SELAMAT DATANG DI BLOG PERUBAHAN SOSIAL

"Makkah adalah realitas empiris, Madinah adalah realitas ideal, jarak keduanya adalah amanah perubahan"

Jumat, 15 Januari 2010

Dakwah Rasional: Dakwah Berbasis Pemberdayaan Umat

I. Dakwah Rasional :Pendahuluan
Dakwah adalah pelanjut missi kerisalahan para Nabi. Watak risalah Islamiyah adalah rahmat bagi seluruh alam (QS. AL Anbiya’: 107). Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. Untuk menjadi rahmat maka risalah dakwah mestinya menjawab problema sosialnya (bukan menambah masalah). Oleh karena itu dakwah akan berhasil jika ia dilaksanakan berdasar analisa terhadap problem sosial dimana dakwah akan berlangsung. Atas dasar problem sosial itu maka tujuan, target, pendekatan, bentuk action, materi, pelaku, sarana yang dibutuhkan dapat dirumuskan.
Ormas Islam modernis seperti Muhammadiyah tidak boleh mendasarkan gerakannya pada azas tradisional, melainkan harus konsisten dengan azas rasionalnya. Dengan demikian gerakan dakwahnyapun harus rasional. Gerakan dakwah rasional adalah gerakan dakwah yang terencana, dengan skala waktu, tempat, skala masalah, dan skala tujuan yang jelas dan terukur. Hanya dengan skala yang serba terukur, keberhasilan suatu gerakan dakwah dapat dievaluasi evektifitas serta evisiensinya dalam mencapai tujuan dakwahnya. Dengan dakwah yang terencana, akan dapat dihindari segala hal dalam dakwah yang tidak penting.
Perencanaan yang baik adalah perencanaan yang dapat digunakan sebagai acuan perjuangan kedepan secara evektif dan efisien, berdasarkan analisa kekuatan, kelemahan, peluang, hambatan dan tantangan yang dapat diperkirakan. Itulah karenanya perencanaan dibagi menjadi perencanaan jangka panjang (PJP), perencanan jangka menengah (PJM) dan jangka pendek (PJD). PJP harus diturunkan habis kedalam PJM, PJM dapat diturunkan menjadi PJD.

II.Problematika Dakwah Di Pracimantoro-Wonogiri
Sudah bukan rahasia bahwa Pracimantoro khususnya, wilayah Karesidenan Surakarta Hadiningrat pada umumnya adalah wilayah yang jauh dari pemikiran dan tradisi Islam. Ke-Islaman masyarakatnya adalah “Islam KTP” atau masyarakat abangan dalam term. Clifort Geert. Tradisi demikian adalah tradisi khas masyarakat pedalaman Pulau Jawa.
Sangat berbeda dengan ke-Islaman masyarakat pesisir utara Jawa, dengan Islam yang lebih dalam dan kuat. Kenyataan tersebut tentu bukan tanpa alasan. Pesisir utara Jawa, adalah wilayah pusat penyiaran agama Islam oleh para wali sejak abad 15 yang lalu.
Dalam peta penyebaran Islam di Pulau Jawa, sasaran pertama dakwah Islam adalah kalangan kraton. Dari Karton inilah kemudian Islam menyebar di kalangan masyarakat pedalaman –eks wilayah kraton Surakarta dan Yogyakarta Hadiningrat. Tanpa harus mengurangi nilai jasa dan peran kraton dalam penyebaran Islam, kraton bukanlah entitas netral –tidak punya kepentingan. Selain kraton menempati posisi sebagai penjaga tradisi-budaya Jawa, kraton juga pusat kekuasaan, tentu sangat membutuhkan legitimasi untuk memperkuat kekuasaannya. Oleh karena itu, ketika mereka juga berperan sebagai pendakwah Islam, dapat dikatakan kraton sangat berkepentingan terhadap dakwah. Dengan kata lain, kraton menempatkan politik dan budaya sebagai lebih utama dari dakwah Islam. Hal inilah yang menyebabkan Islam di pedalaman Jawa bukan Islam puritan tetapi Islam yang sinkritis. Pada giliran berikutnya, warna Islam sinkritis senantiasa mewarnai keberagamaan masyarakat pedalaman ini. Bahkan hingga kini.
Sebagai akibat Islam sinkritis inilah, masyarakat Islam pedalaman Jawa juga memiliki pengetahuan dan komitmen yang lebih tipis dari masyarakat pesisir utara. Ketika mereka melakukan penyimpangan terhadap ajaran agama, selain mereka belum tahu ajaran yang sebenarnya, ketika mereka tahu juga tidak sebegitu dlam rasa penyesalan mereka. Bahkan di lingkungan pedalaman ini, muslim taat akan dikucilkan karena dianggap menyimpang dari koridor adat atau budaya mereka. Islam yang “meng-adat” atau sinkritis adalah status quo bagi masyarakat Jawa pedalaman. Inilah akar keberagamaan masyarakat Surakarta-Yogyakarta dan sekitarnya, khususnya Pracimantoro-Wonogiri.
Faktor lain yang juga berpengaruh kuat adalah, kondisi geografis. Masyarakat Wonogiri ke selatan mayoritas masyarakat petani yang kurang beruntung. Hal ini disebabkan oleh kondisi geografis yang kurang subur dan kurang luas untuk pertanian, sehingga mayoritas mereka adalah petani penggarap, atau buruh tani. Pendapatan mereka dari mata pencaharian pokok tentu jauh dari kebutuhan sehari-hari.
Problema ini bertambah ketika kita membaca peta politik pembangunan yang kurang mendukung mereka. Pertanian adalah sector tidak begitu mendapat perhatian pemerintah. Jika ada perhatian atau kebijakan yang memihak mereka, tidak ada jaminan kebijakan tersebut sampai pada sasaran –masyarakat bawah. Sehingga dengan demikian nasib masyarakat petani di manapun menjadi semakin tragis, apa lagi yang kebetulan tinggal di sekitar Wonogiri. Pastilah akibatnya miskin menjadi predikat mereka selain predikat petani. Dari sini dapat dikatakan kemiskinan di Wonogiri belum tentu karena etos kerja mereka yang buruk, tetapi patut diduga kerena factor di luar itu.
Guna mempertahankan hidup akhirnya masyarakat Wonogiri menjadi masyarakat urban di berbagai kota besar. Hal ini membanggakan sekaligus memprihatinkan. Membanggakan karena, mereka menang dalam berperang dengan kemiskinan, tetapi kalah berhadapan dengan keadaan lingkungan mereka.
Persoalan yang lain yang sepersusuan dengan kemiskinan adalah kebodohan akibat rendahnya tingkat pendidikan. Akibat akhirnya adalah rendahnya kualitas SDM. Dengan kualitas SDM rendah dapat diduga bahwa masyarakat sekitar Wonogiri baik yang urban di kota maupun asli kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Jika disurvei, akan disimpulakan bahwa kebanyakan mereka menjadi buruh kasar, pedagang asongan, dan bahkan banyak juga yang sebenarnya tidak bekerja, pekerjaan kadang ada kadang tidak. Akibat samping dari rendahnya tingkat pendidikan dan SDM adalah sikap mereka yang permisif pada budaya asing yang diharamkan agama, dan kebiasaan luhur moyang masyarakat. Kadzal fakru anyakuna kufran.
Dari prealitas-realitas tersebut akhirnya dapat dipahami mengapa di sekitar wilayah Wonogiri berlaku adagium amar munkar dan nahi ma’ruf laris, amar ma’ruf nahi munkar menangis.
Dari uraian singkat di atas dapat disimpulkan bahwa problematika dakwah di Wonogiri pada saat-saat ini hingga beberapa dekade mendatang masih sama, yakni minimnya pengetahuan dan komitmen agama, yang berakar rendahnya tingkat pendidikan dan kualitas SDM, serta tingginya angka kemiskinan.

III. Perlunya Dakwah Berbasis Ekonomi
Dengan memperhatikan problematika dakwah di atas maka master plain dakwah di Wonogiri khususnya dapat di buat. Diantaranya adalah mengacu pada jangka waktu pembentukan SDM berkualitas misalnya 25 tahun ke depan. Untuk membuat master plain seperti itu tentu sangat diperlukan diskusi pakar serius. Tapi baiklah kita berpikir sederhana saja. Tujuan jangka panjang dakwah di muka bumi ini adalah untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang adil, makmur, dan diridloi Allah di dalam istilah al Qur’an disebut Khairu Ummah. Adil adalah suasana social di mana seluruh sendi kehidupan mulai dari hukum, politik, ekonomi, pendidikan dan keamanan, dilandasi asas keadilan. Artinya dapat dinikmati oleh semua yang bmemiliki hak, yaitu semua lapisan masyarakat tanpa terkecuali. Makmur adalah suasana ekonomi dimana masyarakat hidup sejahtera, berkecukupan, tidak dililit hutang dan kemiskinan. Sedangkan diridloi Allah adalah suasana spiritual masyarakat yang beriman, taat kepada Allah, jauh dari tindakan yang bertentangan dengan agama (munkar).
Selanjutnya, tujuan jangka panjang tersebut harus diturunkan menjadi lima tahap tujuan jangka pendek. Misalnya Dakwah Jangka Pendek (DJP I) bertujuan membangun infrastruktur kehidupan, mulai dari penyiapan kader dakwah dengan kualitas SDM yang memadai diseluruh sector kehidupan, serta penyiapan infrastruktur ekonomi, dan social. Pada tahap ini berarti mempertinggi tingkat pendidikan ummat. Berbagai beasiswa mestinya kita sediakan. Yang lain tentu paradigm pendidikan harus menumbuhkan semangat berwirausaha.
DJP II bertujuan untuk memanfaatkan SDM dakwah dalam bidang ekonomi, social, kesehatan, pendidikan yang telah tersedia pada PJD I, dengan harapan terjadi pemberantasan kemiskinan melalui penyiapan lapangan kerja. Pada tahap ini berarti menumbuhkan mental community interprenership serta membuka peluang kerja yang sebanyak-banyaknya.
DJP III bertujuan untuk konsolidasi, pemantapan dan pemerataan hasil DJP II ke seluruh wilayah dakwah. DJP IV bertujuan untuk mengembangkan hasil-hasil DJP II dan III. Sedang DJP V bertujuan untuk mempertinggi ketahanan tatanan kehidupan yang sudah terbangun.
Uraian singkat tersebut di atas pada dasarnya hanya pemikiran sepontan yang masih perlu didiskusikan secara mendalam. Lebih dari itu adalah penegasan bahwa dakwah adalah social engineering. Dengan demikian dakwah tidak dapat dilaksanakan sambil lalu tetapi harus penuh keseriusan dan terencana.
Selain itu, hal lain yang pelu ditegaskan juga di sini adalah dalam rangka menghadapi persoalan dakwah yang sangat komplek di atas, maka dakwah di Praci mestinya bertujuan untuk membasmi akar persoalannya yakni meningkatkan pendidikan, berantas pengangguran, dan kemiskinan, seta berikan penyuluhan ke-Islaman.
Karena luas serta dalamnya persoalan dakwah di wilayah ini maka dakwah harus melibatkan hampir seluruh komponen masyarakat, dakwah partisipatif. Setiap lembaga dakwah harus melibatkan sebanyak-banyaknya masyarakat untuk berpartisipasi medukung seluruh proses dakwahnya. Mulai dari roses pemikiran, pendanaan, hingga pelaksanaan proses dakwah yang multi bidang tersebut.
Di sinilah ormas Islam yang mengakar di masyarakat sangat berpeluang untuk berhasil. Sebaliknya sifat elitis dari pergerakan harus dieliminir. Ke sini pula Muhammadiyah Wonogiri diantaranya harus berbenah merevitalisasi dirinya. Seluruh sel organisasi harus dibangun dan dioperasikan secara maksimal. Sel-sel mati yang mengganggu harus dibuang.
Sudah barang tentu, pendekatan dakwahnya tentu tidak lagi mengandalkan pendekatan dakwah bil lisan un sich, seperti selama ini dilaksanakan. Melainkan harus dengan pendekatan yang multi sektor. Dakwah dalam pendidikan merupakan keharusan pertama untuk menyiapkan kader dakwah di masa datang. Pendirian Pondok pesantren modern yang bersifat umum hingga yang spesialistik interpreneurship pertukangan, peternakan, pertanian adealah sangat penting. Demikian juga Sekolah formal dari tingkat dasar, menengah pertama dan atas adalah tak kalah penting.
Di masyarakat luas, juru dakwah bukan ahli ceramah saja tetapi lebih dari itu ia harus berperan sebagai konsultan pengembangan masyarakat, yang bekerja dalam bidang spiritual keagamaan, ekonomi dan social secara simultan. Dari pemikiran ini maka setiap kader dakwah harus memiliki jamaah tetap di wilayahnya masing-masing untuk dibina. Jamaah itulah yang akan diarahkan bersama-sama dirinya untuk berkembang secara social dan ekonomi, serta berlandaskan agama. Dari gerakan semacam ini maka secara perlahan tetapi pasti kita mulai merubah masyarakat menuju tatanan ideal Islam. Lebih dari itu dakwah tidak mengabadikan masyarakat sekuler di mana agama wilayahnya akherat dan urusan dunia bukan urusan agama tetapi urusan ilmu duniawi.

IV. Pemberdayaan Zakat Infak dan Shadaqah
Alhamdulillah Islam sebagai agama sempurna QS.5:3 , menuntun kehidupan manusia QS.2:2. lengkap diseluruh aspeknya, mulai spiritual, ekonomi, social, politik dsb. Diantara bidang tersebut adalah bidang ekonomi yang menjadi perhatian serius ajaran Islam. Diantaranya adalah tegaknya sistim perekonomian yang berkeadilan, jujur, santun, bersih dari monopoli dan penindasan. Diantara perangkat spiritual sekaligus perangkat ekonomi tersebut adalah adanya sistim zakat, infaq dan shadaqoh (ZIS). Ketiganya bukan hanya kewajiban spiritual-keagamaan tetapi juga kewajiban muammalah yakni tegaknya kesejahteraan yang berbasis pada keadilan social-ekonomi ummat.
Sayangnya hingga saat ini masih banyak bagian ummat yang memahami ZIS hanya sebagai kewajiban spiritual keagamaan seseorang. Dari anggapan seperti ini wajar jika ZIS tidak dikelola secara professional sebagai satu sendi dalam system perekonomi umat, sehingga zis tidak berdampak pada pemberdayaan ekonomi. ZIS dapat menjadi modal untuk berdakwah yang sebenarnya dalam rangka memberantas kemiskinan, membuka lapangan kerja hingga meningkatkan pendidikan ummat.
Tujuan ZIS adalah kesejahteraan seluruh ummat Islam. Dengan demikian pemanfaatannya tidak semestinya untuk dikonsomsi saja tetapi harus diberdayakan. Berbagai jenis pemberdayaan dapat dilakukan seperti; pengelolaan koperasi simpan-pinjam tanpa bunga untuk masyarakat miskin, pemberian modal usaha terhadap mereka, pemberian bia siswa untuk anak miskin, dipadukan dengan usaha pertokoan yang menangani kebutuhan sehari-hari jamaah, bahkan untuk memberi honorarium juru dakwah dalam jamaah dsb. Ringkasnya, dakwah dan ZIS merupakan sistim Islam yang tak dapat dipisahkan. Tanpa ZIS maka roda dakwah tidak akan berputar, sebaliknya tanpa dakwah maka ZIS tak bermanfaat maksimal.
Wallahu a’lam bish shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar