SELAMAT DATANG DI BLOG PERUBAHAN SOSIAL

"Makkah adalah realitas empiris, Madinah adalah realitas ideal, jarak keduanya adalah amanah perubahan"

Senin, 15 Februari 2010

NEW GENERATION ITU BERNAMA YAHYA

Kembali kepada alQur’an dan alSunnah adalah prinsip gerakan Muhammadiyah. Prinsip ini dicanangkan sejak awal pendirian persyarikatan ini bukan tanpa sebab. Kecuali alQur’an dan alSunah sebagai sumber utama ajaran Islam, sebagai konsekuensinya seluruh ajaran harus dapat dipertanggungjawabkan pada dasar tersebut pada satu sisi, pada sisi lain umat Islam hampir di seluruh dunia muslim, alih-alih dapat mempertahankan sebagai pemegang supremasi peradaban dunia seperti yang dicapai pada abad-abad pertengahan, tetapi malah hidup inferior di bawah superioritas Barat.

Hasil pencanderaan the founding father Muhammadiyah terhadap ketertinggalan dan keterbelakangan tersebut adalah sebagai akibat umat Islam telah lama meninggalkan sumber utamanya,alQur'an dan alSunah sebagai pedoman hidup. Umat Islam khususnya di Indonesia, terlalu asyik dengan hal-hal yang berbau tahayul, bid’ah dan khurafat yang notabene bukan berasal dari ajaran Islam. Dengan meninggalkan sumber ajarannya tersebut, umat islam kehilangan agama sebagai sumber dari pandangan hidup, dan akhirnya umat kehilangan elan vital, sebagai umat yang dinamis, kreatif dan inovatif dalam mengarungi dunia ini. Oleh karena itu, gerakan kembali kepada alQur’an dan alSunah harus dilakukan. Pada ranah inilah Muhammadiyah sebagai sebuah gerakan dakwah dan social berada. Dengan segala dinamika, pertumbuhan dan perkembangan, bahkan pasang dan sekaligus surut dalam sejarah telah dilalui oleh Muhammadiyah, bahkan saat ini telah samapailah pada usia monumental 100 tahun.

Di usianya yang genap satu abad ini para aktifis Muhammadiyah perlu merenungkan salah satu teori Toynbe Sejarahwan dari Inggris dengan teori morfologi peradabanya. Ringkasnya Toynbe berpendapat bahwa peradaban manusia sebenarnya sama seperti makluk hidup mengalami morfologi dalam hidupnya. Seperti dalam diri manusia sendniri, kehidupan pasti mengalami transformasi berturut-turut dari kelahiran sebagai bayi yang dilanjutkan ke masa anak-anak, kemudian remaja, dewasa, tua dan akhirnya mati.

Masa anak-anak Muhammadiyah tentu terjadi di awal masa kelahirannya hingga berkembang sel-sel organisasinya, khususnya pada masa kepemimpinan awal. Para perintis berjuang habis-habisan untukmendirikan Muhammadiyah, mulai dari merumuskan blueprint (jati diri) hingga mencoba bertahan dari berbagai keterbatasan dan kesulitan. Kiai Dahlan dan sahabat serta murid-murid langsung beliu berperan pada fase kelahiran hingga bayi Muhammadiyah ini.

Berikutnya adalah masa ramaja, yang mana seluruh sel organisasi sudah eksis dan siap berkarya bagi lingkungannya. Kami menduga fase ini berlangsung hingga sekitar masa kemerdekaan, di mana tokoh-tokoh Muhammadiyah telah mulai dikenal dalam percaturan nasional berjuang bahu-membahu dengan elemen masyarakat yang lain berjuang melawan penjajah, hingga akhirnya meraih kemerdekaan, merumuskan arah dan bentuk Negara RI, dan akhirnya ikut mempertahankan kemerdekaan tersebut dari berbagai ancaman yang datang. Pada fase ini juga, secara internal dalam tubuh Muhammadiyah mengalami perkembangan menuju sebuah persyarikatan yang sempurna. Fase ini berakhir hingga masa orde lama berakhir.

Fase berikutnya adalah fase dewasa. Pada fase ini Muhammadiyah memasuki masa dimana semua sisi organisiasinya—ortom-- telah mencapai perkembangan sempurna, bahkan telah mencapai puncak perkembangannya. Pada sector pendidikan sekolah-sekolah Muhammadiyah mulai dari Bustanul Athfal, hingga perguruan tinggi telah berhasil beukan ssaja sebagai pelopor tetapi bahkan berhasil menduduki peringkat terdepan bersama-sama dengan lembaga pendidikan dari elemen yang lain, terutama Negara. Begitu juga sector kesehatan, rumah sakit Muhammadiyah telah menjadi rumah sakit termaju bersma rumah sakit lain. Begitu juga pada sector keagamaan serta social. Masjid Muhammadiyah, majlis-majlis taklim Muhammadiyah, rumah yatim piatu, panti jompo telah menjadi paling maju baik secara kuantitas maupun kualitas. Semua lembaga amal usaha Muhammadiyah telah melakukan peran yang terbaik, serta memberikan manfaat secara maksimal pada fase ini.

Namun kemudian, disadari maupun tidak fase ini pun harus berakhir. Sel-sel dalam tubuh Muhammadiyah, baik pada tubuh persyarikatan maupun pada tubuh amal usahanaya telah mengalami penuaan. Dinamisasi telah memuncak dan mulai berganti dengan stagnasi. Rasionalitas gerakan mungkin juga sudah mengalami titik jenuh dan kemudian berganti menjadi rutinitas-tradisional. Ketajaman visi telah mengalami penumpulan visi, sehingga Muhammadiyah tidak lagi mampu membaca dengan tajam dan cerdas berbagai persoalan yang yang berada di tengah-tengah masyarakat, dan khirnya juga gagal membuat solusi atas persoalan tersebut. Soliditas organisasi yang pada masa sebelumnya kuat bagaikan satu tubuh, segera memasuki fase yang mana satu bagian terasa terpisah dari bagian lain, hubungan semakin longgar satu ortom dengan ortom lain, bahkan dalam ortom tersebut perpecahan dan konflik kepentingan telah menjadi warna mencolok.Yang dahulu kehadirannya ditunggu-tunggu oleh yang lain, saat penuaan ini terjadi kehadiran Muhammadiyah menjadi sesuatu yang membosankan. Jika tidak segera menyadari ketuaannya, maka dimulai dengan fase ini kematian tinggal menunggu waktu.

Tetapi ingat, ketika seseorang telah memasuki fase dewasa bahkan tua, yang normal telah menyiapkan generasi penerusnya guna melanjutkan estafeta kehiduapn dan perjuangannya. Satu dinasti jika tidak ingin mati dan terhapus dari sejarah peradaban masyarakatnya harus telah menyiapkan generasi penerus untuk menghidupakan dinasti tersebut. Jika tidak, maka dinasti sebesar apapun akan hancur ditelan zaman. Pohon pisang saja, sejak masih produktif ia telah menumbuhkan tunas baru bahkan ada beberapa tunas dari satu induk,yang siap menggantikan peran induknya. Karena itu, pohon pisang tidak sampai punah dari kehidupan ini.

Sistim regenerasi Muhamaadiyah, sebagaimana dengan organisasi yang lain, memang telah ada dan berjalan. Sistim regenerasi di persyarikatan ini berjalan mulai dari tingkaat pusat yang disebut muktamar, tingkat wilayah disebut musywil, tingkat daerah disebut musyda, dan tingkat cabang dan ranting disebut musycab dan musyran. Memang dalam muktamar misalnya terjadi pergantian kepemimpinan secara nasional dari Pak AR Fakhrudin kepada Pak Ahmad Azhar Basyir, dan selanjutnya secara berturut-turut dari Pak Azhar kepada pak Amin Rais, Pak Syafii Maarif, hingga saat ini Pak Din Samsudin. Namun jika kita cermati regenerasi itu masih terbatas pergantian personal.

Menurut hemat kami regenerasi yang terjadi belum didahului, atau dibarengi, dengan adanya regenerasi paradigma, visi dan gagasan pergerakan. Regenerasi yang terakhir ini jauh lebih substansial dan lebih enting dari pada sekedar pergantian pemimpin. Karena pada hakekatnya setiap generasi itu menghadapi tantangan dan persoalannya sendiri. Tidak bisa generasi baru menggunakan paradigma, visi, dan gagasan generasi sebelumnya apa lagi jika perbedaan rentang waktu itu lama. Regeerasi yang terakhir tersebut laksana ruh bagi persyarikatan. Kita dapat bayangkan jika ruh regenerasi ini tidak terjadi, berarti tidak ada regenerasi. Sehingga persyarikatan sebenaarnya masih dengan paradigm, visi, dan gagasan lama untuk digunakan oleh pemimpin yang baru. Akibatnya wajar kalau tidak ada kesan inovasi. Sementara seperti NU misalnya transformasi dari fase tua itu malah terjadi. Kita sebagai outsider dapat merasakan adanya gerakan neo-tradisionalisme yang memimpin NU sejak kepemimpinan Gus Dur hingga Hasim Muzadi.

Jika ia tidak ingin memasuki masa pikun bahkan kematiannya, maka Muhammadiyah mestinya sudah melakukan regenerasi di usia dewasanya dahulu bukan saat ini. Tetapi dari pada tidak ada regenerasi, tidak apalah dimasa tuanya ini Muhammadiyah harus melahirkan generasi baru guna meneruskan perjuangannya. Apa tidak terlambat, apa sebenarnya generasi baru tersebut, bagaimana melahirkannya, apakah saat ini belum ada? Adalah beberapa pertanyaan yang harus dijawab.

Lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali, itulah mungkin kalimat yang paling cocok untuk menjawab pertanyaan apakah kita terlambat. Nabi Zakariya diusianya yang sudah tua ditambah dengan keadaan istrinya yang mandul mengadukan persoalan regenerasinya kepada Allah. Dengan ketulusan dan kegigihannnya dalam berjuanag, maka doa Nabi Zakariya dikabulkan Tuhan dengan kelahiran putranya yang saleh luara biasa, Nabi Yahya (QS.19: 2-15). Mungkin kisah Nabi Zakariya dalam ayat-ayat tersebut bisa kita gunakan sebagai pelajaran/i’tibar bagi Muhammadiyah. Perjuangan panjang yang sudah dilakukan Muhammadiyah dengan penuh ikhlas , bisa jadi menjadi wasilah bagi Muhammadiyah untuk melahirkan generasi sekualitas Nabi Yahya.

Yahya, secara etimologis berarti hidup-kehidupan. Hidup berarti adanya ruh yang mengaktifkan hati, pikiran dan badani. Seperti yang telah disinggung di atas ruh bersrti paradigm, visi dan gagasan baru. Aktifnya hati berarti tergeraknya hati untuk dapat merasakan kehadiran Tuhan (dzikir), memiliki kepekaan rasa terhadap apa yang dialami diri dan orang lain, kemauan untuk senantiasa berpegang terhadap kebenaran, pemihakan tehadap kaum yang tertindas, kamauan untuk berjuang di jalan yang benar. Aktifnya pikiran berarti tergeraknya pikiran untuk mengenali dan membaca kebenaran dan persoalan yang ada dalam masyarakat, merumuskan kebenaran dalam bentuk konsep, kemampuan merumuskan cita-cita, sekaligus merumuskan gerakan yang tepat dan strategis untuk merealisasikan cita-cita itu. Aktifnya jasmani berarti aktinya seleuruh sel organisasi, baik sruktur induk, ortum, maupun amal usaha Muhammadiyah. Sehingga dapat dipastikan seluruh elemen organisasi tersebut bergerak melaksanakan penannya secara tepat.

Generasi baru sekualitas Yahya bagi Muhammadiyah adalah generasi muda yang berkharakter profetik (kenabian). Adalah pertama, generasi Muhammadiyah yang gelisah –protes terhadap realitas empiris yang ia hadapi—dan terus menerus tanpa kenal lelah mencari soluasi atas permasalahan tersebut. Kedua adalah generasi yang menunjung supremasi wahyu di atas potensi humanistiknya. Rasionalitas dan empiritas bukan segala-galanya, bahkan ditundukkan oleh supremasi wahyu. Ketiga generasi yang secara professional turun dari rumah elitismenya, sesuai bidang yang ia tekuni ia terjun langsung di masyarakat untuk mengajak kembali hidup dalam sistim Allah. Ketiga kharakter tersebut ia lakoni dengan konsisten samapi akhirnya dengan pertolongan Allah ia kembali berhasil seperti orang tuanya.

Untuk melahirkan generasi baru tersebut, generasi tua juga harus mengawali dengan mewarisi mental Nabi Zakariya, adalah pertama, generasi tua yang juga gelisah dengan usia keberadaannya, keberadaan persyarikatannya yang kia semakin menua. Bukan generasi yang masih cukup percaya diri, merasa masih muda, produktif, sebanding dengan tantangan zamannya.Selanjutnya ia memohon kepada Allah untuk hadirnya generasi baru bukan generasi yang sama dengan dirinya. Yang sama diantara keduanya adalah sama-sama harus melakukan peran kenabian, syariah, bentuk, dan teknis gerakan sudah harus berbeda sebanding dengan tantangan yang dihadapi.

Harus diakui untuk saat ini beberapa bagian dari persyarikatan Muhammadiyah sudah melakukan regenerasi. Namun demikian regenerasi yang ada masih dilakukan secara sendiri-sendiri, sporadic, belum sistemik, sistematis, dan total. Regenerasi yang sporadic tersebut akhirnya terkesan reaktif dan lokalistik.

Sebagai contoh misalnya, dalam bidang pendidikan. Perlu disyukuri bahwa saat belakangan ini muncul sekolah-sekolah baru Muhammadiyah. Baru dalam arti bukan gedungnya, atau sekedar mendirikan sekolah baru, tetapi sekolah yang didirikan dengan latar belakang kesadaran yang baru, paradigm baru, kurikulum baru, hingga tradisi yang baru juga. Namun sayangnya, seolah-olah sekolah baru tersebut masih berdiri sendiri-sendiri, belum dibarengi atau seharusnya diawali oleh yayasan langsung (majlis dikdasmen pusat) yang memiliki paradigm yang baru, dan gagasan baru, serta sistim birokrasi yang baru.Dengan demikian regenerasi di bidang pendidikan dapat dilakukan secara sistimatis, nasional, dan mengakar pada regenerasi paradigm yang kuat. Gejala yang lain, sekolah yang baru tersebut belum didukung oleh tersedianya berbagai perangkat lunak seperti kurikulum, buku rujukan, dan sebagainya. Bukti lainnya, di beberapa daerah muncul sekolah baru tersebut, tidak di daerah yang lain, atau di semua daerah. Bahkan masih ada beberapa daerah yang takut dengan munculnya generasi baru dalam bidang pendidikan tersebut.

Seperti Kiai Dahlan, sang pendiri Muhammadiyah adalah generasi baru pada masanya. Ruh regenerasi itu ia sendiri yang mewakilinya. Dengan demikian ruh regenerasi itu harus dimulai dari seseorang bukan gerakan kolektif. Dari seorang individu tersebut selanjutnya ruh generasi baru menjelma menjadi bola salju yang semakin membesar ketika disosialisaikan pada ranah publik. Jelmaan ruh generasi baru itulah Muhammadiyah. 100 tahun sudah generasi baru tersebut berjuang. Berbagai fase kehidupan sudah ia lakukan dengan peran terbaik. Kini saatnya lahir ruh generasi baru dari Muhammadiyah. Namun sebagai syarat lahirnya generasi baru diantaranya harus ada kesiapan dari generasi sebelumnya. Secara kolektif generasi tua harus siap bahkan berharap muncul / lahirnya generasi baru abad kedua Muhammadiyah, sebagaimana halnya Nabi Zakariya yang bermunajat kepada Allah akan segera lahirnya generasi baru. Generasi tua harus menciptakan kondisi yang memungkinkan lahirnya generasi baru, jangan malah menghalangi generasi baru tersebut. Bagaimana keadaan dan situasi saat ini, sudah demikiankah adanya? Kejujuran kitalah yang dapat menjawabnya.
Allahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar