SELAMAT DATANG DI BLOG PERUBAHAN SOSIAL

"Makkah adalah realitas empiris, Madinah adalah realitas ideal, jarak keduanya adalah amanah perubahan"

Rabu, 27 Januari 2010

RASIONALIS VERSUS META RASIONALIS

Sudah agak lama kami mendengar dan memahami bahwa rasionalisme (mendewakan akal) adalah anak dari humanisme (mendewakan manusia) adalah moyangnya ilmu pengetahuan modern. Kebenaran adalah semua yang lulus uji rasional. Selebihnya adlah ketidak benaran. Karena baik humanisme maupun rasionalisme berarti juga membatasi atau mnganggap tidak ada campur tangan Tuhan dalam kehidupan manusia, demikian juga turunannya yakni ilmu pengetahuan. Jadi ilmu pengetahuan dan agama adalah dua dunia yang berbeda bahkan tidak saling kenal dan sapa. Benarkah demikian? Bukankah baik agama, yang berusia jauh lebih tua dari ilmu adalah ajaran yang berbicara tentang kebenaran? Demikian juga ilmu pengetahuan? Bukan kah semestinya keduanya bersatu? Persoalan ini mungkin juga menggelitik benak diantara kita bukan.

Beberapa waktu yang lalu, dalam suatu majlis taklim ibu-ibu Malam Sabtu-an kami membaca sekaligus mencoba untuk memahami terjemah ayat-ayat al Qur’an. Tepatnya kami bertemu dengan QS.18:60-82). Ayat-ayat alQur’an terebut berbicara tentang kisah atau dialog anatar Nabi Hidhir dengan Nabi Musa. Begini intinya; Nabi Musa mengadakan perjalanan hendak ketemu Hidhir, Allah memberi tanda pertemuan dengan Hidhir akan terjadi di tempat pertemua dua arus air lautan bersamaan dengan hilangnya ikan bekal perjalanan Musa dan pembantunya (nabi Ysha) (60-64). Pertemuan dengan Hidhir benar terjadi di tempat teresebut, hingga Musa memaksa mengikuti Hidhir karena hendak berguru, walaupun Hidhir memperingatkan bahwa Musa tidak akan kuat lama mengikutinya karena kurang sabar (65-70). Perjalanan keduanya pun dimulai. Di beberapa tempat dalam perjalanan itu, Musa terheran-heran dan bingung terhadap prilaku Hidhir yang baginya tidak sesuai dengan kaidah nalar Musa. Pertama, Hidhir melubangi perahu yang masih sangat bagus yang ditumpanginya. Tentu saja Musa heran. Saya juga sangat heran mengapa perahu bagus harus dilubangi? Hingga Musa pun protes terhadap Hidhir. Dan Hidhir merasa benar dugaannya bahwa Musa tidak kuat lama berjalan dengannya (71-73). Di tempat lainnya Musa kembali merasa aneh dan memprotes prilaku Hidhir yang tiba-tiba membunuh anak laki-laki yang tidak terlebih dahulu berbuat kesalahan (74-76). Dan ujung dari perjalanan bersama Musa dengan Hidhir adalah ketika Musa kembali memprotes prilaku Hidhir yang tidak mau meminta upah atas jasanya menegakkan kembali tembok yang hendak rubuh, pada hal ia dalam kesulitan bekal dalam perjalanan itu (77-78). Akhirnya perpisahan keduanya pun harus terjadi. Namun sebelumnya Hidhir menjelaskan tentang ketiga prilaku anehnya itu. Bahwa mengapa ia melobangi perahu? Perahu itu miliki orang miskin, yang jika tidak dilobangi atau dibuat cacat, maka perahu itudi seberang akan dirampas oleh penguasa kafir (79). Bahwa Hidhir membunuh anak baik-baik karena orang tuanya sangat shaleh. Jika tidak dibunuh anak itu nantinya akan menjadi durhaka pada Allah dan bahkan mengkafirkan orang tuanya. Dengan dibunuh orang tua itu akan selamat dari kekfiran dan nantinya akan mendapatkan ganti anak yang shaleh (80-81). Bahwa Hidhir tidak mau menerima upah atas jasanya, karena di bawah tembok itu tersimpan harta benda anak yatim peninggalan orang tuanya yang shaleh, yang harus diselamatkan dari ancaman orang-orang kafir. Penyelamatan itu dilakukan Hidhir dengan menutupkan kembali tembok di atas harta benda tersebut. Hidhir yakin bahwa nanti pada saat yang tepat anak yatim itu akan menemukannya . Dan dibalik semua prilaku anneh Hidhir tesebut adalah atas perintah Allah SWT, bukan kemauan Hidhir pribadi (82).

Kisah dan dialog Hidhir dan Musa dalam alQur’an tersebut saya pahami sebagai kisah dan dialog antara dua paradigma kebenaran yang berbeda. Hidhir mewakili paradigma metharasional, sedang Musa mewakili paradigma rasional murni. Kita sebagai rasionalis, --karena terlanjur diprogram menjadi rasionalis oleh lingkungan terutama pendididkan kita—awalnya tentu membenarkan paradigma Musa. Tetapi apan yang terjadi ketika kita mengetahui hikmah di balik prilaku Hidhir? Bukankah kita ikut menyesali protes Musa. Coba kalau Musa tidak protes terus, kana akan banyak lagi hikmah yang dapat kita ambil dari prilaku anneh Hidhir.

Musa adalah kita, yang keras kepala memegangi pengalaman kita sebagai satu-satunya pengalaman akan kebenaran. Bahkan karena egoisme rasionalitas kita, kita curiga atau berprasangka buruk terhadap prilaku-prilaku Hidhir yang sampai saat ini bahkan sampai kapanpun akan sering kita temui, yang tidak lain adalah prilaku Allah SWT. Karena Hidhir bertindak atas perintah Allah. Kita kurang atau bahkan tidak yakin alias ingkar ( kufur) akan ayat qauliyah dan kauniyah Allah.

Terhadap perintah infak atau shadaqah misalnya, kalau tidak karena ramat Allah kepada kita, bukankah egoisme rasionalitas kita cenderung banyak berbicara menolak perintah itu. Padahal betapa hebat hikmah dibalik pelaksanaan perintah infak dan shadaqah itu dapat kita rasakan. Terhadap perintah dakwah dan jihad (mengajak orang lain dengan lesan dan perbuatan untk taat kepada Allah), rasionalitas kitapun berbicara mending kita pasif untuk berdakwah, yang penting kita sendiri shaleh. Kalau tidak karena rahmat Allah pada kita, kita tidak begitu yakin akan imbalan Allah kepada orang yang melakukan dakwah. Terhadap larangan Allah agar kita tidak jatuh hati kepada kemewahan dunia tetapi untuk jatuh hati kepada kebahagiaan akherat pun demikian kita sikapi. Kalau tidak karena Rahmat Allah kepada kita, rasionalitas kita berbicara jangan-jangan akherat nanati benar-benar ada, baiklah kita taat epada Allah, toh kalua akherat nanti ternyata tidak ada, kita kan tidak rugi amat.

Ketaatan kita kepada rasionalitas pada satu sisi dan menolak kepada kebenaran meta rasional Hidhir adalah pertanda bahwa kita sebenarnya belum menjadi mukmin dan muslim sejati. Bukankah mukmin dan muslim itu adalah orang yang memilki iman yang murni 100 % dan selanjtnya menyerahkan kediriannya kepada kehendak Allah SWT. Kehendak Allah itulah paradigma meta rasional. Mampukah kita????
Ya Allah tunjukkan yang benar itu tampak benar dan beri kami kekuatan untuk mengikutinya, dan tunjjukkan yang salah itu tampak salah dan beri kami kekuatan untuk menghindarinya.
Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar