SELAMAT DATANG DI BLOG PERUBAHAN SOSIAL

"Makkah adalah realitas empiris, Madinah adalah realitas ideal, jarak keduanya adalah amanah perubahan"

Senin, 15 Februari 2010

INDIVIDU ATAU MASYARAKAT YANG DOMINAN

Diantara problem filsafat sosial adalah mana diantara individu dan masyarakat yang paling dominan. Individu yang mendominasi masyarakat atau sebaliknya masyarakat yang mendominasi individu? Murtadha Mutahhari, intelektual muslim yang telah ikut membidani lahirnya negara Republik Islam Iran, dalam bukunya Masyarakat dan Sejarah pernah mengulas persoalan tersebut.

Menurutnya Islam telah memiliki gagasan sendiri yang sangat jelas. Dalam sistim sosialis, masyarakat mendominasi individu. Bahkan individu hampir tidak memiliki hak atas dirinya sendiri. Semua tentang diri sudah menjadi miliki masyarakat yang diwakili oleh Negara. Kalau toh masih memiliki hak tinggalah sebagian kecil dan minimalis. Hak akan kepemilikan atas tanah, rumah, pendapatan, kekayaan, kebebasan berpendapat, politik, pendidikan sudah diserahkan –baca: dirampas oleh Negara. Masyarakat menjadi serba seragam. Individu tidak bisa menentukan sepenuhnya atas diri mereka sendiri. Memang dengan sistim yang serba seragam ini, dalam masyarakat tidak terjadi kesenjangan. Bahkan menurut sistim ini kesenjangan adalah bagian integral dari sistim lawannya yakni individualism-liberalisme, yang harus dilawan, dijadikan titik tolak perjuangan dan perubahan social menuju masyarakat yang serba sama rata sama rasa tersebut.

Dalam sistim social seperti itu, di mana individu menjadi sub-ordinat dari masyarakat, sepenuhnya ditentukan oleh masyarakat. Jika masyarakat baik, baiklah individu. Sebaliknya jika masyarakat lingkungannya buruk dan jahat maka buruk dan jahat pulalah individu. Perbaikan masyarakat yang mendominasi individu seperti model di atas harus dilakukan secara structural. Tata social yang harus dirubah sedemikian rupa sehingga kehidupan menjadi semakin ideal. Karenanya revolusi social menjadi jalan strategi kaum sosialis. Perbaikan dimulai dengan memetkan masyarakat menjadi dua kelas, yakni borjuis dan proletar. Revolusi adalah kebangkitan kaum proletar untuk menuntut hak sama rasa dan rata terhadap kaum borjius. Jika revolusi ini berhasil maka akan terbentuk masyarakat tanpa kelas. Inilah masyarakat ideal bagi kaum sosialis.

Sebaliknya adalah sistim liberal. Dalam sistim ini individu memiliki hak kebebasan yang tidak terbatas. Satu-satunya batasan adalah mekanisme pasar. Kompetisi antar individual atau kelompok dibiarkan bebas, sebebas-bebasnya. Dalam belantara pasar yang sedemikian bebas maka tentu siapa yang kuat dia yang menang, yang lemah pasti terlindas. Dikatakan aleh pengikut sistim ini, bahwa kebebasan adalah hak primordial pada setiap manusia. Jika dalam implementasi hak ini terjadi kompetisi atau bahkan konflik itu adalah hal yang biasa. Sudah menjadi tabiat alam kompetisi bebas ini terjadi. Hewan, tumbuh-tumbuhan dan juga manusia. Bahkan pada hekekatnya manausia adalah srigala bagi lainnya (homo homini lopus) . Saling kompetisi, saling mengalahkan dan saling membunuh adlah watak alaminya. Untuk menghindarkan konflik dalam suatu komunitas, maka dibuatlah kelompok berdasarkan suku, ras, dan kebangsaan, sehingga persaingan dan konflik terjadi bukan anatar manusia atau kelompok dalam suatu bangsa, tetapi antar bangsa.

Sebagai akibat dari kebebasan yang demikian kesenjangan social tidak bias terhindarkan. Kesenjangan bahkan harus ada, sebagaimana harus adanya persaingan. Dengan persaingan kemajuan akan dapat dicapai.
Menurut sistim ini individu mendominasi masyarakat. Perkembangan individu harus dilakukan dengan membiarkannya bebas. Atas alas an ini pembatasan dalam bentuk apapun harus dihilangkan. Persoalannya dapatak dalam ruang persaingan yang begitu bebas, kelompok yang lemah berkembang sebagaimana individu atau kelompok yang kuat. Bukankah yang kuat pasti menang dalam persaingan? Bukakah si kuat dapat membuat sitim persaingan pasar dengan leluasa untuk kepentingannya sendiri?

Mengahdapi dua sistim itu alQur’an bicara tentang sistim kemasyarakatan. Kebebasan masyarakat atas individu tidaklah terlalu salah. Karena ada hadit mutawatir tentang dominasi masyarakat atas individu tersebut. “setiap bayi yang lahir dalam keadaan fitrah (bertauhid, suci), sedang kedua orang tuanya (masyarakat lingkungannya) yang menjadikan ia yahudi, nasrani, atau majusi.” Masyarakatlah yang menentukan kualitas individu.

Namun demikian, kekuatan individu untuk membebaskan diri dari dominasi masyarakat bukan tanpa alas an. Atas dasar fitrah sebagai watak primordial manusia, seorang individu tidak bisa dijajah begitu saja oleh masyarakat. Atas dasar fitrah inilah individu melakukan pemberontakan terhadap dominasi dan hegemoni masyarakat. Sejarah kenabian dalam alQur’an menjelaskan bagaimana individu keluar dan bahkan mempengaruhi masyarakat. Nabi Ibrahim misalnya, ia dilahirkan dalam tatanan masyarakat paganistik (ayahnya sendiri tukang membuat patung sesembahan masyarakatnya), tetapi atas dasar fitrahnya Ibrahim mencari cahaya di balik kegelapan masyarakatnya. Hingga akhirnya ia mendapatkan cahaya itu berupa penemuan ke-Esaan Tuhan. Dengan prinsip tauhidnya, kemudian Ibrahim menghancurkan sistim social pagan yang semula mendominasi dan digantikanya dengan sistim baru yang lebih adil. Kisah Ibrahim memenggal dan merusak sistim berhala kaumnya, hingga perjuangannya melawan kediktatoran Raja Namrut adalah menjelaskan kebebasan individu atas masyarakat. Begitu juga dengan kisah Nabi Musa yang meruntuhkan sistim sosialnya Raja Fir’aun. Kisah Nabi Muhammad, putra Makah yang semula jahiliah, kemudia keluar dan menghancurkan sistim kejahiliahan Makah. Semuanya menggambarkan dan member inspirasi untuk terjadinya perubahan dalam masyarakat oleh individu yang memliki visi. Seorang mukmin bukanlah orang atau kepribadian yang ditelan oleh cakrawala, tetapi cakrawala yang ditelan oleh dirinya. Persoalannya kemudian adalah lalu bagaimana hubungan individu dan social dalam islam yang sebenarnya?

Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan awal bahwa. Pertama, individu awalnya adalah didominasi oleh masyarakatnya. Fase ini terutama terjadi ketika individu itu lemah dan belum berdaya, baik karena usia atau budayanya. Usia anak adalah usia seseorang yang hampir semuanya ditentukan oleh lingkungannya. Bagaimana lingkungan menghendaki kepribadian anak, ya seperti itu pula kepribadian anak akan menjadi. Kebudayaan yang melemahkan individu dapat berasal dari agama yang dipahami secara salah. Misalnya prinsip sabar dalam agama, jika ia disalah pahami menjadi nrimo ing pandum (meminjam istilah Jawa), adagium Jawa yang menyamakan “kehidupan manusia laksana wayang yang sangat tergantung kepada maunya dalang” adalah tata social-budaya yang melemahkan individu.

Melihat dan menghadapi agama yang salah dipahami masyarakat tersebut, Lenin dan Karl Mark membuat kesimpulan bahwa agama adalah candu masyarakat –nilai yang membuat masyarakat lemah tidak berdaya. Keduanya lupa bahwa Islam khususnya, menjadi nilai pelopor pemberontakan kaum yang lemah atas kaum yang menindas? Bukankah awal kenabian Muhammad hanya diikuti oleh orang-orang dari kelas proletar? Bukankah kaum yang mengingkari dan melawan Nabi Muhammad kebanyakan dari kelompok masyarakat atas (orang-orang kaya dan terhormat dari masyarakat Makah, seperti Abu Jahal dan Abu Lahab)?

Kedua, hegemoni masyarakat atas individu akan berakhir ketika individu tersebut eksist dengan prinsip, visi dan missinya. Kisah para Nabi di atas menjelaskan kesimpulan ini. Watak dominan masyarakat dengan demikian tidak bewrsifat dominan. Individu yang eksist dapat melakukan pemberontakan pada masyarakatnya jika hukum dia rasakan tidak sesuai atau bahkan bertentangan dengan fitrah atau hati nuraninya. Pemberontakan individu atas dasar fitrah inilah yang disaebut dakwah atau jihad. Bahkan jika hukum social itu terasa sangat kuat untuk dirubah, maka demi kebebasannya individu dapat keluar dari territorial yang menindas tersebut inilah yang disebut hijrah.

Namun demikian bukan berarti Islam mendukung aliran liberalism individu. Pada kebebasan individu terdapat hak masyarakat yang melekat secara inhern. Kebebasan individu bukan tanpa batas. Hukum waris, zakat, infak dan sedekah hakekatnya adalah hak masyarakat yang harus diberikan oleh individu pada ranah ekonomi. Demikian sistim social-ekonomi yang dijamin memberikan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat harus dilaksanakan oleh Negara. Bukan dibiarkan bebas oleh diri sistim itu sendiri.
Islam menyerahkan kepada manusia untuk menentukan bentuk sistim sosialnya sendiri. Islam hanya menentukan hal-hal prinsip tentang sistim social itu. Yang paling prinsip dari sistim social yang hendak dibangun adalah tauhid –transendensi dalam alam jagad raya. Bukan persoalan dunia yang menjadi pertimbangan kehidupan dunia ini harus dibangun, tetapi Tuhan, akherat, kebaikan, kebenaran, dan keadilan yang utama. Kesalahan paling mendasar dari sosialisme dan kapitalisme adalah nilai dasarnya yang tidak lain adalah materialism.
Allahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar