SELAMAT DATANG DI BLOG PERUBAHAN SOSIAL

"Makkah adalah realitas empiris, Madinah adalah realitas ideal, jarak keduanya adalah amanah perubahan"

Selasa, 09 Februari 2010

MASA DEPAN SEJARAH KEMANUSIAAN

Setiap manusia memiliki kecenderungan kepada kebenaran dan menolak segala bentuk kejahatan. Kecenderungan ini disebut dengan FITRAH(baca kembali tulisan tentang "Fitrah"). Kecenderungan ini bersifat abadi dan laten. Sekalipun sering kali karena tertutup oleh kuatnya tarikan atas kepentingan, seseorang tidak menghiraukan kecenderungan dasarnya tersebut.

Untuk mengembalikan manusia yang tidak menghiraukan lagi kecenderungan dasarnya pada satu sisi, serta dalam rangka menjaga sikap konsistensi (istiqomah) pihak yang berpegang pada kecenderungan dasarnya itulah seruan, peringatan ajakan untuk kembali dan tetap hidup dalam kecenderungan dasar, harus senantiasa diserukan. Inilah hakekat dakwah (yang secara letterlack) berarti seruan atau ajakan (kepada sistim Allah).

Bertolak pada kecenderungan semua manusia kepada kebenaran yang bersifat laten (universal)kapan dan di manapun, arah perubahan social dalam sejarah, ditentukan. Guna mendapatkan gambaran konkrit mengenai arah perubahan social ini, baiklah kita mulai untuk memahami lingkup social yang paling kecil dan sederhana yakni keluarga.
Keluarga setidaknya terdiri dari orang tua (ayah dan ibu) beserta anak-anak mereka. Semua aggota keluarga ini akan merasa nyaman dan tentram dan akhirnya kerasan dalam keluarga itu jika kondisi keluarga dalam keadaan yang baik atau sehat. Dikatakan keluarga sehat jika semua anggota keluarga menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran, keadilan, kasih sayang, kesabaran, dan kebersamaan…(sisi batiniyah). Atas dasar sisi batiniyah ini, kondisi lahiriyah seperti sehat lingkungan keluarga, cukup secara ekonomi, aman secara fisik, dapat dibangun. Mengapa keadaan ini menentukan kenyamanan, ketentraman, dan kekerasanan semua naggota keluarga? Jawabnya adalah karena situasi batiniyah dan keadaan lahiriyah tersebut sesuai dengan kehendak dasar manusia. Jika dibayangkan keadaan sebaliknya. Misalnya ada diantara anggota keluarga tersebut yang meninggalkan kecenderungan dasarnya, dengan menginjak-injak nilai kebenaran, keadilan, kasih sayang, dan kebersamaan, tentu semua anggota keluarga yang lain akan merasa terusik, serta tidak nyaman.

Mereka yang terusik ini sudah pasti akan mengadakan reaksi, mulai memberi peringatan, menentang dengan sikap lebih keras, dan bahkan bisas jadi berupa pertengkaran fisik. Jika peringatan dan pertengkaran tersebut tidak menghentikan pihak yang hidup dengan kebatilan atau kejahatan, bahkan pihak ini berkuasa atau dominan dalam keluarga tersebut, maka dengan alasan demi kebenaran, kenyamanan dan ketentraman diri mereka yang berpegang teguh kepada nilai-nilai kebenaran dan keadilan dengan terpaksa akan pindah keluarga lain atau mendirikan keluarga baru.
Peringatan mulai dari yang persuasive, hingga upaya yang lebih bersungguh-sungguh dan mengerahkan segala upaya dan daya untuk menghentikan semua bentuk kejahatan, serta akhirnya harus pergi meninggalkan keluarga demi kebenaran, ketentraman dan kenyamanan, dengan sadar inilah ilustrasi dari prinsip dakwah, jihad dan hijrah.
Demikian juga dalam kamunitas social yang lebih luas dari itu, baik dalam lingkup jama’ah (kelompok social) maupun ummah (masyarakat); prinsip-prinsip fitrah (kecenderungan dasar kemanusiaan), dakwah, jihad, dan hijrah, akan menjadi prinsip dan ruh perubahan social.

Sejarah Nabi adalah gambaran sejarah yang merepresentasikan dan mengaktualisasikan berbagai prinsip tersebut. Muhammad adalah sosok manusia yang sebelum diangkat menjadi Nabi dan Rasul sudah memiliki predikat manusia yang hidup dengan kecenderungan dasarnya. Dalam sirah Nabi digambarkan bahwa semenjak kecil ia tidak gemar atau bahkan tidak pernah menyaksikan tontonan berupa tarian-tarian jahiliah. Jika ia diajak menonton tontonan jahiliah ia pasti tertidur. Diusia remajanya, Ia sudah mendapat kepercayaan dari kaumnya untuk menjadi penengah –mediator guna menyelesaikan konflik, bahkan ia juga diberikan gelar oleh kaumnya sebagai orang yang dapat dipercaya (al-amin).

Pada awal kenabiannya, kaum yang menolak seruan dakwahnyapun sebenarnya percaya dengan pesan kenabian Muhammad, karena sepanjang hidupnya Ia tidak pernah bohong, namun karena berbagai kepentingan (interest) orang-orang kafir menentang kerasulan Muhammad SAW.

Dengan pribadinya yang lurus dengan watak dasar kemanusiaannya (hanif) ini, Muhammad sangat gelisah melihat kajahiliahan masyarakat sekitarnya. Dalam kegelisahan jiwanya tersebut, Ia berkhalwat (menyepi guna merenungi masalah masyarakatnya) sehingga pada puncak khalwatnya Ia didatangi utusan Allah SWT, Malaikat Jibril yang menuntunnya untuk menerima wahyu. Wahyu, predikat Nabi dan Rasul (Utusan Allah) tidak datang pada situasi vakum, melainkan datang di puncak perenungan , pencarian solusi, aktif).

Fase berikutnya, Nabi Muhammad tidak lagi aktif berkhalwat melainkan terjun langsung ke tengah-tengah masyarakatnya untuk menyeru, mengajak, memberi peringatan, dan kabar gembira, mengembalikan masyarakatnya untuk hidup dalam sistim Allah serta meninggalkan budaya jahiliah dan selanjutnya membangun budaya baru yang sesuai dengan kecenderungan dasar manusia (fitrah). Fase inilah yang disebut fase dakwah. Seruan dakwah ini disampaikan kepada semua manusia yang Nabi jangkau, mulai dari keluarga dan saudara terdeka, intern suku Quraisy, hingga masyarakat Makah pada umumnya. Seruan dakwah hakekatnya panggilan untuk kembali kepada kecenderungan watak dasar manusia. Orang-orang yang tidak memiliki kepentingan (interest) terhadap kehiduapan dan budaya jahiliah, baik politik, maupun ekonomi, segera menyambut seruan dakwah Nabi dan menyatakan diri menerima seruan tersebut. Mereka yang menerima seruan dakwah itu adalah kebanyakan masyarakat dari kelas tidak berkuasa dan bukan orang kaya (power and capital less), karena merekalah masyarakat yang tidak memiliki interest untuk menolak seruan dakwah. Dan kelompok yang habis-habisan menolak seruan dakwah adalah masyarakat yang berkuasa baik secara sosial politik maupun kekonom i. Penolakan terhadap seruan dakwah bukan berarti tidak percaya dengan isi pesan dakwah, melainkan penolakan yang sadar bahwa jika pesan dakwah mereka terima berkonsekuensi pada hilangnya asset, akses, legitimasi, akibat diterapkannya sisitim kehidupan dan kebudayaan yang berganti. Jika seruan dakwah ini dilaksanakan dengan semakin intensif, dengan mengerahkan segala daya kaum muslimin miliki, mulai harta benda, pikiran, tenaga, hingga jiwa, maka bergantilah fase dakwah menjadi fase jihad. Di puncak kesulitan dan tantangan, dimana dakwah dan jihad tidak lagi menjadi sarana efektif untuk terjadinya perubahan dan perbaikan sosial, maka berlakulah fase berikutnya yakni hijrah. Untuk pertama kali Nabi menyuruh ummatnya, kaum muslimin untuk hijrah dari Makah menuju Thaif. Dalam sejarah dinyatakan bahwa hijrah pertama ini tidak efektif, dan akhirnya kaum muslimin kembali lagi dari Tahaif menuju ke Makah untuk melanjutkan perjuangan mereka dengan dakwah dan jihad. Puncak dari seruan dakwah di Makah adalah penolakan yang semakin intensif dari kelompok penentang, hingga akhirnya Nabi menginstruksikan pada kaum muslimin untuk hijrah (pindah) dari Makkah menuju Yastrib (Madinah). Hijrah pada kali kedua ini berhasil, karena sebelumnya memang terjadi kondisi sedemikian rupa hingga justru kehadiran kaum muslimin dan Nabi Muhammad di tunggu-tunggu oleh penduduk Yastrib.

Demikianlah, dakwah, jihad, dan hijrah dilaksanakan secara integral oleh Nabi dan kaum muslimin awal, yang pada hakekatnya sebagai suatu sistim perubahan social sekaligus sistim pembebasan kecenderungan dasar manusia yang tidak lain adalah fitrah, atas dominasi sistim budaya, social, politik dan ekonomi yang menindas, anti fitrah, anti kebenaran, anti keadilan, anti kesamaan derajad kemanusiaan.
Apabila dakwah, jihad dan hijrah sebagai sistim perubahan social ini efktif dilaksanakan maka ia akan menajdi ancaman atas lingkungan, komunitas social jahiliah. Karena kecenderungan dasar manusia ini menjadi suara hati setiap manusia, maka potensi untuk terjadinya perubahan social atas sistim kebudayaah jahiliah pada hakekatnya berada dalam sisitim jahiliyah itu sendiri. Jika daya fitrah yang semula masih potensial ini dapat diaktualisasikan, maka setiap sistim jahiliah dapat dipastikan mendapatkan penentangan dari dalam dirinya sendiri, dari para pelakunya sendiri dan seanjutnya akan dirubah secara pelan-pelan oleh menjadi sistim budaya yang akomodatif terhadap kecenderungan dasar kemanusiaan yakni fitrah. Jika suatu komunitas menentang seruan dakwah, maka jihad dapat dilaksanakan. Jika jihad pun gagal, maka alternative terakhir untuk terjadinya perubahan dan perbaikan social adalah hijrah.

Kita dapat membayangkan jika setiap komunitas terjadi aktualisasi kekuatan dan daya fitrah serta jihad, maka perubahan social mulai terjadi dalam komunitas tersebut. Jika hal ini terus berlanjut, maka setiap komunitas akan berubah menjadi komunitas yang mengakomodasi semua nilai kebenaran, keadilan, dan persamaan serta persaudaraan. Tidak ada komunitas anti nilai-nilai fitrah yang dapat bertahan dalam perubahan sejarah. Karena jika sistim yang dominan terlalu kuat untuk menerima perubahan dan perbaikanpun pasti tidak akan kuat mencegah terjadinya perpindahan anggota komunitas itu menuju komunitas lain yang lebih kondusif untuk aktualisasi nilai-nilai fitrah.

Ada satu factor lagi yang sejalan dengan perubahan social menuju masyarakat fitrah, yakni kecenderungan hukum alam atau sunatullah. Alam, sebagaimana kita ketahui diciptakan dengan disertai hukum alam yang senantiasa bekerja dengan konsisten dan tidak berubah arah. Dalam bahasa alQur’an alam semesta ini diciptakan bukan tanpa tujuan (rabana ma khalaqta hadza batila QS.3:191). Arah bekerjanya hukum alam sesuai dengan watak aslinya yakni keseimbangan, keberlanjutan, kedamaian, keserasian, keindahan, serta memberikan manfaat pada kehidupan semesta alam. Alam dengan hokum alamnya akan senantiasa menolak atau setidaknya mengingatkan manusia atas prilakunya yang merusak alam. Sebagai bukti atas watak alam tersebut adalah munculnya reaksi alam yang seolah anti terhadap model interaksi manusia terhadap alam yang distruktif serta eksploitatif pada masa-masa belakangan ini. Tanah longsor adalah bentuk reaksi alam terhadap aksi manusia yang eksploitatif terhadap alam. Perubahan iklim yang tidak lagi terartur serta terjadinya pemanasan global adalah reaksi alam terhadap prilaku manusia yang sembrono serta tidak santun terhadap alam. Demikian seterusnya alam memberka reaksi terhadap prilaku manusia yang tidak sejalan dengan watak alam. Sedang watak alam (keseimbangan, keberlanjutan, kedamaian, keserasian, keindahan, serta memberikan manfaat pada kehidupan semesta alam) adalah sejalan dengan nilai-nilai fitrah manusia.

Dengan adanya reaksi alam terhadap aksi manusia yang salah, pasti akan menjadikan manusia semakin sadar atas prilakunya yang salah. Kecuali jika manusia itu sudah buta dan tuli sehingga tidak mengetahui dan menyadari kesalahan atas prilakunya. Sehinga dengan demikian dari watak alam inipun akan menjadikan manusia berubah menjadi semakin benar. Jika demikian dengan arah perubahan social menuju masa depan, persoalannya yang muncul berikutnya adalah sebenarnya bagaimana watak masyarakat masa depan?

Benar,universal dan tunggal
Dengan dakwah, jihad dan hijrah, serta dilengkapi dengan sunatullah yang menjadi watak alam-lingkungan manusia hidup, maka arah perkembangan sejarah kehiduapan manusia sangatlah optimistic. Masa depan sejarah menuju satu tatanan kehidupan yang menjadikan fitrah sebagai azas sekaligus ukuran moral dan intelektual. Kejahatan atau kebathilan dengan segala bentuknya tidak akan mendapatkan tempat ketika dakwah, jihad dan hijrah ini aktif bekerja. Sebaliknya semua komunitas social akan berubah menjadi komunitas social yang satu watak yakni benar, universal dan tunggal. Mengapa benar, universal dan tunggal?

Benar, karena nilai kebenaran adalah nilai dasar dari fitrah manusia. Semua manusia terlepas dari predikat parsialitasnya, pasti dalam hatinya menyetujui dan memihak kepada kebenaran. Dalam terminologi alQur’an, kebenaran adalah dari Tuhan (QS. 2:147), sedang Tuhan adalah Esa, dimana semua manusia memiliki watak primordial bertuhankan Tuhan yang Maha Esa (QS. 7:172). Oleh karena itu setiap manusia memihak kepada kebenaran yang juga tunggal. Universal, karena kecenderungan dasar manusia memiliki watak (blueprint) yang sama. Setiap manusia memiliki fitrah yang sama. Persamaan watak ini akan menjadikan manusia memiliki ukuran-ukuran nilai yang juga sama kapan dan di manapun. Akhirnya, akan terbentuk masyarakat masa depan yang universal. Dengan demikian konflik antar individu atau komunitas manusia hanya karena kepentingan-kepentingan yang bersifat artificial dan sementara, bukan karena perbedaan watak yang hakiki. Tunggal, karena watak yang sama, hakekat dari komunitas manusia di manapun dan kapanpun akan memiliki hakekat yang sama. Perbedaan hanyalah pada dataran bentuk (form) dan perwujudan atau manifestasi. Persoalannya kemudian adalah bagaimana dengan futorologi yang tampaknya pesimistik dari Nabi Muhammad dalam beberapa haditsnya? Dianataranya bahwa tanda-tanda akan datangnya qiyamat adalah jika tidak ada lagi orang yang menyebut-nyebut asma Allah (dzikir), kemungkaran meraja lela, dan sebagainya?

Dalam pemahaman kami, hadits-hadits tersebut adalah peringatan dini (early warning) dari Nabi terhadap umat manusia untuk teguh pendirian berpegang dengan fitrahnya. Keteguhan hati tersebut hendaknya ditindaklanjuti dengan semangat dalam ber-dakwah, ber- jihad, dan bahkan walaupun sampai harus ber-hijrah. Semua itu harus dilaksanakan dalam rangka menjaga fitrah kemanusiaan. Karena kehidupan akan segera berakhir (baca: qiyamat) jika nilai-nilai yang sejalan dengan kecenderungan dasar manusia (baca: fitrah) sudah dinafikkan dari panggung sejarah kemanusiaan. Kapankah itu?
Allahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar