SELAMAT DATANG DI BLOG PERUBAHAN SOSIAL

"Makkah adalah realitas empiris, Madinah adalah realitas ideal, jarak keduanya adalah amanah perubahan"

Rabu, 20 Januari 2010

SEKOLAH BERKHARAKTER DAN CERDAS

i
Di puncak perkembangan dunia atas bimbingan ”agama” rasionalisme dan empirisme, yang konon telah mengantarkan kehidupan manusia pada tahap kemajuan yang luar biasa saat ini, masyarakat dunia mulai cemas dan khawatir. Ternyata peradaban modern dengan sain dan teknologinya, disamping memberikan kemudahan bagi kehidupan manusia di satu sisi, pada sisi yang lain juga mendatangkan dampak negatif yang sangat mengkawatirkan. Berbagai krisis terjadi di mana-mana, mulai dari krisis sumber daya alam; menipisnya cadangan bahan bakar minyak dan gas, polusi darat, laut, dan udara; krisis sosial kemanusiaan, maraknya penzoliman antar manusia, minimnya keadilan, lunturnya kasih sayang dengan sesama, semua itu manifes dalam bentuk terjadinya berbagai konflik antar bangsa dan negara; hingga runtuhnya sendi-sendi moral-spiritual masyarakat dunia. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa titik teratas dari perkembangan metode ilmiah dan sekaligus pandangan dunia baru adalah krisis multi dimensi dalam kehidupan manusia (Michel Scumacher: Kecil Itu Indah, 1987).
Dalam bahasa Al Qur’an dikatakan bahwa kerusakan baik di darat maupun di laut adalah akibat dari ulah tangan manusia. (QS. Ar Rum :41). Persoalannya adalah manausia dengan kharakter yang bagaimana yang prilakaunya merusak kehidupan ini?

ii
Jika kita mau sedikit filosofis, baca: mendasar, melihat kharakter manusia sekarang atau manusia modern adalah manusia yang terlalu percaya diri sehingga tidak memerlukan Tuhan dalam kehidupannya. Keyakinan ini adalah inti dari humanisme abad 16.
Inti dari pandangan dunia yang baru ini adalah kepercayaan yang berlebihan kepada manusia (human being), sebagai penguasa tunggal alam jagad raya ini. Memang Tuhan pernah ada, tetapi hanya menciptakan alam dengan seisinya beserta hukum-hukumnya saja, kemudian ia tidak berarti apa-apa. Tuhan identik dengan aturan alam ini saja. Tidak ada tempat bagi Tuhan yang bersifat personal. Tidak ada mistisime dan metafisika.
Yang menonjol dari humanisme adalah penuhanan terhadap rasionalisme dan empirisme. Keduanya berpandangan bahwa pada dasarnya dunia ini memiliki arti yang dapat dipahami yakni arti matematis. (Cran Brinton, Pembentukan Alam Pikiran Modern, 1981). Selanjutnya rasionalisme dan empirisme ini menjadi ruh (spirit) bagi lahirnya ilmu pengetahuan baru. Ilmu pengetahuan ini, baik dalam arti sebagai satu satuan pengetahuan ilmiah yang terkumpul dan tersusun maupun dalam arti sebagai suatu cara penyelesaian masalah (yaitu metode ilmiah), tidaklah berurusan dengan metafisika—baca: agama. Jadi rasionalisme dan empirisme cenderung untuk menyingkirkan Tuhan serta keghaiban yang ada di dunia ini. Yang ada hanyalah sesuatu yang belum diketahui dan nanti suatu saat akan dapat terungkap dengan penelitian yang menggunakan metode ilmiah. Rasionalisme dan empirisme telah menggantikan agama dalam fungsinya sebagai landasan dan petunjuk kehidupan manusia.

iii
Pada dataran institusional, lembaga pendidikan, tempat di mana ilmu pengetahuan model rasionalisme dan empirisme dikembangkan dan diajarkan, merasa cukup ideal jika bisa memproses peserta didiknya menjadi manusia yang cerdas nalar intelektualnya pada satu sisi, sambil mencampakkan kecerdasan hatinya pada sisi yang lain. Dengan demikian manusia yang lahir dari proses pendidikan dengan paradigma intelektual intelegence adalah manusia yang kehilangan keberimbangan dalam kepribadiannya. Denagn istilah lain adalah manusia yang mengalami split personality. Al Qur’an menyindir manusia model demikian dengan manusia yang mengalami kebutaan bukan pada mata kepalanyaa tapi buta pada mata hatinya. Sehingga wajar jika manusia dengan kharakter tersebut, melakukan pembangunan dengan cara merusak pada segala dimensinya. Perhatikan dan renungkan QS.2 : 6-12.
Jika kita mengamati realitas kehidupan saat ini, kita dapat membenarkan orang yang menyimpulkan bahwa krisis yang melanda dunia saat ini adalah krisis yang komprehensip, mulai krisis spiritual, intelektual, sosial, hingga fisikal. Kehidupan ini sudah kehilangan pegangan spiritual-moral; peduli apa dengan hal-hal yang diluar empiris, Tuhan, rahmat, berkah, surga, neraka, akherat, dan seterusnya. Kebenaran sudah mengalami distorsi makna. Kebenaran yang ada hanya benar secara rasional. Jika akal mengiyakan tidak ada lagi persoalan. Jika ada persoalan pada akibat, itu adalah persoalan lain. Pada hal kebenaran akal adalah kebenaran logika-formal. Dalam bidang kesejahteraan ekonomi misalnya, dengan dalih hak individu harus dihormati, kebebasan untuk memiliki harta, tidak perlu dipedulikan adanya kekayaan yang menumpuk pada sebagian kecil orang di tengah-tengah masyarakat banyak yang mengalami kemiskinan dan kelaparan. Secara sosial pun demikian. Manusia kehilangan rasa sosial sedemikian parahnya, bahkan komunitas sosial yang paling inti yakni keluarga, untuk saat ini tidak manusia pedulikan. Pembunuhan sadis terjadi di mana-mana bahkan pada anak mereka sendiri. Begitu juga tindakan kriminal-seksual yang tidak masuk di dalam akal manusia itu sendiri. Demikian juga kerusakan fisikal. Alam untuk saat ini dapat diakatakan dibatas akhir toleransinya. Pemanasan global, krisis sumber daya alam, polusi pada semua bagian alam ddan sebagainya adlah diantara bentuk kerusakan yang terjadi. Lalu kemudian apa yang bisa dilakukan. Satu hal prinsip dalam al Qur’an dinyatakan bahwa bagaimanapun keadaannya kita harus tetap optimis. Putus asa hanyalah bujukan syetan.

Oleh karena itu yang kita perlukan pada era kecemasan dan kekhawatiran global saat ini adalah kembali lahirnya manusia yang tidak saja cerdas tetapi juga memiliki kharakter kuat dalam kepribadiannya. Lembaga yang harus mengambil tanggung jawab lahirnya manusia yang berkharakter kuat dan cerdas tersebut adalah semua lembaga yang secara alangsung maupun tidak melaksanakan pendidikan yang dikenal dengan educational networks yakni keluarga, lingkungan dan sekolah.
Sebagaimana dikatakan Howard Gardner dalam bukunya Frames Of Mind, 1983, dikenal setidaknya delapan macam kecerdasan, mulai dari kecerdasan intelektual, emosional, spiritual, spasial, kinestetik, intrapersonal, interpersonal, musical, linguistic, harus dikembangkan secara integral, simultan dan komprehensif.
Lembaga pendidikan yang berfokus pada pengembangan kecerdasan majemuk harus dirancang sedemikian rupa sehingga seluruh system di dalam unit pendidikan, mulai dari kurikulum, SDM atau guru, sarana dan prasarana, hingga budaya dalam lingkungan unit pendidikan tersebut bersinergi satu dengan yang lain mengarah pada terwujudnya visi unit pendidikan tersebut. Jika salah satu saja dari komponen dalam sistem tersebut tidak berjalan, maka seluruh proses akan terganggu, dan akhirnya gagal berfungsi yang semestinya.
Sedangkan pendidikan karakter, mengharuskan unit pendidikan tidak semata-mata melakukan transfer of knoledge semata, tatapi lebih dari itu, yaitu harus juga berfungsi pada penanaman moral, nilai-nilai etika, estetika, budi pekerti yang luhur dan lain sebagainya. Pemberian penghargaan (prizing) kepada yang berprestasi, dan hukuman (punishman) kepada yang melanggar, menumbuhsuburkan (cherising) nilai-nilai yang baik dan sebaliknya mengecam dan mencegah (discowaging) berlakunya nilai-nilai yang buruk mestinya berlaku di lembaga tersebut. Selanjutnya menerapkan pendidikan berdasarkan karakter (characterbase education) dengan menerapkan ke dalam setiap pelajaran yang ada di samping mata pelajaran khusus untuk mendidik karakter, seperti; pelajaran Agama, Sejarah, PKN, dan sebagainya.
Adapun strategi yang dapat digunakan untuk pembentukan kharakter meliputi pengajaran, keteladanan, pembiasaan, dan juga do’a. Ini semua memerlukan guru atau siapapun yang terlibat dalam proses kegiatan belajar mengajar harus terlebih dahulu memiliki kepribadian yang berkharakter kuat. Dan tidak boleh dilupakan bahwa nilai-nilai etik dan moral sesungguhnya berbasis pada agama. Dengan kata lain sekolah yang berbasis agama yang kuat memiliki peluang besar untuk menjadi alternatif melakukan pendidikan untuk melahirkan manusia yang BERKHARAKTER DAN CERDAS. Demikian juga rumah tangga dan keluarga yang merupakan lingkungan pembentuk dan pelaku pendidikan karakter pertama dan utama harus lebih diberdayakan oleh unit pendidikan. Sebagaimana disarankan Philips, keluarga hendaklah kembali menjadi school of love, sekolah untuk kasih sayang (Philips, 2000) atau tempat belajar yang penuh cinta sejati dan kasih sayang (keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warrahmah).
Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar