SELAMAT DATANG DI BLOG PERUBAHAN SOSIAL

"Makkah adalah realitas empiris, Madinah adalah realitas ideal, jarak keduanya adalah amanah perubahan"

Rabu, 20 Oktober 2010

ILMU FILSAFAT DAN AGAMA :

Sebuah pendahuluan

Bagi manusia indera adalah alat untuk mengetahui diri dan lingkungan alamnya. Hasil dari kerja mengetahui ini disebut pengetahuan. Kegiatan mengetahui dengan indera meliputi warna dengan mata, bentuk dengan meraba, suara dengan telinga, rasa dengan lidah, dan bau dengan hidung. Sesuai dengan kemampuannya, indera hanya dapat menangkap atau mencandra sisi paling luar dari suatu fenomena. Seperti terhadap daun yang berwarna hijau, mata hanya menangkap seberapa luas permukaan daun itu, warna, hingga keadaan permukaannya. Mata tidak tahu apa fungsi dari warna hijau bagi tumbuhan itu. Apa saaja isi atau kandungan biologisnya. Indera hanya bisa merasakan dingin atau panasnya cuaca, tanpa mau tahu apa hubungannya dengan awan yang bergelantungan. Mata hanya dapat melihaat kilatan cahaya petir di tengah gelapnya malam ketika hendak turun hujan tanap mengetahui apa sebab dan akibatnya. Indera hanya melihat turunnya air dari langit, yang diawali dengan adanya awan, dan sebelumnya panasnya suhu udara, dan sebelumnya uap air lautan yang terkena sinar panas matahari. Indera tidak dapat memahami apa lagi menemukan hubungan antar fakta air turun, awan, suhu udara panas, uap air, cahaya dan samudra luas tersebut.
Hubungan antar fakta satu dengan fakta lain baru dapat dipahami ketika manusia menggunakan akal pikirannya. Pikiran manusia mampu memahami apa yang terkandung dalam fakta, serta bagaimana hubungan antar fakta tersebut. Akal pikiran dapat memecahkan satu fakta berdasar unsur-unsurnya. Seperti misalnya hijau daun yang kemudian ia disebut clorofil. Apa itu clorofil? Ternyata ia adalah zat yang berguna untuk merubah unsur hara tanah yang dikirim oleh akar untuk dijadikan zat lain yang berguna bagi pertumbuhan suatu tumbuhan. Akal dapat memahami air hujan, yang tidak lain adalah unsur dari awan yang semula adalah uap air dari samudra. Akal dapa memahami mengapa uap air kemudian berkumpul menjadi awan, yang kemudian dalam keadaan tertentu air itu harus jtuh dalam bentuk titik-titik air hujan. Hubungan antar fakta dalam suatu fenomena secara sistimatis itulah yang kemudian disebut ilmu pengetahuan.
Bagi seorang dokter yang nota bene memiliki ilmu kesehatan manusia, dapat menangkap dan memahami hubungan antar gejala yang dialami seorang pasiennya. Seperti hubungan antara perut yang sakit dengan muntah-muntah, dan panas badannya. Guna memperjelas diagnosanya dokter perlu informasi latar belakang sebelum seorang pasien muntah dan sakit perut. Dan setelah mendiagnosa berdasar banyak fakta tersebut ia akan dapat memberikan obat yang tepat terhadap pasien tersebut. Hubungan antar fakta itulah bagian dari ilmu kesehatan atau ilmu kedokteran. Memahami satu fakta dengan memecah dan menghubungkannya kembali, kemudian membuat kesimpulan itulah pekerjaan akal pikiran, yang kemudian disebut dengan berpikir. Berpikir dengan menggunakan suatu metode secara konsisten, dibantu dengan alat yang sangat teliti akan sampai kepada kesimpulan yang falid. Jika metode itu metode ilmiah maka hasinya adalah ilmu pengetahuan, atau yang popular dengan sain.
Akal-pikiran menjadikan manusia hidup lebih mudah dan juga lebih maju serta sejahtera. Karena dengan ilmu pengethaun yang ditemukannya, manusia dapat lebih memanfaatkan sumber daya baik alam maupun manusia secara lebih efisien. Namun sayang bukan kemajuan dan kesejahteraan saja yang didapat oleh manusia dengan ilmu-pengetahuannya tersebut, tetapi juga mala petaka yang tidak kalah mengkawatirkan kehidupan. Misalnya adlah adanya krisis energy yang mengancam, krisis lingkungan alam yang terkenal dengan global warming (pemanasan global). Dan yang tidak kalh dahsyatnya adalah krisis social dan moral manusia itu sendiri. Siapa dan apa yang salah?
Kembali kita pada pengetahuan manusia. Ternyata pengetahuan manusia tidak terhenti pada pengetahuan dan ilmu-pengetahuan saja. Terhadap fenomena hujan misalnya, mausia masih bertanya. Mengapa hujan selalu terjadi dengan siklus yang konsisten mulai dari cahaya yang mengenai samudra, awan, dan hujan. Mengapa fakta-fakta tersebut begitu rapi dan konsisten? Adakah hokum yang mengatur. Jika ada apa hokum yang mengatur itu? Mungkinkah aturan itu ganda atau tunggal. Apakah aturan itu bersifat tetap dan mencakup semua yang ada di alam raya ini? Siapa yang menciptakan hokum alam itu? Mungkinkah Sang Pencipta itu bodoh atau sangat pandai luar biasa, sehingga dapat membuat hokum yang ditaai baik karena suka rela maupun terpaksa oleh seluruh alam? Mungkinkah Sang Pencipta itu tunggal atau banyak? Apakah alam ini diciptakan dengan tujuan atau penciptaan iseng, kebetulan, tanpa tujuan? Ratusan pertanyaan yang nota bene di balik kenyataan empiris masih dapat dibuat oleh manusia yang memang punya watak ingin tahu itu. Dan jawaban itu tidak lagi diruang ilmu-pengetahuan, melainkan di luar dan di balik ilmu pengtetahuan yang faktawi itu. Pengetahuan jenis inilah yang disebut dengan filsafat.
Pengetahuan filsafati adalah pengetahuan manusia yang murni hasil dari pemberdayaan akal-pikirannya. Ia tidak berada di ruang fakta dan fenomena. Ia berusaha membuat pertanyaan dan menjawabnya untuk hal-hal yang berada di balik fakta dan fenomena. Jawaban atas pertanyaan-pertanyayan filsafat itu misalnya adalah hokum alam yang membuat fakta-fakta siklus hujan berjalan konsisten. Sang penciptalah yang menciptakan hokum alam tersebut. Ia ada dengan tidak diciptakan. Karena kalau ia diciptakan maka ia tak lebih adalah makluq. Ia harus ada dan “bekerja” tidak terbatas dengan hokum alam, karena hokum alam saja ia yang menciptakannya. Ia ada sebelum hokum alam ada. Ia bebas sebebas-bebasnya, tidak ada apapun yang mengikatnya. Tentu ia maha pintar. Dan jawaban-jawaban seterusnya….. adalah jawaban akal pikiran terhadap pertanyaan-pertanyaan filsafati di atas. Memang jawaban itu tidak ada yang menjamin kebenarannya secara mutlak. Kebenaran yang dihasilkannya bersifat relative. Kemungkinan besar benar. Kebenaranya tidak terbatas untuk sebagian manusia. Semua manusia mengakuinya sekalipun bukan kebenaran mutlak. Kebenaran relative itu karena ia hasil pikiran manusia yang terbatas kemampuannya.
Sang Maha Pencipta itulah Allah SWT. Sebagai sang pencipta ia memiliki kharakter yang tidak terbatas yang disebut al asma’ul husna. Ar Raman, ar rahim, al Malik, al Qudus, al salam …….al shabr adalah sifat dan nama-nama Nya yang mulia. Dunia ini diciptakan dari air dalam enam masa. Kehidupan dunia ini sangat sementara dibanding dengan kehidupan pasca dunia (akherat). Kehidupan akherat itu ada dua macam yakni surga dan neraka. Sebelum itu ada yang disebut alam barzakh (kubur). Dan seterusnya inilah yang disebut ajaran agama.
Jika filsafat adalah murni pemberdayaan akal-pikiran manusia, maka agama adalah ajaran yang berasal dari tuhan. Sebagai ajaran yang berasal dari Tuhan maka kebenrannya bersifat mutlaq. Ia diberikan oleh Tuhan yang kerjanaya tidak dapat dibatasi oleh akal, tetapi agama juga diperuntukkan pada amanusia yang berakal. Oleh kerena itu agama tidak semuanaya masuk akal ajarannya. Ada yang rasional dan ada yang di atas rasio (metha rasional). Shalat subuh misalnya mengapa harus dua rakaat. Kan ia dilakukan pada saat pagi rsionalnya mesti lebih banyak dari shalat siang. Tetapi mengapa ia hanya dua rakaat? Mengapa gerakan shalat seperti itu, memakai takbir, rukuk dan sujud? Mengapa tidak menggunakan jalan di tempat, atau seperti gerakan yoga? Mengapa wudlu dari hadats karena buang angin, tetap saja harus menyiram anggota wudlu biasa –bukan tempat keluarnyaa angin? Itulah diantara contoh bahwa tidak semua ajaran agama itu rasional.
Ajaran agama memang tidak hanya dapat dipahami dengan akan. Jauh sebelum akal memehaminhya, hati manusia sudah harus meyakininnya. Keyakinan itulah yang disebut dengan iman. Yang sangat menentukan keberagamaan memang bukan akal manusia tetapi hati. Akal, dan indera hanya pembuat penjelasannya dan juga penguatnya, tetapi yang pokok adalah hatinya. Hati lah yang menentukan baik-buruknya manusia dengan agamanya itu. Bukan akalnya, bukan inderanya. Kebenaran agama adalah kebenaran yang bersifat mutlak, karena ia diciptakan oleh Dzat Yang Mutlak. Berhadapan dengan kebenaran agama inilah manusia harus bersifat pasrah, sami’na wa atha’na (kami dengar dan kami taat). Tuhan yang Maha Meengetahui, lebih tahu untuk berbuat bagaimana, dan apa saja, dalam rangka mengatur alam semesta ini, termasuk manusia. Sedang kita serba terbatas, samai hal-hal yang terdekat dengan kita saja kita tidak mengetahui. Contohnya, kita tidak tahu persis berpa ukuran air mata kita, apa saja komposisinya, berapa kali mata kita berkedip, apa saja bagian mata kita sehingga kita dapat melihat. Baru-baru ini saja setelah ada kemajuan iptek menusia mulai mengetahui itu semua. Sedang Tuhan sudah mengetahui persis jauh sebelum itu semua diciptakan.
Bagian yang mana dari agama yang bersifat mutlak? Bagian agama yang berasal dari Tuhan lah yang mutlak. Dalam islam, bagian itu yakni teks al Qur’an dan al Sunah Shahehah. Keduanya baik itu materi maupun proses penulisan dan penyeleksian dalam sejarah diakui sangat ketat dan dapat dipertanggung jawakannya. Jika al Qur’an jelas asalnya dari Allah, tetapi bagaimana dengan al Sunah? Al Sunah shahehah adalah perkataan, perbuatan dan ketetapan Nabi Muhammad SAW. Sedang apapun yang dikatakan, dilakukan, dan ditetapkan Nabi, tidaklah dari diiri beliau sendiri, tetapi semata-mata karena Allah SWT (in huwa illa wahyu yuha). Keduanya sejajar dalam arti jika al Qur’an hanya meminta kita melakukan sesuatu, tanpa menjelaskan bagaimana sesuatu itu harus dilakukan, maka al Sunah mengajarkan bagaimana sesuatu iatu harus dilakukan. Seperti sholat. Al Qur’an hanya menyuruh manusia untuk menegakkan shalat. Sedang Nabilah yang member contoh pelaksanaan shalat. Demikian juga dengan hal-hal lin terutama beribadah langsung kepada Allah (ibadah mahdhah).
Ilmu pengetahuan dan filsafat serta agama berada dalam gradasi yang berbeda. Pengetahuan biasa berada dalam gradasi terendah, kemudian disusul oleh ilmu pengetahuan, kemudian filsafat dan yang paling tinggi adalah agama. Agama terutama Islam, tidak mempertentangkan antara ilmu pengetahun, filsafat dan agama. Sekalipun ada wilayah agama yang belum terjangkau oleh akal. Tetapi islam mendorong umatnya u ntuk menggunakan akalnya dalam menjalani hidup bahkan juga dalam memahami agamanya.
Allahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar