1. Kualitas pendidikan bangsa Indonesia pada dekade dua-tiga dasawarsa terakhir ini termasuk sangat memprihatinkan di tingkat Asean, apalagi di tingkat dunia. Pada hal Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk terbesar diantara negara Islam di seluruh dunia. Jumlah seluruh penduduk negara-negara kawasan Timur Tengah masih kalah banyak dengan jumlah penduduk Indonesia. Karena itu, berdasarkan jumlah penduduk, harapan bahwa fajar kebangkitan Islam akan terbit dari Indonesia semestinya dapat dibenarkan. Tetapi apa yang terjadi dalam realitas bangsa Indonesia saat ini? Sekali lagi, dalm bidang pendidikan, bangsa ini menjadi sangat memprihatinkan. Menurut data UNDP tahun 2007 dalam hal pengembangan manusia, Indonesia masuk urutan 107 dari 117 negara yang diteliti. UNESCO pada tahu 2008 merilis data, dalam hal pendidikan Indonesia termasuk no urut 62 dari 130 negara di dunia, dan no 7 dari 9 negara Asean. Padahal pada tahun 70-an, Malaysia negara tetangga kita belajar ke Indonesia un tuk meningkatkan kualitas pendidikan mereka. Itulah strategi besar Malaysia untuk maju, menjadikan pendidikan sebagai lokomotif kemajuan bangsanya. Seperempat abad kemudian apa yang terjadi Malaysia jauh meninggalkan Indonesia. Sehingga ada kalimat pejoratif; dulu Indonesia ekspor pro-fe-sor sebagai TKI, tetapi apa yang terjadi saat ini. Indonesia ekspor pembantu rumbah tangga (pe-er-te) sebagai TKI (sama-sama p).
2. Pendidikan adalah investasi jangka panjang. Pemerintah sudah punya good will untk meningkatkan kualitas pendidkan kita, dengan menganggarkan 20 % minimal dari APBN dan APBD di setiap daerah untuk pendidikan. Namun masih jauh panggang dari api, masih banyak kendala untuk merealisasikan mimpi-mimpi peningkatan kualitas pendidikan. Diantara kenyataan konkrit yang menunjukkan gejala itu adalah hasil pengamatan tentang pengaruh sertifikasi bagi peningkatan kinerja guru. Bagaimana hasil nya? Ternyata, tidak signifikan pengaruh sertifikasi bagi peningkatan kinerja guru.( http://smkn1bongas-tkj.blogspot.com) Kualitas murid sebelum dan sesudah sertifikasi relatif masih sama. Bagaimana dengan sertifikasi dosen? Tentu kitalah yang paling tahu dengan jawaban sebenarnya. Pernah dirilis hasil penelitian terhadap dosen, menyatakan bahwa 80% dosen tidak berkualitas, di Solo Pos beberapa bulan lalu. Jika keadaan ini (kualitas pendidikan) tidak berubah, maka bangsa ini ke depan, walau dengan anggaran yang meningkat, masih akan tetap sama, yakni terbelakang dan miskin. Dan itulah bangsa yang merepresentasikan umat Islam Islam dunia, masih sakit belum menunjukkan gejala penyembuhan.
3. Diantara penyebab rendahnya kualitas pendidikan adalah terpisahnya pemahaman agama dan ilmu pengetahuan. IAIN idealnya adalah masa transisi menuju UIN. Jika merujuk UIN Malang, maka dengan UIN, agama dan ilmu adalah satu. Nilai-nilai agama menjadi dasar dari bangunan ilmu pengetahuan. Kita yang masih IAIN ini, sekalipun belum bermimpi menjadi UIN, setidaknya telah memiliki kesadaraan untuk tidak mengembangkan paradigma pemahaman yang dikhotomis antara agama dan ilmu. Karena sebagaimana kita ketahui, agama yang dipahami dengan paradigma dikhotomis, akan menghasilkan pemahaman agama yang melangit tidak membumi. Kehidupan ada di bumi, langit adalah simbul kematian. Karena itu agama yang tidak mendasari ilmu pengetahuan adalah agama bagi orang mati (Roger Garaudi, janji-Jani Islam). Ciri-ciri pemahaman agama yang melangit adalah pemahaman yang doktriner alias subyektif-normatif. Agama yang demikian adalah agama yang tidak mencerahkan, tidak membuat cerahnya kehidupan. Jika lembaga studi agama memproduk pemahaman normatif, bagaimana dengan masyarakat pengguna produk pemikiran keagamaan tersebut? Konflik atas nama ayat, madzhab fiqh dan pemikiran, perlu dicurigai sebagai fenomena masih sangat kuatnya pemahaman subyektif-normatif tersebut dalam masyarakat kita. Sebagai bentuk keprihatinan kita hendaknya kampus tidak mengembangkan paradigma pemahaman subyektif-normatif tersebut.
4. Berdasarkan undang-undang, dosen memang bagian dari PNS. Tetapi dosen menjadi bagian spesifik dari PNS pada umunya, karena tugas dan tanggung jawab, serta peran dan fungsinya dalam Tri Darma Perguruan Tinggi. Oleh karena itu, pemerintah melalui SK Dirjen tetang Beban Kerja Dosen (BKD), telah membuat ukuran kinerja dosen dengan BKD. BKD seharusnya dipahami sebagai turunan dari PP No 53 tahun 2010, tentang PNS yang memiliki beban kerja kuantitatif yakni 37,5 jam per minggu. Dengan BKD, ukuran kinerja dosen menjadi sangat jelas, yakni terlaksananya tugas pendidikan dan pengajaran serta penelitian sebagai tugas utama (75%), sedang pengabdian masyarakat dan penunjang memiliki bobot 25 %. Yang imlisit dari tugas tersebut adalah ukuran kinerja dosen tidak hanya kuantitatif, tetapi juga kualitatif. Oleh karena itu, dosen hendaknya tidak lagi berpikir “apakah harus masuk setiap hari atau tidak?”, yang penting laksanakan tugas sesuai standar BKD, insyaallah tujuan idealitas peran dan fungsi dosen akan menjadi kenyataan riil.
5. Berawal dari pemahaman akan BKD inilah seorang dosen hendaknya fokus melaksanakan tugasnya. Bersatunya antara tugas pendidikan dan penelitian, hendaknya dipahami bahwa pendidikan yang dilakukan dosen hendaknya berbasis pada kegiatan penelitian. Bentuk konkritnya, hendaknya dosen tidak merasa dibebani dengan tugas pembuatan Satuan Acara Perkuliahan (SAP), bahkan lebih jauh marilah kita sadari pentingnya melanjutnkan tugas membuat SAP menjadi buku ajar betatapun sederhananya. Kita ganti tradisi lisan menjadi tradisi tulis. Tradisi tulis lebih jelas dan mudah pertanggung-jawabannya dari tradisi lisan. Begitu juga tradisi penelitian sudah semestinya menjadi tugas biasa bagi dosen sehingga kita laksanakan tanpa beban, sekalipun harus dengan biaya sendiri. Jika ini sudah terbiasa kita lakukan, maka ke depan akan terbentuk secara bertahab menjadi kebiasaaan dan akirnya menjadi budaya kampus kita. Mengajak dan menyeru mahasisiwa untuk meningkatkan kualitas rasanya meaning less, jika tidak dimulai dari diri pengajak (dosen). Persoalan terbesarnya memang dana, dan kalau mau jujur tentu juga sikap malas dan sesuatu yang belum menjadi kebiasaan bagi kita. Kapan ini semua bisa didekonstruksi?
6. Konkritnya sebagai persipan kuliah semester genap tahun 2011-2012 ini kami menghimbau dan mendesak kepada semua pihak (utamanya diri sendiri) untuk tidak saja membuat indikator pembelajaran yang kuantitatif, seperti prosentase presensi (kehadiran mahasiswa), tetapi mencoba merancang perkuliahan yang meletakkan indikator keberhasilan bersifat kualitatif. Pertanyaan apakah mahasiswa sebelum dan sesudah mengikuti kuliah kita, massih berkualitas sama yakni belum mengalami ketercerahan (lightmented), atau malah bertambah konserfatif, adalah layak kiya renungkan.
7. Kami tidak sedang hanya bicara dalam hal pemahaman agama unsich. Dalam penerapan paradigma dikhotomi dalam memahami Ilmu pengetahuan (baca: umum), tidak kalah bahayanya. Ilmu yang terpisah dari agama hanya akan menurunkan martabat kemanusiaan, serta merusak alam semesta. Dalam Jurusan Dakwah, banyak ilmu umum kita ajarkan pada mahasiswa. Jika tidak hati-hati, dengan alasan profesionalisme,maka kita akan mengajarkan ilmu yang bebas pemihakan terhadap nilai dan etika Islam. Jika ini terjadi maka “alumni tukang” siap hadir dari rahim Jurusan Dakwah. Pemihakan adalah tahap pertama, profesionalisme adalah berikutnya. Inilah missi suci berdirinya lembaga akademik ke-Islaman.
Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar