SELAMAT DATANG DI BLOG PERUBAHAN SOSIAL

"Makkah adalah realitas empiris, Madinah adalah realitas ideal, jarak keduanya adalah amanah perubahan"

Selasa, 29 Desember 2009

TANGGUNG JAWAB DAKWAH

Kegiatan dakwah saat ini berlangsung gegap gempita. Hampir di seluruh media baik cetakmaupun elektronik menampilkan acara dakwah dalam rubrik maupun program acara mereka. Namun jika kita perhatikan dengan seksama, kegiatan dakwah saat ini masih didominasi oleh dakwah bil lesan baik secara langsung di mimbar-mimbar maupun dengan media.
Telah banyak hasil kita dapatkan dengan dakwah bil lisan tersebut. Diantaranya adalah ummat atau masyarakat semakin memahami ajaran agama mereka lebih luas. Umat tidak lagi merasa asing dengan istilah-istilah agama dari assalamu’alaikum jika membuka acara, insya Allah jika berjanji, astagfirullah jika terlanjur berbuat salah, dan alhamdulillah jika mendapatkan nikmat. Mereka juga fasih untuk melesankan bacaan do’a-do’a, sehingga masyarakat atau pejabat sekarang tidak lagi pusing untuk menunjuk pembaca atau pelantun do’a pada penutupan acara-acara seremonial mereka. Bahkan untuk sekedar menyampaikan kultum pada acara-acara pertemuan rutin, yang didalam nya tentu harus disebutkan dalil-dalil ayatnya (supaya benar-benar seperti ustadz), banyak diantara anggota masyarakat yang “berani” untuk didaulat sepontan. Bacaan ayat-ayat mereka tidak kalah fasih jika dibanding dengan bacaan ustadz yang asli. Bacaan huruf-huruf qalqlahnya betul-betul terdengar jelas. Misalnya dek dalam qul huwallahu ahadek.
Namun ternyata dibalik gencarnya pelaksanaan dakwah bil lisan tersebut, banyak permasalahan nyata dalam kehidupan yang tidak tersentuh. Berita kriminal hampir tidak mengenal kata penurunan dalam jumlah maupun kualitas. Bahkan tidak satupun media elektronik yang tidak mempunyai berita khusus kriminal, mulai dari yang berjudul tikam, jejak kasus, sidik jari, hingga patroli dan lain-lain. Dan tidak menutup kemungkinan karena perkembangan tindak kejahatan tidak mengenal kata berkurang, di suatu saat nanti akan muncul acara krminal yang lebih spesifik seperti berita khusus pemerkosaan, khusus pembunuhan, dan khusus pencurian. Belum lagi berita-berita tentang KKN selalu menjadi berita utama. KKN yang dulu singkatan dari Kuliah Kerja Nyata, sekarang sudah bermetamorfose menjadi Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Bukankah media adalah bagian dari cermin dalam masyarakat, sehingga mereka berusaha menampilakan wajah masyarakat seperti apa adanya. Dari kenyataan-kenyataan itu kegiatan dakwah seolah disepelekan, disangkal, dan lebih kasarnya di-bokongi alias tidak berguna atau tidak fungsional dengan permasalahan nyata dalam masyarakat.
Lantas apa yang salah dengan dakwah bil lisan? Atau jangan-jangan karena mentalitas masyarakat yang masa bodoh alias ndablek atau cuek dengan seruan dakwah, atau bahkan semua ajakan pada arah kebaikan, yang dalam bahasa agamanya amar ma’ruf nahi munkar. Kita jadi ingat dengan pepatah jawa bahwa seruan pada kebaikan seolah mlebu kuping kiwo metu kuping tengen dalam telinga masyarakat kita. Masyarakat telah kehilangan rasa malu, ewuh pakewuh alias ber- rai gedek.
Memang para juru dakwah bisa sedikit menghibur diri dengan beberapa dalil Al Qur’an, seperti dalam QS. 2: 272, “Bukankah engkau yang memberi petunjuk, akan tetapi Allahlah yang memberi petunjuk pada siapa yang dikehendi”. Bukan salah dakwah jika masyarakat menjadi semakin buruk. Yang penting dakwah sudah dilaksanakan.
Dakwah memang sudah dilaksanakan, tetapi bukankah kita harus melaksanakannya secara sungguh-sungguh dalam arti profesional. Maksud dakwah profesional bukan berprofesi sebagai da’i, tetapi dakwah didesain sesuai dengan logika maslahnya. Dari sudut pandang dakwah profesional, kriminalitas dan prilaku jahat yang lain hanyalah sebagai sebuah gejala. Ibarat orang sakit tipus, demam adalah sebuah gejala saja. Untuk dapat melakukan terapi pengobatan profesional, penyebab penyakit yang sesungguhnya harus ditemukan dulu. Di balik gejala kriminalitas, adalah kemiskinan dan kebodohan masyarakat. Kriminalitas akan hilang jika masyarakat tidak lagi miskin dan bodoh. Persoalannya menjadi jelas, dapatkan keemiskinan dan kebodohan dilawan dengan ceramah keagamaan? Jawabnya tentu mboten saget alias tidak bisa.
Dakwah harus dilakukan dengan pendekatan multi disiplin, yang melibatkan berbagai keahlian. Ekonom, pendidik, politisi, teknolog, dokter, dan berbagai profesi lain sangat dibutuhkan dalam proyek besar yang disebut dakwah. Jadi tanggung jawab dakwah bukan monopoli tukang ceramah atau para ustadz, tetapi tanggung jawab semua muslim dengan berbagai keahliannya tanpa terkecuali. Bukankah Nabi berpesan, “balighu ‘ani walau ayat”, sampaikan dari padaku sekalipun hanya satu ayat. Begitu juga beberapa ayat al Qur’an, diantaranya QS. An Nahl : 125, “Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah, pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” Itu semua adalah seruan universal kepada kaum muslimin untuk memikul kewajiban dakwah. Dengan pendekatan multi disiplin inilah, dakwah benar-benar akan menjadi rahmat bagi semesta alam. Insya Allah.

Jumat, 25 Desember 2009

AQIDAH TERAPAN

AQIDAH TERAPAN
agus wahyu triatmo


1. Keyakinan seorang muslim yang paling fundamental adalah kesaksian bahwa tidak ada tuhan selain Allah, yang juga disebut syahadat tauhid. Dan Muhammad adalah utusan Allah, yang disebut syahadat rasul. Dari keduanya syahadat tauhid yang paling mendasar.
2. Keyakinan muslim kepada Allah sebagai satu-satunya Tuhan dengan segala sifat-sifat-Nya membuat, hubungan muslim dengan Allah SWT begitu dekat. (idza saalaka ibadi ani fa ini qorib (QS.2:186). Namun demikian perasaan jauh atau dekat tersebut sangat dipengaruhi oleh kondisi batiniah seorang muslim.
3. 3 Hal yang menjadikan dekat hubungan seorang muslim dengan Allah (ma’rifatullah); Iman yang bersih; ikhlas yang murni; jihad yang sungguh-sungguh.
4. Iman yang bersih . Untuk beriman kepada Allah SWT, mestinya harus didahului dengan mengenal-Nya. Kita dapat mengenal Allah melalui 99 nama-namanya (asmaulhusna): arrahman, arrahim, al malik, al qudus, dsb (QS.7:180; qs.59:21-24). Jika nama-nama itu dipahami dengan sungguh-sungguh, maka jadilah kita mengenal Allah dan selanjutnya mendekatkan diri pad-Nya.
5. Sebagai contoh adalah iman kepada al shomad (Allah tempat bergantung). Tidak ada tempat bergantung kecuali kepada Allah SWT. Jika suatu saat kita berobat, dengan kesadaran obatlah yang dapat menyembuhkan kita, kemudian kita menjadi tergantung pada obat tersebut. Seorang istri bisa jadi bergantung pada suami, seseorang bergantung pada pekerjaan, dsb-nya. Jika muncul pertanyaan, “apakah kalau sakit kita tidak perlu berobat?” “Apakah kita juga tidak perlu bekerja?” Tentu jawabnya, berobat, bekerja adalah kewajiban kita sebagai manusia. Jika kita lakukan dengan sebenar-benarnya justru menjadi lahan beramal dan beribadah. Bahkan, jika kita tidak melakukannya, maka kita berdosa. Tetapi kesadaran bahwa yang memberi makan, dan rizki bukanlah pekerjaan kita, yang menjadikan kita sembuh bukanlah obat yang kita gunakan tersebut, melainkan Allah SWT. Dengan kesadaran ini maka kita akan dapat bersyukur kepada Allah jika berhasil dalam berikhtiar, dan kita dapat menerima kegagalan dengan penuh kesabaran dan ridlo, serta tidak mudah putus asa. Di sinilah kita kadang-kadang tidak sadar telah menduakan Allah SWT (musyrik) dengan yang lain sebagai tempat bergantung. Jadi musyrik tidak harus dengan menyembah kayu dan batu besar, membakar kemenyan, dll.
6. Beriman pada Al Muqtadir (Allah Maha Berkehendak). Beriman pada al Muqtadir, berarti berkeyakinan bahwa Allah memiliki kehendak. Namun berbeda dengan kehendak kita manusia, kehendak Allah pasti terjadi. Tidak ada yang dapat menghalangi terjadinya kehendak Allah. Inama amruhu idza arada syaia an yaqulu kun fayaku (QS. 36:82). Bagi orang yang beriman kepada al muqtadir, ketika ia berkehendak, membuat rencana tentang apa yang akan ia lakukan, tentunya didasarkan pada kesadaran bahwa Allah SWT Maha Berkehendak. Sehingga ia mengucapkan insya Allah. Kehendak kita akan terlaksana jika Allah kehendaki, jika Allah memberi kita pertolongan untuk melakukan rencana kita. Dengan kesadaran ini, kita dapat bersyukur dan tidak sombong jika berhasil dalam melaksanakan suatu rencana. Jika kehendak kita gagal, maka kita sadar bahwa kehendak Allah yang berjalan, dan kita harus terima dengan penuh ridla dan sabar. Jadi insya Allah bukan kata-kata tanpa arti, bahkan sebagai alasan untuk ingkar janji, melainkan kata-kata orang beriman pada al muqtadir.
7. Ikhlas yang murni. Segala sesuatu kebaikan (yang Allah ridla), yang kita lakukan adalah bermakna ibadah jika kita lakukan dengan ikhlas. Ikhlas berarti kita lakukan sesuatu karena Allah dan dengan tujuan cukup untuk mendapatkan ridlo Allah semata. Lawan ikhlas adalah riya’ yaitu melakukan sesuatu karena ingin disaksikan manusia. Beberapa contoh yang salah adalah; kita bekerja karena untuk menghidupi keluarga. Kita makan karena untuk sehat dan kuat. Kita minum obat dengan keyakinan obat menyembuhkan. Waspadalah dengan niat yang salah, karena menjadikan terputusnya amal kita di sisi Allah. Di sinilah pentingnya kita berhenti sejenak untuk menata hati dan meluruskan niat sebelum kita melakukan sesuatu, sehingga suatu pekerjaan menjadi lahan beramal shaleh untuk mendapatkan ridla Allah SWT.
8. Jihad bersungguh-sungguh. Walladzina jahadu fina lanahdiyannahum subulana (QS 29: 69). Jihad berarti bersungguh-sungguh berjuang. Berjuang untuk semakin dekat kepada Allah SWT, dengan menjalankan kewajiban-kewajiban dan menambah dengan yang disunahkan. Untuk menjalankan kewajiban dan yang disunahkan memang tidak mudah karena hawa nafsu senantiasa mengganggu. Oleh karena itu perjuangan yang paling besar adalah perjuangan untuk memerangi hawa nafsu. Hawa nafsu hanya mengajak kepada sesuatu yang nistha. (QS. Al Jatsiyah: 22) Ia juga menjadi sumber segala kejahatan. Banyak makan, banyak tidur dalam rangka ngujo hawa nafsu adalah menghambat perjalanan ma’rifat seorang hamba pada Allah SWT. Malam hendaknya digunakan sebagai kesempatan untuk bermunajad kepada Allah SWT, sedikit tidur (Qs. Al Furqon 63-65).
9. Yang menjadi hijab (penghalang) antara kita dengan Allah adalah kondisi batiniyah kita sendiri. Yakni kotornya hati Karena nifak dan fusuq. Beberapa kotoran hati adalah kikir, ujub, riya’, menggunjing, dengki, gila jabatan dan gila harta, kuatir sengsara dan susah, menjilat yang kaya dan menjauhi si miskin, panjang angan-angan, sempit dada, dan hilang malunya.
10. Untuk menyucikan hati diantaranya dengan mujahadah dan riyadlah. Keduanya dilakukan dengan tujuan mengusir sifat-sifat sayatin, dan hayawaniyah di hati manusia.
11. Dengan bekal hati yang bersih insya Allah kita dapat menerapkan tauhid yang sebenarnya dalam kehidupan kita sehari-hari. Dan berikutnya perjalanan kita untuk mendekat Allah SWT.(Ma’rifatullah) akan terbuka. Insya Allah.
12. Wallahu a’lam bish showab.

Rabu, 23 Desember 2009

MENJADI DIRI BERNURANI

Berusaha Menjadi Diri Yang Bernurani
agus wahyu t.

• Kembali kita bersyukur bahwa kita mesih diberi kesempatan Allah untuk menyelesaikan melaksanakan peritah Allah yakni shiam Ramadhan, karena banyak sekali keutamaan yang Allah berikan di bulan tersebut. Diantaranya : Mendapatkan ampunan akan dosa-dosa yang pernah kita lakukan. Dengan ampunan-Nya berarti Allah mensucikan kita sehingga keadaan diri kita kembali suci (‘idul fitri). Kembali seperti keadaan bayi ketika dilahirkan. Semua orang tidak ada yang benci kepada bayi., sekalipun bayi itu anak dari orang yang ia benci. Semua menyayangi bayi. Mengapa demikian ? Karena bayi dalam keadaan bersih suci (fitri), tidak memiliki kesalahan dan dosa.. Lebih dari itu dalam Al Qur’an disebutkan bahwa setiap bayi lahir berarti ia telah mengikat janji untuk menyembah kepada Allah SWT. “Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan anak adam dari sulbi mereka, dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka; “Bukankah aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab betul kami menjadi saksi….” ( QS 7: 172). Itu artinya bahwa bayi itu dalam keadaan ber-tauhid (mu’min) sekalipun orang taunya bukan seorang mukmin. Rasulullah SAW dalam haditsnya bersabda: “Setiap bayi dilahirkan dalam kondisi fitroh, orang tuanya yang menjadikan ia Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”.
• Dalam perkembangannya fitrah itu kemudian menjelma menjadi hati nurani. (hati : jawa, nurani (Arab) : bercahaya), yang berarti hati yang bercahaya. Hati nurani ini punya sifat selalu membela kepada kebenaran, terlepas apapun agamanya, dari mana sukunya ia tetap mencintai kebenaran.
Contohnya ketika seseorang melihat TV, ada sinetron, dalam sinetron ada peran penjahat dan orang yang benar yang menjadi korbannya, pasti semua orang membenci penjahat tersebut, serta membela si korban yang benar.
• Dan hati itu bersifat jujur, tidak mau berbohong. Contohnya ketika kita melakukan kebohongan pasti hati kita mengingatkan “heh kok bohong”. Ketika kita benar-benar salah dalam berhubungan dengan orang lain, sekalipun mulut kita mengatakan kita benar, hati kecil kita pasti megaku tetap salah. Hati tidak pernah bohong.
• Hati inilah yang dapat merasakan kita dekat dengan Allah, merasakan khusuknya shalat, merasakan tenangnya ketika kita berdzikir, membaca qur’an, bertahajut bersujud kepada Allah SWT, hati yang menghadirkan kita sehingga seolah olah berhadap-hadapan (bermuwajahah) dengan Allah Azza wa jalla.. Hati yang demikian akan menjadi pemandu, penuntun, penunjuk jalan bagi pemiliknya dalam menjalani hidup sehari-hari, sehingga kita terhindar dari terjerumus masuk kedalam jurang dosa.
• Namun demikian hati ini juga laksana cermin yang jika dalam keadaan suci dan bersih akan tampak jelas segala sesuatu dihadapannya, dan jika ia kotor penuh noda menjadi suram dan tidak terlihat apa yang dihadapnnya. Semua perbuatan maksiat kepada Allah, akan berakibat hati kita bernoda, semakin banyak dan biasa kita berbuat maksiat maka semakin hitam kelam hati., hingga tidak lagi kelihatan olehnya apa yang dihadapanya. Si pemilik hati ini tidak lagi mengenal salah dan benar, baik dan buruk , makruf atau mungkar, haram atau halal, apa lagi mengenal Tuhan. Orang ini biasanya bilang “mana tuhan, sejak dulu hingga sekarang belum pernah ketemu” Pada hal sebenarnya siapa yang menciptakan kita, menggerakkan jantung kita hingga tak pernah berdegup, paru-paruhingga dapat bernafas, darah yng tek henti-hentinya mengalir di seluruhbagian tubuh, memberi kita rizqi, ketenangan, dan nikmat-nikmat yang lain? Hati yang demikian ini semakin keras membatu sehingga tidak lagi mampu menerima dan mendengarkan kebenaran, inilah hati yang tertutup (Arab : kafir). Dalam (QS. 2 : 6-7) Sesungguhnya orang-orang kafir itu sama saja bagi mereka kamu beri peringatan ataupun tidak, mereka tidak akan beriman. Allah telah

mengunci mati hati dan pendengaran mereka, penglihatan mereka tertutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.” Orang yang hampir sama tetapi menampakkan keimanan secara lahiriah saja dalam hatinya sebenarnya kuruf inilah yang disebut orang munafik.(QS. Al Baqarah : 8-10). Hati bisa putih, bersih dan suci, tetapi bisa juga tertimbun noda, hitam dan membatu.
• Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda “Dalam diri anak Adam ada segumpal darah, jika ia baik maka akan baik seluruh tubuh dan prilakunya, dan jika ia jahat maka akan jahat pula seluruh tubuhnya, ketahuilah bahwa segumpal darah itu adalah hati.”
• Di sinilah pentingnya kita selalu menjaga hati kita agar tidak terkena noda. Jika kita terlanjur berbuat salah dan dosa maka taubatlah pintunya.
• “Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah degan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam surga. (QS. Attahrim :8). Sebanyak apapun dosa yang kita bawa insya Allah akan diampuni allah ketika kita taubat yang sebenarnya. Terkenal sekali kisah orang yang banyak berbuat dosa hingga membunuh 99 orang datang kepada seorang pendeta ……
• Selain itu semua ibadah dan kebaikan-kebaikan yang kita lakukan sesudah itu akan menjadi penghapus dosa itu, demikian juga segala bentuk ibadah yang kita lakukan seperti puasa Rasulullah SAW bersabada “ Barang siapa yang berpuasa karena iman dan pesnuh kesadaran (perhitungan) akan diampuni segala dosanya yang telah lalu” Demikian juga sholat yang kita lakukan, Rasulullah pernah mengumpamakan sholat dengan sungai di depan rumah seseorang, sehingga ia daat mandi 5 X sehari, tanya Rasulullah “apakah masih akan tersisa noda dalam tubuh seseorang itu ? “tentu tidak ya Rasul, itulah perumpamaan sholat 5 waktu. (HR. Bukhori Muslim)
• Itulah karenanya semua ibadah yang kita lakukan hakekatnya bukan untuk Allah. Allah yang Maha Kuasa, tidak butuh sholat kita, semua manusia ini taat Allah tetap dalam Maha Kuasaanya, semua orang ini durhaka kepada Allah Allah juga tetap dalam Maha Kuasanya. Ibadah, ketaatan, yang kita lakukan adalah untuk kita sendiri.

• “ Dan barang siapa yang bersyukur maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri , dan barang siapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha kaya lagi Maha Mulia.”(QS. Anml 27 : 40)
• Kekhilafan yang berkaitan dengan hak orang lain, maka kewajiban kita untuk mohon maaf kepada yang bersangkutan. Dengan saling memaafkan maka akan berguguranlah dosa-dosa kita dengan sesama. Inilah kiranya yang mendorong diadakannya tradisi halal bi halal di dalam masyarakat kita. Jadi halal bi halal tidak lain dimaksudkan agar kesucian yang kita peroleh dapat semakin sempurna, karena dimaafkan oleh sesama. Selain itu tentu ada hikmah yang lain.
• Kebersihan hati tersebut selanjutnya akan menjadi penuntun bagi pemiliknya untuk mememiliki akhlak yang mulia (akhlaqul karimah) dalam kehidupan sehari-hari.
• Sehingga mestinya orang yang rajin beribadah akan santun dengan sesama, bahkan dengan hewan atau tumbuhan sekalipun.
• Semoga Allah memberika hidayah, inayah dan taufiq dan pertolongannya kepada kita sehingga kehidupan kita ini semakin baik dan dinaungi oleh barokah dan rahmat Allah SWT. Amin.