SELAMAT DATANG DI BLOG PERUBAHAN SOSIAL

"Makkah adalah realitas empiris, Madinah adalah realitas ideal, jarak keduanya adalah amanah perubahan"

Rabu, 20 Oktober 2010

ILMU FILSAFAT DAN AGAMA :

Sebuah pendahuluan

Bagi manusia indera adalah alat untuk mengetahui diri dan lingkungan alamnya. Hasil dari kerja mengetahui ini disebut pengetahuan. Kegiatan mengetahui dengan indera meliputi warna dengan mata, bentuk dengan meraba, suara dengan telinga, rasa dengan lidah, dan bau dengan hidung. Sesuai dengan kemampuannya, indera hanya dapat menangkap atau mencandra sisi paling luar dari suatu fenomena. Seperti terhadap daun yang berwarna hijau, mata hanya menangkap seberapa luas permukaan daun itu, warna, hingga keadaan permukaannya. Mata tidak tahu apa fungsi dari warna hijau bagi tumbuhan itu. Apa saaja isi atau kandungan biologisnya. Indera hanya bisa merasakan dingin atau panasnya cuaca, tanpa mau tahu apa hubungannya dengan awan yang bergelantungan. Mata hanya dapat melihaat kilatan cahaya petir di tengah gelapnya malam ketika hendak turun hujan tanap mengetahui apa sebab dan akibatnya. Indera hanya melihat turunnya air dari langit, yang diawali dengan adanya awan, dan sebelumnya panasnya suhu udara, dan sebelumnya uap air lautan yang terkena sinar panas matahari. Indera tidak dapat memahami apa lagi menemukan hubungan antar fakta air turun, awan, suhu udara panas, uap air, cahaya dan samudra luas tersebut.
Hubungan antar fakta satu dengan fakta lain baru dapat dipahami ketika manusia menggunakan akal pikirannya. Pikiran manusia mampu memahami apa yang terkandung dalam fakta, serta bagaimana hubungan antar fakta tersebut. Akal pikiran dapat memecahkan satu fakta berdasar unsur-unsurnya. Seperti misalnya hijau daun yang kemudian ia disebut clorofil. Apa itu clorofil? Ternyata ia adalah zat yang berguna untuk merubah unsur hara tanah yang dikirim oleh akar untuk dijadikan zat lain yang berguna bagi pertumbuhan suatu tumbuhan. Akal dapat memahami air hujan, yang tidak lain adalah unsur dari awan yang semula adalah uap air dari samudra. Akal dapa memahami mengapa uap air kemudian berkumpul menjadi awan, yang kemudian dalam keadaan tertentu air itu harus jtuh dalam bentuk titik-titik air hujan. Hubungan antar fakta dalam suatu fenomena secara sistimatis itulah yang kemudian disebut ilmu pengetahuan.
Bagi seorang dokter yang nota bene memiliki ilmu kesehatan manusia, dapat menangkap dan memahami hubungan antar gejala yang dialami seorang pasiennya. Seperti hubungan antara perut yang sakit dengan muntah-muntah, dan panas badannya. Guna memperjelas diagnosanya dokter perlu informasi latar belakang sebelum seorang pasien muntah dan sakit perut. Dan setelah mendiagnosa berdasar banyak fakta tersebut ia akan dapat memberikan obat yang tepat terhadap pasien tersebut. Hubungan antar fakta itulah bagian dari ilmu kesehatan atau ilmu kedokteran. Memahami satu fakta dengan memecah dan menghubungkannya kembali, kemudian membuat kesimpulan itulah pekerjaan akal pikiran, yang kemudian disebut dengan berpikir. Berpikir dengan menggunakan suatu metode secara konsisten, dibantu dengan alat yang sangat teliti akan sampai kepada kesimpulan yang falid. Jika metode itu metode ilmiah maka hasinya adalah ilmu pengetahuan, atau yang popular dengan sain.
Akal-pikiran menjadikan manusia hidup lebih mudah dan juga lebih maju serta sejahtera. Karena dengan ilmu pengethaun yang ditemukannya, manusia dapat lebih memanfaatkan sumber daya baik alam maupun manusia secara lebih efisien. Namun sayang bukan kemajuan dan kesejahteraan saja yang didapat oleh manusia dengan ilmu-pengetahuannya tersebut, tetapi juga mala petaka yang tidak kalah mengkawatirkan kehidupan. Misalnya adlah adanya krisis energy yang mengancam, krisis lingkungan alam yang terkenal dengan global warming (pemanasan global). Dan yang tidak kalh dahsyatnya adalah krisis social dan moral manusia itu sendiri. Siapa dan apa yang salah?
Kembali kita pada pengetahuan manusia. Ternyata pengetahuan manusia tidak terhenti pada pengetahuan dan ilmu-pengetahuan saja. Terhadap fenomena hujan misalnya, mausia masih bertanya. Mengapa hujan selalu terjadi dengan siklus yang konsisten mulai dari cahaya yang mengenai samudra, awan, dan hujan. Mengapa fakta-fakta tersebut begitu rapi dan konsisten? Adakah hokum yang mengatur. Jika ada apa hokum yang mengatur itu? Mungkinkah aturan itu ganda atau tunggal. Apakah aturan itu bersifat tetap dan mencakup semua yang ada di alam raya ini? Siapa yang menciptakan hokum alam itu? Mungkinkah Sang Pencipta itu bodoh atau sangat pandai luar biasa, sehingga dapat membuat hokum yang ditaai baik karena suka rela maupun terpaksa oleh seluruh alam? Mungkinkah Sang Pencipta itu tunggal atau banyak? Apakah alam ini diciptakan dengan tujuan atau penciptaan iseng, kebetulan, tanpa tujuan? Ratusan pertanyaan yang nota bene di balik kenyataan empiris masih dapat dibuat oleh manusia yang memang punya watak ingin tahu itu. Dan jawaban itu tidak lagi diruang ilmu-pengetahuan, melainkan di luar dan di balik ilmu pengtetahuan yang faktawi itu. Pengetahuan jenis inilah yang disebut dengan filsafat.
Pengetahuan filsafati adalah pengetahuan manusia yang murni hasil dari pemberdayaan akal-pikirannya. Ia tidak berada di ruang fakta dan fenomena. Ia berusaha membuat pertanyaan dan menjawabnya untuk hal-hal yang berada di balik fakta dan fenomena. Jawaban atas pertanyaan-pertanyayan filsafat itu misalnya adalah hokum alam yang membuat fakta-fakta siklus hujan berjalan konsisten. Sang penciptalah yang menciptakan hokum alam tersebut. Ia ada dengan tidak diciptakan. Karena kalau ia diciptakan maka ia tak lebih adalah makluq. Ia harus ada dan “bekerja” tidak terbatas dengan hokum alam, karena hokum alam saja ia yang menciptakannya. Ia ada sebelum hokum alam ada. Ia bebas sebebas-bebasnya, tidak ada apapun yang mengikatnya. Tentu ia maha pintar. Dan jawaban-jawaban seterusnya….. adalah jawaban akal pikiran terhadap pertanyaan-pertanyaan filsafati di atas. Memang jawaban itu tidak ada yang menjamin kebenarannya secara mutlak. Kebenaran yang dihasilkannya bersifat relative. Kemungkinan besar benar. Kebenaranya tidak terbatas untuk sebagian manusia. Semua manusia mengakuinya sekalipun bukan kebenaran mutlak. Kebenaran relative itu karena ia hasil pikiran manusia yang terbatas kemampuannya.
Sang Maha Pencipta itulah Allah SWT. Sebagai sang pencipta ia memiliki kharakter yang tidak terbatas yang disebut al asma’ul husna. Ar Raman, ar rahim, al Malik, al Qudus, al salam …….al shabr adalah sifat dan nama-nama Nya yang mulia. Dunia ini diciptakan dari air dalam enam masa. Kehidupan dunia ini sangat sementara dibanding dengan kehidupan pasca dunia (akherat). Kehidupan akherat itu ada dua macam yakni surga dan neraka. Sebelum itu ada yang disebut alam barzakh (kubur). Dan seterusnya inilah yang disebut ajaran agama.
Jika filsafat adalah murni pemberdayaan akal-pikiran manusia, maka agama adalah ajaran yang berasal dari tuhan. Sebagai ajaran yang berasal dari Tuhan maka kebenrannya bersifat mutlaq. Ia diberikan oleh Tuhan yang kerjanaya tidak dapat dibatasi oleh akal, tetapi agama juga diperuntukkan pada amanusia yang berakal. Oleh kerena itu agama tidak semuanaya masuk akal ajarannya. Ada yang rasional dan ada yang di atas rasio (metha rasional). Shalat subuh misalnya mengapa harus dua rakaat. Kan ia dilakukan pada saat pagi rsionalnya mesti lebih banyak dari shalat siang. Tetapi mengapa ia hanya dua rakaat? Mengapa gerakan shalat seperti itu, memakai takbir, rukuk dan sujud? Mengapa tidak menggunakan jalan di tempat, atau seperti gerakan yoga? Mengapa wudlu dari hadats karena buang angin, tetap saja harus menyiram anggota wudlu biasa –bukan tempat keluarnyaa angin? Itulah diantara contoh bahwa tidak semua ajaran agama itu rasional.
Ajaran agama memang tidak hanya dapat dipahami dengan akan. Jauh sebelum akal memehaminhya, hati manusia sudah harus meyakininnya. Keyakinan itulah yang disebut dengan iman. Yang sangat menentukan keberagamaan memang bukan akal manusia tetapi hati. Akal, dan indera hanya pembuat penjelasannya dan juga penguatnya, tetapi yang pokok adalah hatinya. Hati lah yang menentukan baik-buruknya manusia dengan agamanya itu. Bukan akalnya, bukan inderanya. Kebenaran agama adalah kebenaran yang bersifat mutlak, karena ia diciptakan oleh Dzat Yang Mutlak. Berhadapan dengan kebenaran agama inilah manusia harus bersifat pasrah, sami’na wa atha’na (kami dengar dan kami taat). Tuhan yang Maha Meengetahui, lebih tahu untuk berbuat bagaimana, dan apa saja, dalam rangka mengatur alam semesta ini, termasuk manusia. Sedang kita serba terbatas, samai hal-hal yang terdekat dengan kita saja kita tidak mengetahui. Contohnya, kita tidak tahu persis berpa ukuran air mata kita, apa saja komposisinya, berapa kali mata kita berkedip, apa saja bagian mata kita sehingga kita dapat melihat. Baru-baru ini saja setelah ada kemajuan iptek menusia mulai mengetahui itu semua. Sedang Tuhan sudah mengetahui persis jauh sebelum itu semua diciptakan.
Bagian yang mana dari agama yang bersifat mutlak? Bagian agama yang berasal dari Tuhan lah yang mutlak. Dalam islam, bagian itu yakni teks al Qur’an dan al Sunah Shahehah. Keduanya baik itu materi maupun proses penulisan dan penyeleksian dalam sejarah diakui sangat ketat dan dapat dipertanggung jawakannya. Jika al Qur’an jelas asalnya dari Allah, tetapi bagaimana dengan al Sunah? Al Sunah shahehah adalah perkataan, perbuatan dan ketetapan Nabi Muhammad SAW. Sedang apapun yang dikatakan, dilakukan, dan ditetapkan Nabi, tidaklah dari diiri beliau sendiri, tetapi semata-mata karena Allah SWT (in huwa illa wahyu yuha). Keduanya sejajar dalam arti jika al Qur’an hanya meminta kita melakukan sesuatu, tanpa menjelaskan bagaimana sesuatu itu harus dilakukan, maka al Sunah mengajarkan bagaimana sesuatu iatu harus dilakukan. Seperti sholat. Al Qur’an hanya menyuruh manusia untuk menegakkan shalat. Sedang Nabilah yang member contoh pelaksanaan shalat. Demikian juga dengan hal-hal lin terutama beribadah langsung kepada Allah (ibadah mahdhah).
Ilmu pengetahuan dan filsafat serta agama berada dalam gradasi yang berbeda. Pengetahuan biasa berada dalam gradasi terendah, kemudian disusul oleh ilmu pengetahuan, kemudian filsafat dan yang paling tinggi adalah agama. Agama terutama Islam, tidak mempertentangkan antara ilmu pengetahun, filsafat dan agama. Sekalipun ada wilayah agama yang belum terjangkau oleh akal. Tetapi islam mendorong umatnya u ntuk menggunakan akalnya dalam menjalani hidup bahkan juga dalam memahami agamanya.
Allahu a’lam.

ISLAM : TUHAN, MANUSIA, DAN ALAM

Islam adalah agama yang sempurna. Ajarannya meliputi seluruh kehidupan manusia tanpa terkecuali, dari bangun tidur manusia hingga tidur kembali di atur oleh Islam. Tidak salah jika ada yang mengatakan bahwa Islam adalah agama sekaligus peradaban. Di mana ada komunitas muslim di situ akan terekspresi kehidupan yang khas dengan budaya dan peradaban. mengapa demikian? dari mana seorang muslim mendapatkan legitimasi dalam berislam sehingga mengekspresikan kehidupan yang khas tersebut? Untuk menjawab dua pertanyaan tersebut kita perlu mengawali pembahasan mengenai al Qur’an.
Al Qur’an sebagai mukjizat terbesar Nabi Muhammad SAW
Hampir semua ulama berpendapat bahwa al Qyr’an merupakan mukjizat terbesar Nabai SAW. Di mana kemukjizatan itu dapat dibuktikan. Sementara adaa yang menjawab kemukjizatan al Qur’an terletak dalam sastranya. Terhadap jawaban ini, pantaslah kita ajukan pertanyaan, jika benar kemukjizatan alQur’an terletak pada nilai sastranya, bisa diajukan pertanyaan seberapa urgen kesusasteraan dalam kehidupan, sehingga Allah meletakkan kehebatan al Qur’an dalam hal sastra? Pada hal kehidupan akan tetap tidak terganggu tanpa sastra. Ada juga yang mengajukan jawaban kemukjizatan alQur’an pada keterjagaannya. Memeang al Qur’an merupakan peninggalan sejarah yang sangat terjaga otensitasnya, namun apakah di dalam otensitasnya itu kehebatan al Qur’an. Bukankah otensitas hanya merupakan efek dari kehebatan al Qur’an yang lain. Missal al Qur’an tidak berguna, mungkin akan lebih mudah hilang atau rusak. Lalu dalam hal apa kemukjizatan al Qur’an?
Ada sebagian ulama –Ibnu Taimiyah-- yang berpendapat bahwa kemukjizatan al Qur’an terletak pada kemampuan al Qur’an membentuk dan membangngun suatu pandangan dunia yang khas. Pandangan dunia (wordl view) adalah cara pandang terhadap kehidupan yang kemudian melahirkan prilaku baik pada individu maupun komunitas. Orang menyebut pandangan dunia juga dengan idiologi, yakni idea dan logos –doktrin –keyakinan terhadap ide-ide dasar tentang kehidupan yang diyakni kebenarannya untuk kemudian membentuk cara pandang tentang kehidupan masa depan, masa kini dan masa lalu, berikut methode, strategi pencapaian masa depan tersebut. Bagaimana al Qur’an membangun idiologi?
Fazlurrahman membantu kita untuk memahami alQur’an sebagai suatu sistim ajaran yang lengkap (komprehenship). Dalam bukunya The Major Themes Of Qur’an yang diterjemahkan menjadi Thema Pokok Al Qur’an, ia menjelaskan kehebatan alQur’an terletak pada tujuan diturunkannya kitab suci tersebut yakni untuk membentuk masyarakat yang etis dan egalitarian. Hal mana tanpak pada kritik Qur’an pada disekulibrium ekonomi masyaarakat Arab saat itu. Dengan kata lain alQur’an adalah kitab petunujk bagi manusia untuk merealisasikan masyarakat ideal. Hal tersebut menurut Rahman terbukti dari pembahasan al Qur’an pada beberap thema pokok kehidupan manusia, mulai dari pembahasan akan Tuhan, manusia, alam, Nabi-rasul, Syaithan, dan hari akhir.
Mengapa thema-tehma tersebut disebut thema pokok? Ya, karena kehidupan dengan segala kompleksitasnya sebenarnya termasuk dalam kerangka interaksi antar thema tersebut. Yakni manusia dengan Tuhannya, manusia dengan sesamanya dan manusia dengan alam, hingga keadaan hidupnya di akherat.
Pertanyaan lainnya adalah, mengapa al Qur’a sebagai kitab petunjuk bagi manusia, tidak member petnjuk praktis bagi manusia untk melakukan ini dan tidak melakukan itu (hal-hal teknis dalam hisup)? Ya. Inilah kehebatan al Qur’an.
Dengan menjelaskan berbagai hal mendasar dan pokok dalam kehidupan itu, al Quran mampu membejadi petunjuk bagi manusia sepanjang masa. Karena kehidupan manusiaa secara universal sebenarnya tidak keluar dari interaksi antar Tuhan, manusia dan alam tersebut. Kecuali itu, jika al Qur’an menjelaskan hal-hal teknis dalam hidup, maka bukan kitab suci namanya tetapi kitab petunjuk dan teknis (juknis) kehidupan. Jika iitu yang dilakukan maka ada masanya al Qur’an menjadi kurang relevan dengan persoalan nyata, dan kehilangan universalitasnya.
Al Qur’an : Tuhan
Mengapa tuhan begitu penting untuk dijelaskan dalam alQur’an. Atau dengan pertanyaan lain, mengapa Tuhan merasa penting untuk menjelaskan dirinya pada menusia? Ya, penjelasan itu begitu penting, karena di dalam sejarahnya manusia tidak pernah bisa secara pasti memahami siapa Tuhan dalam hidup ini. Bagaimanapun hebatnya manusia menggunakan pikirannya untuk mendapatakan kepastian siapa sebenarnya tuhan pasti akan gagal. Pikiran manusia bersifat relative. Sehingga hasil pemikirannya baik itu berupa ilmu pengetahuan maupun filsafat akhirnya juga relative. Mungkinkah kehidupan didasarkan pada kebenaran yang bersifat relative?
Demikian juga tentang Tuhan, semua aspek kehidupan alam semesta ini bergantung terhapak persepsi tentang tuhan. Orang Jawa misalnya memiliki persepsi tentang Tuhan seperti dalang sedangkan manusia dan alam seperti wayang. Dalang adalah pemilik mutlak atas wayang serta perannya dalam sebuah lakon. Sebaliknya wayang tidak berdaya sedikiitpun terhadap dirinya sendiri. Dari persepsi yang demikian lahirlah watak manusia Jawa yang fatalistic, pasif, dan serba menyerah. Jika kebetulan ia benar, baik, dan beruntung, itu karena kehendak Yang Mnaha kuasa yakni Dalang. Sebaliknya jika mereka salah, buruk dan rugi juga karena dalang, yang harus dibawakan dengan sikap nrimo ing pandum. Agama yang fatalistic inilah agama yang dipersepsikan sebagai candu pembuat mabuk oleh Karl mark dalam idiologi komunismenya.
Pada sejarah hidup kemanusiaan, pencarian manusia akan siapa Tuhan sudah lama dilakukan dengan pikirannya. Namun ujung dari pencaqrian itu dapat kita saksikan jauh dari kenyataan akan Tuhan itu sendiri. Manusia primitive menemukan Tuhan sebagai kayu besar, batu besar, dan berhala yang mereka ciptakan sendiri. Semua itu mereka yakini memiliki roh yang berkemampuan di atas kemampuan manusia. Hubungan antara Tuhan dengan manusia adalah hubungan yang bersifat tidak rasional bahkan takhayul dan khurafat. Semua misteri ketidakmampuan manusia adalah wilayah kerja Tuhan. Semua yang selain itu adalah wilayah kehidupan manusia bukan wilayah Tuhan. Ketika misteri itu tidak ada maka sudah tidak ada lagi wilayah Tuhan.
Para filosof, berusaha menemukan Tuhan dengan pikirannya. Di ujung pemikirannya akhirnya mereka mengenal Tuhan walaupun juga jauh dari realitas Tuhan itu sendiri. Capaian tertinggi kaum filosof tentang Tuhan menye butkan bahwa tuhan sebagai prima causa (pencipta pertama). Akal juga dapat sampai pada pemahaman bahwa prima causa mestilah tunggal, bebas dari hokum alam, unik, dan lebih dari yang lain.
Filosof Barat, Rene Descartes berkesimpulan bahwa Tuhan telah mati (The god is deat). Kaitannya dengan alam menurut Descart, tuhan memang benar telah menciptakan alam dengan segal hukumnya, namun kemudian alam dibiarkannya kerja sendiri, sebagaimana jam yang telah diciptakan kemudian ditinggalkan oleh penciptanya, sementara jam itu bekerja dengan hukumnya. Pemahaman akan tuhan tersebut tentu tidak keluar dari idiologi Materialisme Barat. –keyakinan bahwa ala mini pusatnya benda, manusia dan tuhan adalah subordinan dari benda tersebut.
Atas dasar persepsi tentang tuhan yang demikian maka Barat telah lama (sejak kebangkitannya abad 16) telah kehilangan realitas diluar dunia yang materialistic. Barat telah lama kehilangan realitas metafisika; Tuhan, akherat, dan aspek bathiniah manusia. Dengan ini Barat kehilangan landasan akar segala nilai. Benar, salah, baik-buruk, untung rugi dipahami sebagai fungsi dari benda belaka. Inilah akar masalah dari peradaban Barat.
Melihat kebunutan manusia dalam mencari tuhannya itulah, maka Tuhan dengan maha pemurahnya kemudian mengutus para Nabi dan Rasul untuk menyampaikan risalahnya kepada umat manusia. Inti dari semua risalah tersebut yaitu monotheisme. Suatu keyakinan bahwa tuhan itu satu, tiada bersekutu dengan apapun. Jika filsafat hanya dapat meraba dalam ketidak pastian tentang siapa tuhan, maka agama melalui teks-teksnya secara tegas, serta rinci, kemudian menjelaskan siapa Tuhan yang sebenar-benarnya.
Al Qur’an hadir dengan penuh ketegasan menjelaskan tentang siapa Tuhan. Dialah Allah, tiada tuhan kecuali dia.Tidak beranak, serta tidak diperanakkan. Tempat bergantung segala sesuatu. Dia Yang maha Pengasih, Maha penyayang, Maha adil, Maha mengetahuia yang ghaib dan yang nyata,Yang awal, Yang Akhir, yang lahir, Yang bathin, Maha pintar, Maha Pemberi Rizki, Maha Pencipta, Maha emberi bentuk, Maha pengampun, Maha Penerima Taubat, Maha Kuasa atas segala sesuatu, Maha Merajai, Maha Suci, maha menyelamatkan, … dan seterusnya.
Dari persepsi tentang Tuhan yang demikian akan lahirlah manusia yang aktif, sekaligus, pandai menyerahkan diri kepada Nya, bertanggung jawab, hati-hati, memiliki visi tentang masa depan yang jelas, optimis, kuat tidak mudah putus asa, adil, berani, dan rendah hati…… bukan penghamba materi, tetapi peduli dengan lingkungan dan alam, dan sebagainya. Inilah gambaran tentang manusia sempurna (insane kamil).
Qur’an : manusia
Setelah persepsi tentang Tuhan tuntas dijelaskan oleh al Qur’an, kemudian alQur’an juga menjelaskan tentang manusia. Sebenarnya siapa itu? Dari apa ia diciptakan, sebagai apa mereka hidup, kemana setelah hidup di dunia ini selesai? Bagaimana ukuran kemuliaannya, mengapa ia cenderung berbuat praktis?
Seperti dalam menejelaskan tentang Tuhan, Al Qur’an menjelakan tentang manusia juga sangat detil dan pasti. Penjelasan itu bertebaran dalam berbagai ayat al Qur’an. Seperti; manusia itu terbuat dari sari pati tananh, kemudia air mani. Ia dapat menjadi makluq yang paing mulai, sebaliknya dapat menjadi makluk yang paling nestha. Mulia karena iman dan amal shalehnya. Dia diciptakan untuk menjadi wakil Allah di muka bumi, guna memakmurkan alam raya ini. Ia juga berpredikat sebagai hamba Allah.
Kecuali sebagai individu, dengan segala keinginan dan pertanggung-jawabannya, manusia juga sebagai makluk social, yang harus peduli pada orang lain dan masyarakat lingkungannya. Bermula dari laki-laki kemudia wanita, kemudian keduanya saling mencintai, akhirnya berkeluarga dan bermasyarakat. Semua manusia itu sederajat kecuali dalam ketaqwaannya. Hubungan antar manusia harus dalam kerangka tolong menolong dalam kebaikan dan taqwa, bukan dalam dosa dan permusuhan.
Manusia sebagai hamba dan khaalifah Allah harus melakukan peran-peran pemakmur dunia dan penegak kebenaran dan keadilan. Dua peran tersebut akan menjadikan manusia hidup dengan kemuliaan dan kebehagiaan baik di dunia ini maupun nanti di akherat.
Jika sudah sampai saatnya, manusia itu harus kembali menghadap Tuhannya, di akherat. Mereka tidak membawa apapun tentang dunia kecuali amal perbuatannya. Tidak ada amal perbuatannya kecuali akan dipertanggung-jawabkannya di kehidupan abadi (akherat). Jika hassil catatan amalnya baik maka manusia akan masuk surge, tetapi jika amal buruknya yang mendominasi maka nerakalah tempatnya. ….dan seterusnya.
Perspektif al Qur’an tentang manusia itu menjawab tuntas siapa sebenarnya manusia, dari mana asalnya, dan hendak kemana akhirnya. Sehingga tidak ada keraguan lagi, manusia mesti bagaimana bersikap dengan Tuhannya, bergaul dengan sesamaanya, harus berperan seperti apa, ia akan menjadi pejuang atau pecundang, pahlawan apa penjahat, kesemuanya sudah begitu jelas, al Qur’an menjadi landasan hidup.
Al Qur’an : alam
Kehidupan berlangsung di alam, kecuali bersama tuhan, manusia, serta juga alam. Sebagai pandangan hidup yang lengkap alQur’an juga menjelaskan tentang apa sebenarnya alam. Apa tujuan penciptaannya. Bahkan Qur’an juga menjelaskan bagaimana manusia mesti bergaul dengan alam.
Alam diciptakan Tuhan dalam enam masa, dengan bermula dari air. Matahari, bumi, bintang dan bulan masing-masing beredar sesuai dengan qadarnya. Semua alam ini bertasbih memuji tuhannya menurut bahasanya masing-masing, baik dengan suka rela atau terpaksa.
Penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang adalah tanda-tanda akan kebesaran tuhan. Semuanya diciptakan untuk menusia. Namun demikian dalam mengggunakannya manusia tidak boleh rakus dan merusak. Semuaa alam semesta ini diciptakan dengan keseimbangan dan keharmonisan. Jika ada kerusakan di darat maupun di laut badlaah karena ulah tangan manusia.
Alam ini bagi manusia sekaligus sebagai amanah yang harus dipertanggung-jawabkan nanti di akherat, sekaligus debagai ujian dan cobaan. Apakah manusia akan puas dengan dunia ini, sehingga ia menjadi ingkar pada Tuhannya serta kehidupan abadinya nanti di akherat? Ataukan ia akan menjadikan dunia ini sebagai lading tempat bertanam untuk dipetik hasilnya nanti?
Kahidupan dunia tidak lain sebagai sendau-gurau dan main-main. Kehidupan akheratlah kehidupan yang amat serius. Itulah karenanya manusia tidak boleh terlena oleh dunia yang penuh dengan perhiasan ini. Dengan pemberian Tuhan berupa ala mini mestinya manusia akan semakin bersyukur pada tuhannya, bukan justru membuatnya lupa dengan tuhannya. Alam sedemikian lengkap diciptakan untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Penjelasan di atas adalah sebagian dari penjelasan alQur’an tentang tiga tema pokok kehidupan (Tuhan, Manusia, dan Alam). Tidak cukup sampai di situ beberapa thema penting lain juga dijelaskan dalam al Qur’an. Misalnya penjelasan tentang akherat, nabi dan rasul, serta syetan. Semua penjelasan tersebut sebagai satu kesatuan integral yang akan menghadirkan konstruksi berpikir yang sedemikian lengkap tentang kehidupan.
Konstruksi berpikir demikian pada paro pertama abad VI M telah diimplementasikan secar konkrit oleh Nabi Muhammad SAW beserta para shahabatnya ketika itu berikut generasi-generasi sesudahnya. Hingga akhirnya pada beberapa abad sesudah itu dari komunitas muslim itu terukir satu peradaban indah baik secara spiritual, intelektual, dan fisikal. Satu peradaban yang paling maju dan paling beradab sepanjang sejarah kemanusiaan. Jika decade belakanagan ini peradaban tersebut mengalami kemunduran dan terkalahkan oleh peradaban lain adalah persoalan lain yang harus dikaji kembali leterbelakang dan penyebabnya. Namun setidaknya pandangan hidup yang dibengun oleh landasan alQur’an bukanlah pandangan hidup yang yang bersifat utopia (baca: mimpi).
Allahu a’lam.

FENOMENA MENGULANG BANJIR NABI NUH

Kehadiran Nabi Nuh adalah dalam rangka memberi peringatan kepada umatnya, untuk tidak durhaka kepada Allah SWT. Tetapi ternyata ajakan itu disikapi dengan penentangan ummat nabi Nuh. Hanya ada sedikit umat Nabi Nuh yang mentaatinya. Sebagai hukuman atas kedurhakaan umat Nabi Nuh tersebut, Allah datangkan banjir bandang yang sangat dahsyat walau pada musim kemarau. Di tengah terjangan banjir itu, hanya sedikit yang bisa selamat. Mereka terdiri dari orang-orang yang beriman, patuh dan mentaati seruan Nuh, dan berbagai jenis binatang. Adzab yang tidak kalah dahsyat juga pernah Allah timpakan kepada kaum Madyan, Ad dan Tsamud, yang juga dikenal durhaka kepada Allah. Lalu apa yang penting, dari kisah banjir banadang tersebut dalam konteks kekinian?
Ketika kebanyakan umat manusia sudah tidak lagi memperhatikan seruan Allah, bahkan meremehkan , menistakan, dan menentang ajaran-ajaran suci ilahi, apakah tidak mungkin akan datang adzab serupa dengan banjir nabi Nuh itu. Atau jangan-jangan banjir itu sekarang sudah terjadi?
Secara objektif, kita harus mengatakan bahwa manusia modern sekarang dan mendatang menunjukkan trend yang tidak lagi peduli dengan seruan ilahi. Agama dipahami sebagai peninggalan klasik yang hanya memiliki nilai pariwisata. Dilestarikan bukan sebagai ajaran yang hidup dalam keseharian manusia modern, melainkan sebagai barang yang antic, menghibur, dan sedikit bersejarah. Ya… modern dibuat dan dikesankan bertolak belakang dengan nilai dan ajaran agama. Jika modern berarti maju, sesuai nalar sehat, dan efisien. Maka agama berarti sebaliknya, terbelakang, penuh mitologi, bodoh, dan sia-sia. Jika ada sedikit orang yang peduli pada nilai dan ajaran agama, adalah fenomena aneh, lucu, dan tentu menjadi bahan tertawaan. Sebaliknya, berbagai prilaku penyimpangan norma dan ajaran agama sudah dianggap sebagai hal biasa. Pencurian, perzinaan, miras, hingga pembunuhan, menjadi hal yang lumrah, bahkan tidak jarang yang justru dilegalkan. Jika sudah demikian adanya, tidak aneh rasanya jika adzab dari langit akan atau sudah datang.
Analog dengan banjir Nabi Nuh, banjir yang sama mengancam kehidupan manusia itu saat ini sudah datang. Betapa tidak, kebudayaan jahiliyah yang dikemas sangat menarik nafsu manusia, melalui agen-agen distribusinya bisa masuk ke semua ruang, tanpa terbendung sedikitpun. Agen itu adalah kotak kecil yang bernama HP, pesawat televise, computer dan sebagaainya. Melalui berbagai perangkat tersebut, budaya jahiliah telah mengepung semua orang tanpa menyisakan ruang yang aman. Bukankah fenomena demikian adalah banjir? Tidak ada orang yang bisa menanggung keselamatan orang lain berhadapan dengan banjir tersebut, walaupun ia seorang ustadz, kiai, bahkan juga nabi, sebagaimana tidak diijinkannnya Nabi Nuh, untuk menyelamatkan istri dan seorang anaknya sendiri yang akhirnya tewas menjadi korban bajir besar saat itu.
Dan tidak jauh berbeda dengan banjir Nuh, yang dapat menyelamatkan hidup manusia adalah kapal Nuh. Ciri kapal itu adalah aneh ketika dibuat tetapi mampu mengantisipasi kemungkinan yang akan terjadi di masa depan. Sama anehnya dengan Nuh yang dicibir umatnya ketika ia membuat kapal di tengah musim kemarau, yang ternyata menjadi satu-satunya alternative untuk menolong kehidupan manusia menghadapi banjir bandang. Ciri yang lain, adalah penerimaan tanpa syarat oleh siapapun yang ingin selamat atas nilai, ajaran, perintah dari langit, bagaimanapun tidak masuk akalnya perintah langit tersebut. Dengan kata lain, kalau sudah berhadapan dengan otoritas langit, orang yang ingin selamat harus jauh-jauh membuang keangkuhannya, dan secepatnya menggantinya dengan sikap rendah hati atau tawadlu’. Ciri yang lain lagi adalah sikap teguh pendirian dalam menyiapkan kapal sehingga layak dipakai. Tanpa sikap istiqomah tersebut, maka proyek penyelamatan kehidupan akan gagal dilaksanakan, atau tidak selesai dilaksanakan.
Melihat bentuk empiric atas banjir yang terjadi, kapal itu berupa bisa berupa apa saja, mulai dari syair lagu, berlembar-lembar teori, grup music, kelompok pengajian, hingga keluaarga, sekolah (lembaga pendidikan), organisasi kemasyarakatan, paguyuban, kumpulan arisan, dan apapun. Prinsipnya adalah lembaga yang dibangun dalam rangka menegakkan kalimat ilahi.
Menghadapi musibah yang sudah di depan mata tersebut kaum muslimin banyak yang masih berpangku tangan belum menyadari besarnya ancaman. Bahkan ikut menggali lubang cekungan yang siap untuk mempercepat datangnya arus banjir. Sayang orang modern yang sudah terlanjur berotak rasionalisme dan berinderaa empirisme terlalu tuli untuk mencandra datangnya banjir.
Wallahu a’lam.

ISLAM DAN SEKULERISME

Sekulerisme adalah istilah bentukan dari speculum yang berarti masa kini, saat ini. Kemudian menjadi kata sekuler sebagai kata dasar dengan kata jadian sekulerisasi, dan sekulerisme. Sekulerisasi adalah satu proses menyekulerkan. Memasakinikan hal-hal yang sudah lama. Meng up date semua yang dianggap telah exspaired. Yang dianggap tantangan bagi sekulerisasi adalah nilai-nilai, dogma-dogma, yang dianggap universal ingenerik. Padahal nilai atau dogma tersebut sudah kadaluwarso, sehingga perlu untuk direformasi atau kaau perlu didekonstruksi untuk dapat diaktualisasikan pada realitas saat ini. Untuk itu sekulerisasi menyaratkan profanisasi nilai-nilai dan dogma-dogma yang dianggap sacral. Sekulerisasi pada dataran ini sejajar dengan desakralisasi dogma dan nilai, bahkan agama.
Tentang politik misalnya, dalam pandangan sekulerisasi, politik adalah masalah sekuler yang harus selalu direformasi sehingga sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan saat ini. Politik adalah masalah sekuler bukan masalah agama. Dogma dan teks agama dalam masalah politik tidak ada gunanya. Di sinilah politisasi agama sudah bukan saatnya lagi. Karena politik adalah masalah dunia yang sangat profane tidak sacral. Pada dataran ini kita dapat memahami statemen Cak Nur yang berbunyi, “Islam Yes Politik Islam No”. Kita juga dapat memahami pendapat Gus Dur bahwa assalamu’alaikum sama dengan selamat pagi. Dan juga pendapat siapapun yang mensekulerkan hal-hal yang memang bersifat sekuler.
Jika demikian penjelasan tentang sekulerisasi, apa dan mengapa orang meributkannya. Apa yang salah bahwa politik adalah persoalan dunia, saat ini, serta profane. Nurchlis berpendapat menyeret masalah politik ke dalam agama alih-alih memberikan kontribusi terhadap agama yang terjadi justru membuat citra agama menjadi buruk. Sebagai contohnya adalah banyaknya partai agama yang dalam sepak terjangnya justru bertentangan dengan nilai atau teks-teks agama, akibatnya justru merugikan agama itu sendiri. Demikian juga dalam bidang yang lain orang menjadi bertanya politisasi agama apakah tidak memanfaatkan agama untuk tujuan politik?
Sekulerisme dalam sejarah
Melihat penjelasan tetang sekulerisasi di atas memang tampak bahwa tidak ada masalah dalam sekulerisasi. Bahkan sekulerisasi sangat diperlukan oleh agama sehingga nilai-nilai agama dapat diaktualisasikan di dataran realitas empiris. Dengan sekulerisasi agama, agama menjadi fungsional dalam kehidupan. Namun pertanyaannya adalah sampai sebatas mana sekulerisasi dalam agama bias dilaksanakan. Sekulerisasi terhadap format keagamaan dengan tetap mensakralkan nilai-nilainya, tampaknya mmemang baik adanya, tetapi jika sekulerisasi dilakukan tanpa batas, seperti bacaan sholat dan adzan yang harus dibahasa nasionalkan, wudlu yang sama dengan sekedar mandi kecil, nikah yang penting sama-sama senang untuk berhubungan suami istri sekalipun tanpa ijab dan kabul, dan sederet masalah yang lain… tampaknya harus dipikir ulang. Terlebih jika cara kita memahami suatu kata harus disertai kontek sejarah di mana kata itu lahir. Sekuler, sekulerisasi, dan sekulerisme bagaimanapun harus dipahami dalam konteks sejarahnya.
Sekulerisme adalah paham yang lahir dari rahim peradaban Barat, tepanya pasca renaissance Eropa pada abad XV. Renaissance yang bermakna pencerahan kembali lahir sebagai bentuk dekonstruksi intelektual dan kemudian social-politik atas dominasi pihak gereja terhadap kaum ilmuwan, kaum capital dan rakyat jelata. Gereja yang saat itu juga menjadi penguasa intelektual, social dan politik memaksakan kebenaran-kebenaran dogma gereja kepada masyarakat. Sebagaimana biasanya penguasa yang tanpa control menjadi tirani yang tidak menerima kritik. Kritik dipahami sebagai ancaman yang karenanya harus dimusuhi dan dimusnahkan.
Pada episode ini di Eropa, khususnya Spanyol berddiri megah sebuah peradaban yang maju baik secara spiritual, intelektual maupun fisikal. Peradaban itu lahir dari spiritualisme dan intelektualisme islam, yang dibangun oleh salah seorang keturunan Bani Umayah yang selamat dkarena melarikan diri dari kejaran pasukan Bani Abbasiah. Kemajuan peradaban Islam ditandai oleh kemajuan sain dan teknologi, mulai dari ilmu astronomi, kedokteran, kimia, arsitektur, dan tentu saja ilmu agama. Beberapa tokohnya ada Ibn Rusyd atau yang lebih dikenal dengan Averos dalam buku-buku sejarah Barat. Ibnu Rusyd dikenal kecuali ahli dalam agama juga ilmuwan induktivis. Ia mengenalkan kebenaran sebagai hasikk dari percobaan empiris. Diantaranya kepada Ibnu Rusyd inilah banyak mahasiswa Eropa belajar ilmu pengetahuan empiiris di universitas Cordova di Spanyol. Di tengah kegelapan peradaban Barat, hasil pembelajaran dari universitas Cordova inilah sebuah cahaya pencerahan mulai menyebar di Eropa.
Diantara ilmuwan Eropa itu adalah Galileo yang kemudian bertori bahwa mataharilah yang sebenarnya sebagai pusat alam semesta yang kemudian terkenal dengan teori Helio sentrisme. Teori tersebut tentu saja bertentangan dan kemudian dipahami sebagai pembangkangan terhadap teori Gereja yang telah ada sebelumnya yang menyebut bahwa bumi adalh pusat semesta yang kemudian dikenal Geosentrisme. Banturan anatara sang penguasa yakni gereja dengan ilmuwan yang power loss berakibat dijatuhkannya hokum bakar hidup-hidup kepada Profesor Galileo. Peristiwa hukuman yang sangat tidak manusiawi itu kemudian menyentak kesadaran ilmuwan-ilmuwan Eropa untuk membebaskan ilmu mereka dengan dogma agama (baca: Gereja).
Pada bagian lain sejarah Eropa sedang terjadi permusuhan hebat anatara Raja Frederic dan ratu Isabel yang sedang memimpin pasukan Kristen untuk merebut kembali Spanyol dari tangan penguasa muslim Bani Umayah di Eropa. Ternyata perang tersebut membawa serta sentiment keagamaan,Islam dan Kristen, dan berlangsung sekitar 3 abad. Tentu perang selama itu menjadi sangat wajar jika membentuk mental kebencian Kristen kepada umat dan agama Islam, dan khususnya kaum ilmuwan Barat. Hingga kahirnya semakin kuatlah tembok pembatas anatar ilmu pengetahuan yang nota bene karya para ilmuwan dengan agama. Pemisahan secara intelektual ilmu dari agama ini, dalam datara social-budaya melahirkan satu paham yang disebut sekulerisme. Dari sudut pandang sejarah ini, akhirnya sekulerisme adalah sebuah gerakan intelktual dan budaya yang sengaja memisahkan kehidupan manusia menjadi dua bagian. Bagian yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya, dan alam semesta adalah wilayah ilmu pengetahuan, sedang wilayah agama adalah wilayah yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Kedua wilayah itu haram hukumnya untuk saling bertemu, berkait, dan mencampuri. Tidak ada agama, Tuhan, akherat, benar, dan baik yang bersifat keagamaan di dalam wilayah ilmu pengetahuan.

TRANSFORMASI DARI KARYAWAN MENJADI PEJUANG

Merenungkan keberadaan Muhammadiyah yang sudah berusia satu abad ini adalah suatu keharusan, sehingga langkah Muhammadiyah pada abad kedua dan seterusnya akan lebih membawa maslahah terhadap keberadaan ummat dan bangsa yang telah memilikinya selama ini.
Keberadaan Muhammadiyah selama ini identik dengan kebesaran adalah tidak dapat dipungkiri. Ada ratusan ribu TK ABA di seentero Indonesia, ribuan SD-MI, SMP-MTs, SMA-MA, hingga ratusan PT adalah fakta yang tidak terbantahkan bahwa Muhammadiyah adalah organisiasi besar. Di lapangan social ada ribuan panti yatim-piatu, rumah jompo, lembaga zakat, dan ribuan poliklinik ibu dan anak hingga rumah sakit. Membuat semakin lengkap Muhammadiyah dalam berkiprah di bumi pertiwi ini.
Penulis sebagai bagian dari penumpang yunior dalam gerbong Muhammadiyah menjadi terngguk-angguk secara tidak sadar, ketika di forum muktamar satu abad yang lalu menyaksikan sendiri betapa di bumi Papua Muhammadiyah menjadi bagian dari ormas keagamaan yang gigih berjuang mengibarkan bendera dakwah amar makruf nahi mungkarnya. Adalah betul-betul informasi yang sangat faktawi dan aktual bagi penulis. Boleh jadi hal itu, karena Papua adalah daerah terjauh dari tempat berpusatnya para media. Begitu juga dengan kiprah muhammadiyah di bumi Menado Sulawesi Utara. Nusa Tenggara Timur, bahkan juga di Bali. Beberapa daerah ini notabene mayoritas non muslim.
Oleh karena itu tidak terlalu salah jika para ahli sejarah membuat teori sejarah bahwa Islam (baca: Muhammadiyah) adalah salah satu dari lem perekat kesatuan dan persatuan Indonesia. Sungguh besar jasa Muhammadiyah bagi negeri ini. Karena itu sikap mengecilkan Muhammadiyah oleh siapapun, kecuali jelas bukan didasarkan oleh pemahaman yang utuh dan mendalam terhadap sejarah bangsa ini, juga tindakan yang gegabah dan membahayakan eksistensi bangsa ini saat ini dan di masa-masa yang akan datang.
Namun demikian, bukan sebuah lembaga yang baik jika para aktivis Muhammadiyah berpuas dengan fakta-fakta kebesarannya tersebut. Bahkan bisa jadi terhentilah langkah kebesarannya jika para aktovisnya terninabobokan oleh langgam kebesaran Muhammadiyah ya ng memang merdu dibawakan oleh para pengamat dalam dan luar negeri tersebut.
Sebagai seorang pelaku pendidikan (belum pantas bergelar pejuang, karena kata ini kayaknya lebih pantas diberikan kepada para pahlawan pendidikan), penulis agak terusik oleh orang-orang yang menyuarakan kebesaran Muhammadiyah di atas. Karena bagi penulis, Muhammadiyah adalah (meminjam istilah Emha Ainun najib) sebuah gerakan social yang keberadaannya sejak awal diabdikan untuk sebuah nilai agama yang sangat mendasar yakni Tauhid. Apresiasi mendalam Kiai Dahlan terhadap surat al Maun adalah sangat melegenda dalam sejarah awal keberadaaan Muhammadiyah.
Penulis mendapatkan pemahaman bahwa Muhammadiyah adalh lahir di atas dasar tauhid dan untuk memuliakan tauhid itu juga. Karena itu, ketika kita ingin mengukur kesuksesan Muhammadiyah sudah barang tentu bahwa inti ukurannnya adalah tauhid juga. Mengukur kesuksesan dan kebesaran Muhammadiyah hanya dengan ukuran jumlah/kuantitas amal usahanya adalah sebuah ketidaktepatan. Seperti mengukur kebesaran gajah dengan standar ukuran banyaknya gelintir bulu atau warnanya, bukan beratnya. Mengukur kehebatan seekor macan dengan jumlah kuku-kukunya, bukan keharmonisan bentuk tubuhnya dengan doreng bulu-bulu kulitnya.
Mengukur keberhasilan dan kebesaran Muhammadiyah tentu lebih tepat jika menggunakan ukuran sejauhmana amal-amal usahanya memberikan andil dalam perjuangan li i’la likalimatillah (meninggikan dan memuliakan kalimah ilahi). Banyaknya amal usaha Muhammadiyah yang mengalami disfungsi li I’la likalimatillah adalah sesuatu yang mubadzir, alias sia-sia dan membuang-buang asset persyarikatan. Ukuran kebesaran lembaga amal usaha Muhammadiyah bukan pada hal-hal yang bersifat kuantitatif. Jika kita hendak mengukur sebuah sekolah hendaknya bukan seberapa tinggi gedungnya, seberapa banyak muridnya, seberapa besar sumbangan dananya tidap bulan pada organisasi. Tetapi hendaknya menggunakan ukuran-ukuran kualitatif yang tauhidi.
Untuk sebuah amal usha sekolah ukran yang mestinya dipakai adalah sejauhmana relevansi visi dan missi sekolah terhadap upaya mentauhidkan ummat dan bangsa Indonesia. Bagaimana dasar, warna dan orientasi dari kurikulumnya? Sudahkan kohern dengan upaya menegakkan tauhid menurut pemahaman Muhammmadiyah? Bagaimana dalam proses-proses KBMnya? Sudahkah KBM sekolah memungkinkan semua peserta didiknya terkena sibghah tauhid. Seperti apa pola berpikir guru atau ustadznya? Materialistik kah? Apakah kinerja mereka seperti kinerja seorang karyawan ataukah sebagai seorang pejuang. Terakhir adalah alumninya. Apakah alumsi dari sekolah-sekolah Muhammadiyah memiliki karakter seorang mukmin yang intelektual, atau intelektual yang mukmin? Mukmin intelektual sangat berbeda dengan intelektual mukmin. Jika yang pertama, mukmin menjadi core dan jati dirinya, sedang intelektual adalah subordinanya. Pada yang kedua sebaliknya, intelektual adalah core dan jati dirinya, sedanngkan mukmin adalah sub ordinannya.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut harus dijawab dengan jujur oleh semua jajaran pimpinan baik pada yayasan maupun pimpinana amal usaha Muhammadiyah. Jawaban jujur tersebutlah yang menyatakan dengan konsisten dan apa adanya tentang keberadaan Muhammadiyah. Dengan kata lain, marilah kita berimajenasi, jika Kiai Dahlan saat ini masih ada, Ia akan menangis karena prihatin akan sepak terjang Muhammadiyah saat ini, atau tersenyum karena merasa lega dengan eksistensi Muhammadiyah.
Marilah ukuran-ukuran kualitas tauhidiyah sebuah amal usaha Muhammadiyah tersebut sedikit kita kupas, sehingga jelas bagi kita.
Visi dan Missi sebuah sekolah adalah merangkum arah gerak sekolah itu hendak berkiprah. Oleh karena itu visi dan missi sekolah Muhammadiyah hendaknya menjadikan tauhid sebagai nilai dasarnya. Nilai tauhid adalah nilai yang mendasari kehidupan dunia hingga akherat. Jika sekolah Muhammadiyah memiliki visi dan missi yang terbatas pada nilai duniawi semata, itu artinya sekolah itu akan berkiprah di dunia ini saja. Sekolah yang demikian tidak lebih dari senuah lembaga pendidikan sekuler. Yang pada gilirannya nanti akan melahirkan alumni bukan Abdullah (hamba Allah), tetapi abidunya (hamba dunia). Perlu ditegaskan di sini bahwa, tidak ada alasan karena visi dan missi tauhidnya sekolah Muhammadiyah menjadi terbelakang atau membelakangi dunia. Sebaliknya, dengan visi dan missinya itu sekolah Muhammadiyah memiliki akar kuat di dalam bumi tauhid, dan sekaligus berdahan dan berranting professionalitas dan akademik. Kuat kayakinannya terhadap Allah dan akherat sekuat itu pula tradisi profesionalitas dan kecerdasan akademiknya.
Selanjutnya, dasar dan orientasi kurikulumnya. Kurikulum adalah kelanjutan dari visis dan missi dari sebuah amal usaha berupa lembaga pendidikan. Jika visis adalah ruh, jiwa dan hatinya, maka kurikulum adalah sistim saraf otak dan pola pikirnyanya. Seluruh sistim KBM adalah perwujudan dari konsep yang disebut dengan kurikulum. Karena itu, alih-alih menyususn kurikulum sekolah secara sembarangan, bahkan ada sekolah yang mengkopi paste kurikulum sekolah lain, sekolah Muhammadiyah hendaknya menggodok kurikulumnya sehingga memungkinkan visi dan missi sekolah menjadi terwujud dalam sistim pendidikan sehaari-hari.
KBM adalah inti kegiatan di sekolah. KBM adalah proses dimana sang ustadz atau guru mengajarkan suatu ilmu kepada murid-muridnya. Ada dua inti dalam KBM ini yakni ilmu dan metodologi dedaktik nya. Ilmu jelas dalam pandangan tauhid tidak mengenal dikhotomi umum dan agama. Ilmu adalah satu dari Allah, yang diajarkan baik melalui ayat qauliyah maupun fenomena kanuniyah. Qauliyah harus menjadi term of reference bagi manusia untuk memahami dan menggauli alam. Sehingga imam Ghazali mengelompokkan hokum belajar ilmu menjadi dua. Qauliyah hokum mempelajarinya wajib ain, sedang kauniyah wajib kifayah. Hokum itu dapat dipahami bahwa. Setiap muslim wajib mempelajari ilmu agama sebelum ia mempelajari bagian dari ilmu kauniyah yang ia pilih. Sebelum seseorang mengambil fakultas kedoteran ia terlebih dahulu harus membekali diri dengan ilmu agama. Untuk sekolah tingkat dasar dan menengah hendaknya membekali semua siswanya dengan kedua ilmu tersebut (qauliyah dan kauniyah) secara seimbang.
Metode mengajar juga sangat penting bagi seorang guru. Ilmu harus masuk dalam arti dapat dipahami dan dipraktekkan oleh murid secara efektif. Karena itu metode yang tepat, alat peraga yang lengkap sangat penting utnuk dimiliki dan digunakan oleh seorang ustadz. Ustadz adalah ustad, bukan hanya seorang guru. Ia memiliki tanggung jawab untuk menyampaikan kedua ilmu itu secara tidak terpisah kepada siswanya. Dalam proses pembelajaran tesebut harus dijamin murid mendapatkan proses pembelajaran yang memungkinkan mereka kena sibghah tauhid. Inilah karenanya, ustadz kecuali berkewajiban mengajar juga harus mendidik. Di luar kelas, seorang ustadz harus membimbing muridnya untuk memiliki kepribadian yang berkarakter islami.
Tidak salah pepatah Jawa yang mengatakan bahwa guru memiliki makna digugu lan ditiru. Jika menginginkan murid memiliki kepribadian yang berwatak islami, maka ustdaz yang berkepribadian dan berkarakter utama (baca: Islami) merupakan prasarat. Karena ustadz, tidak hanya bertugas mengajar, tetapi harus menjadi contoh bagi murid. Ustad juga harus menjadi pemandu untuk jalannya pembiasaan diterapkannya nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari di sekolah. Jika sebuah sekolah menggunakan paradigm Islam dalam pendidikannya, mestinya menggunakan empat pendekatan dalam pendidikannya; pertama, pembelajaran. Factor ini sangat penting karena pengajaran menjadikan hilangnya kebodohan digantikan dengan pencerahan, kjahiliah menjadi madaniyah, buta menjadi melihat, tidak tahu menjadi tahu. Kegagalan dalam proses pembelajaran ini maka berakibat fatalnya proses pendidikan untuk pencerhan. Kedua, pembiasaan. Pendidikan yang bermakan juga pembentukan sikap, prilaku dan kepribadian peserta didik tidak bisa hanya mengandalkan pengajaran, tetapi lebih dari itu juga diperlukan pembiasaan aplikasi nilai dalam kehidupan sehari-hari siswa. Nilai dapat terinternalisasi menjadi kepribadian yang berkarakter jika nilai dibiasakan diterapkan dalam kehidupan nyata. Tidak cukup sebuah nilai dipahami atau dimengerti saja untuk sampai menjadi karakter. Perlu proses mencoba, biasa, dan akhirnya menjadi. Ketiga, keteladanan. Bagi usia anak usia 6-12 tahun keteladanan adalah cara paling efektif untuk mengerti, memahami, dan menggunakan suatu aturan, tatakrama, dan nilai. Alih-alih anak-anak, orang dewasa saja metode keteladanan ini masih digunakan. Nilai, aturan dan tata karma adlah sesuatu yang sangat abstrak. Sesuatu yang abstrak sulit untuk diketahui, dikenal, dipahami seseorang, apalagi anak-anak. Perubahan nilai abstrak menjadi konkrit inilah yang menjadkan anak mudah mengikuti suri teladan mereka. Keempat adalah mendoakan. Metode keempat ini juga sangat penting. Dalam Islam, Nabi saja yang memang diangkat untuk menyiarkaan risalah agama adalah bukan berkapasitas member petunjuk. Allah lah dzat satu-satunya yang memeiliki hak dan wewenang prerogative untuk memberikan petunjuk. Dengan petunjuk (hidayah) maka seseorang dapat hidup dengan nilai syariat Islam. Disinalh kepribadian yang berkarakter akan lahir.
Jika kita perhatikan keempat metode di atas, maka guru, ustadz, hingga professor menempati posisi yang sangat signifikan dan strategis untuk keberhasilan pendidikan dalam makna pembentukan kepribadian peserta didik. Jika gur itu sendiri tidak berkepribadian yang berkarakter, mana mungkin merekada dapat menjadi pemandu bagi murid-murid mereka. Mereka yang mengajar, mereka yang membiasakan nilai pada murid-murinya, mereka yang menadi contoh bagi merid, dan terakhir mereka juga yang mestinya juga mendoakan murid-murid mereka. Di sini memang guru dituntut menjadi manuisa yang super. (insane kamil).
Guru yang super adalah guru yang memiliki etos kerja yang bagus, dan guru yang pula harus kerja secara professional. Guru harus berbeda dengan pekerja. Guru harus menjadi pejuang. Jika karyawan, dasar etos kerjanya adalah uang, upah, honor, dan sejenisnya, lain sama sekali adalah seorang pejuang. Etos kerja seorang pejuang didasarkan pada tauhid itu sendiri. Pejuang bekerja karena semata mengharap mendapatkan keridlaan Allah
Allahu a’lam.