SELAMAT DATANG DI BLOG PERUBAHAN SOSIAL

"Makkah adalah realitas empiris, Madinah adalah realitas ideal, jarak keduanya adalah amanah perubahan"

Rabu, 20 Oktober 2010

FENOMENA MENGULANG BANJIR NABI NUH

Kehadiran Nabi Nuh adalah dalam rangka memberi peringatan kepada umatnya, untuk tidak durhaka kepada Allah SWT. Tetapi ternyata ajakan itu disikapi dengan penentangan ummat nabi Nuh. Hanya ada sedikit umat Nabi Nuh yang mentaatinya. Sebagai hukuman atas kedurhakaan umat Nabi Nuh tersebut, Allah datangkan banjir bandang yang sangat dahsyat walau pada musim kemarau. Di tengah terjangan banjir itu, hanya sedikit yang bisa selamat. Mereka terdiri dari orang-orang yang beriman, patuh dan mentaati seruan Nuh, dan berbagai jenis binatang. Adzab yang tidak kalah dahsyat juga pernah Allah timpakan kepada kaum Madyan, Ad dan Tsamud, yang juga dikenal durhaka kepada Allah. Lalu apa yang penting, dari kisah banjir banadang tersebut dalam konteks kekinian?
Ketika kebanyakan umat manusia sudah tidak lagi memperhatikan seruan Allah, bahkan meremehkan , menistakan, dan menentang ajaran-ajaran suci ilahi, apakah tidak mungkin akan datang adzab serupa dengan banjir nabi Nuh itu. Atau jangan-jangan banjir itu sekarang sudah terjadi?
Secara objektif, kita harus mengatakan bahwa manusia modern sekarang dan mendatang menunjukkan trend yang tidak lagi peduli dengan seruan ilahi. Agama dipahami sebagai peninggalan klasik yang hanya memiliki nilai pariwisata. Dilestarikan bukan sebagai ajaran yang hidup dalam keseharian manusia modern, melainkan sebagai barang yang antic, menghibur, dan sedikit bersejarah. Ya… modern dibuat dan dikesankan bertolak belakang dengan nilai dan ajaran agama. Jika modern berarti maju, sesuai nalar sehat, dan efisien. Maka agama berarti sebaliknya, terbelakang, penuh mitologi, bodoh, dan sia-sia. Jika ada sedikit orang yang peduli pada nilai dan ajaran agama, adalah fenomena aneh, lucu, dan tentu menjadi bahan tertawaan. Sebaliknya, berbagai prilaku penyimpangan norma dan ajaran agama sudah dianggap sebagai hal biasa. Pencurian, perzinaan, miras, hingga pembunuhan, menjadi hal yang lumrah, bahkan tidak jarang yang justru dilegalkan. Jika sudah demikian adanya, tidak aneh rasanya jika adzab dari langit akan atau sudah datang.
Analog dengan banjir Nabi Nuh, banjir yang sama mengancam kehidupan manusia itu saat ini sudah datang. Betapa tidak, kebudayaan jahiliyah yang dikemas sangat menarik nafsu manusia, melalui agen-agen distribusinya bisa masuk ke semua ruang, tanpa terbendung sedikitpun. Agen itu adalah kotak kecil yang bernama HP, pesawat televise, computer dan sebagaainya. Melalui berbagai perangkat tersebut, budaya jahiliah telah mengepung semua orang tanpa menyisakan ruang yang aman. Bukankah fenomena demikian adalah banjir? Tidak ada orang yang bisa menanggung keselamatan orang lain berhadapan dengan banjir tersebut, walaupun ia seorang ustadz, kiai, bahkan juga nabi, sebagaimana tidak diijinkannnya Nabi Nuh, untuk menyelamatkan istri dan seorang anaknya sendiri yang akhirnya tewas menjadi korban bajir besar saat itu.
Dan tidak jauh berbeda dengan banjir Nuh, yang dapat menyelamatkan hidup manusia adalah kapal Nuh. Ciri kapal itu adalah aneh ketika dibuat tetapi mampu mengantisipasi kemungkinan yang akan terjadi di masa depan. Sama anehnya dengan Nuh yang dicibir umatnya ketika ia membuat kapal di tengah musim kemarau, yang ternyata menjadi satu-satunya alternative untuk menolong kehidupan manusia menghadapi banjir bandang. Ciri yang lain, adalah penerimaan tanpa syarat oleh siapapun yang ingin selamat atas nilai, ajaran, perintah dari langit, bagaimanapun tidak masuk akalnya perintah langit tersebut. Dengan kata lain, kalau sudah berhadapan dengan otoritas langit, orang yang ingin selamat harus jauh-jauh membuang keangkuhannya, dan secepatnya menggantinya dengan sikap rendah hati atau tawadlu’. Ciri yang lain lagi adalah sikap teguh pendirian dalam menyiapkan kapal sehingga layak dipakai. Tanpa sikap istiqomah tersebut, maka proyek penyelamatan kehidupan akan gagal dilaksanakan, atau tidak selesai dilaksanakan.
Melihat bentuk empiric atas banjir yang terjadi, kapal itu berupa bisa berupa apa saja, mulai dari syair lagu, berlembar-lembar teori, grup music, kelompok pengajian, hingga keluaarga, sekolah (lembaga pendidikan), organisasi kemasyarakatan, paguyuban, kumpulan arisan, dan apapun. Prinsipnya adalah lembaga yang dibangun dalam rangka menegakkan kalimat ilahi.
Menghadapi musibah yang sudah di depan mata tersebut kaum muslimin banyak yang masih berpangku tangan belum menyadari besarnya ancaman. Bahkan ikut menggali lubang cekungan yang siap untuk mempercepat datangnya arus banjir. Sayang orang modern yang sudah terlanjur berotak rasionalisme dan berinderaa empirisme terlalu tuli untuk mencandra datangnya banjir.
Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar