SELAMAT DATANG DI BLOG PERUBAHAN SOSIAL

"Makkah adalah realitas empiris, Madinah adalah realitas ideal, jarak keduanya adalah amanah perubahan"

Kamis, 21 Januari 2010

VISI DAKWAH VISI KEHIDUPAN

Dakwah secara bahasa berasal dari kata da’a, yad’u, dakwatan yang berarti memanggil, menyeru, dan mengajak. Sebagai suatu istilah, dakwah adalah upaya mengajak umat manusia untuk kembali kepada jalan / sistim Allah secara menyeluruh baik secara lesan meupun perbuatan, sebagai ikhtiar muslim untuk merealisasikan Islam dalam kehidupan individu(fardiyah), keluarga (usrah), kel;ompok (jama’ah), masyarakat (ummah), dalam semua segi kehidupan secara terorganisasi sehingga terbentuk khairu ummah.
Dakwah merupakan kegiatan yang sangat tua setua usia manusia, karena dakwah sudah dilakukan sejak Nabi Adam as. Sebagai sebuah ajakan kepada sistim Allah, Adam telah mengajak semua anaknya (Qabil dan Habil) untuk berkurban, sebagai tanda ketaatan kepada Allah SWT. Demikian seterusnya, para Nabi dan Rasul selalu diutus Allah untuk mengajak umat manusia kembali ke jalan hidup-Nya, hingga yang terakhir adalah diutusnya Nabi Muhammad SAW untuk mengajak manusia hingga akhir zaman taat kepada Allah.
Ketika zaman kenabian sudah usai, semua ummat Muhammad diminta Allah melanjutkan misi dakwah tersebut. Kita dapat temukan banyak ayat al Qur’an yang menyatakan permintaan Allah tersebut. Misalnya QS. 3:104, 110, 17:125). Mengingat perintah atau permintaan Allah ini ditujukan untuk semua manusia muslim tanpa terkecuali, sedang dakwah sering disalah fahami sebagai tabligh (orangnya mubaligh) dengan segala kecakapan bicara didepan umum, maka peintah dakwah ini seolah perintah yang tidak semua orang dapat melaksanakannya, karena sedikit saja orang yang berkemampuan berbicara kepada khalayak. Untuk itu perlu pelurusan pemahaman terhadap dakwah ini.
Kualitas Diri
Tentu kita sepakat bahwa merealisasikan materi ajakan untuk diri sendiri harus lebih didahulukan dari pada mengajak orang lain. Kita mengajak shalat anak kita misalnya tidak akan evektif jika kita sendiri tidak mengawalinya. Demikian juga dengan ajakan dakwah kita. Langkah pertama adalah merealisasikan Islam dalam diri kita.
Tujuan akhir dakwah adalah masyarakat dengan kualitas khairu ummah /ummat terbaik (QS.3:110). Untuk mencapai tujuan akhir tersebut diperlukan tujuan antara yakni khairu jama’ah (golongan/himpunan/kelompok terbaik), khairu jama’ah memerlukan tujuan antara lagi yakni khairu usrah (keluarga terbaik). Dan keluarga terbaik memerlukan tujuan antara yakni khairul bariyah. Jadi khairul bariyyah adalah syarat paling awal harus dipenuhi untuk bisa mencapai tujuan akhir dakwah. Bagaimana kreteria khairul barriyah? Manusia berkualitas khairul barriyah adalah manusia yang memiliki kualitas iman yang prima dan kemudian ditransformasikan menjadi amal shaleh (QS.98:7). Transformasi Iman ke amal shaleh harus melalui prisma pemedar iman yakni pola berpikir .

1. Mengimankan hati
Yang paling inti dalam Islam adalah aqidah, keimanan atau keyakinan bahwa Allah adalah tuhan yang tunggal. Sebagai inti ajaran, maka keyakinan ini harus diposisikan sebagai keyakinan dasar dalam diri seseorang. Sebagai keyakinan ia bersemayam dalam hati, karenanya tidak tampak secara lahiriah. Namun demikian keyakinan ini sangat penting dan menentukan seluruh konstruk kepribadian, baik itu cara berpikir, sikap hingga tingkah laku. Nabi Muhammad SAW menjelaskan posisi keyakinan ini melalui sabdanya, “Sesungguhnya pada diri seorang anak Adam ada segumpal darah, jika ia baik maka baik seluruh tubuhnya, jika ia buruk maka buruk seleuruh tubuhnya. Segumpal darah itu adalah hati.” Ibarat konstruksi bangunan, maka keyakinan hati ini laksana fondasi. Ia harus kokoh tertanam didalam tanah, jika kita menginginkan bangunan itu kuat.
Matan kayakinan bagi seoraqng muslim tidak cukup hanya percaya bahwa Allah adalah sesembahan tunggal. Lebih dari itu semua sifat Allah harus diyakini, mulai dari wujud, kuat, perkasa, berdiri sendiri, berbeda dengan makhluq, pencipta, pemberi rizki, pemurah, pengasih, adil, melihat, mendengar, lembut, bijaksana, penolong, tempat bergantung semua makhluqnya,dan sebagainya. Semua sifat itu Allah sendiri yang mendiskripsikannya dalam berbagai ayat Al qur’an yang disebut dengan al-asmaul husna (nama-nama yang baik). Kurang mempercayai sebagian dari sifat Allah ini bukan saja menjadikan keimanan muslim rapuh, tetapi juga akan mengganggu sistim keberimbangan I’tikat hatinya, mengganggu pula bangunan sistim keimanan. Akibatnya yang lain adalah keterbelahan kepribadiannya kelak.
Keimanan kepada Tuhan Allah SWT adalah dasar bagi keimanan pada yang lain, mulai dari malaikat, Nabi, Kitab suci, hari akhir, hingga taqdir. Seorang yang yakin akan Maha Pintarnya Allah, percaya tidak mungkin salahnya Allah akan membawa konsekuensi percaya pada seluruh isi kitab Al Qur’an. Percaya pada isi kitab AlQur’an akan membawa keyakinan pada akan datangnya saat qiyamat, hari akhirat dan sebagainya.
Sebelum bertemu dengan sistim keyakinan tersebut, sebenarnya secara primordial (dari sononya) seorang manusia telah diberi bekal berupa watak atau sifat hati yang fitri –baca: bertauhid. Fitri atau fitrah ini memmang tidak secara jelas dan konkrit meyakini Allah sebagai Tuhan dengansegala sifatnya tersebut di atas. Namun masih berbentuk kecenderungan kepada kebenaran, kemuliaan, keindahan… dan kualitas-kualitas positif lainnya. Nabi Muhammad SAW juga bersabda: “ Setiap bayi lahir dalam keadaan fitri. Bapak Ibunya yang menjadikan ia Yahudi, Nasrani atau Majusi…”. Karena kebenaran adalah ekspresi ketuhanan, sehingga ia tunggal, seperti tunggalnya Allah. Sebagai contoh, seorang perampok adalah jahat, tidak benar dikatakan tidak jahat. Oleh karenya semua manusia membencinya. Bahkan perampok itu sendiri sebnarnya membenci prilaku dan predikatnya itu. Buktinya, ia pasti tidak menginginkan anaknya juga menjadi perampok.
Ini adalaha modal yang luar biasa bagi manusia , karena hati akan selalu menyuarakan kebenaran bagi si empunya hati, kapan dan dimanapun. Namun ia juga laksana cermin, bisa sangat bersih sehingga sangat jelas bayangan di dalamnya. Bisa juga ia kotor, sehingga sama sekali tidak jelas bayangan di dalamnya. Bahkan ia juga bisa rusak sehingga sama sekali tidak berfungsi. Noda adalah segala bentuk pemberontakan kepada suara hati yang dilakukan si pemilik hati. Inilah hakekat penutupan hati yang dilakukan Allah kepada hati orang kafir. Tugas dakwah hakekatnya adalah uapaya memfungsikan kembali hati ini bagi semua manusia.
Dengan demikian pertemuan seorang manusia dengan Islam adalah pertemuan seorang musafir dengan rumah aslinya sendiri. Pengingkaran terhadap Islam menjadikan manusia merasa tinggal di rumah orang lain, yang tentu akan merasa terasing, jauh dari rasa kerasan, tentram, nyaman dan damai. Jika seorang manusia senantiasa hidup dengan Islam, maka pada saatnya nanti jika ia harus meninggalkan dunia ia akan kembali kepada asal-muasalnya yakni tauhid, dengan rasa senang, dan disenangi oleh Dzat asalnya. Dalam term alQur’an ridlo dan diridloi (QS.89:28, 98:8).

2. Mengimankan pikiran
Kualitas diri tidak cukup pada kuatnya keimana hati, namun harus dilanjutkan pada kesalehan pola berfikir atau mind set. Pola berfikir dapat dianalogikan dengan prisma yang akan memedarkan cahaya yang datang dari hati. Tidak saja dibutuhkan prisma yang berkualitas prima, tapi juga prisma dengan ukuran dan pola yang pas, sehingga cahaya dapat perpedar secara efektif dan maksimal.
Pola berpikir yang saleh adalah pola berpikir yang memiliki kesadaran akan keterbatasannya, seraya tunduk pada yang Adikodrati (Allah SWT) . Ada kebenaran di atas kebenaran rasional (metha-rational), ada kenyataan di atas kenyataan empiris (metha empirical). Antara dua kebenaran itu sejalan tidak saling menegasikan. Begitu juga dengan adanya dua kenyataan tersebut. Kebenaran di atas rasio dan empiris itulah kebenaran wahyu. Adalah menyatunya akal dan wahyu menjadi inti dari pola berfikir saleh.
Pada dataran yang lebih teknis, kebenaran tidak saja diperoleh dengan memberdayakan nalar tetapi juga dapat diperoleh dengan memberdayakan hati. Antara nalar dan hati bekerja secara integral, tidak terpisah atau bahkan bertentangan. Nalar berpikir keras tentang objeknya yaitu seluruh sistim alam semesta. Sedang hati giat mendekatkan diri dengan pencipta alam semesta. Hasil dari olah nalar dan olah hati adalah pemahaman terhadap sistim alam semesta yang didasarkan pada sikap rendah hati, serta orientasi yang jelas untuk menggapai ridlo Allah SWT (QS.3:190-191).
Untuk memahami secara lebih jelas hal tersebut, ada baiknya jika kita memahami pola berpikir yang tidak saleh. Yakni pola berpikir sekuler, ateis, pagan dan sebaginya. Bagi yang disebut terakhir, agama harus dibatasi pada wilayah gerak hubungan personal-individual manusia dengan Tuhan. Teks ajaran agama hanya membuat saleh seorang manusia ketika berhadapan dengan Tuhan, bukan dengan sesamanya. Hubungan manusia dengan sesamanya ada aturannya sendiri , demikian juga hubungan manusia dengan alam. Dan aturan itu manusia sendiri yang membuatnya tidak boleh ada campur tangan Tuhan. Manusia adalah binatang, sama dengan simpanse, kera, dan monyet. Yang berbeda hanya kapasitas berpikirnya. Ukuran kebenarannya adalah yang menguntungkan dirinya sekalipun merugikan yang lain. Ukuran moralnya adalah yang mengenakkan dan menyenangkan bagi dirinya.
Demikian halnya ketika menusia sekuler memandang alam. Alam adalah barang temuan secara kebetulan. Tidak perlu ada tujuan dan maksud dibalik penciptaan dan keberadaan alam. Semangat menggauli alam adalah semangat untuk mengeksploitasi. Etika menggauli alam adalah etika “sepanjang aman” bagi diri atau bangsanya. Boleh tempat ibadah di bangun, tetapi tidak untuk di pasar dan kantor. Wajar jika akhirnya alam digauli secara brutal demi memuaskan watak rakus dan tamak manusia sekuler. Akhirnya wajar pula jika membangun sama nilainya dengan merusak (QS. 2: 11-12). Menurut mereka, kerusakan adalah ekses pembangunan. Itulahprinsip kotor dalam teori-teori kaum sekuler.
Ada juga kaum agamawan yang berpola pikir sekuler. Mereka membenarkan teori kaum sekuler, bahwa agama adalah urusan akherat. Mereka menerima konsep etika kaum sekuler, ukuran baik dan buruk dalam hal kehidupan duniawi adalah urusan nalar manusiawi bukan agama. Baik buruk dalam politik ya urusan nalar politik. Biasanya mereka menyatakan, “jangan berkhutbah dalam berpolitik, berekonomi, berkesenian dan sebagainya. Politik adalah politik itu sendiri, ekonomi urusan ekonomi, seni untuk seni. Agama bagi mereka adalah konsep untuk mendapatkan kebahagiaan di akherat, bukan untuk kehidupan dunia. Kan dunia sudah ada yang ngatur yakni ilmu pengetahuan ilmiah. Sedang ilmu pengetahuan yang dimaksud adalah rasionalisme dan empirisme sebagai intinya. Jadi yang menentukan benar salah, baik buuruk adalah manusia semata, bukan Tuhan. Roger Garaudi seorang mantan intelektual sekuler bahkan ateis yang kemudian menjadi muslim, menyebut mereka seperti “membaca teks-teks agama dengan mata orang mati.” Agama adalah barang antik, barang pajangan, yang tidak ada hubungan fungsional dengan kegiatan hidup manusia. Agama tidak ada dalam ranah politik, ilmu pengetahuan, ekonomi, arsitektur dan sebagainya. Agamawan model ini lebih suka berdebat dalam hal-hal yang sifatnya ibadah-ritual, hingga mereka lupa pada tujuan ibadah yakni hadirnya kualitas taqwa. Mereka lupa bahwa sebenarnya mereka hanya mutar-mutar di “jalan” tidak pernah membayangkan yang di ujung jalan yakni tujuan. Paling luas dari wilayah agama adalah mengupayakan ketentraman semu di hati manusia, tetapi tidak akan pernah menjadikan agama sebagai solusi atas permasalahan ummat. Sehingga tidak ada perbedaan antara istilah cerdas dengan culas, alim dengan licik. Pada hal keduanya sebenarnya berada pada dua kutub utara dan selatan. Bertentangan secara diametral. Yang satu benar dan yang lain salah.

3. Mengimankan sikap dan prilaku
Sikap dan prilaku adalah sisi luar atau ekspresi dari kepribadian seseorang. Sebagai ekspresi kepribadian sikap dan prilaku sebenarnya adalah fungsi dari hati dan pikiran seseorang. Jika hati adalah sumber instruksi, pikiran membahasakan instruksi, maka sikap dan prilaku adalah bentuknya. Sikap dan prilaku inilah sisi yang tampak dan kasad mata dari kepribadian seseorang.
Sikap dan prilaku memiliki wilayah cakupan sangat luas. Semua aktivitas manusia dari bangun tidur hinggaa mau tidur itulah wilayahnya. Mulai sikap dan prilaku terhadap diri sendiri, orang lain dan terhadap alam serta lingkungannya. Jika diurai sikap dan prilaku meliputi makan, minum, berpakaian, bertempat tinggal, berkeluarga, bertetangga, bertani, berpendidikan, berjual beli, berpolitik, berilmu pengetahuan, berteknologi, berkesenian, hingga berpertahanan.
Jika kita amati dan teliti, ajaran Islam --baik yang terkandung dalm al Qur’an maupun implementasinya oleh Rasulullah Muhammad SAW yang tercatat dalam al Hadits,-- memiliki penjelasan tentang semua persoalan hidup di atas. Jika ayat al Qur’an berbicara masalah penguasa (ulil amri), maka Nabi menerapkannya dalam bentuk politik, Nabi adalah seorang kepala negara dan pemerintahan, bahkan Ia seorang panglima perang saat itu. Begitu juga ketika alQur’an berbicara bagaimana tata sosial ekonomi dibangun, maka Nabi menerapkannya dalam bentuk sabda dan prilaku jual beli, ada lembaga baitul mal, zakat, infak, sedekah dan sebagainya. Ringkasnya, Nabi buka hanya penyiar agama melalui khutbah dan majlis taklim. Jika alQur’an menjelaskan bagaimana berkehidupan sosial dari keluarga hingga bertetangga dan bermasyarakat, maka Nabi mengamalkan dalam bentuk sikap dan prilaku sebagai seorang suami, seorang bapak, seorang tetangga, dan bermasyarakat. Nabi bukan hanya mengajarkan bagaimana menyembah Tuhan dalam bentuk shalat, puasa, dzikir, dan haji. Lebih dari itu, semua wilayah sikap dan prilaku dapat kia temukan rujukannya dalam diri nabi sebagai penerima wahyu dan pembawa risalah Islamiyah. Itulah makanya AlQur’an menyatakan bahwa ajaran Islam telah lengkap dan sempurna sebagai risalah terakhir Allah bagi kehidupan manusia, melanjutkan dan meluruskan risalah Nabi-Nabi sebelum Muhammad SAW (QS.5:3). Abul A’la al Maududi dalam bukunya yang berjudul Karakteristik Ajaran Islam, menjelaskan secara sangat gamblang tentang kesempurnaan Islam tersebut.
Jika ketiga komponen kepribadian tersebut (hati, akal dan jasad lengkap dengan fungsinya keyakinan, pemikiran dan sikap serta prilaku) telah diimankan maka lengkap sudah keberimanan dan kesalehan seseorang. Dalam sejarah Islam, pembinaan Nabi untuk menghasilkan kepribadian mukmin para sahabatnya dilakukan lebih awal dari pembinaan masyarakat mukmin. Kita mengenalnya melalui pereodisasi sejarah Islam; makah dan madinah. Pada pereode Makah inilah penggemblengan kepribadian dilaksanakan. Dengan berdasar pada pereode Makah, pembangunan tata sosial mukmin dilakukan pada pereode Madinah. Bahkan pereode Makah memakan waktu lebih lama yakni 13 tahun dari pereode Madinah yang hanya 10 tahun.
Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar