SELAMAT DATANG DI BLOG PERUBAHAN SOSIAL

"Makkah adalah realitas empiris, Madinah adalah realitas ideal, jarak keduanya adalah amanah perubahan"

Rabu, 20 Oktober 2010

TRANSFORMASI DARI KARYAWAN MENJADI PEJUANG

Merenungkan keberadaan Muhammadiyah yang sudah berusia satu abad ini adalah suatu keharusan, sehingga langkah Muhammadiyah pada abad kedua dan seterusnya akan lebih membawa maslahah terhadap keberadaan ummat dan bangsa yang telah memilikinya selama ini.
Keberadaan Muhammadiyah selama ini identik dengan kebesaran adalah tidak dapat dipungkiri. Ada ratusan ribu TK ABA di seentero Indonesia, ribuan SD-MI, SMP-MTs, SMA-MA, hingga ratusan PT adalah fakta yang tidak terbantahkan bahwa Muhammadiyah adalah organisiasi besar. Di lapangan social ada ribuan panti yatim-piatu, rumah jompo, lembaga zakat, dan ribuan poliklinik ibu dan anak hingga rumah sakit. Membuat semakin lengkap Muhammadiyah dalam berkiprah di bumi pertiwi ini.
Penulis sebagai bagian dari penumpang yunior dalam gerbong Muhammadiyah menjadi terngguk-angguk secara tidak sadar, ketika di forum muktamar satu abad yang lalu menyaksikan sendiri betapa di bumi Papua Muhammadiyah menjadi bagian dari ormas keagamaan yang gigih berjuang mengibarkan bendera dakwah amar makruf nahi mungkarnya. Adalah betul-betul informasi yang sangat faktawi dan aktual bagi penulis. Boleh jadi hal itu, karena Papua adalah daerah terjauh dari tempat berpusatnya para media. Begitu juga dengan kiprah muhammadiyah di bumi Menado Sulawesi Utara. Nusa Tenggara Timur, bahkan juga di Bali. Beberapa daerah ini notabene mayoritas non muslim.
Oleh karena itu tidak terlalu salah jika para ahli sejarah membuat teori sejarah bahwa Islam (baca: Muhammadiyah) adalah salah satu dari lem perekat kesatuan dan persatuan Indonesia. Sungguh besar jasa Muhammadiyah bagi negeri ini. Karena itu sikap mengecilkan Muhammadiyah oleh siapapun, kecuali jelas bukan didasarkan oleh pemahaman yang utuh dan mendalam terhadap sejarah bangsa ini, juga tindakan yang gegabah dan membahayakan eksistensi bangsa ini saat ini dan di masa-masa yang akan datang.
Namun demikian, bukan sebuah lembaga yang baik jika para aktivis Muhammadiyah berpuas dengan fakta-fakta kebesarannya tersebut. Bahkan bisa jadi terhentilah langkah kebesarannya jika para aktovisnya terninabobokan oleh langgam kebesaran Muhammadiyah ya ng memang merdu dibawakan oleh para pengamat dalam dan luar negeri tersebut.
Sebagai seorang pelaku pendidikan (belum pantas bergelar pejuang, karena kata ini kayaknya lebih pantas diberikan kepada para pahlawan pendidikan), penulis agak terusik oleh orang-orang yang menyuarakan kebesaran Muhammadiyah di atas. Karena bagi penulis, Muhammadiyah adalah (meminjam istilah Emha Ainun najib) sebuah gerakan social yang keberadaannya sejak awal diabdikan untuk sebuah nilai agama yang sangat mendasar yakni Tauhid. Apresiasi mendalam Kiai Dahlan terhadap surat al Maun adalah sangat melegenda dalam sejarah awal keberadaaan Muhammadiyah.
Penulis mendapatkan pemahaman bahwa Muhammadiyah adalh lahir di atas dasar tauhid dan untuk memuliakan tauhid itu juga. Karena itu, ketika kita ingin mengukur kesuksesan Muhammadiyah sudah barang tentu bahwa inti ukurannnya adalah tauhid juga. Mengukur kesuksesan dan kebesaran Muhammadiyah hanya dengan ukuran jumlah/kuantitas amal usahanya adalah sebuah ketidaktepatan. Seperti mengukur kebesaran gajah dengan standar ukuran banyaknya gelintir bulu atau warnanya, bukan beratnya. Mengukur kehebatan seekor macan dengan jumlah kuku-kukunya, bukan keharmonisan bentuk tubuhnya dengan doreng bulu-bulu kulitnya.
Mengukur keberhasilan dan kebesaran Muhammadiyah tentu lebih tepat jika menggunakan ukuran sejauhmana amal-amal usahanya memberikan andil dalam perjuangan li i’la likalimatillah (meninggikan dan memuliakan kalimah ilahi). Banyaknya amal usaha Muhammadiyah yang mengalami disfungsi li I’la likalimatillah adalah sesuatu yang mubadzir, alias sia-sia dan membuang-buang asset persyarikatan. Ukuran kebesaran lembaga amal usaha Muhammadiyah bukan pada hal-hal yang bersifat kuantitatif. Jika kita hendak mengukur sebuah sekolah hendaknya bukan seberapa tinggi gedungnya, seberapa banyak muridnya, seberapa besar sumbangan dananya tidap bulan pada organisasi. Tetapi hendaknya menggunakan ukuran-ukuran kualitatif yang tauhidi.
Untuk sebuah amal usha sekolah ukran yang mestinya dipakai adalah sejauhmana relevansi visi dan missi sekolah terhadap upaya mentauhidkan ummat dan bangsa Indonesia. Bagaimana dasar, warna dan orientasi dari kurikulumnya? Sudahkan kohern dengan upaya menegakkan tauhid menurut pemahaman Muhammmadiyah? Bagaimana dalam proses-proses KBMnya? Sudahkah KBM sekolah memungkinkan semua peserta didiknya terkena sibghah tauhid. Seperti apa pola berpikir guru atau ustadznya? Materialistik kah? Apakah kinerja mereka seperti kinerja seorang karyawan ataukah sebagai seorang pejuang. Terakhir adalah alumninya. Apakah alumsi dari sekolah-sekolah Muhammadiyah memiliki karakter seorang mukmin yang intelektual, atau intelektual yang mukmin? Mukmin intelektual sangat berbeda dengan intelektual mukmin. Jika yang pertama, mukmin menjadi core dan jati dirinya, sedang intelektual adalah subordinanya. Pada yang kedua sebaliknya, intelektual adalah core dan jati dirinya, sedanngkan mukmin adalah sub ordinannya.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut harus dijawab dengan jujur oleh semua jajaran pimpinan baik pada yayasan maupun pimpinana amal usaha Muhammadiyah. Jawaban jujur tersebutlah yang menyatakan dengan konsisten dan apa adanya tentang keberadaan Muhammadiyah. Dengan kata lain, marilah kita berimajenasi, jika Kiai Dahlan saat ini masih ada, Ia akan menangis karena prihatin akan sepak terjang Muhammadiyah saat ini, atau tersenyum karena merasa lega dengan eksistensi Muhammadiyah.
Marilah ukuran-ukuran kualitas tauhidiyah sebuah amal usaha Muhammadiyah tersebut sedikit kita kupas, sehingga jelas bagi kita.
Visi dan Missi sebuah sekolah adalah merangkum arah gerak sekolah itu hendak berkiprah. Oleh karena itu visi dan missi sekolah Muhammadiyah hendaknya menjadikan tauhid sebagai nilai dasarnya. Nilai tauhid adalah nilai yang mendasari kehidupan dunia hingga akherat. Jika sekolah Muhammadiyah memiliki visi dan missi yang terbatas pada nilai duniawi semata, itu artinya sekolah itu akan berkiprah di dunia ini saja. Sekolah yang demikian tidak lebih dari senuah lembaga pendidikan sekuler. Yang pada gilirannya nanti akan melahirkan alumni bukan Abdullah (hamba Allah), tetapi abidunya (hamba dunia). Perlu ditegaskan di sini bahwa, tidak ada alasan karena visi dan missi tauhidnya sekolah Muhammadiyah menjadi terbelakang atau membelakangi dunia. Sebaliknya, dengan visi dan missinya itu sekolah Muhammadiyah memiliki akar kuat di dalam bumi tauhid, dan sekaligus berdahan dan berranting professionalitas dan akademik. Kuat kayakinannya terhadap Allah dan akherat sekuat itu pula tradisi profesionalitas dan kecerdasan akademiknya.
Selanjutnya, dasar dan orientasi kurikulumnya. Kurikulum adalah kelanjutan dari visis dan missi dari sebuah amal usaha berupa lembaga pendidikan. Jika visis adalah ruh, jiwa dan hatinya, maka kurikulum adalah sistim saraf otak dan pola pikirnyanya. Seluruh sistim KBM adalah perwujudan dari konsep yang disebut dengan kurikulum. Karena itu, alih-alih menyususn kurikulum sekolah secara sembarangan, bahkan ada sekolah yang mengkopi paste kurikulum sekolah lain, sekolah Muhammadiyah hendaknya menggodok kurikulumnya sehingga memungkinkan visi dan missi sekolah menjadi terwujud dalam sistim pendidikan sehaari-hari.
KBM adalah inti kegiatan di sekolah. KBM adalah proses dimana sang ustadz atau guru mengajarkan suatu ilmu kepada murid-muridnya. Ada dua inti dalam KBM ini yakni ilmu dan metodologi dedaktik nya. Ilmu jelas dalam pandangan tauhid tidak mengenal dikhotomi umum dan agama. Ilmu adalah satu dari Allah, yang diajarkan baik melalui ayat qauliyah maupun fenomena kanuniyah. Qauliyah harus menjadi term of reference bagi manusia untuk memahami dan menggauli alam. Sehingga imam Ghazali mengelompokkan hokum belajar ilmu menjadi dua. Qauliyah hokum mempelajarinya wajib ain, sedang kauniyah wajib kifayah. Hokum itu dapat dipahami bahwa. Setiap muslim wajib mempelajari ilmu agama sebelum ia mempelajari bagian dari ilmu kauniyah yang ia pilih. Sebelum seseorang mengambil fakultas kedoteran ia terlebih dahulu harus membekali diri dengan ilmu agama. Untuk sekolah tingkat dasar dan menengah hendaknya membekali semua siswanya dengan kedua ilmu tersebut (qauliyah dan kauniyah) secara seimbang.
Metode mengajar juga sangat penting bagi seorang guru. Ilmu harus masuk dalam arti dapat dipahami dan dipraktekkan oleh murid secara efektif. Karena itu metode yang tepat, alat peraga yang lengkap sangat penting utnuk dimiliki dan digunakan oleh seorang ustadz. Ustadz adalah ustad, bukan hanya seorang guru. Ia memiliki tanggung jawab untuk menyampaikan kedua ilmu itu secara tidak terpisah kepada siswanya. Dalam proses pembelajaran tesebut harus dijamin murid mendapatkan proses pembelajaran yang memungkinkan mereka kena sibghah tauhid. Inilah karenanya, ustadz kecuali berkewajiban mengajar juga harus mendidik. Di luar kelas, seorang ustadz harus membimbing muridnya untuk memiliki kepribadian yang berkarakter islami.
Tidak salah pepatah Jawa yang mengatakan bahwa guru memiliki makna digugu lan ditiru. Jika menginginkan murid memiliki kepribadian yang berwatak islami, maka ustdaz yang berkepribadian dan berkarakter utama (baca: Islami) merupakan prasarat. Karena ustadz, tidak hanya bertugas mengajar, tetapi harus menjadi contoh bagi murid. Ustad juga harus menjadi pemandu untuk jalannya pembiasaan diterapkannya nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari di sekolah. Jika sebuah sekolah menggunakan paradigm Islam dalam pendidikannya, mestinya menggunakan empat pendekatan dalam pendidikannya; pertama, pembelajaran. Factor ini sangat penting karena pengajaran menjadikan hilangnya kebodohan digantikan dengan pencerahan, kjahiliah menjadi madaniyah, buta menjadi melihat, tidak tahu menjadi tahu. Kegagalan dalam proses pembelajaran ini maka berakibat fatalnya proses pendidikan untuk pencerhan. Kedua, pembiasaan. Pendidikan yang bermakan juga pembentukan sikap, prilaku dan kepribadian peserta didik tidak bisa hanya mengandalkan pengajaran, tetapi lebih dari itu juga diperlukan pembiasaan aplikasi nilai dalam kehidupan sehari-hari siswa. Nilai dapat terinternalisasi menjadi kepribadian yang berkarakter jika nilai dibiasakan diterapkan dalam kehidupan nyata. Tidak cukup sebuah nilai dipahami atau dimengerti saja untuk sampai menjadi karakter. Perlu proses mencoba, biasa, dan akhirnya menjadi. Ketiga, keteladanan. Bagi usia anak usia 6-12 tahun keteladanan adalah cara paling efektif untuk mengerti, memahami, dan menggunakan suatu aturan, tatakrama, dan nilai. Alih-alih anak-anak, orang dewasa saja metode keteladanan ini masih digunakan. Nilai, aturan dan tata karma adlah sesuatu yang sangat abstrak. Sesuatu yang abstrak sulit untuk diketahui, dikenal, dipahami seseorang, apalagi anak-anak. Perubahan nilai abstrak menjadi konkrit inilah yang menjadkan anak mudah mengikuti suri teladan mereka. Keempat adalah mendoakan. Metode keempat ini juga sangat penting. Dalam Islam, Nabi saja yang memang diangkat untuk menyiarkaan risalah agama adalah bukan berkapasitas member petunjuk. Allah lah dzat satu-satunya yang memeiliki hak dan wewenang prerogative untuk memberikan petunjuk. Dengan petunjuk (hidayah) maka seseorang dapat hidup dengan nilai syariat Islam. Disinalh kepribadian yang berkarakter akan lahir.
Jika kita perhatikan keempat metode di atas, maka guru, ustadz, hingga professor menempati posisi yang sangat signifikan dan strategis untuk keberhasilan pendidikan dalam makna pembentukan kepribadian peserta didik. Jika gur itu sendiri tidak berkepribadian yang berkarakter, mana mungkin merekada dapat menjadi pemandu bagi murid-murid mereka. Mereka yang mengajar, mereka yang membiasakan nilai pada murid-murinya, mereka yang menadi contoh bagi merid, dan terakhir mereka juga yang mestinya juga mendoakan murid-murid mereka. Di sini memang guru dituntut menjadi manuisa yang super. (insane kamil).
Guru yang super adalah guru yang memiliki etos kerja yang bagus, dan guru yang pula harus kerja secara professional. Guru harus berbeda dengan pekerja. Guru harus menjadi pejuang. Jika karyawan, dasar etos kerjanya adalah uang, upah, honor, dan sejenisnya, lain sama sekali adalah seorang pejuang. Etos kerja seorang pejuang didasarkan pada tauhid itu sendiri. Pejuang bekerja karena semata mengharap mendapatkan keridlaan Allah
Allahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar