SELAMAT DATANG DI BLOG PERUBAHAN SOSIAL

"Makkah adalah realitas empiris, Madinah adalah realitas ideal, jarak keduanya adalah amanah perubahan"

Rabu, 20 Oktober 2010

ISLAM DAN SEKULERISME

Sekulerisme adalah istilah bentukan dari speculum yang berarti masa kini, saat ini. Kemudian menjadi kata sekuler sebagai kata dasar dengan kata jadian sekulerisasi, dan sekulerisme. Sekulerisasi adalah satu proses menyekulerkan. Memasakinikan hal-hal yang sudah lama. Meng up date semua yang dianggap telah exspaired. Yang dianggap tantangan bagi sekulerisasi adalah nilai-nilai, dogma-dogma, yang dianggap universal ingenerik. Padahal nilai atau dogma tersebut sudah kadaluwarso, sehingga perlu untuk direformasi atau kaau perlu didekonstruksi untuk dapat diaktualisasikan pada realitas saat ini. Untuk itu sekulerisasi menyaratkan profanisasi nilai-nilai dan dogma-dogma yang dianggap sacral. Sekulerisasi pada dataran ini sejajar dengan desakralisasi dogma dan nilai, bahkan agama.
Tentang politik misalnya, dalam pandangan sekulerisasi, politik adalah masalah sekuler yang harus selalu direformasi sehingga sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan saat ini. Politik adalah masalah sekuler bukan masalah agama. Dogma dan teks agama dalam masalah politik tidak ada gunanya. Di sinilah politisasi agama sudah bukan saatnya lagi. Karena politik adalah masalah dunia yang sangat profane tidak sacral. Pada dataran ini kita dapat memahami statemen Cak Nur yang berbunyi, “Islam Yes Politik Islam No”. Kita juga dapat memahami pendapat Gus Dur bahwa assalamu’alaikum sama dengan selamat pagi. Dan juga pendapat siapapun yang mensekulerkan hal-hal yang memang bersifat sekuler.
Jika demikian penjelasan tentang sekulerisasi, apa dan mengapa orang meributkannya. Apa yang salah bahwa politik adalah persoalan dunia, saat ini, serta profane. Nurchlis berpendapat menyeret masalah politik ke dalam agama alih-alih memberikan kontribusi terhadap agama yang terjadi justru membuat citra agama menjadi buruk. Sebagai contohnya adalah banyaknya partai agama yang dalam sepak terjangnya justru bertentangan dengan nilai atau teks-teks agama, akibatnya justru merugikan agama itu sendiri. Demikian juga dalam bidang yang lain orang menjadi bertanya politisasi agama apakah tidak memanfaatkan agama untuk tujuan politik?
Sekulerisme dalam sejarah
Melihat penjelasan tetang sekulerisasi di atas memang tampak bahwa tidak ada masalah dalam sekulerisasi. Bahkan sekulerisasi sangat diperlukan oleh agama sehingga nilai-nilai agama dapat diaktualisasikan di dataran realitas empiris. Dengan sekulerisasi agama, agama menjadi fungsional dalam kehidupan. Namun pertanyaannya adalah sampai sebatas mana sekulerisasi dalam agama bias dilaksanakan. Sekulerisasi terhadap format keagamaan dengan tetap mensakralkan nilai-nilainya, tampaknya mmemang baik adanya, tetapi jika sekulerisasi dilakukan tanpa batas, seperti bacaan sholat dan adzan yang harus dibahasa nasionalkan, wudlu yang sama dengan sekedar mandi kecil, nikah yang penting sama-sama senang untuk berhubungan suami istri sekalipun tanpa ijab dan kabul, dan sederet masalah yang lain… tampaknya harus dipikir ulang. Terlebih jika cara kita memahami suatu kata harus disertai kontek sejarah di mana kata itu lahir. Sekuler, sekulerisasi, dan sekulerisme bagaimanapun harus dipahami dalam konteks sejarahnya.
Sekulerisme adalah paham yang lahir dari rahim peradaban Barat, tepanya pasca renaissance Eropa pada abad XV. Renaissance yang bermakna pencerahan kembali lahir sebagai bentuk dekonstruksi intelektual dan kemudian social-politik atas dominasi pihak gereja terhadap kaum ilmuwan, kaum capital dan rakyat jelata. Gereja yang saat itu juga menjadi penguasa intelektual, social dan politik memaksakan kebenaran-kebenaran dogma gereja kepada masyarakat. Sebagaimana biasanya penguasa yang tanpa control menjadi tirani yang tidak menerima kritik. Kritik dipahami sebagai ancaman yang karenanya harus dimusuhi dan dimusnahkan.
Pada episode ini di Eropa, khususnya Spanyol berddiri megah sebuah peradaban yang maju baik secara spiritual, intelektual maupun fisikal. Peradaban itu lahir dari spiritualisme dan intelektualisme islam, yang dibangun oleh salah seorang keturunan Bani Umayah yang selamat dkarena melarikan diri dari kejaran pasukan Bani Abbasiah. Kemajuan peradaban Islam ditandai oleh kemajuan sain dan teknologi, mulai dari ilmu astronomi, kedokteran, kimia, arsitektur, dan tentu saja ilmu agama. Beberapa tokohnya ada Ibn Rusyd atau yang lebih dikenal dengan Averos dalam buku-buku sejarah Barat. Ibnu Rusyd dikenal kecuali ahli dalam agama juga ilmuwan induktivis. Ia mengenalkan kebenaran sebagai hasikk dari percobaan empiris. Diantaranya kepada Ibnu Rusyd inilah banyak mahasiswa Eropa belajar ilmu pengetahuan empiiris di universitas Cordova di Spanyol. Di tengah kegelapan peradaban Barat, hasil pembelajaran dari universitas Cordova inilah sebuah cahaya pencerahan mulai menyebar di Eropa.
Diantara ilmuwan Eropa itu adalah Galileo yang kemudian bertori bahwa mataharilah yang sebenarnya sebagai pusat alam semesta yang kemudian terkenal dengan teori Helio sentrisme. Teori tersebut tentu saja bertentangan dan kemudian dipahami sebagai pembangkangan terhadap teori Gereja yang telah ada sebelumnya yang menyebut bahwa bumi adalh pusat semesta yang kemudian dikenal Geosentrisme. Banturan anatara sang penguasa yakni gereja dengan ilmuwan yang power loss berakibat dijatuhkannya hokum bakar hidup-hidup kepada Profesor Galileo. Peristiwa hukuman yang sangat tidak manusiawi itu kemudian menyentak kesadaran ilmuwan-ilmuwan Eropa untuk membebaskan ilmu mereka dengan dogma agama (baca: Gereja).
Pada bagian lain sejarah Eropa sedang terjadi permusuhan hebat anatara Raja Frederic dan ratu Isabel yang sedang memimpin pasukan Kristen untuk merebut kembali Spanyol dari tangan penguasa muslim Bani Umayah di Eropa. Ternyata perang tersebut membawa serta sentiment keagamaan,Islam dan Kristen, dan berlangsung sekitar 3 abad. Tentu perang selama itu menjadi sangat wajar jika membentuk mental kebencian Kristen kepada umat dan agama Islam, dan khususnya kaum ilmuwan Barat. Hingga kahirnya semakin kuatlah tembok pembatas anatar ilmu pengetahuan yang nota bene karya para ilmuwan dengan agama. Pemisahan secara intelektual ilmu dari agama ini, dalam datara social-budaya melahirkan satu paham yang disebut sekulerisme. Dari sudut pandang sejarah ini, akhirnya sekulerisme adalah sebuah gerakan intelktual dan budaya yang sengaja memisahkan kehidupan manusia menjadi dua bagian. Bagian yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya, dan alam semesta adalah wilayah ilmu pengetahuan, sedang wilayah agama adalah wilayah yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Kedua wilayah itu haram hukumnya untuk saling bertemu, berkait, dan mencampuri. Tidak ada agama, Tuhan, akherat, benar, dan baik yang bersifat keagamaan di dalam wilayah ilmu pengetahuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar