga saat ini. Inilah faktor penyebab terganggunya sistim persatuan dan persaudaraan Islam. Satu agama mereka, tetapi berbeda pandangan hidup yang dimilikinya. Bahkan bukan saja perbedaan tetapi pertentangan antara pandangan hidup yang satu dengan lainya. Inilah keprihatinan kita. Bagaimanakah solusinya?

Allahu a’lam.

ISLAM : SUATU PILIHAN HIDUP

Setidaknya ada tiga cara orang memilih agama untuk dipeluknya . Pertama, mereka memluk agama karena keturunan. Kedua, orang memeluk suatu agama karena hasil pencarian kritis. Ketiga, orang memeilih agama karena keduanya, awalnya ia memeluk agama karena keturunan namun kemudian ia mempertanyakan kembali pilihannya itu dengan pertanyaan-pertanyaan kritis.

Jika karena cara pertama seseorang memluk suatu agama, maka ia tidak mau tahu tentang isi atau ajaran agamanya secara lebih mendalam. Benar atau tidak benar ajaran agamanya bukanlah suatu yang penting. Keberagamaan mereka cenderung mengikuti saja keberagamaan nenek moyangnya. Agama baginya bukan urusan rasionalitas, tetapi tradisionalitas. Cara ini juga membuat seseorang tidak kreatif dalam mengapresiasi agamanya, sehingga ia cenderung tidak mau tahu dan tidak mampu dalam mengantisipasi perubahan zaman, di mana agama harus menjawabnya.

Lain dengan cara pertama, cara kedua akan menjadikan orang mengetahui persis alasan ia harus memilih agama apa, karena agama pilihannya tentu saja agama yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan kritisnya. Kalau ia seorang yang memilih Islam sebagai agamanya, ia terlebih dahulu mempertanyakan mengapa harus Islam, bukan yang lain? Apa perbedaan essensial Islam disbanding dengan agama lain. Jawaban Islam atas pertanyaan-pertanyaan itu membuat ia memiliki alasan kuat untuk memilih Islam. Cara ini juga menjadikan ia berusaha untuk memahami ajaran agamanya secara lebih mendalam. Ia juga berusaha untuk menjawab setiap persoalan baru sebagai setiap tuntutan perubahan zaman. Cara ini juga mengharuskan seseorang untuk memahami agama secara rasional. Bukan itu saja, karena agama anutannya adalah hasil dari pencarian, tentu saja keberagamaan mereka lebih kuat dari keberagamaan sebagai hasil cara pertama.

Berbeda dengan agama lain, Islam selain mencakup ajaran tata cara menyembah Tuhan, atau mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya, juga mencakup tata cara hubungan antara manusia dengan sesamanya dan alam semesta. Tuhan, manusia, alam, hari akhir, akherat, dan kenabian adalah hal-hal pokok yang saling terkait dalan kehidupan. Bahkan tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kehidupan itu tidak lain adalah interaksi antara thema-thema pokok tersebut, interaksi antara Tuhan dengan manusia; interaksi antar manusia; interaksi antara manusia dengan alam; interaksi Tuhan dengan alam; alam dalam hal ini juga alam akherat. Kesemua thema tersebut (Tuhan, manusia dan alam, akherat dan kenabian) dibahas secara gamblang oleh agama Islam, terutama melalui kitab sucinya AlQur’an.

AlQur’an sebagai kitab suci bagi agama yang terakhir, sekaligus penyempurna bagi agama-agamna sebelumnya (QS.5:3), menjadikan ia mesti tampil sebagai kitab suci yang hebat. Lengkapnya alQur’an bukan berarti ia memuat segala hal, akan tetapi karena alQur’an memuat prinsip-prinsip mengenai interaksi antar thema kehidupan tersebut. Dengan penjelasan prinsip tentang semua pokok kehidupan tersebut menjadikan umat yang memahaminya memiliki pandangan hidup (wordl view)yang khas. Pada titik inilah kemukjizatan alQur’an terletak. Berbeda dengan para Nabi sebelumnya, yang memiliki mukjizat terbesar berupa fenomena besar yang meta rasional. Seperti Ibrahim tidak terbakar oleh api unggun raja Namrut, Musa yang bias membelah Laut Merah, Isa yang dapat menghidupkan kembali orang yang telah mati. Mukjizat Nabi Muhammad adalah alQur’an. Kemukjizatan alQur’an terletak pada kemampuan alQur’an membentuk pandangan hidup kaum mukminin yang membacanya. Pandangan hidup mukmin terbentuk manakala mereka memahami penjelasan alQur’an tentang berbagai thema kehidupan tersebut.

Dengan pandangan hidup tersebut mukmin baik individu maupun komunitas memiliki cara pandang yang benar tentang kehidupan. Dengan pandangan hidup tersebut keum mukminin dapat melakukan peran sebagai saksi atas manusia (syuhada ala al nas), dalam pengertian dapat melakukan dialog, dan sekaligus memberi keteladanan hidup bagi manusia yang lain. Dengan demikian dapat kita katakana alQur’an adalah petunjuk bagi sang wakil Allah di muka bumi ini (kahlifatu Allah fi al ardl).

Penjelasan alQur’an tentang prinsip tersebut berupa berbagai bentuk. Adakalanya berupa perintah langsung Allah SWT terhadap manusia, kisah atau sejarah masa lalu, penjelasan diskriptif tentang kehidupan yang baik dan buruk, diskripsi tentang akherat dan sebagainya. Susunan isi alQur’an seolah-olah berserakan dan tidak sistimastis, baik susunan ayat maupun susunan surat-suratnya. Tidak seperti buku biasa yang bioasanya sitimatisasinya mengikuti kaidah ilmiah, yakni pendahuluan, penjelasan teoritik dari yang umum dan kemudian mengkhusus, hingga akhirnya kesimpulan. Tidak demikian dengan alQur’an, awalnya memang surat al Fatehah, surat pembukaan, induk alQur’an (umul Kitab), tetapi bagaimana dengan suat albaqarah, Ali Imran, Anisa dan seterusnya. Nama-nama surat tersebut tidak menggambarkan urutasn yang sesuai dengan isinya. Dapat dikatakan ketidaksistimatisan itulah sistimatisasi alQur’an. Bukankah alam semesta ini juga tampak tidak sitimatis jika dilihat dengan sistimatisasi seorang arsitektur bangunan atau ahli tata kota. Namun demikian inilah justru letak hebatnya sistimatisasi alam.

Buku yang membiarkan ayat-ayat alQur’an berbicara sendiri tentang berbagai tema pokok kehidupan ini adalah karya Prof.Fazlurrahman, cendekiawan muslim asal Pakistan yang kemudian hijrah ke Amerika yang berjudul The Major Themes of Qur’an (Thema Pokok Al Qur’an). Melalui buku itu kita dapat memahami bagaimana alQur’an memandang Tuhan; siapa sebenarnya Tuhan, mengapa mesti ber tuhan, siapa Allah, dan seterusnya adalah beberapa pertanyaan yang dapat kita temukan dalam buku tersebut. Begitu juga dengan manusia, alam, nabi, dan kaherat.

Secara ringkas isi buku tersebut telah diresensi oleh sdr Khairul Asfiyak (http://fai-unisma-malang.blogspot.com/), diantara resensi tersebut adalah sebagai berikut :
Karya Fazlur rahman yang aslinya berjudul “Major themes of Qur’an” ini terdiri dari Pendahuluan, isi buku dan appendiks I dan II yang sesungguhnya kedua catatan ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan tema pokok al Qur’an, kecuali bahwa kedua appendiks tersebut disertakan dalam satu buku semata-mata untuk mendukung dan memperjelas komentar dan uraian-uraian fazlur rahman di dalam mengurai kondisi sosial dan dan setting sejarah yang mewarnai wajah al qur’an.
Al qur’an adalah kitab yang sempurna didalamnya memuat berbagai segi hubungan manusia dengan Tuhannya, hubungan manusia dengan diri dan sesamanya dan hubungan manusia dengan alam disekitarnya. Agaknya tema-tema inilah yang kemudian oleh fazlurrahman digambarkan dalam bukunya dengan lebih memperjelas tema-tema la qur’an itu kedalam 8 (delapan) kategori.

Salah satu dari kedelapan tema yang termuat dalam kandungan al qur’an adalah tentang aspek Tuhan. Fazlurrahman mempertanyakan tentang rasionalitas manusia dalam mengakui setidak-tidaknya mempercayai adanya wujud Tuhan ( hal. 2) Dalam pandangan beliau sesungguhnya al qur’an tidak “membuktikan” adanya Tuhan akan tetapi “menunjukkan” cara untuk mengenal Tuhan, melalui alam semesta yang ada (hal. 15)
Sisi lain kandungan al qur’an adalah manusia sebagai individu, dalam pandangan fazlurrahman asal usul manusia jelas beda dengan mahluk lainnya. Mengingat dalam diri manusia ada unsur ruh yang ditiupkan oleh Allah SWT. Sekalipun demikian ia menyangkal adanya dualisme individual antara jiwa dan raga dalam diri manusia sebagaiman terdapat pada filsafat yunani, agam kristen dan hinduisme ( hal. 26) beliau juga menjelaskan hakikat tujuan diciptakannyamanusia di muka bumi ini yakni sebgai khalifatullah mengemban amnah Allah SWt (28) Sekaligus hambatan dan tantangan yang dihadapinya dalam mengemban misi suci itu. Tantangan terbear manusia dalah syaitan karena ia melambangkan sifat kepicikan (dlaif) dan kesempitan fikir (قطر ) al qur’an tidak henti-hentinya menyebutkan kelemahan ini di dlm bentuk dan konteksyang berbeda. Karena kepicikannya kadang manusia berlaku amat sombong tetapi lekas putus asa. Tidak ada mahluk lain yang dapat menjadi sombong dan berputus asa sedemikian gapangnya seperti manusia (hal. 38-41) Oleh karena itu manusia yang baik harus memiliki keseimbangan yang dalam al qur’an disebut sebagai taqwa. Akar perkataan taqwa adalah waqy, berjaga-jaga atau melindungi diri dari sesuatu dan perkataan taqwa dengan pengertian ini dipergunakan juga dalam al qur’an surat ke-52:27 40:45 76:11 (hal 43)

Selain sebagai individu manusia dalah mahluk sosial, aleh karena itu al qur’an tdak bisa berdiam diri untuk tidak mengatur peri kehdiupannya dalam bermasyarakat. Bahwa tujuan diturunkannya al qur’an adalah menegakkan sebuah tatanan masyarakat yang ethis dan egalitarian , hal ini terlihat di dalam celaannya terhadap disekuilibrum ekonomi dan ketidak adilan sosial dalam masyarakat makkah waktu itu. Pada mulanya celaan itu lebih ditujukan kepada dua aspek yang berkaitan dengan pola hidup bermasyarakat yakni aspek politheisme dan ketimpanbgan sosial ekonomi yang menibulkan dan menyebebakna perpecahan diantara manusia (hal. 55)
Pada level sosial politik al qur’an juga ingin menguatkan unit kekeluargaan paling dasar yang terdiri dari orang tua, anak-anak, kakek,nennek dan masyarakat muslim dengan meniadakan rasa kesukuan. Kesetiaan kepad aorang tua ditegaskan dalam ayat 2:83 4:36 6:151 17:23 (hal61) semenatra dalam rangka melaksankan urusan pemerintahan al qur’an menyuruh kaum muslim untuk menegakkan syura (lembaga konsultatif) Nabi Muhammad SAW sendiri disuruh al qur’an (3:159) untuk memutuskan persoalan-persoalan setelah berkonsultasi dengan pemuka-pemuka masyarakat (hal 63) jika dalam musyawarah terjadi perselisihan dan berakibat peperangan diantara kelompok muslim, al qur’an menyerukan agar diangkat seorang penengah jika salah satu kelompok menolak penengahan ini maka ia harus diperangi (hal. 64) hal ini tidak berarti pemberontakan tidak diijinkan oleh al qur’an. Semua Nabi sesudah nabi Nuh adalah pemberontak terhadap tata nilai masyarakat yang didalamnya tersebar penyelewengandi atas dunia (fasad fil ardl) yang dapat diartikan sebagai keadaan yang menurus kepad apengabaian hukum secara politis, moral, sosial ketika urusan nasional / internasional tidak dapat dikendalikan lagi (hal. 65)

Tema lain yang memenuhi isi al qur’an adalah berita-berit atentang Nabi/rasul dan wahyu. Secar aumum dapat diaktakan bahwa semua rosul dibangkitkan adlah semata-mata menganjurkan pad afaham monotheisme bahwa hanya Allah SWt yang Esa dan yang patut disembah, tuhan-tuhan yang lain adalah palsu belaka (hal.121) menuurt al qur’an sebagai manusia belaka nabi dianggap wajar jika pernah melakukan kesalahansehingga ia harus terus menerus berjuang, jika tidak dapat berbuat demikian maka merka itu tidak dapat menjadi teladan bagi manusia yang lain (hal. 130) Minimal nabi tak pernah ingin menjadi nabi/ mempersiapkan dirinya menjadi seorang nabi, jelas sekali bahwa pwngalaman religius yang terjadi secara tak terduga itulah yang mengantarnya menjadi nabi (hal.132) Predikat kenabian bukan hal yang bagi bagi Nabi Muhammad Saw kadangkal ia dianggap sebgai kahin (52:29) atau penyair (36:69) dan tukang sihir (hal 136-137) yang menarik dalam pandangan fazlurrahman adalah ketika ia berpendapat bukan “malaikat”-lah mahluk yang menyampaikan wahyu kepada nabi Muhammad SAW, al qur’an tidak pernah menyatakan penyampai wahyu itu sebagai malaikat tetapi sebagai ruh/utusan spiritual. Allah SWt pernah menurunkan wahyu kepada malaikat akan tetapi dalm konteks yang berbeda(sebagai semangat orang islam/mu’min untuk berperang melawan musuh Allah SWT (8:12) Nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad SAW tampaknya berhubungan langsung dengan Allah SWT. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Nabi-nabi telah memperoleh manfaat dari ruh Allah SWT (hal.139) barangkali yang dimaksud engan ruh itu adalah kekuatan, kemmapuan /agensi yang berkembang di ahti Muhammad SAW dan jika diperlukan ia dapat berubah menjadi operasi wahyu yang aktual (hal.142)

Sisi lain kandungan al qur’an yang hanya sedikit disinggung adalah proses kejadian alam (kosmolologi/kosmogini) Jika al qur’an hnaya sedikit berbicara tentang kosmologi maka sebaliknya ia seringkali dan berualngkali membuat pernyataan-pernyataan mengenai alam dan fenomena alam yang kadang dikaitkan dengan Allah, dengan manusia atau kadang kedua-duanya. Pernyataan ini membersitkan isyarat tentang kekuasaan dan kebesaran Allah yang tak terhingga dan menyerukan agar manusia beriman kepada-Nya. Alam semesta beserta kekuasaan dan keteraturannya yang tak terjangkau akal ini harus dipandang manusia sebagai pertanda kekuasaan Allah SWT (hal.101) Informasi tentang proses kejadian alam ternyata pararel dengan apa yang disampaikan wahyu, sebagaimana dibuktikan penulis muslim pada abad pertengahan artinya informasi al qur’an tentang proses kejadian alam semesta adalah ilmiah adanya (hal.105) terakhir sekali bahwa alam semesta itu dalam gambaran al qur’an akan mengalami kehancuran di hari kiamat (hal. 114)

Bagian menarik lain dari alqur’an adalah persoalan eskatologis (akhirat) yang secara umum menggambarkan kenikmatan pahala surga dan azab neraka. Ide pokok tentang akhiat adalah munculnya kesadaran unik manusia tentang suatu pengalaman yang tidak pernah dialaminya dimasa-masa yang lalu (hal. 154) akhirat adalah saat kebenaran (hal. 154) dan tujuan akhir kehidupan /akibat jangka panjang dari amal perbuatan manusia diatas dunia ini. Semenatra dunia bukanlah “dunia ini” tetapi ia adalah nilai-nilai yang rendah /keinginan-keinginan rendah yang tampaknya sedemikian menggoda sehingga setiap saat dikejar oleh hampir semua manusia dengan mengurbankan tujuan-tujuan yang lebih mulia dan berjangka panjang( hal. 157) Konsep dasar akhirat sesungguhnya berujud sikap sarkasme al qur’an terhadap pedagang-pedang makkah yang bermegah-megahan dg emas, perak dan barang dagang lainnya.yang ditimbang adalah amal dan bukannya barang-barang tersebut (hal.158) Hanya saja al akhirat ini adalah sebuah ide yang sangat sulit untuk diterima oleh orang-orag mekkah jahiliyyah yang berpandangan sekularisme dengan alasan bahwa nnenek moyang dan leluhur mereka dulunya telah mendengar “kisah-kisah” ini jauh dimasa sebelumnya yang ternyata hal itu hanya khayalan orang-orang zaman dahulu (hal.168)

Menurut al qur’an akhirat adalah penting dengan alasan pertama, moral dan keadilan adalah kualitas untuk menilai amal perbuatan manusia yang itu tidak bisa ditegakkan di alam dunia, kedua, tujuan hidup harus diejlaskan dengan seterang-terangnya dan ap[a tujuan yang sesungguhnya dari kehidupan ini. Ketiga, perbantahan perbedaan pendapat dan konflik anttar manusia mestilah diselesaikan dan tempatnya adalah di hari akhirat nanti.

Adapun tema berikutnya adalah persoalan syaitan dan kejahatan. Fazlurrahman beranggapan bahwa iblis dan syaitan adalah personifikasi yang diruju’ al qur’an untuk mewakili kekuatan jahat yang ada dimuka bumi ini. Sekalipun demikian personifikasi syaitan sebagai aktor kejahatan masih menimbulkan perdebatan (hal. 178 & 189) Perbedaannya adalah bahwa syaitan kemunculannya bersamaan dengan kisah kejadian adam, jadi seusia dengan manusia walaupun sebelumnya telah ada dalam bentuk jin (hal. 181) sementara jin/iblis diciptakan sebelum adanya manusia berdasarkan 15:27 dan 7:12 (hal.180) al qur’an menggambarkan syaitan sebagai pembangkang perintah Allah SWT dan sebagi tandingan manusia, dan bukannya tandingan Allah SWT karena Allah SWT berada diluar jangkauannya. Jadi secara metafisis syaitan tidak sederajat dengan Tuhan, sbg-mana halnya Ahriman yang merupakan tandingan Yazdan dalam agama Zoroaster (hal.181) Dalam pandangan fazlurrahman aktifitas syaitan hanya mampu membingungkan manusia dan memendungi kesadaran-kesadaran batinnya (hal.182) syaitan tidak punya kekuatan akan tetapi kelicikan dan kelicinannya dengan menggunakan tipu daya, siasat membujuk dan berkhianat adalah aktifitas sejati syaitan (hal.183) Jadi kekuatan syaitan bertumpu pada kelemahan manusia (hal.184) Oleh karena itu yang berbahaya bagi manusia bukanlah faktor syaitan ansich/kekuatan syaitan akan tetapi sikap manusia itu sendiri yang tidak mengerahkan kekuatannya untuk melawan bujukan syaitan (hal.185)

Bagian terakhir dari tema-tema al qur’an adalah mulai dibangunnya sendi-sendi masyarakat muslim di Madinah. Keseluruhan bab terakhir ini membahas tentang kritik dan sanggahan beliau terhadap pendapat snouck Hurgronye , Theodore Noldekke, dan Friedrich Schwallly yang menyatakan bahwa risalah kenabian Muhammad SAW hanyalah bikinan muhammad belaka, karena muhammad ketika menyampaikan risalah islam tidak mendapat respon positif baik dari kalangan yahudi maupun nasrani. Respon negatif ini kemudian disikapi Nabi dengan menyatakan bahwa islam itu tidak berasal/ menginduk kepada kebesaran Yahudi ataupun Nasrani akan tetapi kepada Nabi Ibrahim. Satyu hal yang dalam pandangan Snouck dan orientalis pada umumnya adalah tindakan apologi belaka.

Dengan memahami alQur’an yang memiliki kandungan sedemikian hebat ini, dan selanjutnya kaum mukminin memiliki pandangan hidup secara konsisten dengan pemahamannya tadi, serta pada dataran berikutnya mukminin swecara konsisten pula mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata, maka lahirnya peradaban manusia yang dapat dipertanggung-jawabnkan baik dihadapan Tuhan, manusia dan alam segera akan menjadi kenyataan.

Peradaban modern yang diunggulkan manusia pada abad-abad ini adalah peradaban yang pincang. Peradaban yang hanya mengakomodasi tuntutan hidup yang bersifat lahiriah pada satu sisinya, sekaligus mencampakkan kebutuhan hidup manusia yang bersifat batiniah. Peradaban ini tidak hadir dengan sendirinya. Ia dilahirkan oleh sebuah pandangan hidup yang bersifat sekuleristik. Adalah pandangan hidup yang menceraikan kehidupan dunia dengan kehidupan keagamaan. Kehidupan dunia mulai dari politik, ekonomi, arsitektur, sain dan teknologi juga seni bukanlah urusan agama dan Tuhan. Itu semua murni urusan manusia. Benar-salah, baik-buruk, indah dan tidak indah, adalah urusan manusia dengan indera dan nalarnya untuk memutuskannya. Sebaliknya agama mengurus hubungan manusia dengan Tuhannya saja.

Dari pandangan hidup demikian, maka lahirlah peradaban manusia yang materialistic seperti kita saksikan saat sekarang ini. Suatu peradaban yang lahir tanpa panduan agama. Arsitektur peradaban materialistik hakekatnya adalah orang-orang yang tidak mempunyai (baca: tidak mengakui) Tuhan dalam hidupnya. Agama bagi mereka adlah urusan ibadah ritual semata. Jika ia seorang muslim, maka agama berarti syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji, tidak lebih dari itu. Sedangkan pasar, birokrasi, parlemen, pertanian, dan seterusnya bukanlah urusan agama. Ukuran keshalehan bagi manusia seperti itu adalah rajin beribadah saja. Tidak dikenal adanya kesatuan antara kesalehan individu dengan kesalehan social. Secara tata social, tidak ada hubungan antara bangunan masjid dengan pasar, partai politik, serta sanggar seni dan laboratorium ilmiah.

Jika kita seorang muslim dan mukmin mestinya rujukan pemahaman ke-Islaman kita kepada Nabi Muhammad SAW. Bukankah al Qur’an sebagai pedoman hidup normative sudah dilaksanakan pada dataran historis oleh Nabi Muhammad SAW? Sebagai konsekluensinya, untuk mendapatkan pemahaman terhadap al Qur’an yang benar, tidak bisa tidak harus menyertakan sunah Nabi Muhammad SAW. Memahami dan meneladani kehidupan Nabi adalah suatu keharusan integral untuk memahami alQur’an. Muhammad sebagai nabi bukanlah sosok yang pekerjaannya hanya khotbah di masjid, memimpin shalat berjama’ah dan doa. Akan tetapi, kecuali tugas itu semua, pada saat yang sama Nabi juga seorang politisi pemegang kekusaan. Ia juga hakim pemberi rasa keadilan masyarakatnya. Sebelumnya ia juga seorang pedagang besar. Dan tentu saja ia adalah seorang guru pendidik seluruh umatnya.

Dengan demikian pandangan hidup sekuleristik bukanlah lahir dari rahim ajaran Islam. Jika dikaitkan dengan Islam adalah sebuah destaosi terhadap Islam. Keberadaan pandangan hidp sekuler di dunia Islam Indonesia khususnya, tidak bias lepas dari rekayasa kaum colonial Belanda saat itu yang sangat ketakutan dengan pandangan hidup Islam. Melawan secara frontal dan fisik terhdap kekuatan kaum mukminin rakyat Indonesia adalah sesuatu yang sulit dilakukan. Oleh karenya disusupkanlah seorang intelektual Belanda (Snouch Horgronya) untuk mengamati kharakter ajaran Islam dalam kehidupan yang saat itu mengambil Aceh sebagai objek yang dia amati. Akhirnya diambil kesimpulan bahwa menguasai Islam dank um muslimin adalah sulit dilakukan dengan perang terbuka. Satu-satunya jalan yang mungkin adalh dengan membiarkan umat mukmin beribadah sepanjang mereka tidak berpolitik. Rekomendasi ini akhirnya menjadi kebijakan kolonialis Belanda untuk menguasai Islam di nusantara.

Anehnya, banyak generasi muslim saat ini yang tidak sadar akan tipu daya kolonial tersebut, dan dengan setia mewarisi pandangan hidup sekuler yang ditinggalkanya hingga saat ini. Inilah faktor penyebab terganggunya sistim persatuan dan persaudaraan Islam. Satu agama mereka, tetapi berbeda pandangan hidup yang dimilikinya. Bahkan bukan saja perbedaan tetapi pertentangan antara pandangan hidup yang satu dengan lainya. Inilah keprihatinan kita. Bagaimanakah solusinya?

Allahu a’lam.